​Debu Berhati Gunung

Dengan kecanggihan teknologi zaman sekarang orang terjangkit penyakit PAMER show off kebaikan via sosial media menjadikan diri seseorang gemar untuk menunjukkan ” inilah aku “.

Maka tidak aneh banyak orang menjadi haus pujian, sanjungan dan ingin dicap “saya orang hebat“, saya orang penting, saya paling berjasa. Laksana Gunung tinggi yang terpandang disanjung sanjung.

Tentu bila mendapatkan nasehat dipandang negatif 

” itu kritikan tajam berawal dari kedengkian” bahkan sikap menghinakan  (under estimate) terhadap orang yang mengingatkan.

 Zaman sekarang Hilang jiwa besar, lenyap jiwa kesatria dan luntur jiwa keikhlasan.

Inilah gambaran sekarang sang debu berhati gunung !

Pernah saya alami dalam kepanitiaan  terjadi sikap “ngambek/mutung” mogok jadi tidak aktif dalam kegiatan yang dicanangkan hanya karena HAUS PUJIAN.

Bahasa dosanya “kami panitia tidak dapat apresiasi, sudah capek malah dibiarkan begitu saja, ya sudah kita stop aja tidak kerja lagi“. 

Mulailah menghitung kebaikan dan meminta upah jutaan !.

Itulah orang yang berhati gunung ! Haus pujian.

Lihat dalam konteks orang orang yang di panggung publik. Para pemegang kekuasaan organisasi. 

Mengingat kita sering menghirup Udara yang polusif dengan kehidupan materialistik duniawi menyebabkan banyak terjangkit “berhati gunung“.

Merasa jadi pahlawan yang anti kritikan.

Semua serba diukur dengan pujian.

Berbuat baiklah dengan merendahkan hati.

Jangan haus imbalan dan pujian.

Ingat surat Al Insan ayat 9

(9). إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ الَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan KERIDHOAN ALLAH, kami TIDAK INGIN BALASAN dari kamu dan TIDAK PULA UCAPAN TERIMAKASIH.”
Itulah laksana gula dalam secangkir kopi. Saat rasanya enak tidak disebut gulanya , tidak dipuji puji. 

Baca juga:   Apa Maksud Insya Allah oleh Joe Biden pada Debat Panas Calon Presiden Amerika?

Saat kopinya kemanisan atau kepahitan maka disebut sebutlah kebanyakan gula atau kekurangan gula.

Dikritik si gula tetap ia manis.

Membangun orang lain dan yang dibangun dipuji adapun yang membangun tidak lagi dipuji tetap ia manis.

Tidak “kebakaran jenggot” tidak gundah karena tidak dapat apresiasi. Tidak cepat mudah tersinggung. 

Maka janganlah berhati gunung. Ingat kita dicipta dari tanah (debu) dari setetes air yang hina.

Pegang

ِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

Tidak mengharap balasan

Tidak mengharap penghormatan…

Sumber: BC Ust.  Arifin Jayadiningrat 

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *