Adab Thalibul Hadits min “al-Jami’” Lil Khatib, buku ini mengambil inti sari serta pilihan-pilihan yang diambl dari kitab al-Jami; li Akhaqir Rawi yang dikarang oleh Khatib al-Baghdadi, pengarang buku ini adaah Syaikh Bakar bin Abdulah Abu Zaid, salah satu ulama yang memiliki perhatian yang intens terhdap hadits dan ilmu hadits. Dan beberapa terjemahan dari buku ini saya hadirkan kepada pembaca, khususnya bagi para penuntut ilmu di pesantren agar nasihat dan tips belajar dalam buku ini bisa bermanfaat.
Pilihan dari Muqaddimah al-Jami
Bagi seorang Ahli Hadits dibutuhkan himah untuk meneliti hadits-hadits rasul, sungguh-sungguh utuk mencainya dan mendengarnya dan semangat untuk mengumpulkannya. Akan tetapi pada zaman sekarang banyak kita lihat orang yang mengaku mutakhasis daam hadits tapi mereka sangat jauh dari akhlak seorang pencari hadits, diantara mereka ada yang hanya karena menelaah beberapa haits lantas mengaku bahwa ia adalah ahli hadits secara mutlak, dan mereka denga ilmu dan kitab mereka yang sedikit mereka berlaku sombong, ingin ditaajubi, tidak menghormati terhadap guru, mencela para rawi dan menghina orang yang menunut ilmu, menyelisih konsekuensi dari ilmu yang iadengar dan harus ia amalkan.
Seharusnya orang yang mencari hadits adalah orang yang memiliki adab yang semprna, sangat tawdhu’, berskap ramah dan tidak mudah marah, selal mengikiti conto Rasullla dan sahabat dengan berakhlaq yang baik, dalam risalah ini kami sebutkan akhlaq-akhlaq yang mesti dimiliki oleh seorng yang mendalami hadits, meliputi akhlaq dalam keseharian, sima’, tulisan, cara belajar sesuai dengan cara yang teah dipraktekkan oleh para Hufadz dan para imam dari slaf kita.
Niat dalam mencari hadits
Seorang yang belajar hadits harus mengikhlaskan niatnya dan bertujuan untuk mencai ridha Allah, dan tidak menjadikan ilmu ini sebagai cara untuk mendapatkan kedudukan dan pangkat,mendapatkan kemuliaan, mendapatkan, hal ini telah diperingatkan oleh para ulama
Hendaknya niatnya menghagal adalah untuk ri’ayah bukan riwayah karena rawi yang meriwaytakan hadits sudah banyak.
Akhlaq seorang rawi dan sami’
Secara global tersimpul dalam hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”
Wajib bagi rawi dan sami utuk menghormati keluarga dan penghasilan yang halal
Jika di dalam sebuah keluarga ia menjadi ujungnya untuk mencari nafkah maka dimakruhkan baginya untuk bersibuk dengan hadits, hal ini senada dengan hadits
كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت –رواه مسلم-
Apa yang harus dihafal pertama
Pelajar hadits hendaknya mendahuluka menghafal al-Quran kemudian baru hadits dn ilmu yang lainnya. Belajar al-Quran dan hadits hukumnya wajib karena ia termasuk pokok dalam syari’at dan qaidahnya, Allah berfirman: “Dan apa-apa yang datang dari rasul maka laksanakan dan apa-apa yang ia larang maka tinggalkanlah.” Firman-Nya: “Barangsiapa yang mentaati rasul maka ia telah mentati Allah.”
Imam Bukhari pernah berkata: “Orang islam yang paling utama adalah orang yang menghidupkan satu dari sunnah-sunnah Nabi SAW yang telah mati, bersabarlah Wahai Ashabus Sunan, semoga Alah merahmati kalian, sesungguhnya kalian adalah sedikit.”
Ashabus Sunan yang dimaksud adalah Ashabul hadits, yang mengetahui thariqahnya dan mampu membedakan yang shahhi dari yang saqim, perkataan Bukhari ini benar, betapa banyak kita dapatkan dalam suatu negara Ahli Fiqih yang manjadi tempat bertanya, tetapi sedkit sekali Ahli hadits yang dikenal dan sungguh-sungguh.
Tentang Sanad ‘Ali
Jika Allah telah memberikan azam pada seseorng untuk mendengar hadits dan timbul niat untuk sibuk dengannya, hedaklah ia berdoa kepada Allah agar ia difaqihkan dan dibantu kemudian ia bersegera untuk mendengar dan bersemangat tanpa menunda dan mengakiri kemudian mencari sanad syaikh kota tersebut dan terus bersamanya.
Hendaknya sanad yang dicari adalah sanad yang ‘Ali, banyak dari Ahli Ilmu dulu dan sekarang yang pergi ke tempat yang jauh untuk mencari snad yang ‘ali, muntaqi (Bakar Abu Zaid) mengatakan bahwa yang dimaksud Khatib adalah ketika masa riwayat yaitu berupa snad dan ijazah, adapu pada zaman sekarang buku sudah banyak yang dibukukan, maka seuogyanya pelajar hadits belajar kepada orang yang mumpuni tentang riwayah dan dirayah pada masanya.
Memilih Syaikh jika sifat mereka jelas
Derajat rawi itu berbeda-beda, dulukalah orang yang tinggi sanadnya, lalu jika syaihnya banyak dan ia ingin meringkas, maka pilihlah dianara mereka yang palig terkenal dalam mutqin dan pengetahuan. Jika sama, maka ilihlah yang paling mulia nasabnya. Hal ini dilakukan setelah jelas bahwa syaih tersebut istiqamah, adil dan bukan ahli bid’ah, jika tidak, ia wajib berpaling dan tidak mendngarnya.
Beberapa orang yang tidak didengar haditsnya
Orang yang fasiq
Ahli Ilmu teah bersepakat bahwa tidak boleh mendengar hadits dari orang yang telah jelas kefasikannya, kefasikan ini bisa diketahui jika ia menghilangkan matan hadits dari Nabi, mengaku mendengar dari orang yang belum Ia dengar haditsnya.
Ahlu Ahwa’ dan Bid’ah
At-Tsauri berkata: “Barang siapa mendengar hadits dari Ahli Bid’ah, Allah tidak akan memberikan manfaat atas apa yang ia dengar.”. hal ini terjadi sekaipun orang tersebut dikenal bagus hafalannya.
Orang yang tidak mengetahui hukum hadits sekalipun ia ahli ibadah
Raja’ bin Haiwah berkata: ((حدثنا, ولاتحدثنا عن متماوت ولا طعان))
Orang yang Dhaif
Jika seorang rawi itu benar dalam mendengar hanya saja ia mutasahil, lalai maka ia boleh didengar atau paling tidak hukumnya makruh.
Adab pelajar Hadits
Pelajar hadits hendaknya ketika bergaul dengan suatu kaum ia begaul dengan cara yang telah dicontohkan Nabi SAW, dan membiasakan sunnah untuk dirnya, Allah berfirman: “Sungguh dala diri Rasululah itu ada contoh yang baik.”
Hendaknya ia menjauhi bermain dan bercanda dalam majlis, tertawa terbahak-bahak, boleh bercanda yang sedang saja tidak keluar dari adab menunutu ilmu.karena perbuatan keji dan menyesakkan jiwa itu berdosa dan banyak tertawa akan menghilangkan muruah.
Adab izin pada muhadits dan masuk majlisnya
Abu Bakar mengatakan: “jika ada pelajar hadits yang tertidur, ia tidak boleh izin, tetapi ia duduk, menuggu sampai ia bangun atau disuruh berpindah.”
Cara berdiri di pintu Muhadits ketika izin
- Jika pintunya terbuka, ia berdiri dekat pintu lalu izin
- Jika tertutup ia berdri lalu izin
- Makruh ketika ia ditanya siapa? Ia menjawab bukan dengan menyebutkan namanya
- Tidak boleh masuk tanpa izin
- Jika muhadits telah mengizinkan dan yang masuk banyak orang, maka dahulukan yang tertua dahulu
- Jika masuk dan ddalamnya banyak orang ia wajib mengucapkan salam secara umum dan tidak dikhususkan hanya untuk muhaditsnya saja
- Wajib melepas sandal yang kiri sebelum yang kanan
- Makruh menempati tempat yang sudah ditempati orang lain
- Makruh duduk di tengah majlis
- Makruh duduk di anatar dua orang tanpa izin terlebih dahulu
- Makruh duduk di suatu tempat yang orang lain ingin kembali duduk di situ
- Memuliakan muhadits
- Jika berbicara dengan muhadits hendaknya memanggil dengan panggilan yang baik, semisal Wahai ‘Alim atau wahai Hafidz!
Adab mendengar hadits
- Diam ketika mendengar
- Jika ia ingin menyampaikan sesuatu dalam majlis ia sampaikan dengan pelan-pelan agar tidak menganggu sima’
- Jika muhadits tidak mendemgar karena jauh maka tunjuk tangan
- Bertanya apa yang sudah difahami dan bertanya lagi apa yang sudah ia dengar
- Ia memposisikan seperti seorang murid dengan gurunya
- Wajib menghadap wajah muhdits dan tidak menoleh
- Tidak menampaikan hadits sesuai dengan ra’yinya
Adab bertanya kepada Muhadits
Bebraapa adab tersebut
- Ketika Muhadit menyampaikan hadits ia jangan bertanya
- Tidak berntamya jika hatinay sibuk
- Tidak berntanya dengan berdiri atau berjalan
Cara bertanya
Abu Bakar berkata: “waib bagi orang yang ingin bertanya kepada Muhaditsutuk menyebtkan pojok hadits yang ingin ia tanyakan karena hadits itu banyak, bagus agi kalau ia tulis.”
Membenci imla’ Syaikh
Ada sebagian ulama salaf yang sangat bersemmangat dalam hadits dan selalu menganjurkan manusia dengan hadits, lalu ia membenci untuk meriwayatkan hadits karena melhat sedikitnya perhaina murid dan mereka jauh dari adab yang baik.
Apa yang hendaknya ditannya seorang rawi dan hadits Syaikhnya
Ada muhadits yang sangat memperhatikan riwayat nazil dan dari syaih yang dhaif, maka hendaknya seorang pelajar bertanya pada syaikhnya tentang ketsabatan hadits-hadits yang ia dengar, jika ha itu sulit maka coba bertanya pada orang yang hadir dari par hafiz dan ahli ilmu, atau ia coba bertanya pada para hufaz sebelum datang ke majlis.
Abu Bakar berkata: “ada segolongan salaf yang benci untuk menulis ilmu dalam buku, dan memerintahkan untuk menghafalnya dari para ulama. Ibrahim memberi rukhsah untuk menulis atraf hadits untuk bertanya mengenai hadits, dan tidak memberi rukhsah untuk menulis selainnya.”
Ada riwayat dari Nabi, Sahabat dan Tabi’in bahwa menulis ilmu hukumnya mubah. Orang terdahulu ada yang menulis hadits dalam lauh bukan pada kertas karena mereka ingin menghafalnya, dan jika ia ingin agar apa yang ia dengar itu bisa tersimpan lama, hendaknya ia menulis dalam lembaran dan jika ia tulis dalam buku tulis akan lebih baik lagi.
Cara menghafal hadits
Jika seorang pelajar sulit dalam menghafal, ia datang pada orang yang dikenal cepat dalam menghafal, sehingga ia menyampaikan hadits dari rawi, terus mengulang pada mereka hingga hafalannya bagus.
Jika ada sebagian pelajar yang menulis dan yang lainnya saling memuzakarah sehingga mereka semua hafal, tidak apa-apa.
Disunahkan bagi pelajar yang yang menghafal dari syaikh untuk menunjukkannya agar ia membenarkannya, memnbenarkan yang salah.
Jika tidak ada pelajar yang mengajaknya memuzakarah, ia muzakarah sendiri dan mengulang pelajaran sebelumnya.
Jika rawi memberikan hadits yang panjang yang susah dihafal, ia meminta pada syaikhnya agar meminjamkan kitabnya lalu ia nukil dan menghafal pada waktu yang lain, hal ini tidak apa-apa.
Targhib dalam meminjam kitab dan celaan orang yang bakhil dan enggan
Abu Bakar berkata: “jika seseorang memiliki kitab dari seorang syaikh yang masih hidup, ia minta untuk mendengarnya, dan disunnahkan untuk tidak melarang meminjamnya, karena hal itu termasuk dalam kebaikan dan berpahala, jika syaikhnya telah mati, ia minta naskahnya, disunnahkan untuk meminjamannya dan makruh untuk melarangnya.”
Menulis hadits dalam kitab serta adab-adabnya
- Memulai dengan basmalah
- Menulis dibagian yang paling atas nama syaikhnya
- Memperhatikan nama, nasab rawi dalam tulisan
- Jika menulis nama Nabi disertakan shalawat
- Memberikan tanda pemisah di antara dua hadits
- Jika ia menulis hadits dari Syaikh, ia tunjukkan pada syaikhnya
- Menulis dua kali
Adab membaca pada muhadits
- Membaca sendiri ebih utama, jika tidak minta pada yag lain
- Ketika menghadiri sima’ hendaknya ia punya naskahnya
- Hendaknya yang membaca adalah orang yang paling fasih
- Yang membaca adalah orang yang sibuk dalam hadits
*Demikian ringkasan kami, semoga yanh sedikit ini bermanfaat.