Multipleks Ontologi adalah cara memahami dunia yang memungkinkan masuknya berbagai perspektif tentang entitas atau konsep yang sama. Didasarkan pada gagasan bahwa dunia ini kompleks dan tidak ada cara tunggal yang benar untuk memahaminya.
Konsep Multipleks Ontologi dari Imam Al-Ghazali pertama kali dikenalkan oleh Prof. Recep Şentürk dari Ibn Khaldun University, Istanbul. Artikel ini berusaha mengupas beberapa konsep penting yang disampaikan Prof. Şentürk.
Apa yang dimaksud Ontologi?
Ontologi ini merupakan istilah dari bahasa Yunani yang berasal dari kata ‘ontos dan logos’. Ontos artinya segala sesuatu yang memiliki wujud atau berwujud, dan logis merupakan sebuah ilmu. Sehingga jika diartikan, ontologi merupakan ilmu atau teori yang mempelajari mengenai wujud yang ada.
Ontologi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mengenai hakikat sesuatu yang berwujud atau sesuatu yang ada, dengan berdasarkan dengan menggunakan logika. Secara keilmuan, pengertian ontologi merupakan ilmu atau kajian yang membahas tentang yang ada atau teori tentang hakikat sesuatu yang ada.
Dalam Ensiklopedia Britannica, pengertian ontologi berangkat dari Aristoteles yang menyatakan bahwa pengertian ontologi merupakan teori atau studi mengenai wujud, misalnya karakteristik terhadap suatu realitas. Ontologi merupakan persamaan dari metafisika yakni, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli atau real nature terhadap suatu benda dalam menentukan arti, struktur, dan juga prinsip dari benda.
Menurut Suriasumantri, ontologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai apa yang ingin kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian terhadap teori yang ada.
Menurut Bakhtiar, pengertian ontologi merupakan ilmu yang membahas mengenai hakikat yang ada dan sebagai suatu ultimate reality baik yang memiliki bentuk jasmani atau konkret maupun tentang rohani maupun abstrak.
Soetriono, mengungkapkan definisi mengenai ontologi sebagai asas dalam menerapkan batas atau mengenai ruang lingkup suatu wujud yang menjadi objek dari penelaahan yang merupakan objek ontologi atau objek formal dari pengetahuan serta mengenai penafsiran mengenai hakikat realita (metafisika) dari objek ontologi atau objek formal tersebut dan menjadi landasan dari ilmu yang menanyakan terkait apa yang dikaji atau dibahas dalam suatu pengetahuan.
Apa yang dimaksud Multipleks Ontologi?
Multiplex Ontology adalah cara memahami dunia yang memungkinkan masuknya berbagai perspektif tentang entitas atau konsep yang sama. Ini berbeda dengan ontologi tradisional (traditional ontology), yang biasanya hanya memungkinkan satu perspektif. Multiplex Ontology didasarkan pada gagasan bahwa dunia ini kompleks dan tidak ada cara tunggal yang benar untuk memahaminya.
Multiplex Ontology memungkinkan beberapa perspektif komplementer dibawa untuk menyelesaikan masalah yang sama. Ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan solusi yang lebih kreatif dan inovatif.
Multipleksitas biasa digunakan dalam kajian sosioliungistik dan hubungan sosial, tetapi menjadi konotasi yang berbeda dalam kajian peradaban, khususnya dalam kajian peradaban Islam. Prof. Recep Şentürk dari Ibn Khaldun University, Istanbul, Turki adalah orang yang kembali mengenalkan konsep ini dengan pondasi pemikiran Islam klasik.
Multipleks Ontologi Al-Ghazali
Al Ghazali menyandarkan pemikirannya tentang hakikat ilmu kepada kebenaran mutlak agama Islam. Kebenaran duniawi (sekuler), menurutnya sebagai kebenaran awal yang dimiliki manusia, sedangkan kebenaran sesungguhnya terpulang kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sumber kebenaran mutlak. Kebenaran manusiawi bersifat relatif, sedang kebenaran Allah itu pasti, tidak bisa diragukan. Menurutnya, pencapain kebenaran mutlak harus melalui bantuan (maunah) Allah Subhanahu Wata’ala yakni berupa petunjuk (hidayah).
Sebagaimana firman Allah Swt.
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah: 147)
Hakikat ilmu menurut al-Ghazali sumbernya adalah Allah Subhanahu Wata’ala, baik tertulis (kitab suci) dan tidak tertulis (alam sekitar), keduanya berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah pemahaman monokotomik al-Ghazali yang diperoleh dari pengakuan dan sikap bahwa Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sumber ilmu.
Pemahaman ini memiliki pengertian bahwa ilmu itu hanya satu yaitu ilmu Allah, sedangkan ilmu yang terdapat pada manusia adalah jalan menuju pengenalan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala. Maka tidak ada dualisme substansial pada manusia, sekalipun manusia punya beragam kemampuan, namun pada hakikatnya manusia punya keterbatasan. Manusia hanya memperoleh kehendak (iradah) Allah Subhanahu Wata’ala untuk memahami realita kehidupan sebenarnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, al-Ghazali memberikan deskripsi ilmu sebagai jalan menuju akhirat dalam dua klasifikasi besar yaitu ilmu Muamalat yang berdasarkan pengamalan dan penghayatan dan ilmu Mukasyafat yang berdasarkan pengenalan dan pengetahuan (ma’rifat).
Kedua ilmu ini berbeda dari aspek kemampuan manusia untuk mencapainya, namun pada hakikatnya sama dalam hal sumbernya. Mukasyafah bermuara langsung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan Muamalah tidak secara langsung kepada Allah, tetapi melalui potensi manusia yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala.
Pembagian ilmu menjadi ilmu Muamalat dan ilmu Mukasyafat menjadi pembeda Al-Ghazali dengan aliran-aliran filsafat dan kalam dan menjadi gambaran ia telah memasuki dunia sufi. Hal ini dapat dilihat dari pemaknaan mukasyafah dalam kitab Ihya Ulumuddin yakni maa yuthlabu minhu kasyful ma’luum faqath artinya ilmu yang hanya untuk mengetahui apa yang perlu diketahui tidak perlu diamalkan. Sementara ilmu muamalat adalah pengetahuan yang dapat ditulis secara sistematis dan berhubungan dengan kata-kata, yakni hal-hal yang dapat diterima dan dipelajari orang lain.
Menurut Prof. Recep Şentürk, pemahaman Al-Ghazali tentang hakikat ilmu pengetahuan adalah saling terkoneksi dengan konsepnya tentang realitas, tentang manusia, dan alam semesta disebut dengan Multiplex Ontology.
Multiplex Ontology adalah cara memahami dunia yang memungkinkan masuknya berbagai perspektif tentang entitas atau konsep yang sama. Ini berbeda dengan ontologi tradisional (traditional ontology), yang biasanya hanya memungkinkan satu perspektif. Multiplex Ontology didasarkan pada gagasan bahwa dunia ini kompleks dan tidak ada cara tunggal yang benar untuk memahaminya. Multiplex Ontology memungkinkan beberapa perspektif komplementer dibawa untuk menyelesaikan masalah yang sama. Ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan solusi yang lebih kreatif dan inovatif.
Multipleks Ontologi Al-Ghazali tentang Realitas
Al-Ghazali membagi realitas menjadi tiga yaitu Mulk, Malakut dan Lahut.
Mulk adalah alam tempat makhluk yang dapat ditangkap oleh indera dan dapat dijangkau oleh penglihatan. Malakut adalah alam yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan dijangkau oleh penglihatan, alam khusus dari alam gaib, dan Lahut adalah alam realitas being, yakni Tuhan atau pribadi Tuhan.
Para sufi mengatakan tentang alam ini, “Tidak ada yang wujud kecuali Allah (la mawjud illa Allah)”. Menurut Professor Recep Şentürk, sejak awal, para cendekiawan Muslim menjunjung tinggi multiplex ontology ini bahkan ketika mereka berinteraksi dengan peradaban lain. Mereka tidak mengambil ontologi ini dari orang-orang Yunani (Greek).
Multipleks Ontologi Al-Ghazali tentang Psikologi Manusia
Dalam pidato utamanya di Annual Muslim Mental Health Conference ke-12, Prof. Recep Şentürk membahas multiplex ontology Imam Al-Ghazali. Dia berpendapat bahwa pandangan Al-Ghazali tentang manusia adalah kompleks dan beragam, dan tidak dapat dipahami secara memadai melalui lensa tunggal.
Multiplex Ontology dari Al-Ghazali juga tercermin dalam pandangannya tentang manusia (human being). Mayoritas pembagian ontologi terbagi menjadu dua kategori yaitu fisik dan metafisik. Sementara Al-Ghazali membaginya menjadi tiga level dengan memisahkan metafisik ke dalam bagian khusus/ tersendiri.
Menurut Al-Ghazali, manusia bersifat kompleks. Manusia bukan hanya jasad (body) seperti yang dianggap kaum materialistik, dan juga bukan hanya jiwa (mind/soul) saja seperti yang dianggap kaum idealis, tetapi manusia terdiri dari jasad, akal dan jiwa (body, mind & soul).
Pandangan Al-Ghazali tentang jiwa tidak dualistik, melainkan monistik. Jiwa, bagi Al-Ghazali, bukanlah substansi yang terpisah dari tubuh, melainkan aspek tubuh. Jiiwa bukan hanya entitas fisik, ia juga merupakan entitas spiritual, dan melalui jiwa manusia dapat terhubung dengan Tuhan.
Dalam menetapkan adanya jiwa, Imam Al-Ghazali membagi fungsi jiwa dalam tiga bagian yaitu jiwa tumbuhan (nabatah), hewan (hayawanat) dan manusia (insan). Masing-masing jiwa memiliki daya yang tidak sama.
Jiwa tumbuhan (nabatah) memiliki jiwa makan, tumbuh dan berkembang. Jiwa hewan (hayawanat) memiliki jiwa bergerak, tangkas dan khayal. Jiwa manusia (insan) memiliki jiwa daya akal, praktis dan teoritis. Daya praktis erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat jasmani (amal), daya teoritis berkaitan dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Daya praktis menimbulkan akhlak, daya teoritis membuahkan ilmu.
Dalam menjelaskan tentang struktur insan, Imam Al-Ghazali membahasnya dalam hubungan yang kuat antar unsur-unsur dalam diri manusia tersebut, khususnya antara jiwa (nafs) dengan tubuh (jism) dengan tujuan agar terlihat bahwa hakikat (jauhar) seorang manusia adalah jiwanya (nafs). Sementara jiwa (nafs) sendiri bukan bagian dari alam ciptaan (khalq), sehingga eksistensinya tak bisa disentuh sebatas menggunakan indera lahiriah.
Sesuatu itu disebut jauhar bila ia merupakan substansi dari bentuk-bentuk material. Tapi meski begitu, jauhar bukanlah bagian dari alam material, artinya jauhar itu tidak terdiri dari unsur-unsur materi. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali memandang segala bentuk-bentuk material itu sendiri pada prinsipnya ada demi menunjukkan eksistensi dari jauhar tersebut. Sebagaimana terjadi pada diri manusia di mana jasad menunjukkan keberadaan sang jiwa (an-nafs).
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwalah yang menggerakkan tubuh melalui energi yang tidak tampak dan sangat selaras. Artinya jiwa merupakan entitas hakiki yang berada dibalik seluruh organ tubuh, panca indera dan aktivitas otak sehingga jasmani itu ibarat pakaian yang bergerak karena kehendak sang jiwa.
Ketika jiwa menggunakan mata, maka tampaklah jiwa sebagai penglihatan. Ketika jiwa menggunakan telinga, maka ia dikenal sebagai pendengaran. Ketika jiwa menggunakan hidung, maka ia pun muncul sebagai penciuman, dan demikian seterusnya. Meskipun demikian, pada dasarnya jiwa adalah suatu jauhar yang tunggal, di mana ia tidak terbagi-bagi sebagai mana tubuh terbagi-bagi dalam anggota tubuh dan panca indera. Karena bila ia terbagi-bagi seperti itu, berarti ia mengikuti hukum-hukum material, sementara ia bukan materi.
Maka Imam Al-Ghazali menekankan pembahasan strutur insan dalam relasi jauhar, aradh dan jism. Jiwa sebagai jauhar dan jasad sebagai jism. Jiwa yang memiliki kehendak dan pengetahuan, sedangkan jasad bisa menjadi alat bagi jiwa untuk mewujudkan suatu kehendak di alam khalq (alam ciptaan) sehingga muncullah istilah karya dan cipta.
Tanpa jiwa, jasad hanyalah sebentuk materi yang tak bisa berbuat apa-apa dan tak mengetahui apa-apa. Tapi ketika jiwa dilekatkan pada jasad, maka bermunculanlah kekuatan-kekuatan diri seperti penglihatan, pendengaran, gerakan dan pikiran sejalan dengan proses pertumbuhan manusia. Kekuatan-kekuatan yang muncul kemudian inilah yang disebut dengan aradh, yang sering didefinisikan sebagai sifat dan aksiden yang mewujud seiring dengan bertemunya jauhar dan jism.
Multipleks Ontologi Al-Ghazali tentang Intelek
Menurut Recep Şentürk, pandangan ontologi Al-Ghazali juga terdapat dalam pandangannya tentang intelek. Intelek menurut Al-Ghazali bukan hanya satu, melainkan kumpulan dari fakultas yang berbeda-beda. Fakultas ini meliputi kemampuan unttuk,,, kemampuan rasional, dan kemampuan membuat judgment. Pandangan Al-Ghazali tentang sumber ilmu pengetahuan pun bukan tunggal. Menurut Al-Ghazali, ada empat sumber pengetahuan yaitu wahyu, akal, pengalaman dan intuisi
Al-Ghazali ingin menyeimbangkan akal dan sains dengan iman kepada Allah, dia juga berpendapat bahwa akal saja tidak cukup karena kebenaran terdalam hanya bisa diperoleh dengan iman kepada Allah. Al-Ghazali menjelaskan pengembaraannya terhadap sumber ilmu pengetahuan dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dhalal.
“Kemudian aku menyelidiki kemampuanku, aku menemukan diriku kosong dari pengetahuan yang disifati dengan sifat ‘ilmun yaqiniyyin’, kecuali pada pengetahuan panca inderaku dan pengetahuan-pengetahuan yang dharuri (primer).
Aku berkata, “Sekarang, setelah terjadinya keputusasaan, tidak ada keinginan untuk memperoleh perkara-perkara yang sulit kecuali dari perkara-perkara yang jelas dan itu didapatkan melalui panca indera dan pengetahuan-pengetahuan yang dharuri (primer).
Aku pun menghadapkan diriku pada perkara ini dengan sungguh-sungguh, aku mengamati pengetahuan yang aku hasilkan dari panca inderaku dan dari perkara-perkara primer yang sudah aku ketahui sebelumnya. Aku berpikir, mungkinkah aku meragukan diriku tentang pengetahuan-pengetahuan tersebut? Hingga sampai akhirnya diriku tidak mau memasrahkan keamaman dari kesalahan pada pengetahuan inderawi.
Bagaimana seseorang bisa mempercayai bukti inderanya? Penglihatan adalah indera kita yang paling kuat, dan kita bisa menatap bayangan dan menilai bahwa itu tetap dan bergerak sama sekali … Pada akhir jam menonton, kami menemukan bahwa bayangan telah bergerak, tidak sekaligus, tetapi secara bertahap … dan tidak pernah dalam keadaan istirahat. Mata melihat bintang dan melihatnya direduksi menjadi seukuran koin, sedangkan perhitungan geometris menunjukkannya lebih besar dari bumi. Ini dan kasus-kasus serupa mencontohkan bagaimana bukti indera seseorang menuntun seseorang pada penilaian yang alasannya terbukti benar-benar keliru …
Implikasi Multipleks Ontologi bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
….
….
Diagram Multipleks Ontologi Al-Ghazali
..
Referensi:
Imam al-Ghazali. 2004. Ihya Ulumuddin, tahqiq Sayyid Imran, Kairo, Darul Hadits.
Jumal Ahmad, “Konsep Ilmu dalam Perspektif Imam Al-Ghazali (Ringkasan Kitab Al-Ilm dari Ihya’ Ulumuddin)“, ahmadbinhanbal.com (blog), Januari, 03 2022, (https://ahmadbinhanbal.com/konsep-ilmu-dalam-perspektif-imam-al-ghazali/, diakses 08 November 2023)
Recep Şentürk, “Al-Ghazali’s multiplex epistemology and implications for contemporary education” YouTube video, 1:33:01. 02 Maret 2021 https://youtu.be/8Ah7eAA-ME4?list=PLi9TruUYz7x9jS2Y9CE9s9sADqdFiN0sT
12th Annual Muslim Mental Health Conference by Michigan State University (MSU) & Khalil Center, Ghazali’s Multiplex Ontology of Human Psychology – Prof. Dr. Recep Şentürk, YouTube video, 50:09. 27 Juli 2020 https://youtu.be/0KVoquAL4f0
Artikel Terkait
Iqtishar, Iqtishad dan Istiqsha’ menurut Imam Al-Ghazali, https://ahmadbinhanbal.com/iqtishar-iqtishad-dan-istiqsha/, terbit 14 September 2023
Pendidikan Sains Politik dalam Karya-Karya Al-Ghazali, https://ahmadbinhanbal.com/pendidikan-sains-politik-dalam-karya-al-ghazali/, terbit 27 Mei 2023
Konsep Ilmu dalam Perspektif Imam Al-Ghazali (Ringkasan Kitab Al-Ilm dari Ihya’ Ulumuddin), https://ahmadbinhanbal.com/konsep-ilmu-dalam-perspektif-imam-al-ghazali/, terbit 3 Januari 2022
How to cite this Article:
Jumal Ahmad “Multipleks Ontologi Imam Al-Ghazali”, ahmadbinhanbal.com (blog), September 19, 2023 (+ URL dan tanggal akses)