Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 17, Allah Subhanahu Wata’ala menggambarkan keadaan orang-orang munafik dan fasik terhadap cahaya petunjuk-Nya.
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa api (nar) dapat menghasilkan cahaya (nur) dan sekaligus panas. Namun bagi orang munafik dan fasik, mereka hanya merasakan efek panasnya api tersebut dan tidak menikmati efek terang cahayanya, karena Allah Subhanahu Wata’ala telah menghilangkannya.
Maka tidak mengherankan mengapa dari sisi bahasa/linguistik, istilah api (nar) dan istilah cahaya (nur) mempunyai kekerabatan akar kata dan makna. Sebab keduanya mewakili substansi yang sama yakni energi.
Namun demikian, keduanya memiliki perbedaan sifat fisik, dimana kata nar lebih menonjolkan sifat panasnya, sedangkan kata nur lebih menekankan sifat radiasinya sebagai cahaya.
Kata naar = api dan nuur = cahaya berasal dari akar kata yang sama yaitu ن و ر . Kata Naar terulang lebih banyak di dalam Al-Quran daripada kata Nuur yaitu 145x : 43x.
Sekali waktu coba perhatikan langit yang membentang ke segala arah. Hampir gelap sempurna. Hanya beberapa bagian kecil yang tampak bercahaya. Seperti halnya kata nuur (cahaya) di dalam Al-Quran, semuanya muncul dalam bentuk tunggal. Sedangkan lawan katanya dzulmah (kegelapan), semuanya muncul dalam bentuk jamak, dzulumaat.
Sumber: Belajar dari Kejatuhan Iblis dan Adam as oleh Muhammad Furqan Al-Faruqy