Kami yang tinggal di daerah Magelang, masih memiliki adat pasaran Jawa. Biasanya di hari-hari tertentu berdasarkan penanggalan Jawa (kliwon dan legi, masyarakat pergi ke pasar.
Pergi ke pasar itu kebahagiaan tersendiri, jarak yang jauh dari kota dan lebih banyak aktivitas di kebun, menjadikan ke pasar sebagai refreshing. Waktu kecil, saya sangat senang ketika diajak bapak dan simbok pergi ke pasar.
Pasar tujuan kami biasanya pasar tradisional di kecamatan Kaliangkrik, yang baru beberapa bulan selesai renovasi. Jarak dari desa Adipuro ke pasar Kaliangkrik sekitar 7 kilometer.
Moda transportasi yang digunakan adalah mobil pick-up. Sebagian masyarakat ke pasar sambil membawa sayur untuk dijual, sebagian pergi untuk membeli keperluan.
Sebagian orang lebih memilih berjalan kaki dari desa ke pasar untuk mengirit biaya. Sewaktu kecil, saya beberapa kali jalan kaki bersama bapak ke pasar, bapak tidak lenggang kangkung, beliau ke pasar sambil memikul sayuran yang sangat berat. Di perjalanan ke pasar pun cukup ramai, karena orang-orang di desa yang kami lalui juga banyak yang memilih jalan kaki.
Sekarang, sudah banyak warga yang memiliki motor pribadi, jalan kaki ke pasar semakin jarang. Namun, pergi naik mobil pick-up masih ada sampai sekarang.
Berkenan dengan hari pasaran Jawa, saya jadi ingin tahu tentang asal-usul hari pasaran di Jawa. Perjalanan yang menarik, saya jadi mengetahui buku dan penelitian tentang Islam di Jawa.
Mari menyimak dan belajar bersama.
Semoga bermanfaat.
Penelitian intensif tentang informasi penanggalan Jawa dilakukan oleh Prof. M.C. Ricklefs atau Merle Calvin Ricklefs, seorang sejarawan Australia asal Amerika yang meneliti dan mempelajari sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di tanah Jawa. Ia wafat pada 29 Desember tahun 2019 yang lalu.
Di buku Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya, M.C. Ricklefs menyebutkan bahwa sistem penanggalan ini awalnya dirancang oleh Sultan Agung pada masa Kesultanan Mataram (1613–1645) dan digunakan secara resmi oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahan yang mendapat pengaruhnya.
Saat itu, Kesultanan Mataram menerapkan dua sistem penanggalan, yaitu kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan agar urusan administrasi kerajaan dapat selaras dengan kegiatan sehari-hari masyarakat umum, sedangkan kalender Jawa digunakan sebagai patokan penyelenggaraan upacara-upacara adat kerajaan.
Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada pemerintahan Sultan Agung (1613–1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka didasarkan pergerakan matahari (solar), berbeda dengan Kalender Hijriyah atau Kalender Islam yang didasarkan pada pergerakan bulan (lunar). Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.
Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat bersamaan waktu. Untuk itulah diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriyah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan.
Kalender ini meneruskan tahun Saka, namun melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasar pergerakan bulan. Karena pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, maka pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah.
Lewat Buku Sejarah Islamisasi di Jawa, Ricklefs memberikan tafsiran baru tentang Islam di Jawa, jika paradigma lama menilai Islam adalah bersifat pinggiran ( marginal) bagi sejarah Jawa mainstream, menuju kepada gagasan bahwa Islam merupakan aspek utama.
Alasannya adalah peran Islam dalam masyarakat Jawa berubah secara tiba-tiba dari sekitar pertengahan 1960-an hingga seterusnya. Termasuk Dalam proses penanggalan Jawa yang mengakomodasi sistem penanggalan Islam.
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara.
Siklus harian yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara ( siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari).
Saptawara, atau padinan, terdiri dari Ngahad (Dite), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Buda), Kemis (Respati), Jemuwah (Sukra), dan Setu (Tumpak). Siklus tujuh hari ini sewaktu dengan siklus mingguan pada kalender Masehi; Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat,dan Sabtu.
Pancawara terdiri dari Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna), dan Wage (Cemengan). Pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh pedagang untuk membuka pasar sesuai hari pasaran yang ada. Karena itu kini banyak dikenal nama-nama pasar yang menggunakan nama pasaran tersebut, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar Pon, dan Pasar Wage.
Selain pancawara dan saptawara, masih ada siklus 6 hari yang disebut sadwara atau paringkelan. Walau kadang masih digunakan dalam pencatatan waktu, paringkelan tidak digunakan dalam menghitung jatuhnya waktu upaca-upacara adat di keraton. Paringkelan terdiri dari Tungle, Aryang, Warungkung, Paningron, Uwas, dan Mawulu.
Seperti pada penanggalan lainnya, kalender Jawa memiliki dua belas bulan.
Bulan-bulan tersebut memiliki nama serapan dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa; Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari.
Di Desa Adipuro, tempat saya tinggal, di bulan Sapar biasanya diadakan perayaang Saparan. Tradisi budaya yang dilakukan masyarakat untuk memperingati bulan Safar dalam kalender Hijriah. Tradisi ini masih kental di daerah Magelang dan Yogyakarta.
Tradisi ini memiliki manfaat antara lain memperereat hubungan silaturahim antar masyarakat. Biasanya warga dari desa-desa di luar Adipuro berdatangan ke desa ketika kami Saparan, saling berkunjung, seperti laiknya saat lebaran.
Orang yang mungkin ketika lebaran tidak bisa bersilaturahmi karena menjaga rumah atau menerima tamu, biasanya memanfaatkan waktu saparan sebagai pengganti silaturahmi lebaran.
Referensi:
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rintaiswara. 2015. Tahun Jawa Islam Sultan Agungan. Yogyakarta: KHP Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ( Baca di Archive)
M.C. Ricklefs, Menemukan Kembali Islam Dalam Sejarah Jawa, Langgar.co, https://langgar.co/menemukan-kembali-islam-dalam-sejarah-jawa-m-c-riklefs/, diakses 16 November 2024.







