Imam Al-Buwaithi adalah sahabat sekaligus murid dari Imam Syafi’i. Pengganti Imam Syafi’i setelah wafat. Mari kenali akhlak, keilmuan dan fitnah yang menimpa semasa hidupnya.
Riwayat Hidup Al-Buwaithi
Nama
Nama lengkapnya Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi Al-Qurosyi Al-Mishri, lahir pada tahun 231 H. Al-Buwaithi adalah sebuah daerah di Mesir yang bernama Buwaith. Ada juga yang mengatakan beliau tidak lahir di Buwaith, ia pernah belajar Kitab Al-Buwaithi sehingga dinasabkan ke beliau dan beliau lahir di kota Asyuth. Gelarnya Abu Ya’qub, al-Imam al-Jalil, dan Sayyid al-Fuqaha’.
Dari Maliki ke Syafi’i
Ketika kecil al-Buwaithi sangat cinta ilmu dan memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ia mulai belajar menghafal al-Quran, kemudian belajar fikih, tafsir, bahasa Arab dan ilmu yang lain.
Pada masa awal kehidupannya ia mengikuti mazhab Imam Malik. Ia dan kedua orangtuanya pindah ke Fustat (ibu kota sebelum Kairo saat ini) di umur yang masih kecil. Ia kemudian mengikuti majelis Abdullah bin Wahab, syaikh mazhab Maliki di Mesir. Ia banyak mendapatkan ilmu dan terus belajar dari gurunya tersebut sampai ketika Imam al-Syafi’i datang ke Mesir.
Ia mulai mengikuti majelis Imam al-Syafi’i, beberapa kali al-Syafi’i menerangkan beberapa hal yang ia tidak sepakat dengan Imam Malik. Al-Buwaithi menjadi bimbang dan terus memohon kepada Allah agar Ia memberikan petunjuk. Al-Buwaithi menceritakan kisah ini sebagai berikut.
ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻣﺼﺮ، ﻓﺄﻛﺜﺮ ﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻚ، ﻓﺎﺗﻬﻤﺘﻪ ﻭﺑﻘﻴﺖ ﻣﺘﺤﻴﺮﺍ، ﻓﻜﻨﺖ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺭﺟﺎﺀ ﺃﻥ ﻳﺮﻳﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻊ ﺃﻳﻬﻤﺎ، ﻓﺮﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻣﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻊ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻓﺬﻫﺐ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﺃﺟﺪﻩ
Artinya:
“Imam Syafi’i datang ke Mesir dan ia banyak menyanggah Imam Malik, aku pun galau, sehingga banyak berdoa dalam salat, berharap agar Allah menampakkan kepadaku mana yang lebih benar dari keduanya, kemudian aku bermimpi bahwa kebenaran bersama Syafi’i, maka hilanglah apa yang telah meragukanku”.
Selanjutnya, Al-Buwaithi selalu membersamai Imam Syafi’i hingga ia mampu mendulang pundi-pundi ilmu yang begitu banyak dari sang Imam.
Al-Buwaithi menjadi salah satu murid Imam Syafi’i di Mesir yang paling menonjol di antara murid-murid lainnya, meskipun dia sudah berumur ketika berpindah ke mazhab Syafi’i.
Bahkan Imam Nawawi mengatakan;
إن أبا يعقوب البويطي أجل من المزني و الربيع المرادي
Artinya:
“Sesungguhnya Abu Ya’qub Al-Buwaithi lebih utama daripada Al-Muzani dan Rabi’ Al-Muradi.”
Ketika Imam Syafii masih hidup, tak jarang ada orang yang bertanya kepadanya tentang suatu masalah, lalu beliau mengatakan, “Tanyakan ke Abu Ya’qub saja.”
Suatu hari, datanglah seseorang kepada Imam Syafi’i untuk meminta fatwa atas garis pembatas tanah namun Imam Syafi’i tidak menjawab tetapi beliau membawa permasalahan tersebut kepada Imam Al-Buwaithi seraya berkata, “Orang ini (Imam Al-Buwaithi) adalah lisanku ”.
Perjumpaan Imam Syafi’i Dan Al-Buwaithi sudah ada dalam film oleh AlHayah Series TV dalam serial Al-Imam, klik tautan ini.
Akhlak
Al-Buwaithi adalah seorang yang alim lagi sholeh. Ia suka berpuasa, salat, dan membaca Al-Quran.
Al-Saji berkata dalam kitabnya: Abu Ya’qub biasa mendengar muazin, ketika dia berada di penjara pada hari Jumat, dia akan mandi, mengenakan pakaiannya dan berjalan menuju masjid, hingga sampai ke pintu penjara, seorang sipi penjara mengatakan: Kemana kamu ingin pergi? Al-Buwaithi menjawab: Menjawab panggilan Allah. Sang sipir mengatakan: Kembalilah ke tahananmu. Abu Ya’qub berkata: “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku telah memenuhi panggilan-Mu dan mereka menghalangiku”.
Ibnu Abi Al-Jarud mengatakan, “Al-Buwaithi dulu pernah menjadi tetanggaku, dan ketika aku terbangun di malam hari, aku selalu mendengar dia membaca Al-Quran saat shalat malam.
Imam Al-Buwaithi memiliki kebiasaan membangun fasilitas umum untuk masyarakat, dan tidak jarang beliau mendapatkan kepercayaan dari Imam Syafi’i untuk berfatwa.
Pengganti Imam Syafi’i
Menjelang detik-detik kepergian imam Syafi’i, Al-Humaidi sebagai murid senior mendekat ke ranjang imam Syafi’i, dia memohon agar sang guru menunjuk pewaris majlisnya sebab dia khawatir akan adanya perselisisihan kelak sepeninggalan beliau.
Imam Syafii memberikan wasiat kepada para murid yang lain, sembari mengatakan;
ليس أحد أحق بمجلسي من أبي يعقوب و ليس أحد من أصحابي أعلم منه
“Tidak ada orang yang lebih berhak untuk menduduki majelisku selain Abu Ya’qub. Dan tidak ada dari muridku yang lebih berilmu melebihinya.”
Imam Syafi’i berwasiat pada para muridnya untuk terus berada di majlis imam Al-Buwaithi. Maka, setelah Imam Syafii wafat, beliau pun menggantikan Imam Syafii dan mengajar di majelis yang ia tinggalkan. Ia meriwayatkan ilmu Imam Syafii, dalam kitab Mukhtashar Al-Buwaithi.
Tidak sedikit para murid Al-Buwaithi yang menjadi imam dan menyebar keseluruh penjuru dunia.
Guru Al-Buwaithi
- Imam al-Syafi’i. Terus bermulazamah dengannya selama al-Syafi’i di Mesir.
- Imam Abdullah bin Wahab
- Bisr bin Bakar Al-Tanisi
Murid Al-Buwaithi
Selepas wafatnya imam al-Syafi’i, al-Buwaithi menjadi pengampu majelis imam al-Syafi’i. Banyak manusia belajar kepadanya dan menyebarkan fikih dan mazhab Syafi’i ke seluruh penjuru. Beberapa murid tersebut adalah.
- Abu Bakar al-Atsram
- Abu Hatim Muhammad bin Idris al-Razi
- Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi
- Ibrahim bin Ishaq al-Harbi
- Ahmad bin Manshur al-Ramadi
- Shalih bin Muhammad al-Razi
- Abu Sahl Mahmud bin al-Nadhr bin Washil al-Bukhari, orang pertama yang membawa buku-buku al-Syafi’i ke Bukhara.
Fitnah Al-Qur’an Makhluk
Tepat pada tahun 218 H terjadi fitnah besar sebagai akibat doktrin Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah Makhluk. Para ulama dan hakim di masa itu harus mengakui doktrin tersebut. Siapa yang menolak akan dicopot dari jabatannya dan wajib menerima hukuman. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah memilih teguh atas pendirian mereka, sehingga tak sedikit yang mati tersiksa dalam penjara. Salah satunya adalah Al-Buwaithi.
Kisah itu bermula saat orang-orang yang sebelumnya telah menaruh kebencian kepadanya mengirimkan surat kepada Ibnu Abi Du’ad al Mu’tazily, mentri Al Watsiq Billah yang isinya berupa pengaduan bahwa Al-Buwaithi tidak mau mengakui kalau Al-Quran adalah Makhluk Allah. Al Watsiq kemudian mengirimkan surat perintah kepada gubernur Mesir agar memaksanya mengucapkan kata-kata kufur tersebut.
Tetapi dengan tegas Al-Buwaithi menolak. Sang gubernur yang khawatir akan keselamatan Al-Buwaithi menawarkan opsi, “Katakan antara aku dan engkau saja, perlihatkan dihadapanku sesuatu yang mengesankan bahwa Al-Quran adalah makhluk Allah, adapun di depan khalayak engkau bebas mengatakan apa saja semaumu.
Namun sekali lagi Al-Buwaithi menolak, dengan tegas ia mengatakan:
“Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku. Tidak demi Allah.. Adzab dunia jauh lebih ringan ketimbang adzab diakhirat. Dan ridho Allah merupakan sesuatu yang harus dicari. Tidak demi Allah… Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam.. Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah..)… Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah…).”
Akhirnya Al-Buwaithi dipaksa pergi meninggalkan Mesir menuju Baghdad. Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi mengatakan,
“Al-Buwaithi terus menerus menggerakkan kedua bibirnya untuk mengingat Allah. Aku tidak pernah melihat orang yang kuat dalam berhujjah dengan kitabullah seperti Al-Buwaithi. Aku melihatnya di atas keledai digantungi besi seberat 40 ritel. Lehernya dikalungi rantai besi, kakinya diikat. Antara kalung besi di leher dan rantai besi di kaki dihubungkan dengan rantai besi yang berat.
Dalam kondisi itu dia berkata, “Allah telah mencipkan makhluknya dengan kata “Kun”. Apabila (firman Allah ”kun”) itu adalah makhluk, itu berarti mahkluk diciptakan dengan makhluk”. Bila aku masuk menemuinya (Al-Watsiq) aku pasti akan mengatakan kebenaran padanya. Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi.”
Al-Buwaithi mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, maka dia telah kafir.”
Akhirnya al Buwaithi tertangkap oleh Khalifah yang pro faham Mu’tazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai pada tubuhnya ke Bagdad.
Imam Al-Buwaithi dikurung dalam penjara bawah tanah selama 4 tahun. Beliau paling tersiksa ketika tidak boleh beribadah dan sulit menentukan waktu sholat, hingga beliau menjadikan waktu-waktu siksa cambukan sebagai patokan waktu shalat karena sudah berbulan-bulan tidak pernah melihat matahari.
Meski demikian, beliau masih melakukan kebiasaannya seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir dan salat malam secara sembunyi-sembunyi, tidak ada waktu kosong yang sia-sia.
Setelah lama meringkup dalam gelapnya buih bawah, disiksa di penjara akibat tidak mau merubah pendapatnya, Imam Al-Buwaithi masih sempat menulis surat bertintakan darahnya di atas kain kumal yang beliau kirim pada seorang Imam di Mesir bernama Abu Bakar Al-Asham, yang di kemudian hari Imam tersebut membacakannya di depan majlis
“Aku terhalang untuk bersuci dan beribadah, berdoalah agar Allah memberi karunia jalan terbaik bagi hamba lemah sepertiku.”
Tidak ada manusia yang tidak mengetahui surat beliau.
Tidak lama berselang, Imam Al-Buwaithi dipanggil oleh Sang Khalik pada bulan Rojab tahun 231 H. Kepergian pahlawan kebenaran itu membuat para tokoh agama dari penjuru dunia terlebih ulama Mesir merasakan oase ilmu pengetahuan yang tak pernah kering ini hilang tertimbun.
Dan benarlah firasat Imam Syafi’i tentang murid-muridnya yang beliau ungkapkan ketika masih hidup. Suatu hari Imam Syafi’i berkata kepada muridnya Al-Muzanni dan Al-Buwaithi, Beliau melihat kepada Al-Muzanni dan berkata, ‘Engkau akan mati karena berdebat’ dan kepada Al-Buwaithi ‘Engkau akan mati dalam penjara’.
Dan benar, Imam Al-Buwaithi menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara menjadi kenyataan. Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’itiqad beliau, yaitu i’tiqad kaum ahlussunnah wal Jama’ah yang mempercayai bahwa Quran itu adalah kalam Allah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah”, (makhluk).
Sumber otentik menyepakati bahwa al-Buwaithi wafat di kota Baghdad, di dalam penjara dalam keadaan terikat rantai besi dalam peristiwa Mihnah. Tahun wafatnya 231 H, ada yang menyebut 232 H tetapi pendapat pertama lebih pasti menurut oleh Khatib al-Baghdadi.
Al-Sam’ani menyampaikan riwayat tentang kematian al-Buwaithi bahwa al-Buwaithi dibawa ke Baghdad dalam keadaan terikat rantai besi karena fitnah al-Quran makhluk, wafat di penjara dalam keadaan terikat rantai besi dan juga dikubur dengan rantai besi.
Kitab Mukhtashar Al-Buwaithi
Asal Nama Kitab
Al-Buwaithi tidak menyebutkan kitab ini dengan nama tertentu. Tetapi cukup terkenal di kalangan ulama dengan nama ‘Mukhtashar al-Buwaithi’. Bukan kitab yang berjilid-jilid tetapi ringkasan sehingga disebut Mukhtashar.
Aiman bin Nashir menuliskan beberapa nama lain untuk kitab ini.
- Mukhtashar al-Buwaithi, nama yang paling dikenal.
- Mukhtashar al-Buwaithi wa al-Rabi’. Al-Buwaithi saat menulis bukunya, ia perlihatkan dan bacakan kepada al-Syafi’i yang dihadiri juga Rabi’ bin Sulaiman. Maka Rabi’ meriwayatkannya secara langsung dari al-Syafi’i karena ketika dibacakan, ia mendengar. Sehingga kitab ini adalah riwayat al-Buwaithi dari al-Syafi’i dan riwayat Rabi’ dari al-Syafi’i. Nama ini banyak disebut al-Baihaqi.
- Mukhtashar al-Buwaithi, al-Rabi’ wa Musa bin Abi al-Jarud. Abu al-Walid Musa bin Abi al-Jarud adalah salah satu murid imam al-Syafi’i. Ia juga meriwayatkan dari al-Syafi’i dan namanya sering bergandengan dengan nama al-Buwaithi dan al-Rabi. Contohnya al-Baihaqi kadang menulis “في مختصر البويطي، والربيع, ورواية أبي موسى بن أبي الجارود عن الشافعي …..”. Al-Baihaqi kadang menulis dengan Mukhtashar al-Buwaithi wa Shahibihi.
- Kadang disebut secara mutlak dengan Kitab al-Buwaithi.
Bagaimana kitab ini disebut Mukhtashar al-Buwaithi sementara perawinya adalah Rabi’ al-Muradi? Ini kitab Mukhtashar al-Buwaithi atau Mukhtashar al-Rabi!?
Pertanyaan besar dari para pemerhati kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Terlebih lagi, sepanjang kitab, yang banyak tersebut adalah riwayat dari al-Rabi, sedikit sekali riwayat yang bersandar kepada al-Buwaithi.
Guna menjawab masalah ini, kami ringkaskan penjelasan dari Aiman bin Nashir dalam tahqiq-nya atas kitab Mukhtashar al-Buwaithi.
Imam al-Buwaithi ketika mengumpulkan kitab ini dari apa yang dia dengar dan ia ketahui dari perkataan dan ilmu al-Syafi’i, ia bacakan ke hadapan gurunya tersebut, untuk mendapatkan penetapan dan koreksi. Ketika pembacaan itu, hadir pula Rabi’ al-Muradi.
Ketika al-Buwaithi membacakan catatannya dan mendapatkan persetujuan al-Syafi’i beserta koreksi dan tashihnya, itu terjadi dengan penglihatan dan pendengaran Rabi’, sehingga boleh saja Rabi meriwayatkan kitab ini dari Imam al-Syafi’i, karena al-Syafi’i adalah penulis sebenarnya, kitab ini berisi ilmu dan perkataan al-Syafi’i. Al-Buwaithi adalah orang yang menulis atau mengumpulkan, dan menggunakan tahammul hadis dengan jalan Al-Qiraa’ah ‘Alaa Asy-Syaikh. Maka boleh saja Rabi’ dan Ibnu Abi al-Jarud meriwayatkannya dari imam al-Syafi’i secara langsung.
Ringkasnya, kitab Mukhtashar al-Buwaithi dinisbahkan kepada imam al-Syafi’i sebagai orang yang dikumpulkan ilmu dan perkataannya, dinisbahkan kepada al-Buwaithi sebagai orang yang mengumpulkan dan mencatatnya, dinisbahkan kepada Rabi’ dan Ibnu Abi al-Jarud sebagai perawi kitab.
Hebatnya Rabi bin Sulaiman al-Muradi, ia adalah perawi kitab-kitab imam al-Syafi’i demikian juga Mukhtashar al-Buwaithi, paling banyak daripada murid al-Syafi’i yang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, Aiman bin Nashir menyebutkan nama Mukhtashar al-Buwaithi dari salah satu manuskrip yang ia teliti.
“Mukhtashar Al-Buwaithi, wa Rawahu al-Rabi bin Sulaiman ‘an Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i aidhan radhiyallahu ‘anhum”
Ini juga terdapat dalam kitab al-Risalah, dengan redaksi.
“Mukhtashar al-Buwaithi lil Imam Abi Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwithi riwayah ‘an al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, wa rawaahu al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi ‘an al-Syafi’i aidhan radhiyallahu anhum”.
Ringkasan Kitab al-Umm
Kitab Mukhtashar al-Buwaithi merupakan ringkasan kitab al-Umm karya Imam al-Syafi’i. Ia juga ringkasan dari beberapa karya al-Buwaithi berdasarkan pengajaran Imam al-Syafi’i, iaitu; Kitab al-Mukhtashar al-Kabir dan al-Mukhtashar al-Shaghir.
Dalam Tesis master yang men-tahqiq Mukhtashar al-Buwaithi oleh Aiman bin Nashir, menyebutkan beberapa kelebihan dari kitab ini.
- Kitab ini tertulis dalam karya-karya Imam al-Syafi’i.
- Salah satu sumber mazhab baru atau qaul al-jadid mazhab Syafi’i.
- Berasal dari riwayat murid paling senior imam al-Syafi’i yaitu al-Buwaithi.
- Kitab pertama dalam mazhab Syafi’i yang telah mendapatkan simak secara langsung oleh imam al-Syafi’i.
- Menyebutkan perkataan dari para Imam seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam al-Auza’i, Ibnu Abi Laila dan perkataan para Sahabat dan salaf al-salih.
- Walaupun ringkasan “Kitab Al Umm” karya Imam al-Syafi’i, namun Imam al-Buwaithi tidak sekedar meringkas saja, ia juga menambahkan beberapa hasil ijtihadnya terhadap sejumlah masalah yang terkadang menyelisihi ijtihad Imam al-Syafi’i. Al-Buwaithi tidak taqlid dan ta’ashub pada imam al-Syafi’i.
Kitab ini menjadi salah satu rujukan utama para ulama selanjutnya, bukan saja dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Juwaini, al-Syairazi, al-Ghazali, al-Mawardi, al-Rafi’i, dan al-Nawawi, bahkan di kalangan para ulama mazhab yang lain.
Usaha Penerbitan Buku
Mukhtashar al-Buwaithi telah cetak dan terbit dalam satu jilid untuk pertama kalinya oleh Dar al-Minhaj, setelah lebih dari 1200 tahun dalam bentuk manuskrip, yang tersimpan tanpa usaha penerbitannya.
Cetakan kitab ini tahkik oleh Prof. Dr. Ali Muhyiddin al-Qarhdaghi. Usaha tahqiq kitab ini telah bermula sejak tahun 1980, menjadi teman perjalanan hidupnya, dan baru tahun 2015 dapat terbit dengan ketebalan kitab ini sampai 1152 halaman.
Referensi:
Seteguh Al-Buwaithi, https://ahmadbinhanbal.com/seteguh-al-buwaithi/, terbit 10 November 2016
Yahya Al-Buwaithi dan Kriminalisasi Ulama, https://ahmadbinhanbal.com/yahya-al-buwaithi-dan-kriminalisasi-ulama/, terbit 10 Februari 2017
Belajar dari Al-Buwaithi, https://abulfayruz.blogspot.com/2015/01/belajar-dari-al-buwaithy.html, terbit 14 Shafar 1436 H
يوسف بن يحيى البويطي أبو يعقوب
البويطي, https://tarajm.com/people/11402
Artikel terkait
Peran Al-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Fiqih dan Ushul Fiqh Mazhab Syafi’i, https://ahmadbinhanbal.com/peran-al-ghazali-dalam-mengembangkan-keilmuan-fiqih-dan-ushul-fiqh/, terbit 10 November 2021
Peran Al-Juwaini dalam Mengembangkan Mazhab Syafi’i, https://ahmadbinhanbal.com/peran-al-juwaini-dalam-mengembangkan-mazhab-syafii/, 18 April 2024
Benarkah Imam Syafi’i Berfaham Syiah?, https://ahmadbinhanbal.com/benarkah-imam-syafii-berfaham-syiah/, terbit 21 Februari 2012
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal dan Fitnah Khalqul Quran pada Masa Al-Makmun dan Al-Mu’tashim https://ahmadbinhanbal.com/imam-ahmad-dan-fitnah-khalqul-quran/, terbit 1 April 2021
Fatwa Ulama dalam kondisi tertekan (Kasus al-Quran Makhluk pada masa Imam Ahmad) https://ahmadbinhanbal.com/fatwa-ulama-dalam-kondisi-tertekan/, terbit 8 Januari 2011
FAQ
Imam Al-Buwaithi adalah sahabat sekaligus murid dari Imam Syafi’i. Pengganti Imam Syafi’i setelah wafat. Nama lengkapnya Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi Al-Qurosyi Al-Mishri, lahir pada tahun 231 H. Al-Buwaithi adalah sebuah daerah di Mesir yang bernama Buwaith. Ada juga yang mengatakan beliau tidak lahir di Buwaith, ia pernah belajar Kitab Al-Buwaithi sehingga dinasabkan ke beliau dan beliau lahir di kota Asyuth. Gelarnya Abu Ya’qub, al-Imam al-Jalil, dan Sayyid al-Fuqaha’.
Benar, Imam Al Buwaithi bermazhab Maliki sebelum belajar dan masuk ke Mazhab Syafi’i. Pada masa awal kehidupannya ia mengikuti mazhab Imam Malik. Ia dan kedua orangtuanya pindah ke Fustat (ibu kota sebelum Kairo saat ini) di umur yang masih kecil. Ia kemudian mengikuti majelis Abdullah bin Wahab, syaikh mazhab Maliki di Mesir. Ia banyak mendapatkan ilmu dan terus belajar dari gurunya tersebut sampai ketika Imam al-Syafi’i datang ke Mesir.
Awalnya Al Buwaithi bimbang, sampai akhirnya dia melaksanakan shalat istikharah dan Allah Swt memantapkannya kepada mazhab Syafi’i. Selanjutnya, Al-Buwaithi selalu membersamai Imam Syafi’i hingga ia mampu mendulang pundi-pundi ilmu yang begitu banyak dari sang Imam. Ia menjadi salah satu murid Imam Syafi’i di Mesir yang paling menonjol di antara murid-murid lainnya, meskipun dia sudah berumur ketika berpindah ke mazhab Syafi’i.
nama kitabnya “Mukhtashar Al-Buwaithi, wa Rawahu al-Rabi bin Sulaiman ‘an Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i aidhan radhiyallahu ‘anhum” ada redaksi lain menyebutkan “Mukhtashar al-Buwaithi lil Imam Abi Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwithi riwayah ‘an al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, wa rawaahu al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi ‘an al-Syafi’i aidhan radhiyallahu anhum”.
Ketika al-Buwaithi membacakan catatannya dan mendapatkan persetujuan al-Syafi’i bersama koreksi dan tashihnya, itu terjadi dengan penglihatan dan pendengaran Rabi’, sehingga boleh saja Rabi meriwayatkan kitab ini dari Imam al-Syafi’i, karena al-Syafi’i adalah penulis sebenarnya, kitab ini berisi ilmu dan perkataan al-Syafi’i. Al-Buwaithi adalah orang yang menulis atau mengumpulkan, dan menggunakan tahammul hadis dengan jalan Al-Qiraa’ah ‘Alaa Asy-Syaikh. Maka boleh saja Rabi’ dan Ibnu Abi al-Jarud meriwayatkannya dari imam al-Syafi’i secara langsung.