imam al-ghazali

Apakah al-Ghazali Menolak Filsafat Secara Keseluruhan?

Home » Apakah al-Ghazali Menolak Filsafat Secara Keseluruhan?

Pertanyaan penting yang sering diajukan adalah: apakah al-Ghazali benar-benar menolak filsafat secara keseluruhan, ataukah ia hanya mengkritik aspek-aspek tertentu dari filsafat?

Judul karya kritiknya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), bukan Tahafut al-Falsafah (Kerancuan Filsafat), memberikan petunjuk penting. Judul ini menyiratkan bahwa yang menjadi sasaran kritik bukanlah filsafat secara umum, melainkan para filosof tertentu dan cara mereka memahami serta merumuskan filsafat, khususnya dalam kerangka Aristotelian dan Neoplatonik yang berpengaruh dalam dunia Islam kala itu.

Karya Tahafut al-Falasifah bisa dibaca sebagai upaya untuk mengungkapkan ketidakkoherenan pemikiran filosofis dalam tradisi klasik tersebut. Al-Ghazali melakukan pembacaan internal terhadap filsafat, menunjukkan ketidakseimbangan dan kontradiksi dalam struktur teoritisnya (logos) seperti yang diformulasikan oleh para filsuf Muslim yang mengikuti jejak Aristoteles dan Plotinus.

Namun, pertanyaan reflektif pun muncul: apakah alat-alat analisis yang digunakan oleh al-Ghazali sendiri bebas dari kontradiksi dan ketidakseimbangan? Atau justru ia pun tergelincir dalam kontradiksi yang sama seperti para filosof yang dikritiknya?

Ibn al-‘Arabi pernah berkata tentang al-Ghazali: “Syekh Abu Hamid kami menelan para filsuf dan ingin memuntahkannya, tapi ia tidak bisa.” Ungkapan ini menggambarkan dilema metodologis yang dihadapi al-Ghazali: dalam rangka mengkritik filsafat, ia harus menggunakan instrumen-instrumen filsafat itu sendiri.

Menimbang Proyek Intelektual al-Ghazali

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu terlebih dahulu mengkaji karakteristik proyek intelektual al-Ghazali dan bagaimana proyek tersebut diterima dalam sejarah pemikiran Islam.

Menurut sejumlah sejarawan, kritik al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terhentinya perkembangan filsafat di dunia Islam Timur pada abad ke-5 Hijriah dan setelahnya. Orientalis De Boer, misalnya, menyatakan: “Sering dikatakan bahwa al-Ghazali benar-benar menghancurkan filsafat di Timur.”

Baca juga:   Klinik Bacaan Al-Fatihah

Namun, pandangan ini patut dikritisi. Kami tidak sepakat bahwa seorang pemikir, seberapa pun besarnya pengaruhnya, dapat secara langsung menjadi penyebab berakhirnya suatu tradisi intelektual. Lahir dan matinya suatu bidang ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan dinamika sosial, budaya, dan historis yang lebih luas. Tak bisa direduksi hanya pada kontribusi satu individu, sekuat apa pun pemikirannya.

De Boer sendiri akhirnya menolak klaim tersebut. Ia menyatakan bahwa anggapan ini keliru dan tidak mencerminkan pemahaman yang akurat tentang sejarah maupun realitas sosial budaya saat itu. Ia bahkan mencatat bahwa setelah masa al-Ghazali, jumlah guru dan murid filsafat di wilayah Syam mencapai ratusan hingga ribuan orang.

Namun demikian, De Boer juga mengakui bahwa filsafat setelah al-Ghazali memang tidak lagi sepopuler sebelumnya. Artinya, meskipun filsafat tetap hidup, pengaruh dan daya tariknya mengalami penurunan yang signifikan.

Menilai Dampak Kritis Tahafut al-Falasifah

Jika kita mengikuti logika perkembangan ilmu, tidak tepat untuk mengaitkan berakhirnya suatu bidang pengetahuan dengan satu tokoh. Oleh karena itu, kemunduran filsafat di dunia Islam Timur setelah era al-Ghazali perlu ditelusuri penyebabnya secara lebih luas — melalui dinamika budaya, politik, dan sosial — dan tidak semata-mata disandarkan pada karya Tahafut al-Falasifah.

Namun hal ini juga tidak berarti bahwa proyek kritik al-Ghazali tidak memiliki dampak. Justru, Tahafut al-Falasifah adalah momen epistemologis yang penting, yang memunculkan tradisi kritik baru. Banyak karya yang meniru struktur dan pendekatan al-Ghazali, bahkan menggunakan judul serupa, seperti karya Qutb al-Din al-Rawandi yang juga berjudul Tahafut al-Falasifah.

Tradisi ini berlanjut hingga abad ke-9 Hijriah, ketika Khawaja Zada (w. 893 H) menulis sebuah buku dengan judul yang sama sebagai bagian dari proyek perbandingan antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd, atas perintah Sultan Ottoman, Muhammad al-Fatih.

Baca juga:   Jangan Hina Dia

Semua ini menunjukkan bahwa karya al-Ghazali tidak hanya menciptakan gelombang kritik terhadap filsafat, tetapi juga menginspirasi suatu gaya penulisan dan pendekatan epistemologis yang bertahan selama berabad-abad.

Jumal Ahmad/ ahmadbinhanbal.com

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *