Arti dan Maksud Meta Level Reflection

Arti Meta

Sesuatu disebut sebagai Meta jika mengacu pada diri sendiri (self referential), skemanya ‘sesuatu dari sesuatu’. Satu level lebih tinggi dari abstraksi dimana kita mengambil langkah mundur dari sesuatu dan mengambil perspektif yang lebih strategis.

Secara etimologi, ‘Meta’ berasal dari preposisi Yunani kuno dan awalan – yang berarti ‘melampaui’. Skema meta sering dirasa sebagai keluar dari kotak (out of the box).

Meta banyak digunakan dalam banyak disiplin keilmuan. Seperti Meta analisis yang biasa digunakan dalam review penelitian, menggabungkan hasil 2 atau lebih penelitian kuantitatif sejenis untuk mendapatkan paduan data yang komprehensif. Contohnya adalah meta analisis dari jurnal-jurnal yang terbit selama 10 tahun tentang strategi pengajaran metakognitif (link).

Contoh lain penggunaan meta pada meta self-consciousness yaitu hubungan dengan diri sendiri yang lebih tinggi dari hubungan biasa dan mengubah hubungan biasa menjadi hubungan yang lebih dewasa dan bertanggung jawab.

Maksud Meta-Level Reflection

Mungkin Anda pernah mendengar kata-kata seperti ‘berpikir besar’ ‘lihatlah dengan pandangan yang lebih luas’ atau kata ‘berpikir di luar kotak’. Semuan kata ini terkait dengan konsep Meta Level yang berasal dari kata Meta yang artinya beyond atau melalui.

Gambarannya seperti seseorang yang mendaki gunung, ketika berada di puncak dia akan mampu melihat sesuatu secara menyeluruh. Memungkinkan melihat sesuatu yang tidak terlihat ketika dalam sebuah proses.

Maka meta-level reflection adalah level yang lebih abstrak dari memikirkan dan memahami suatu objek. Lebih tinggi dari proses refleksi biasa.

Mete level selama proses pembelajaran sangat membantu mengimplementasikan teori ke dalam suatu praktik. Contoh penerapan meta level reflection adalah aktivitas diskusi bersama dalam sebuah grup tentang metode atau praktis dimana peserta berpindah dari diskusi deskriptif kepada level refleksi analitik.

Kegiatan refleksi praktis ini sangat bermanfaat dalam pengembangan profesional pada konteks pelaku dunia kesehatan dan dunia pendidikan khususnya guru.

Meta Level Reflection dalam Pembelajaran

Problematika di dalam dunia pendidikan saat ini sangatlah beragam salah satunya adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya.

Baca juga:   Tips Agar Sandal Tak Hilang di Masjid

Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghafal informasi, kemudian siswa secara pasif menyerap struktur pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pemelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, sehingga siswa tidak mampu mengaplikasikan pembelajaran yang ia terima kedalam kehidupan sehari-harinya.

Anak didik belajar membaca kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri. Sementara pendidikan saat ini, sekolah berlomba mencari anak didik, sementara karakter pribadi anak tidak dikembangkan, yang harus dibangun adalah kemampuan merefleksikan diri sendiri dan anak mampu hidup di kondisi terburuk sekalipun.

Perkembangan anak muncul dari faktor eksternal, secara formal seperti buku, nasehat guru, dan informal seperti aturan sekolah atau pesantren, disilpin-disiplin di sekolah atau pesantren. Tidak ada komitmen dalam diri anak sementara komitmen akan masuk jika timbul dari dalam diri (internal).

Nilai-nilai luhur apapun yang ditanam pada diri anak seperti menghormati, tanggung jawab, integritas dan lain sebagainya tidak akan berhasil selama tidak ditanam dari diri anak (internal).

Problematika saat ini adalah pejabat, pemimpin dan yang dipimpin tidak bisa mengoreksi kesalahan diri sendiri, tidak bisa menentukan masa depan mana yang harus dilakukan yang terbaik karena tidak ada kemampuan membaca kekurangan diri sendiri, itulah yang harus diasah dalam pendidikan karakter yaitu Meta-Level Reflection.

Meta Level Reflection dalam Kehidupan

Al-Quran telah menyampaikan metode pendidikan dan pembangunan karakter yang sempurna untuk menjadi  manusia yang mulia dan bertaqwa. Hadits Nabi juga mengambarkan dengan jelas bagaimana praktek Nabi Muhammad SAW dalam membangun akhlak/karakter sesuai petunjuk Al-Quran.

Ayat Al-Quran yang menjadi landasan dalam berpikir reflektif adalah Al-Quran Surat Al-Hasyr : 18. Ayat ini secara eksplisit mengajak umat Islam untuk berpikir mandiri, mampu melakukan meta-level reflection dan menjadi decison maker untuk diri sendiri.

Baca juga:   Kedok Kebenaran

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Dalam sebuah hadits disebutkan siapa yang paling cerdas? Lalu Nabi Muhammad Saw menyebutkan adalah yang mampu menahan nafsunya dan mencari bekal untuk kehidupan setelah di dunia.

Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menahan nafsunya dan meyiapkan bekal untuk kehidupan sesudah kematian. (HR. At-Tirmidzi dan Hakim)

Ayat dan hadits di atas menjadi pijakan dalam Meta-Level Reflection yaitu (1) mampu mengukur kekurangan diri sendiri, (2) mampu mengukur kelebihan diri sendiri, (3) belajar dari kesalahan dan dan (4) apa yang harus dilakukan ke depan (what I need, What I have to do), selanjutnya mengeluarkan komitmen (iltizamun nafsi) atau kemampuan mengikat diri dengan disiplin.

Analogi berpikir reflektif seperti seseorang yang berdiri di depan kaca, ia dapat melihat secara sempurna penampilannya di kaca, dari penglihatannya itu, ia dapat menghasilkan penilaian sendiri terhadap dirinya, apakah ada yang kurang atau lebih.

self reflection

Konsep berpikir reflektif dalam Al-Quran juga diterangkan dalam Surat Ali Imran ayat 190-191.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.

Pada ayat tersebut, kata yatafakkaru mengandung arti kontempalasi yang berarti merenung yakni membulatkan pikiran dan perhatian terhadap sesuatu. Harun Nasution menggunakan istilah kontemplasi dalam hubungannya dengan usaha-usaha mansuia berkomunikasi kepada Tuhan.

Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa dalam berpikir reflektif, rangsangan atau alat berpikir terdiri dari tiga aspek yang penting yaitu: pengalaman pengindraan (empirisme), ingatan (memori/hasil-hasil pengalaman pengindraan) dan imaginasi (menghadirkan jawaban dari sesuatu masalah yang dipikirkan).

Baca juga:   Intervensi Agama dan Spiritual dalam Perawatan Kesehatan Mental: Tinjauan Sistematis dan Meta-Analisis dari Uji Klinis Terkontrol Acak

Menurut Yusuf Qardhawi dalam objek berpikir dalam Al-Quran ada tiga yaitu:

  1. Alam semesta, dengan memaksimalkan seluruh potensi manusia untuk berpikir atas proses penciptaan langit dan bumi dengan segala isi kandungannya serta segala proses yang teratur supaya mendapatkan kesimpulan bahwa segala penciptaan ada hikmahnya.
  2. Berpikir tentang dimensi-dimensi maknawi, menalar tidak hanya materil saja akan tetapi maknanya juga.
  3. Ayat-ayat wahyu, memikirkan kandungan ayat wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
  4. Tafakkur secara total, tuntutan ayat di atas memiliki dua tahapan yaitu agar manusia kembali kepada Allah baik berdua atan sendiri dan supaya mau menalar dengan akalnya.
  5. Al-Quran.

Konsep berpikir reflektif dalam al-Quran adalah untuk mewujudkan lahirnya kemampuan berpikir seseorang yang mampu merefleksikan kebenaran-kebenaran Tuhan di dalam kehidupannya. Jika sudah demikian, maka apapun bentuk pengaruh terhadap dirinya tentang hal-hal yang berkaitan keyakinan atau akidah tidak akan mampu mempengaruhinya.

Maka Meta_level Refflection yang kami tulis di atas, menurut kami perlu untuk dikaji dan dikenalkan, dimana pembelajaran hari ini lebih kepada Kognisi, dan meminggirkan Aspek Afeksi. Salah satu cara mengasah Afeksi adalah dengan Meta-Level Reflection atau kemampuan untuk berkaca pada diri sendiri.

Orang yang punya Meta_level Refflection tinggi akan mampu belajar dari dirinya, dari orang lain bahkan dari lingkungan tempat dia tinggal, karena terus belajar, maka selau merasa diri berkekurangan dan tidak mudah merendahkan orang lain.

Kemampuan seseorang untuk berkaca terhadap diri sendiri (meta_level reflection) semakin dirasa penting untuk dimiliki setiap orang.

Meta Reflection itu seperti seseorang yang bercermin di depan cermin, take perlu bantuan orang lain untuk mengetahui kekurangan diri.

Biasanya orang yang memiliki meta_reflection tinggi lebih mudah melihat kekurangan diri dan punya pola pikir berkembang (growth mindset).

Sementara yang lemah meta_level reflection-nya cenderung merasa benar dan menganggap orang lain salah.

Maka diri, guru, murid dan lembaga akan terus berkembang ke arah yang lebih baik dengan menciptakan culture of reflective practice.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

4 Comments

  1. Seandainya memang benar bahwa memakai tasbih itu tak pernah dilakukan oleh salaf, sang ustdz tsb juga tak pantas tuk menyalahkan orang lain.

    لا ينكر المختلف فيه و ينكر المجمع عليه

  2. Betul sekali.
    Semestinya para ulama menjaga lisan mereka dan lebih berhati hati.
    kadang kecerobohan membuat yang awal simpatik menjadi tidak simpatik.

  3. Semoga.
    Terkait dengan Meta_level Refflection yang kami tulis di atas, menurut kami perlu untuk dikaji dan dikenalkan, dimana pembelajaran hari ini lebih kepada Kognisi, dan meminggirkan Aspek Afeksi. Salah satu cara mengasah Afeksi adalah dengan Meta-Level Reflection atau kemampuan untuk berkaca pada diri sendiri.

    Orang yang punya MLR tinggi akan mampu belajar dari dirinya, dari orang lain bahkan dari lingkungan tempat dia tinggal, karena terus belajar, maka selau merasa diri berkekurangan dan tidak mudah merendahkan orang lain.

    Terima kasih kunjungannya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *