Pertanyaan:
Berkaitan dengan pembahasan kemarin, untuk memperbaiki diri itu yang terpenting itu adalah men-setup lingkungan. Bagaimana jika lingkungan terdekat kita, yaitu keluarga, belum bisa membantu kita untuk memperbaiki diri? Bagaimana kita harus menyikapinya supaya proses memperbaiki diri kita tidak terhambat?
Jawaban
Oleh Ust Arifin Jayadiningrat di Kajian Akhlak ICD Masjid Raya Pondok Indah
Pembahasan hari minggu kemarin menyinggung tentang lingkungan pekerjaan, kalau kita tidak kuat, maka tinggalkan lingkungan tersebut. Tapi sekarang bagaimana kalau keluarga? Kalaulah ini disebut dengan musibah, ini berarti teguran kita untuk kembali kepada jalan yang benar.
Problematika keluarga, baik dari suami, dari istri, dari anak, itu tidak lain adalah saham diri kita. Kita menaruh saham disitu. Ada saham kesalahan kita dalam berumahtangga. Kalau suami istri ribut, entah suami yang merasa benar, atau istri yang merasa benar, tapi tetap yang merasa benar ini punya saham kesalahan. Misalnya, suaminya yang salah, istri yang benar, tetap saja istri punya saham di kesalahan suami.
Maka itu dalam islam, ada ungkapan “man ra aminkum munkara falighair”, kalau ada kemungkaran, kita berusaha untuk merubah. Kalau kita diam, itulah saham kita. Maka kita tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri. Maka kepedulian sosial itu tinggi sekali. Allah SWT berfirman, “ittaqu fitnatan la tushibataladzina falamu minkum khasa”, yang artinya hati-hati kalian dengan hukuman dari Allah, yang mana terkena tidak hanya yang zalim, yang tidak zalim pun kena.
Contoh, bapak nyetir mobil, istri duduk disebelah, anak dibelakang. Sang istri sadar suaminya ngantuk, tapi tidak mengingatkan. Ketika suami nabrak, semua kena dampaknya. Artinya, si istri pun punya saham kesalahan pada waktu si suami nabrak.
Contoh lain, misalnya suami berpenghasilan sekian juta, istri tidak bekerja, di rumah mengurus rumah dan anak. Suami jangan takabur dengan penghasilan tersebut, karena disitu terdapat saham istri. Maksudnya, istri dirumah mengurus rumah dan anak agar suami tenang dan fokus bekerja.
Berarti kesuksesan kita pun ada saham orang lain. Biasakan untuk introspeksi diri daripada mengoreksi orang lain. Kalau ada keburukan, ini ada saham saya disini, begitu caranya. Kalau ada kebaikan, disitu ada saham orang lain. Sehingga kita tidak bangga dengan kebaikan kita dan tidak menuding orang kesalahan. How to solve the problem bagaimana? Dengan teori yang tadi. Itu kan musibah, katakan innalillah, sesungguhnya kami milik Allah. Kita lakukan pendekatan transidental dulu. Jadi nanti dari teori kita praktekkan. Untuk pertanyaan kedua, innalillah wa innailaihi rojiun.
Saya berikan analogika dalam teori. Misalnya, kita datang ke rumah seseorang, lalu kita sembarangan memindahkan barang-barangnya, pasti kita dimarahi, karena itu rumah orang tersebut, dia yang mengatur. Sama halnya dengan kalau semua milik Allah, Allah yang mengatur. Mintalah sama yang mengatur.
Seandainya kasus rumah tangga, masalah suami, masalah istri, masalah anak, berdoalah, Ya Alah Engkaulah yang memiliki langit dan bumi serta seisinya, Engkau yang mencipta, Engkau yang punya, Engkau yang memiliki, dan Engkau yang mengatur, langit dan bumi bagi engkau sangat mudah engkau atur, apalagi hanya utk mengatur … (sebut namanya).
Minta ke Allah, biar kita sadar, karena kadang kala kita mengatur itu semua depend on me. Semua karena saya, saya, saya. Jadi kebiasaan kalau kita mendidik anak, istri, suami, itu merasakan saya, saya, saya. Ini yang menyebabkan Allah menegur, hei bukan kamu, tuh pusing kan, maka kembalilah kepadaKu, innalillah, begitu caranya.
Itulah yang disebut dengan tasbih, kalau kata lainnya Allah luar biasa banget. Jadi, mintalah. Jika tasbih belum cukup, beristighfarlah.
Lingkungan terdekat adalah keluarga, berarti benar apa kata nabi, sebaik-baik laki-laki adalah yang terbaik kepada keluarganya, kepada istrinya. Sebaliknya juga begitu berarti, sebaik-baik istri adalah yang terbaik bagi suaminya.
Maka itu, kalau mau mengukur anda baik atau tidak, tanyalah pada orang terdekat. Karena kita tidak bisa pura-pura dengan orang terdekat, sebaliknya, sangat gampang berpura-pura dengan orang yang jauh. Karena perilaku anda yang motret kanan kiri depan belakang itu adalah yang paling dekat, dan itu fair. Ini barometer namanya.
Dalam rumah tangga kita, kita mau setup. Pada hari minggu kemarin saya bilang, beranikah anda floorkan aturan agama. Yang berani berarti dia punya mental growth mind set. Kalau dalam rumah tangga ada yang fixed mind set, ini ganjalan. Fixed mind set itu tidak mau berubah.
Jika ditegur lebih galak dari yang menegur, makanya jangan semua omongan orang kita pikirkan. Itu penting. Nanti tekanan batin continue, dan berlanjut ke tekanan batin kronis. Maka kalau kita mau men-setup rumah tangga, jangan dalam keadaan emosi, tidak ada manfaatnya, tambah ribut, tambah sakit. Tunggu tenang.
Sikap dialogis yang konstruktif itu hanya bisa berhasil dalam keadaan emosi yang stabil. Kalau emosi tidak stabil, tidak ada hasil, tambah sakit hati, tambah ribut. Hidup cuma sebentar, jangan semua omongan kita pikirkan. Kalau kita lihat keluarga kita, suami, istri, anak, itu semua menjadi ladang akhirat kita, karena hidup itu cuma sebentar, yang penting kita berbuat yang terbaik, jangan pakai hitung-hitungan.
Kalau kita suami istri, ini adalah “mitsaqon gholizon”, di dalam al qur’an disebutkan bahwa hubungan suami istri adalah ikatan yang sakral. Tapi perlu diingat, kontrak yang sakral itu bukan antara manusia, tapi dengan Allah.
Maka, hidup adalah komitmen terhadap kontrak itu sendiri. Suami kalau melihat istri, jangan lihat bahwa ini istri saya, tapi ingatlah bahwa dia dulu yang memelihara adalah orangtuanya, sudah besar buat anda, gratis. Buat istri, suami juga rezeki dari Allah, sudah besar harusnya dia membayar, menafkahkan orangtuanya, ini sudah menafkahkan orang lain. Anak juga begitu, semua dari Allah. Tidak ada yang anda punya. G R A T I S.
Maka ketika kita membayar pun, itu sesungguhnya gratis. Tujuan kita “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati”, itu kepada Allah. Komitmen ini sesungguhnya kepada Allah. Artinya, apa yang kita lakukan, buat Allah. Ketika kita untuk Allah, kita tidak usah hitungan. Maka ada instruksi yang terberat di dalam ayat al qur’an, “wa ahsin kama ahsanullah ilaih”, berbuat baiklah anda sebagaimana Allah berbuat baik kepada kita. Ini berat, karena Allah tidak pernah berhenti berbuat baik kepada kita. Ini menunjukkan barometer kebaikan adalah Allah.
Bersyukurlah kalau lingkungan dalam keluarga anda belum ter-setup. Kita setup, bearti ada musibah-musibah dalam rumah tangga, kita betulkan. Karena manusia pasti salah, pasti salah, pasti. Tadi saya sudah bilang, saya membangun growth mind set. Growth mind set adalah orang yang pikirannya terbuka. Sampai pun anda sukses, ada saham orang lain disitu.
Sekarang dibalik, kalau pun orang salah, anda jangan nuding, nuding dulu diri anda. Sekarang bagaimana kalau kita sudah memiliki growth mind set, tapi orang disekitar kita belum. Solusinya adalah kita tidak cukup hanya baik, kita harus membawa orang lain menjadi baik juga.
Itu gambaran dalam al qur’an, orang sholeh itu tidak cukup sendirian sholeh, tapi mengajak orang menjadi sholeh. Dan kita harus punya power, power yang tidak bisa dihitung dengan angka adalah mukjizat. Al qur’an itu adalah mukjizat, tidak bakal habis, karena al qur’an dari Allah, Allah kekal, maka al qur’an pun kekal.
Sumber: Transkrip Tanya Jawab di Kajian Akhlak ICD Masjid Raya Pondok Indah
Hadirilah..
Kajian Akhlak di Masjid Raya Pondok Indah bersama Ust. Arifin Jayadiningrat – Direktur Islamic Character Development-ICD mulai jam 09.30 – 12.00 dan dilanjutkan dengan konsultasi SAMARA- untuk pendaftaran konsultasi silahkan menghubungi kami di nomor beriktu: 0857 1964 7457