Belajar Transformasi Dari Dr. Abdulgani, MA

Transformasi adalah melakukan sesuatu terhadap seluruh unsur dan elemen penting perusahaan, yang nantinya akan menentukan perusahaan itu bisa berkembang secara menguntungkan dan berkelanjutan ke depannya.

Artinya, bukan berarti kalau ada masalah ini selesaikan, ada masalah ini selesaikan, yang kurang ditingkatkan, tidak. Yang pertama itu disebutnya problem solving. Kalau sekedar problem solving, kadang-kadang kita lupa melihat apa yang sebenarnya terjadi atau kesempatan apa yang sebetulnya terbuka.

Kedua, kalau hanya meningkatkan ini, ini, dan ini, atau kita merasa wah produktivitasnya rendah, lalu kita perbaiki, itu bukan transformasi namanya. Itu improvement atau sering disebut juga incrementalizm. Semua harus ditingkatkan tapi tidak jelas arahnya ke mana.

Sementara dalam transformasi, kita harus mengetahui dengan jelas bahwa kondisinya seperti ini, kita arahkan supaya perusahaan kita berkembang, menang dalam berkompetisi, dan menguntungkan. Pilar-pilar pokoknya itu harus dibenahi. Itulah transformasi.

kapan pentingya bertransformasi? 

Setelah kita lihat kondisi perusahaan kita bagaimana. Satu, kinerjanya. Misalnya, biasanya perusahaan kita tumbuh 15%, ternyata sekarang cuma 10%. Jadi ada yang salah di situ.

Kedua, kita memproduksi barang atau membuat bisnis dalam satu bidang, yang ternyata tidak hanya kita pemainnya sekarang. Banyak yang ikutan dan membuat hal-hal baru.

Ketiga, melihat perubahan yang terjadi, seperti tren perekonomiannya seperti apa. Itulah, bagaimana kita melihat apakah kita harus melakukan transformasi atau tidak.

Apa makna leadership?

Satu, kepemimpinan menjadi CEO. Definisi kepemimpinan itu simpel saja, yaitu membuat segala sesuatu terjadi. Bukan soal wewenang. Wewenang kalau tidak digunakan, enggak terjadi apa-apa. Kalau dirut kerjaannya duduk saja, padahal dia punya wewenang, ya tidak akan terjadi apa-apa. Yang menggunakan wewenang dan membuat sesuatu terjadi, itulah leadership.

Baca juga:   Riba dan Bahayanya

 
Dia harus menggerakkan semua orang dalam perusahaan. Tidak hanya dari dirinya, tapi juga semua orang, pimpinan-pimpinan dari yang paling tinggi sampai yang paling bawah, semuanya harus memiliki leadership agar eksekusinya dapat berjalan.

Semua level pimpinan (dirut, direktur, kepala divisi, manajer, kepala bagian, kepala seksi), semuanya harus mengamalkan fungsi leadership. Kalau mereka belum punya leadership, maka mereka harus disiapkan untuk memiliki itu. Caranya dengan di-train/di–drive. Tanpa itu, eksekusinya tidak terjadi.

Waktu saya masuk, selama itu Garuda diset untuk melayani semua orang. Namanya Garuda For All. Saya bilang ini tidak bisa lagi diterapkan sekarang. Harga tiketnya saja mahal. Garuda tidak bisa bikin itu turun karena Garuda punya kelebihan dibandingkan dengan airline lainnya. Pesawatnya bagus, layanannya bagus, dan dia terbang tepat waktu.

Saya bilang, Garuda fokus kepada middle up. Begitu diubah, hasilnya bagus. Begitu saya berhenti di Garuda, CEO yang baru mengembalikan lagi ke kondisi semula. (Garuda harus melayani semua orang). Akhirnya bangkrut lagi. Terpaksa saya harus kembali lagi ke sana untuk mentransformasi Garuda ke prinsip semula.

Apa konsep yang Anda terapkan dulu ke tubuh Garuda?

Ada istilah konseptual, sistematis, bertahap, dan konsisten. Apalagi perusahaan-perusahaan yang besar seperti ini masalahnya kompleks, tidak sederhana. Pertama kita harus pelajari masalahnya secara detail sehingga kita tahu betul apa sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat. Itu namanya konseptual.

 
Saya kasih Anda contoh, kalau suatu perusahaan merugi, artinya pendapatannya lebih rendah daripada biaya yang dikeluarkan. Secara umum apa yang biasanya dilakukan orang kalau hal ini terjadi? Biasanya mereka akan berpikir dari biayanya. Biayanya harus ditekan atau dikurangi agar sesuai dengan pendapatan.

Baca juga:   Ayah-Aplikasi Membaca Al-Quran di Android Dari Tafsir Centre

Nah, untuk penerbangan, itu salah. Itu yang dilakukan manajemen sebelumnya. Dia kurangi biaya, akibatnya kualitas layanan semakin turun, penumpang pun semakin turun. Bukannya tambah baik, malah tambah rugi. Jadi apa yang harus dilakukan? Karena konsepnya layanan, maka kualitas layanannya harus kita perbaiki agar orang naik pesawat.

Jadi dari cost efficiency menjadi cost effectiveness. Bukan menghambur-hamburkan biaya, tapi yang efektif agar bisa memelihara dan meningkatkan kualitas layanan. Itu namanya konseptual. Jadi tidak asal menemukan solusi yang umum, tapi harus betul-betul yang menjawab.

Itu baru satu aspek. Ada juga yang lainnya. Tangan kita kan ada dua. Berarti kita tidak bisa pegang semuanya. Di situ kita tahu mana yang prioritas dan harus didahulukan. pengerjaannya bertahap. Sehingga itu tertangani. Tidak sekaligus semua. Pada waktu kita menyelesaikan ini, ini, dan ini, maka kita tidak boleh hanya melihat yang ini saja. Tetap kerangka umumnya menjadi kesatuan. Itu sistematis.

 
Jadi konseptual, sistematis, bertahap. Karena bertahap, maka kita harus konsisten memelihara prinsipnya. Jangan berubah seenaknya. Kalau berubah, kacau lagi semuanya. Itu harus dikerjakan dalam proses transformasi dari awal sampai akhir sehingga betul-betul sesuai dengan apa yang kita mau.

 
Sumber: Situs internet yang menampilkan wawancara dg bapak Abdulgani, beberapa ilmu di atas juga saya dapatkan ketika wawancara untuk persiapan seminar nasional pembangunan Islamic Entrepreneurship di Pusdiklat Kemensos 30 April lalu.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *