evaluasi kurikulum pendidikan agama islam

8 Ciri Guru Profesional Menurut Imam Al-Ghazali dari Ihya Ulumuddin

Home » 8 Ciri Guru Profesional Menurut Imam Al-Ghazali dari Ihya Ulumuddin

Menurut Imam Al-Ghazali, seorang guru harus berilmu, beramal, mengajarkan ilmu, dan memberi manfaat bagi kehidupan akhirat serta menunjukkan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu zuhud, ikhlas, suka memaafkan, memahami tabiat murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya, dan menguasai ilmu pengetahuan yang menjadi bidangnya, yang diberikan kepada murid.

Menurut Al-Ghazali, pekerjaan mengajar adalah kegiatan yang paling dibutuhkan dan paling sempurna peranannya, karena seorang guru menyempurnakan dan menyucikan hati manusia. Seorang guru harus membimbing anak didiknya agar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Berikut Tugas-tugas seorang guru profesional menurut Imam Al-Ghazali yang kami ringkas dari kitab: 1) Mizanul Amal, Imam Al-Ghazali hal. 252-263, cet. Dar Al-Minhaj, 2) Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali hal. 78-82, cet. Darul Hadis

Tugas Pertama: Guru Memiliki rasa belas kasih dan mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.

Seperti hadits Rasulullah Saw berikut:

“Sesungguhnya aku bagi kalian adalah bagaikan bapak terhadap anaknya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa’i)

Dengan tujuan menyelamatkan mereka dari api akhirat, bahkan ini lebih penting ketimbang penyelamatan kedua orang tua terhadap anaknya dari api dunia.

Oleh karena itu, hak guru lebih besar dari hak kedua orangtua. Karena orangtua adalah sebab keberadaan anak dan hidup di dunia yang fana ini. Sedangkan guru adalah sebab kehidupan yang abadi. Kalau tidak ada guru, maka apa yang diperoleh si anak dari orangtuanya, dapat membawa kepada kebinasaan terus menerus.

Guru memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi, yakni dengan mengajarkan ilmu akhirat, ataupun ilmu duniawi dengan tujuan akhirat, bukan dunia.

Sebagaimana hak dari anak atas seorang ayah dengan kasih sayang dan tolong menolong mencapai sesuatu, seperti itulah kewajiban murid seorang guru, saling mengasihi dan menyayangi.

Hal ini akan ada jika tujuannya akhirat, kalau tujuannya dunia, maka yang ada tak lain dari dengki dan bermusuhan.

Tugas Kedua: Meneladani Rasulullah Saw dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan atau ucapan terima kasih,tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan taqarrub kepada-Nya.

Baca juga:   Muhammad Abdullah Draz: Biografi dan Pengenalan Pemikirannya

Tidak merasa berjasa atas para murid, sekalipun jasa itu mereka rasakan, tetapi memandang mereka juga memiliki jasa karena mereka telah mengkondisikan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan ilmu kedalamnya. Seperti orang yang meminjami tanah ladang untuk anda tanami, maka hasil manfaat yang Anda peroleh dari tanah itu juga menambah kebaikan pemilik tanah.

Bagaimana anda menghitung jasa dan pahalamu dalam mengajar itu lebih besar ketimbang pahala murid disisi Allah? Kalau bukan karena murid, guru tidak akan mendapatkan pahala ini. Olehkarena itu ,janganlah Anda meminta upah kecuali dari Allah Subhanahu Wata’ala, seperti firman-Nya.

“Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”. (QS. Hud: 29)

Harta dan isi dunia menjadi pesuruh badan. Badan menjadi kendaraan dan tunggangan jiwa. Yang dikhidmati adalah ilmu pengetahuan, karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu mulia.

Tugas Ketiga: Tidak meninggalkan nasehat pada muridnya sama sekali, seperti melarangnya dari usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan sebelum berhak menerimanya,dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai ilmu yang jelas.

Guru harus mengingatkan muridnya agar dalam tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Tugas Keempat: Mencegah murid dari akhlak tercela dengan cara tidak langsung dan terang-terangan sedapat mungkin dengan kasih sayang bukan dengan celaan.

Sebab cara terang-terangan bisa mengurangi kewibawaan, menimbulkan keberanian untuk membangkang, dan merangsang sikap bersikeras meneruskan sifat yang jahat itu.

Nabi Saw selaku mursyid segala guru, pernah bersabda;

“Jikalau manusia itu dilarang dari menghancurkan tai unta, maka akan dihancurkannya dengan mengatakan: kita tidak dilarang dari perbuatan itu kalau tidak ada apa-apanya” (Al-Iraqi menyebut dia tidak pernah menemukan hadis ini)

Kasus yang disebutkan tadi mengingatkan kita kepada kisah Adam danHawa serta larangan yang ditujukan kepada keduanya; kisah ini disebutkan kepada kita bukan untuk menjadi bahan cerita semata-mata tetapi agar menjadi pelajaran.

Baca juga:   Arifin Jayadiningrat: Pendidikan yang Baik Depankan Ranah Didaktik Metodik

Selain itu, cara mencegah secara tidak langsung akan membuat jiwa yang baik dan pikiran yang cerdas cenderung untuk menyimpulkan berbagai maknanya.

Tugas Kelima: Seorang Guru yang bertanggungjawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran yang lain di hadapan muridnya.

Misalnya, guru bahasa biasanya mencela ilmu fikih. Guru fikih biasanya mencela ilmu hadis dan tafsir, dengan mengatakan bahwa ilmu itu hanya kutipan dan periwayatan semata-mata, dan guru teologi biasanya mencela fikih seraya mengatakan bahwa fikih adalah cabang yang hanya berbicara tentang haid tetapi tidak pernah berbicara tentang sifat Allah.

Ini semua adalah akhlak tercela bagi para guru yang harus di jauhi. Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas wawasan murid pada orang lain, dan jika ia menekuni beberapa ilmu maka harus menjaga pentahapan dalam meningkatkan murid dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain.

Tugas Keenam: Guru Tidak memberikan silabus pembelajaran yang terlalu tinggi

Imam Al-Ghazali memberikan nasehat kepada guru di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin agar tidak memberikan silabus yang terlalu tinggi sehingga murid susah untuk memahami.

Al-Ghazali mendasari nasehat ini dengan hadis Nabi saw,

نَحْنُ مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءَ أَمَرَنَا أَنْ نَنْزِلَ النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ وَنُكَلِّمَهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ

“Kami, para Nabi, diperintahkan untuk mendudukkan orang pada tempatnya, kami bicara dengan mereka menurut kemampuan akal pikiran mereka” (Menurut Al-Iraqi ini adalah dua diksi hadis yang disampaikan Al-Ghazali dalam satu redaksi, mungkin dikira satu hadis. Menurut Al-Hafidz As-Sakhawi, diksi pertama adalah hadis dari Aisyah dan diksi kedua dari Ibnu Umar yang disampaikan secara marfu’: أمرنا معاشر الأنبياء أن نكلم الناس على قدر عقولهم)

Hendaknya menyampaikan kepada murid suatu pengetahuan yang mendalam, apabila dia telah mampu memahaminya sendiri. Sebaliknya jika diketahui kemampuan pemahamannya terbatas.

Nabi bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, berkata:

“Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah bagi mereka.” (Dari Ibnu Abbas dengan riwayat Dhaif)

Baca juga:   Tidak Ada Produk Gagal Dalam Pendidikan

Ali ra berkata seraya menunjuk kedadanya, “Sungguh disini terdapat banyak ilmu jika ada yang siap membawanya.”.

Ali ra benar, karena hati orang-orang yang baik (al-abrar) adalah kuburan berbagai rahasia ilmu pengetahuan (al-asrar). Maka tidak wajar jika seorang yang berilmu menyiarkan seluruh ilmu pengetahuannya kepada orang lain.

Tugas Ketujuh: Murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya. Dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya. Karena tindakan ini akan mengurangi minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut, membuat hatinya guncang, dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu terhadap dirinya.

Sebab setiap orang meyakini bahwa dirinya layak menerima ilmu yang mendalam. Setiap orang pasti ridho kepada Allah atas kesempurnaan akalnya, sedangkan orang yang paling bodoh dan yang paling lemah akalnya ialah orang yang paling bangga terhadap kesempurnaan akalnya.

Tugas Kedelapan: Guru Hendaknya melaksanakan ilmunya, yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya.

Sebab ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak.

Jika amal perbuatan bertentangan dengan ilmu maka tidak memiliki daya bimbing. Setiap orang yang melakukan sesuatu lalu berkata kepada orang lain,“ Janganlah kalian melakukannya” maka hal ini akan menjadi racun yang membinasakan”.

Karena itu, dosa orang berilmu yang mengerjakan perbuatan maksiat, lebih besar dari dosa orang bodoh. Terperosoknya orang yang berilmu, membuat terperosok orang banyak yang menjadi pengikutnya. Barangsiapa membuat tradisi buruk, maka berdosa dan berdosa pula orang yang menuruti tradisi itu.

Ali ra berkata:

“Ada dua orang yang mendatangkan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu yang tidak menjaga kehormatan dan orang bodoh yang kuat beribadah. Orang yang bodoh itu menipu manusia dengan peribadatannya dan orang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya”.

Sumber:

Konsep Ilmu dalam Perspektif Imam Al-Ghazali (Ringkasan Kitab Al-Ilm dari Ihya’ Ulumuddin)

Pedagogi Islam Klasik

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Nawala

Masukkan email Anda di bawah ini dan berlangganan nawala kami

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *