Beda Muktazilah dan Islam Liberal dalam Masalah Al-Quran

Dalam pandangan kaum muslimin, al-Qur’an diyakini sebagai firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW; yang tertulis dalam mushaf, ditransformasikan secara mutawatir dari generasi ke generasi dan membacanya terhitung sebagai ibadah.

Mu’tazilah adalah aliran rasionalis (dalam pengertian lebih mendahulukan akal dari pada wahyu) yang dikenal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Secara harfiah nama Mu’tazilah berarti yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah sepakat bahwa aliran ini bermula dari perdebatan Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Basri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin.

Perdebatan ini dipicu dengan statemen aliran al-Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir dan statemen al-Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan imam al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara Washil ibn Atha’ mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina manzilatain).

Perdebatan tersebut berakhir dengan memisahkannya Washil dari halaqah gurunya dan mengasingkan dirinya (I’tazala) di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah Washil ini diikuti oleh beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al-Hasan al-Basri mengatakan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna Washil)”. Maka semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.

Di antara pandangan Mu’tazilah yang masyhur adalah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT; namun kedudukan al-Qur’an menurut mereka adalah makhluk, bukan azali dan qadim seperti yang diyakini oleh kaum muslimin umumnya. Pandangan ini kemudian dipaksakan menjadi madzhab resmi negara oleh dinasti Abbasyiah selama 62 tahun, dari tahun 170H hingga tahun 232H, yaitu pada masa-masa khilafat al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq.

Baca juga:   Orientalisme dan Hujatan Terhadap Rasulullah SAW

Ribuan ulama Ahlussunnah yang menolak paham makhluknya al-Qur’an dihadapkan ke mahkamah, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh; seperti yang menimpa Imam Ahmad ibnu Hanbal (pendiri madzhab Hanbali dalam fiqih).

Namun demikian, belum ada satupun ulama yang menganggap Mu’tazilah telah keluar dari batasan Islam, seperti halnya kelompok Ahmadiyyah. Sebab bagaimanapun Mu’tazilah tetap mengakui kewahyuan al-Qur’an, tidak pernah meragukan kedudukan mushaf Usmani, tidak mempermasalahkan bahasa Arab sebagai mediator bahasa wahyu dan (-apalagi-) menganggapnya sebagai produk budaya maupun teks manusiawi seperti yang telah jamak disuarakan Islam Liberal dan diajarkan di berbagai perguruan tinggi yang terkooptasi paham liberal.

Bahkan banyak di antara pemuka Mu’tazilah yang tetap bermakmum di belakang ulama yang bermartabat, seperti al-Qadhi Abdul Jabbar (w 415H/1023M), pemuka Mu’tazilah yang bermadzhab Syafii; Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Salam al-Jubai, pemuka Mu’tazilah yang selalu memuliakan Khulafa’ Rasyidun penerus Nabi; Ahmad ibn Ali ibn Bayghajur (w 326H), cendekiawan Mu’tazilah di bidang ilmu bahasa Arab dan Fiqh yang terkenal kezuhudannya, ––menurut Ibnu Hazm–– juga bermadzhab Syafii.

Anehnya, Islam Liberal seringkali mengklaim bahwa paham dan aliran Islam liberal mewarisi tradisi Mu’tazilah. Apakah klaim mereka ini dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Benarkah konsep Islam liberal tentang al-Qur’an tidak berbeda dengan Mu’tazilah?

Dimanakah perbedaan kedua konsep ini secara substantif? Bagaimanakah pemuka Mu’tazilah menafsirkan al-Qur’an?

Berdasarkan tugas studi akhir saya di Pesantren Tinggi Al-Islam beberapa tahun lalu yang membahas tema ini, disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:

  1. Islam liberal adalah kalangan anti Qur’an. Jika merujuk dg ta’rif al-Qur’an yg tlh disepakati kaum muslimin.
  2. Konsep makhluknya al-Qur’an yang dikemukakan Mu’tazilah berbeda dengan pandangan Islam liberal terhadap al-Qur’an. Dan oleh karena itu tidak seharusnya Islam liberal mengklaim bahwa pendapat mereka bersandar pada Mu’tazilah
  3. Semua tokoh Mu’tazilah menyakini bahwa al-Qur’an kalamullah dan termasuk bagian dari sifat-Nya. Yang menjadi pembahasan Mu’tazilah adalah kedudukan al-Qur’an sebagai firman Allah itu bersifat muhdats.
  4. Mu’tazilah juga tidak menafikan adanya sifat-sifat Allah, tapi mereka nyatakan bahwa Sifat dan Dzat Allah adalah sama/satu (al-sifat ‘ayn al-dzat).
  5. Konsep makhluknya al-Qur’an, tidak mengurangi sikap Mu’tazilah dalam mengagungkan al-Qur’an, apalagi mengingkarinya. Mereka juga tidak pernah mempermasalahkan kehendak Allah yang telah memilih bahasa Arab sebagai media wahyu. Dan tidak pernah menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sebatas teks linguistik yang terpengaruh dengan budaya Arab pra Islam; seperti yg dilakukan islam liberal.
  6. Mu’tazilah juga tidak pernah mempersalahkan khalifah Utsman yang telah berjasa mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf, apalagi menuduh bahwa usaha beliau ini atas dasar kepentingan politik, yaitu menegakkan hegemoni Arab-Quraisy; seperti yg sering dituduhkan Islam Liberal.
  7. Makhluknya al-Qur’an dalam pandangan Mu’tazilah tidak membuat mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, teks manusiawi dan bagian dari fenomena sejarah, seperti tuduhan islib. Sebaliknya, dalam menghormati al-Qur’an Mu’tazilah mewariskan sebuah tafsir al-Qur’an (al-Kasysyaf) dengan pendekatan bahasa yang mumpuni. Sehingga banyak kalangan mufassir yang merujuk pada kitab tafsir ini, seperti al-Nasafi, Abu Su’ud, al-Alusi.
  8. Disamping tidak pernah melakukan perombakan hukum syari’at dalam al-Qur’an, Mu’tazilah juga tidak merombak terminologi kunci dalam Islam, seperti makna iman, Islam dsb; dan memaknai dengan makna yang baru sesuai kepentingan penafsir. (dalam presentasinya, pemakalah memberi contoh praktis ttg bahayanya perombakan makna, yaitu mengganti makna “buncit” dg “tambun”. Walaupun sama arti, tapi ini sangat berbahaya bila diucapkan oleh kenek bus, yg akhirnya akan menyesatkan para penumpang. Apalagi menyangkut agama yg hakekatnya berkaitan dg perjalanan dunia – akherat).
  9. Mu’tazilah sangat menyakini kebenaran Islam sebagai wahyu yang final, sehingga mereka sering berdakwah mengajak kalangan Majusi, Zoroaster, Kristen, Yahudi, Zindik dan sebagainya untuk memeluk agama Islam. Terhitung tidak kurang dari 3000 orang telah masuk Islam di tangan Abu Hudzail al-‘Allaf setelah melalui perdebatan dg mereka. Ini tentunya berbeda dg Islam Liberal yg mengkampanyekan pluralisme agama, dan seringkali sinis bila mereka mendengar ada muallaf baru.
  10. Walau demikian, pendapat makhluknya al-Qur’an yang hanya bermain-main dalam dataran filosofis telah menyeret Mu’tazilah sebagai pelaku bid’ah-bid’ah keagamaan (ahlul bida’) yang sangat dicela dalam Islam, sehingga golongan Ahlus Sunah pun akhirnya harus berjibaku untuk meluruskan pandangan kaum muslimin tentang al-Qur’an, khususnya pada masa al-Makmun, Mu’tasim dan Watsiq) dan pemahaman terhadap sifat Allah pada umumnya.
Baca juga:   Perjalanan Menjemput Bidadari 

Sumber: Penelitian Tugas Akhir Jurusan Tafsir di Pesantren Tinggi Al-Islam

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *