Cinta semu dan cinta hakiki sama-sama halal. Bedanya, cinta semu hanya cinta sebatas dunia, sedangkan cinta hakiki merupakan cinta yang hasilnya dapat dipetik di akhirat kelak. Untuk memahami hal ini ada baiknya disajikan sabda Nabi Shallallahu Alaihiwasallam berikut, yang berkaitan dengan hijrah:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sesungguhnyasemuaamalbergantungpadaniatnyadansesungguhnyasetiap orang berhakatasapa yang ianiatkan. Barangsiapa yang hijrahnyamenujudunia yang iaupayakanatauuntukperempuan yang akanianikahimakahijrahnyamenujupadaapa yang iahijrahuntuknya. (HR al-Bukhari).
Dalam hadis tersebut Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam menjelaskan bahwa orang yang berhijrah untuk mendapatkan harta dan untuk mendapatkan perempuan hasilnya adalah harta dan perempuan tersebut. Hijrahnya hanya sebatas itu.
Di akhirat ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Hijrahnya adalah hijrah semu. Berbeda halnya apabila hijrahnya itu ditujukan untuk menaati Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya yang memerintahkan hijrah; balasan hijrahnya tersebut akan diperoleh di akhirat kelak.
Andai dengan hijrahnya itu ia juga mendapatkan harta dan perempuan, keduanya hanyalah ‘hasil sampingan’ saja. Tujuannya dan landasannya tetap satu, yaitu menaati Allah dan Rasul-Nya. Hijrah bentuk kedua ini merupakan hijrah hakiki.
Seseorang yang cinta hijrah tetapi dengan kategori pertama maka cintanya itu cinta semu. Sebaliknya, orang yang cinta hijrah semata demi menaati Zat Yang memerintahkan hijrah maka cintanya itu cinta hakiki.
Nabi Shallallahu Alaihiwasallam bersabda:
مَنْ غَزَا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَمْ يَنْوِ إِلاَّ عِقَالاً فَلَهُ مَا نَوَى
Barangsiapa yang berperang di jalan Allah dalam keadaan tidak berniat kecuali untuk mendapatkan belenggu kaki binatang (‘iqâl) maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan. (HR an-Nasa’i).
Hadis ini memaparkan bahwa berperang untuk mendapatkan harta rampasan (ghanîmah) tidak berdosa, ghanîmah-nya pun halal. Hanya saja, balasan perangnya tersebut hanya sebatas materi saja. Berbeda dengan orang yang berperang di jalan Allah itu karena dorongan, dasar, landasan, paradigma, dan tujuan semata-mata taat karena Allah Subhanahu Wata’ala; ia akan mendapatkan hasil bukan sekadar di dunia melainkan juga di akhirat. Balasannya hakiki, bukan sebatas materi.
Demikianlah orang yang mencintai perang/ jihad untuk menegakkan agama Allah Subhanahu Wata’ala; apabila hal itu semata-mata ditujukan untuk hal-hal yang bersifat material—seperti harta, popularitas, atau pujian—maka cintanya itu semu. Lain halnya cinta berjihad yang dibangun di atas hukum Allah dan memenuhi panggilan-Nya; ia merupakan cinta hakiki.
Begitu pula kecintaan seseorang yang menggunakan apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala yang halal hanya untuk kebahagiaan material, juga merupakan cinta semu. Sedangkan kecintaan terhadap anugerah Allah Subhanahu Wata’ala semata-mata untuk menggapai keridhaan-Nya merupakan cinta hakiki. Jelas berbeda antara orang yang menggunakan dunia semata untuk dunia dan orang yang menggunakan dunia untuk meraih negeri akhirat. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS al-Qashash [28]: 77).
Ringkasnya, mencintai istri dengan sekadar memenuhi kebutuhan materialnya saja hanyalah merupakan cinta semu. Cinta hakiki kepada istri terjadi apabila cinta itu didasarkan pada hukum Allah dan ditujukan untuk sama-sama mendapatkan keridhan-Nya serta masuk surga sama-sama. Istri dijadikan ladang ketaatan suami terhadap Allah Subhanahu Wata’ala, begitu pula sebaliknya.
Cinta yang diberikan kepada anak, apabila sebatas disekolahkan, dikursuskan sempoa, dan berhasil mencapai gelar sarjana hanyalah cinta semu. Cinta ini akan berubah menjadi cinta sejati apabila pendidikan anak diarahkan hingga ia menjadi anak shalih yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, mencintai-Nya, peduli kepada umatnya, serta menjadi bagian dari barisan orang-orang yang senantiasa membela dan menyebarkan kebenaran Islam. Anak seperti ini akan menjadi hiasan (zînah), bukan malapetaka (fitnah).
Cinta kepada Allah Subhanahu Wata’ala, apabila ditampakkan dengan perilaku sekadar untuk membebaskan dari kewajiban, masihlah merupakan cinta semu. Agar cinta tersebut menjadi cinta hakiki haruslah kecintaan itu tulus-ikhlas, sesuai dengan hukum Allah; dorongan, dasar, landasan, paradigma, dan tujuannya semata taat karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Begitulah cara mengubah cinta semu menjadi cinta hakiki. Sekali lagi, ubahlah dorongan, dasar, landasan, paradigma, dan tujuan semata-mata untuk Allah Subhanahu Wata’ala. Semua itu dilakukan dalam menjalankan segenap aktivitas sesuai dengan hukum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala.[]