Mengenal Metode Para Mufasir dalam menafsirkan al-Quran bagi kebanyakan orang terutama para penuntut ilmu adalah sangat sulit.
Kali ini kami memposting makalah yang telah kami terjemahkan dari salah seorang ulama yang sudah banyak dikenal oleh umat Islam yaitu Syaikh Shalih Alu Syaikh, makalah ini dalam bahasa Arabnya berjudul: مناهج المفسرين
Berikut ini terjemahannya
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan bagi para hambanya Furqan sebagai peringatan atas seluruh alam, Dia berfirman ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا
Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba, utusan dan kekasih Allah, shalawat atasnya, keluarga dan para sahabat.
Amma ba’du:
Pembahasan kali ini khusus berkaitan tentang Tafsir dan Ulumul Quran, dan pembahasan tentang Manhaj para Muafasir adalah penting karena buku-buku Tafsir sekarang sudah banyak sekali lebih dari 100 kitab dan Tafsir yang hilang dan belum dicetak juga banyak.
Maka seyogyanya seorang penuntut ilmu mengetahui Manhaj dan cara mufasir, sehingga ketika meruju’ pada salah satu dari kitab-kitab Tafsir itu bisa mengetahhui kelebihan dan manhaj mufasir tersebut sehingga ia tidak dibingungkan dengan banyaknya kitab Tafsir.
Manhaj Mufasir yang dimaksud adalah cara-cara dan kekhususan-kekhususan yang membedakan Tafsir tersebut, kata Manahij adalah jama’ dari Manhaj, an-Nahju adalah cara yang dilazimi. Jadi Manhaj Mufasir adalah cara-cara dan syarat-syarat yang dipakai dalam menafsirkan dan cara-cara ini sangat bermacam-macam.
Para mufasir ada yang menyebuutkan syarat tersebut dan ada yang tidak menyebutkannya, jika manhaj adalah cara yang dipakai seorang mufasir dalam Tafsir, manhaj ini menjadi qaidah, kelebihan dan kekhususan dalam Tafsirnya.
Bagaimana kita mengetahui manhaj-manhaj ini? Bagaimana kita mengetahui manhaj Ibnu Jarir dalam Tafsirnya? Atau manhaj Qurtubi dalam Tafsirnya? atau Manhaj Ibnu Katsir dalam Tafsirnya? Dan Tafsir-Tafsir yang lain.
Bagaimana kita mengetahui manhaj/ metode Tafsir ini?
Untuk mengetahui Manhaj ini ada dua cara:
Pertama
Seorang mufasir menyebutkan syaratnya dalam Tafsir atau dalam awal Tafsirnya atau ditempat yang berbeda-beda dalam Tafsirnya, jika seorang mufasir menyebutkan syaratnya seperti Ibnu Katsir, Qurtubi dan Abu Hayan, maka syarat-syarat ini menjadi manhajnya, dan kita katakan bahwa manhaj mufasir ini adalah demikian sesuai syarat yang ia sebutkan dalam Tafsirnya.
Kedua
Diketahui melalui cara penelitian, dan cara ini ada dua macam yaitu penelitian yang sempurna dan penelitian yang kurang, dan suatu penelitian akan menjadi hujjah jika dilakukan secara sempurna. Jika seorang Ahli Ilmu meneliti salah satu buku Tafsir dan membagi cara mufasir dalam Aqidah demikian, dalam Nahwu, hadits dan Israiliyat demikian dan menelitinya dari awal sampai akhir kitab.
Maka bisa kita katakan bahwa manhaj mufasir ini adalah demikian dan jika ia hanya meneliti dua, tiga lembar atau beberapa jilid, tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengetahui manhaj mufasir karena penelitian yang bisa dijadikan hujjah adalah yang dilakukan dengan sempurna.
Jika tidak ada penelitian tentang Tafsir tersebut, maka kita gunakan ibarat yang lain selain manhaj seorang mufasir, misalknya kita katakan kelebihan Tafsir ini demikian, kekhususannya demikian dan kelebihannya dengan Tafsir yang lain demikian, maka kita memalingkan lafaz manhaj ini kepada lafaz kelebihan dan kekhususan yang dilakukan dengan peneltian yang sempurna.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi SAW dengan 7 huruf yang disampaikan secara mutawatir, dan diturunkanya al-Quran dengan 7 huruf ini mengandung faidah yang banyak. Nabi SAW sedikit sekali menafsirkan ayat, beliau hanya menafsirka ayat yang dirasakan penting saja, misalnya beliau menafsirkan ayat للذين أحسنوا الحسنى bahwa الزيادة adalah melihat wajah Allah SWT dan menafsirkan ayat غير المغضوب عليهم ولاالضالين bahwa orang yang dimurkai adalah yahudi dan yang sesat adalah orang Nasrani.
Selanjutnya para sahabat sangat berminat untruk bertanya pada Rasulullah tentang Tafsir, mereka banyak mengetahui makna-makna al-Quran karena mereka menyaksikan ayat turun dan mengetahui sebab turunya ayat.
Ketiga
Para sahabat bepergian, berperang dan berjihad dengan Rasulullah SAW sehingga mereka banyak mendengarkan sunnah Nabi, dimana sunnah adalah sebagai penjelas dari al-Quran, para sahabat mengetahui makna satu huruf yang menafsirkan ayat yang lain dalam al-Quran, terkadang al-Quran saling menafsirkan ayat yang satu dengan yang lain.
Para sahabat sering menafsirkan ayat dengan ayat yang lain atau dengan qiraah yang lain dan hal itu menambah mereka dalam mentadabburi al-Quran. Dan ketika masa tabi’in mereka sangat membutuhkan tafsrian dari para sahabat karena merekalah yang menyaksikan ayat turun.
Keempat
Ilmu bahasa arab, karena al-Quran diturunkan dengan bahasa arab, bahasa arab adalah jalan untuk memahami al-Quran karena al-Quran diturunkan dengan bahasa arab, maka terkadang para sahabat menafsirkan ayat dengan mengembalikannya pada bahasa seperti yang pernah dilakukan oleh Umar dan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas banyak sekali menafsirkan al-Quran dengan bahasa seperti yang pernah terjadi antara Ibnu Abbas dan Nafi’ bin Arzaq.
Maka kita dapatkan beberapa sumber para sahabat dalam Tafsir yaitu Qiraah Sab’ah, dengan Qiraat, Sunnah, Sebab turunnya ayat, mengetahui bahasa arab, mengetahui keadaan bangsa arab yang didalamnya berisi tentang sejarah dan kisah orang arab seperti tentang pernikahan orang arab, jual beli mereka dan hubungan antara kabilah mereka, adanya saling bertanya diantara para sahabat seperti yang dilakukan ibnu abbbas yang bertanya kepada Umar dan secara umum para sahabat saling bertanya tentang Tafsir suatu ayat.
Ada 5 orang yang dijadikan sumber para sahabat dalam mengetahui Tafsir suatu ayat, mereka adalah; Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Umar dan Ali.
Kelebihan Tafsir sahabat
- Kalimatnya sedikit tetapi maknanya banyak, dan Tafsiran setelah sahabat banyak merujuk kepada mereka, Ibnu Rajab mengatakan dalam kitab keutamaan ilmu salaf atas khalaf bahwa perkataan salaf itu sedikit tetapi banyak faidah, dan perkataan khalaf itu banyak tetapi sedikit faidah, hal ini nampak sekali dalam Tafsir para sahabat, kalimatnya sedikti tetapi maknanya banyak.
- Selamat dari bid’ah dan kesesatan dalam Aqidah, karena mereka adalah imam orang yang bertaqwa dan imam para salaf yang menjadi rujukan dalam aqidah dan tauhid, Tafsiran mereka selamat dari kesalahan dan celaan yang mengambilnya akan tenang dan yang mengambil Tafsir setelah mereka akan mendapatkan banyak kesalahan.
- Banyak perselisihan tanawu’ dan sedikit ikhtilaf tadhat, cotoh dalam menafsrikan kata as-Shirat diantara mereka ada yang menafsirlan sunnah dan ada yang menafsirkan Islam.
Kemudian ketika masa tabi’ut tabi’in mereka memperluas Tafsir terlebih lagi ketika mulai ada pembukuan Tafsir, munculah orang-orang yang mengarang Tafsir seperrti: as-sudi dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sampai ada yang mengumpulkan Tafsir dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in seperti Tafsir Abdu Humad dan Tafsir Abdur Razaq, Tafsir imam Ahmad, Tafsir ibnu Abi Hatim, dan Tafsir ibnu Jarir.
Tafsir ini menukil dari Tafsiran para sahabat sehingga mereka disebut Tafsir bil Ma’tsur madrasah ini berakhir sampai akhir abad yang ketiga karena setelah itu muncul madrasah Nahwiyah, sehingga ada Tafsir yang mengambil dari segi bahasanya seperti Ma’aniui al-Quran karangan al-Akhfas, majazul Quran akrangan Abu Ubaidah mu’ammar bin al-Mutsanna dan ibnu jarir yang membuat kitab tafsri fenomenal jamiul Bayan.
Makna Tafsir Bir Ra’yi
Kebanyakan ulama menjelaskan bahwa Tafsire bir ra’yi adalah Tafsir dengan ijtihad dan dengan istimbat, ijtihad disini adalah ijtihad yang baik bukan yang jelek, karena ijtihad yang jelek dilarang oleh Nabi SAW.
Tafsir bir ra’yi yang dilarang adalah yang berdarsarkan hawa nafsu, karena ijtihad yang benar dan sesuai dalil itu diperbolehkan, karena para sahabat banyak menafsirkan ayat yang tidak ada pada masa nabi, maka jika kita mengatakan bahwa Tafsir bir ra’yi iyu semuanya jelek, maka secara tidak langung kita juga telah menjelekkkan para sahabat, dan ini termasuk kebatilan.
Madrasah tafsir ada dua
- Yang menafsirkan berdasarkan hawa nafsu seperti Tafsir Mu’tazilah, Syi’ah dan Khawarij
- Yang menafsirkan ayat dengan ijtihad dan istimbath yang benar, hal ini boleh jika ia telah memenuhi syarat-syaratnya, yaitu: Mengetahui Aqidah Salaf dan pembagianny, Mengetahui al-Quran dan hafal, Mengetahui sunnah, Mengetahui perkataan para sahabat, Mengetahui keadaan orang arab
Madrasah ahlu ra’yi dibagi menjadi 4
- Menafsrikan al-Quran sesuai dengan aqidah masing-masing, setiap kelolmpok menafsirkan al-Quran sesuai dengan aqidah mereka.
- Madrasah Tafsir al-Musi’I yaitu yang tidak membuat syarat dalam Tafsirnya tetapi ia memakai semua ilmu-ilmu Tafsir, ia gunakan ilmu asbabun nuzul, bahasa, fiqih dan ilmu yang bermacam-macam, contoh dari Tafsir ini adalah Tafsir fakhru razi, Tafsir al-Alusi.
- Tafsri lughawiyah, contoh Tafsir Abu Hayan dan tafsrinya Ibnu Nuhas
- Tafsir Fiqhiyyah yang didalamnya memuat hukum-hukum fiqih, contoh Tafsir Hanafiah: Ahkamul Quran karangan al-Jashash, atfsri syafi’iyah: Ahkamul Quran karangan ilkiyah, Tafsir Malikiyah: Ahkamul Quran karangan Ibnul Arabi, tafsri hanabilah: Tafsir Ahkamul Quran karangan Qurtubi.
Kemudian setelah itu muncul Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang mereka menafsirkan al-Quran tetapi tidak sampai membuat buku, diantara kelebihan tafsri mereka adalah:
- Mereka mementingkan Tafsir ayat yang didalamnya ada masalah aqidah dan tauhid secara umum
- Mereka menafsirkan ayat yang belum diTafsirkan oleh ulama sebelum mereka.
Tafsir pada zaman Modern
Melihat perbedaan cara Tafsir, bisa kita katakan bahwa Tafsir Modern dimulai sekitar permulaan abad ke-4. Karena Tafsiran mereka masih mengikuti cara Tafsir sebelumnya, contoh Tafsir Alusi, Tafsir Khatib as-Sirbani, Tafsir Shadiq Hasan Khan dan Tafsir Fathul Qadir.
Pada masa modern muncul Tafsir yang berbeda-beda dan bermacam-macam, lantas apa sebabnya? Sebabnya adalah dimulai ketika orang-orang Barat mulai menjajah dan memasuki negara-negara Arab, khususnya Napoleon yang memasuki Mesir. Sehingga menimbulkan keinginan para Mahasiswa Islam untuk pergi ke Perancis untuk belajar ilmu adab atau ilmu modern.
Al-Azhar ketika itu melarang orang islam untuk pergi ke Eropa, lantas timbul usulan agar mereka pergi dengan sekelompok ulama al-Azhar yang mampu mengajari mereka dan mengeluarkan mereka dari penyelewengan jika hal itu terjadi. Maka berangkatlah beberapa Mahasiswa dan ulama al-Azhar.
Ketika mereka kembali, mereka merasa bangga dengan barat dan menganggap bahwa kebudayaan barat telah maju sedangkan orang islam terbelakang dan tidak berkembang, selanjutnya mereka mengatakan bahwa sebab terbelakangnya kaum muslimin adalah karena mereka mengikuti kitab dan Tafsir zaman dahulu.
Muncul banyak perkataan yang menimbulkan keragu-raguan tentang al-Quran dan sunnah, sampai-sampai umat menjadi ragu dengan pokok agamnya dan didirikan sekolah-sekolah yang memperlajari bahasa asing, adab barat dan perhatian terhadap penelitian orientalis.
Ada sebagian ulama yang melihat gejala buruk ini dan mengatakan bahwa jalan mengembalikan umat pada agama mereka adalah dengan menafsirkan ayat secara akal, sehingga al-Quran diagungkan dan tidak dijauhi, di antara madrasah ini adalah madrasah Muhammad Abduh dan muridnya Rasid Ridha.
Para ulama tersebut memahami al-Quran dengan ilmu barat, semisal ayat tentang ilmu Falak, mereka sebutkan penemuan-penemuan modern yang menjadi dalil kebenaran al-Quran dan bahwa al-Quran telah mendahului orang barat, demikian juga dalam masalah kedokteran atau masalah ghaib.
Mereka menafsirkan secara akal, berbeda dengan Tafsir sebelumnya dan Tafsir salaf seperti masalah astronomi, hujan, mata air, tumbuhan dengan Tafsiran yang mengikuti barat. Tafsir yang demikian banyak salahnya karena menjadikan al-Quran mengikuti penemuan barat, dan sebagaimana diketahui bahwa penemuan itu sifatnya labil, akan ditemukan lagi penemuan yang lebih baik, sehingga teori itu menjadi batil atau ada teori lain yang lebih benar.
Tafsir macam ini tidak dibenarkan karena ia menafsirkan al-Quran yang tetap dan tidak berubah dengan sesuatu yang berubah. Sehingga muncullah Tafsir al-Quran denga cara Aqlaniyah yang mengumpulkan penemuan barat, penemuan Modern dan Tafsir yang terdahulu, contoh Tafsir Thanthawi dan Tafsir Muhammad Abduh. Mereka menafsirkan al-Quran dengan cara yang batil dan mengingkari hal-hal yang dhahir.
Madrasah Kedua
Yaitu Madrasah Tafsir al-Quran dengan Footnote Mushaf, hal ini terlarang ketika masa awal dikarenakan al-Quran tidak boleh dirubah, namun dengan bergilirnya waktu dan manusia semakin membutuhkan Tafsir, dipakailah cara ini.
Madrasah Ketiga
Yaitu Madrasah Da’wiyah, madrasah ini muncul karena melihat banyaknya kerusakan, manusia semakinn jauh dari agama dan peperangan tsaqafah yang membuat kaum muslimin jauh dari agama dan dari qana’ah dengan syari’at Allah dan juga karena munculnya kelompok-kelompok da’wah dari arab atau luar arab.
Dan da’I membutuhkan al-Quran untuk berdakwah, maka mereka menafsirkan dengan mengikuti sebab-sebab da’wah contoh Tafsri JT, Tafsir IM, Tafsir Rabithah Ulama dll.
Tafsir ini memilki beberapa kesalahan, di antaranya:
- Berpegangan pada satu atsar yang terkadang satu atsar dengan yang lain berbeda,
- Mereka menjadikan Waqi’ sebagai hukum atas al-Quran
- Terkadang mereka menghukumi perkara yang belum terjadi
- Termasuki aqidah yang menyimpang dari aqidah salaf
Contoh Tafsir ini adalah Tafsir Turjumanul Quran oleh al-Maududi, Fi Dhilalil Quran oleh Sayid Qutb dan al-Asas fit Tafsir oleh Said Hawa.
Dan temasuk metode lain yang berkembang di masa ini adalah Terjemah al-Quran, ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai Tafsir al-Quran, ini adalah salah karena al-Quran diturunkan dalam bahasa arab yang tidak mungkin diterjemahkan pada bahasa lain.
Dan yang benar adalah terjemah Tafsir al-Quran, seseorang meneliti dan memahami tafsir al-Quran dari kitab-kitab Tafsir lalu ia menerjemahkannya sesuai pemahamannya karena bahasa al-Quran itu mulia tidak ada yang menandinginya,
contoh ayat :هن لباس لكم وأنتم لباس لهن bagaimana kata Libas ini ditafsirkan, sedangkan bahasa arab memilki banyak makna dan arti, maka seorang penerjemah harusnya melihat tafsir ayat ketika akan menerjemahkan ayat. Dalam penerjemahan juga terjadi perbedaan sesuai dengan mazhabnya sendiri, jika yang menerjemahkan itu adalah seorang Qadiyaniyah, Syi’ah atau bermanhaj salaf maka hal itu akan muncul dalam caranya menterjemahkan.
Oleh karena itu bagi seorang penuntut ilmu yang ingin meruju’ pada kitab Tafsir atau ingin mengoleksi kitab-kitab tafsir di rumahnya hendaknya ia bertanya dahulu pada ulama apakah kitab ini baik atau tidak? Karena ada sebagian kitab tafsir yang tidak bagus bahkan menyesatkan.
Dan cara tafsir yang baik adalah tafsir yang bersumber pada aqwal salaf, sahabat dan para tabi’in dan cara tafsir dari marasah tafsir ro’yi yang terpuji. Di antara kitab tafsir ra’yi yang baik adalah Fathul Qadir, Bahrul Muhith, kitab yang kedua ini lebih selamat dalam masalah aqidah. []
Saya setuju dan terima kasih atas komentar yang mencerahkan ini.:-)
Agar ummat Islam bisa bersatu, hrs merujuk dg benar ke ALQuran dan Hadits, dg tafsir yg para penafsirnya bebas dari hawa nafsunya. Berfikir dg enak, saya benar, tapi mungkin yg lain pun benar juga.Hilangkan pula hawa nafsu yg hanya ingin berbeda, ingin mencari kebenaran dg menyalahkan orang lain/sesama muslim. Ridho Allah akan turun bila kita bersatu, mengesampingkan perbedaan dan mengutamakan persamaan. Sesama muslim adalah saudara.Allahu Akbar, Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
kalau melihat realita, sekulerisasi pendidikan islam sudah merambah ke semua sisi kehidupan saat ini, perguruan tinggi islam juga demikian halnya, karena mereka sudah menyiapkan kader sekuler untuk berpendidikan tinggi di Univ2 sekuler di luar negeri sejah puluhan tahun yang lalu…….
Tapi mereka tidak akan mampu mengalahkan fitrah manusia yang lurus, semoga mereka gagal mensekulerkan Indonesia,