Benarkah Imam Syafi’i Berfaham Syiah?

Syair Imam Syafi’i yang Mengindikasikan sebagai Syiah

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan satu riwayat dalam kitabnya sebagai berikut :

قد قال الزبير بن عبد الواحد الاستراباذي: أخبرنا حمزة بن علي الجوهري، حدثنا الربيع بن سليمان قال: حججنا مع الشافعي، فما ارتقى شرفا، ولا هبط واديا، إلا وهو يبكي، وينشد: يا راكبا قف بالمحصب من منى * واهتف بقاعد خيفنا والناهض سحرا إذا فاض الحجيج إلى منى * فيضا كملتطم الفرات الفائض إن كان رفضا حب آل محمد * فليشهد الثقلان أني رافضي

“Telah berkata Az-Zubair bin ‘Abdil-Waahid Al-Istiraabaadziy:

Telah mengkhabarkan kepada kami Hamzah bin ‘Aliy Al-Jauhariy : Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaiman, ia berkata :

“Kami pernah melakukan ibadah haji bersama Asy-Syafi’iy. Tidaklah ia menanjak tanah yang tinggi atau menuruni tanah yang rendah, kecuali senantiasa ia menangis serta bersenandung syair :

Wahai pengendara, behentilah di tempat lemparan di Mina

Serukan kepada orang yang duduk dan yang berdiri seluruhnya

Sebuah sihir jika jama’ah haji telah mengalir ke Mina

Secara berbondong-bondong seperti gelombang air (sungai) Furat yang meluap

Jika Rafidlah berarti mencintai keluarga Muhammad

Maka hendaknya jin dan manusia bersaksi bahwa aku seorang Rafidliy

[Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/58. Lihat juga Manaaqib Asy-Syafi’iy lil-Baihaqiy 2/71, Manaaqib Asy-Syafi’iy lir-Raaziy hal. 51, Taariikh Ibni ‘Asaakir 14/407, Ath-Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah lis-Subkiy 1/299, Al-Intiqaa’ 90-91, Mu’jamul-Adbaa’ 17/320, dan ‘Uyuunut-Tawaariikh 7/180].

Beberapa orang Syi’ah Rafidlah menukil riwayat ini dan mengklaim bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah termasuk golongan mereka.

Klaim mereka ini tentu saja salah dengan kesalahan yang teramat nyata. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :

من زعم أن الشافعي يتشيع فهو مفتر، لا يدري ما يقول……

لو كان شيعيا – وحاشاه من ذلك – لما قال: الخلفاء الراشدون خمسة، بدأ بالصديق، وختم بعمر بن عبد العزيز.

“Barangsiapa yang menyangka bahwa Asy-Syafi’iy mempunyai kecenderungan kepada Syi’ah, maka ia telah mengada-ada, tidak mengetahui apa yang dikatakannya…. Apabila ia seorang Syi’iy – dan ia jauh dari hal itu – tentu ia tidak mengatakan : ‘Al-Khulafaaur-Raasyidiin itu ada lima, dimulai dari (Abu Bakr) Ash-Shiddiq, dan ditutup dengan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/58-59].

Apa yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullah di atas adalah benar. Tidaklah disebut sebagai Rafidlah orang yang mencintai keluarga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ahlus-Sunnah telah sepakat tentang kewajiban mencintai mereka, sebagaimana pula mereka telah sepakat untuk mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.

Allah ta’ala telah berfirman :

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى

“Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan” [QS. Asy-Syuuraa : 23].

Salah satu makna al-qurbaa dalam ayat di atas adalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam – sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4818).

Maka, ketika ada sebagian orang yang menuduh Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah sebagai seorang Syi’iy atau Raafidliy, beliau melantunkan syair :

إذا نحن فضلنا علياً فإننا

روافض بالتفضيل عند ذوي الجهل

وفضل أبو بكر إذا ما ذكرته

رميت بنَصْب عند ذكريَ للفضل

فلازلت ذا رفض ونصب كليهما

أدين به، حتى أوسد الرمل

Jika kami mengutamakan ‘Ali maka sesungguhnya kami

adalah Raafidlah karenanya menurut orang-orang bodoh.

Dan jika aku menyebut keutamaan Abu Bakr

maka aku dituduh Naashibiy pada saat aku mengatakannya

Maka aku senantiasa Raafidliy dan Naashibiy, kedua-duanya

aku memegangnya sampai aku dikubur di tanah

[Manaaqibusy-Syaafi’iy oleh Ar-Raaziy, hal. 140-143]

Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya :

قيل للشافعي : إنَّ فيك بعضَ التشيُّع، قال : وكيف ذاك ؟ قالوا : لأنك تُظهرُ حُبَّ آل محمد، فقال : يا قوم، ألم يَقُل رسولُ الله صلى الله عليه وسلم : ((لا يُؤمِنُ أحدُكم حتى أَكونَ أَحَبَّ إليه من والدِهِ ووَلِدِهِ والناس أَجمعين)). وقال : ((إن أوليائي من عترتي : المُتَّقُون)). فإذا كان واجباً عليَّ أن أُحِبَّ قَرَابتي وذوي رحمي إذا كانوا من المتقين، أليس من الديِّين أن أُحِبَّ قَرابةَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كانوا من المتقين. لإنه كان يُحِبُّ قرابتَه، وأَنشد : يا راكباًَ قِفْ بالمحصَّبِ مِن منًَى.

Bahwasannya ada seseorang yang berkata kepada Asy-Syafi’iy rahimahullah : “Sesungguhnya pada dirimu terdapat kecenderungan kepada Syi’ah”. Beliau bertanya : “Bagaimana bisa seperti itu ?”. Mereka menjawab : “Engkau menunjukkan kecintaan kepada keluarga Muhammad”.

Baca juga:   Multipleks Ontologi Ibnu Khaldun

Maka Asy-Syafi’iy mengatakan : “Wahai manusia, bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : ‘Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia lebih mencintaiku daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : ‘Sesungguhnya wali-wali-Ku dari keluargaku adalah orang-orang yang bertaqwa’.

Jika aku wajib mencintai kerabat dan sanak familiku jika mereka adalah orang-orang yang bertaqwa, bukankah termasuk bagian dari agama jika aku mencintai kerabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila mereka adalah orang-orang yang bertaqwa. Karena beliau sendiri mencintai kerabatnya”. Lalu Asy-Syafi’iy menyenandungkan syair : “Wahai pengendara, berhentilah di tempat lemparan di Mina” [Al-Intiqaa’ fii Fadlaailil-Aimmatits-Tsalaatsatil-Fuqahaa’, hal. 146-147].

Ringkasnya, mencintai kerabat/Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah harus mengkonsekuensikan sebagai seorang Raafidliy atau Syi’iy. Bahkan, sebagai seorang muslim kita dianjurkan untuk mencintai mereka dengan batas-batas yang telah diatur oleh syari’at. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم) : (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي (وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم).

ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).

“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum) : “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”.

Beliau juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas) mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda :

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dan karena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani Haasyim”.

Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya, serta mempunyai kedudukan yang tinggi.

Dan juga Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai – Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].

Tidak bisa dikatakan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah adalah seorang Raafidliy ketika beliau berkata :

ما اختلف أحد من الصحابة والتابعين في تفضيل أبي بكر وعمر وتقديمهما على جميع الصحابة

“Tidak ada perbedaan pendapat seorangpun dari kalangan shahabat dan tabi’in dalam pengutamaan Abu Bakr dan ‘Umar, serta mendahulukannya dari seluruh shahabat” [Manaaqibusy-Syaafi’iy lil-Baihaqiy, 1/434, tahqiq : Ahmad Shaqr].[6]

إن معاوية رضي الله عنه له فقه وعلم

“Sesungguhnya Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu mempunyai kefaqihan dan ilmu” [Al-Umm, 4/87].

Telah menjadi satu kemakluman tentang syi’ar khas kaum Syi’ah Raafidlah untuk mengutamakan terhadap ‘Ali di atas Abu Bakr dan ‘Umar; serta hinaan/celaan mereka (bahkan pengkafiran) terhadap keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar) serta Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ‘anhum.

Justru dalam banyak kesempatan, beliau rahimahullah mengeluarkan banyak celaan terhadap orang-orang Syi’ah Raafidlah (karena kesesatan mereka dalam agama). Diantaranya beliau berkata :

Baca juga:   Ketika Beliau Tergeletak Di Rumah Sakit

ما رأيت في أهل الأهواء قوما أشهد بالزور من الرافضة

“Aku tidak pernah melihat satu kaum dari pengikut hawa nafsu yang aku saksikan kedustaannya daripada Rafidlah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 8/1457 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 10/89, dari Ar-Rabii’. Dibawakan pula oleh Harmalah lafadh yang semisal dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 187, Al-Manaaqib lil-Baihaqiy 1/468, dan As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 10/208].

ما كلمتُ رجلاً في بدعةٍ؛ لا رجلاً كان يَتَشَيَّعُ

“Tidaklah aku berbicara kepada seseorang tentang bid’ah, kecuali ia cenderung mengarah kepada Syi’ah” [Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu li-Ibni Abi Haatim Ar-Raaziy, hal. 186].

عن البويطي يقول: سألت الشافعي: أصلي خلف الرافضي ؟ قال: لا تصل خلف الرافضي، ولا القدري، ولا المرجئ….

Dari Al-Buwaithiy ia berkata : “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’iy : ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang Rafidliy ?”. Beliau menjawab : “Janganlah engkau shalat di belakang seorang Rafidliy, Qadariy, dan Murji’” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/31].

Taajuddin As-Subkiy rahimahullah berkata :

وروى الحافظ أبو الحسن بن حَكَمَان : أن الزعفراني، قال : قال الشافعِي في الرافضي يحضر الواقعة : “لا يعطى من الفيء شيئا؛ لأن الله تعالى ذكر آية الفيء، ثم قال : (وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ) الآية. فمن لم يقل بها لم يستحِق”.

“Al-Haafidh Abul-Hasan bin Hakamaan meriwayatkan : Bahwasannya Az-Za’faraniy berkata : Telah berkata Asy-Syafi’iy tentang seorang Rafidlah yang ikut serta dalam peperangan : “Tidak diberikan bagian harta fai’ sedikitpun, karena Allah ta’ala menyebutkan ayat fai’ dan setelah itu Ia berfirman : “Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa : ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang te;ah beriman terlebih dahulu daripada kami” (QS. Al-Hasyr : 10). Barangsiapa yang tidak mengatakan hal itu, maka ia tidak berhak atas harta fai” [Thabaqaatusy-Syafi’iyyah Al-Kubraa lis-Subkiy, 1/117].

Imam Asy-Syafi’i menolak keadilan Sahabat

Syiah mengklaim bahwa Imam Asy-Syafi’i telah menolak kesaksian empat orang sahabat Nabi. Konsekuensi dari itu, tentu dia menolak ijma’ salaf akan keadilan para sahabat. Di antara mereka adalah Mu’awiyah dan Amru bin Al-Ash.

Sebagaimana riwayat yang dinukil Sayyid Hamid Al-Naqwi dalam bukunya ‘Khulaashah ‘Abaqaat Al-Anwaar’ bahwa Imam Asy-Syafi’i membisikkan kepada Al-Rabi’ tentang tidak diterimanya persaksian empat orang sahabat, mereka adalah Mu’awiyah, Amru bin Al-Ash, Al-Mughirah dan Ziyad.

Riwayat di atas adalah distorsi dan kedustaan atas Imam Asy-Syafi’i. Ibnu Hajar mengatakan bahwa para ulama Ahlussunnah berijma’ akan  keadilan seluruh sahabat, dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Ibnu Shalah dan Ibnu Katsir juga mengatakan demikian. Jadi, sangat mustahil Imam Asy-Syafi’i sebagai ulama Ahlussunnah keluar dari ijma’ yang mana itu adalah sumber utama dari syariat.

Ahlul Bait Jalan Keselamatan

Menurut Syiah, Imam Asy-Syafi’i berkeyakinan mengikuti ahlu bait adalah perintah Allah, dan satu-satunya jalan selamat ketika umat Islam berpecah belah sebagaimana yang dia ungkapkan dalam bait syairnya, padahal yang memiliki akidah demikian hanya Rafidhah.
Syair itu dinukil oleh Lathafullah Al-Shafi – salah seorang ulama Rafidhah di Iran – dalam kitabnya ‘Amaanul Ummah minal Ikhtilaf

وهي قوله تعالى ” واعتصموا بحبل الله جميعا”…وقد فسر الشافعي حبل الله بولاء اهل البيت في الابيات التى ذكرها له … وهى هذه: ولما رأيت الناس قد ذهبت بهم * مذاهبهم في أبحر الغي والجهل ركبت على اسم الله في سفن النجا * وهم أهل بيت المصطفى خاتم الرسل وأمسكت حبل الله وهو ولاؤهم * كما قد أمرنا بالتمسك بالحبل…

Allah Ta’ala berfirman, ‘ Berpegang teguhlah kalian seluruhnya dengan tali Allah.’ (QS. Ali Imran: 103)… Asy-Syafi’i telah menafsirkan tali Allah dengan  berwali kepada ahlu bait. Hal itu tertera dalam bait-bait syairnya… berikut bait-baitnya: ‘ tatkala saya melihat manusia sudah mulai bermadzhab di tengah lautan kesesatan dan kebodohan, maka saya mengendarai sebuah kapal keselamatan dengan nama Allah, kapal itu adalah ahlu bait Nabi, saya berpegang teguh dengan tali Allah dengan mengikuti mereka, sebagaimana perintah Allah atas kita untuk berpegang teguh padanya..

Orang-orang Rafidhah kembali berdalih dengan syair Imam Asy-Syafi’i untuk melegitimasi akidah Rafidhah.

syair tersebut cacat dari segi baitnya. Sebab, bait syair tersebut hanya ditemukan di dalam kitab-kitab Rafidhah saja, seperti Amaanul Ummah minal Ikhtilaf[41] dan adab Al-Thif.[42]Para ulama Ahlussunnah, termasuk Syafi’iyah tidak ada satu pun yang menukilnya di dalam kitab mereka, bahkan dalam kitab Diiwan Al-Imam Asy-Syafi’i – kumpulan syair Imam Asy-Syafi’i – yang ditulis sendiri oleh Imam Asy-Syafi’i tidak mencantumkan bait syair tersebut.
Berkenaan mencintai ahlu bait, Imam Asy-Syafi’i di dalam kitabnya hanya bersyair,[43]

Baca juga:   Usaha Ulama Indonesia Untuk Menafsirkan al-Quran

يا آل بيت الرسول حبّكم … فرض من الله في القرآن أنزل … كفيكم من عظيم الفخر أنكم … من لم يصل عليكم لا صلاة له

Wahai ahlu bait nabi, mencintai kalian adalah perintah Allah yang diturunkan di dalam al-Quran. Cukuplah bagi kalian kemulian, karena siapa yang tidak bershalawat untuk kalian, tidak ada shalawat baginya.”

Tidak ada sedikit pun kalimat yang mengindikasikan ia menafsirkan tali Allah dalam QS. Ali Imran: 103 sebagai ahlu bait, bahkan kata-kata hablun (tali) tidak terdapat di dalam syairnya.

Wallaahu A’lam.


[1] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Fadlaailush-Shahaabah, Baab : Min Fadlaaili ‘Aliy bin Abi Thaalib, hadits no. 3408 dari musnad Zaid bin Arqam dengan siyaq (susunan) yang serupa dengan yang disebutkan mushannaf (Ibnu Katsir), namun ini bukan lafadhnya. Hadits ini mempunyai banyak syawaahid. Lihat selengkapnya dalam Ash-Shahiihah 4/355-361.

[2] Hadits ini dla’if. Sanadnya berporos pada ‘Aliy bin Zaid bin Abi Ziyaah, dan ia seorang yang dla’if yang hafalannya bercampur (ikhtilath) di akhir hayatnya. Terdapat idlthirab (kegoncangan) dalam hadits ini. Satu kali ia (‘Aliy bin Zaid) membawakannya dari musnad Al-Abbas, dan kali yang lain ia membawakan dari musnad ‘Abdul Muthallib bin Rabii’ah – dimana pada sebagian jalan, ia menamakannya dengan Al-Muthallib bin Rabi’ah.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (1/207, 4/165) dan dalam Al-Fadlaail (no. 1757), At-Tirmidzi dalam Al-Manaaqib (no. 3708), An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa (no. 8176), Al-Bazzaar (no. 316), Al-Haakim (3/332), Al-Khathiib dalam At-Taariikh (3/386) dari beberapa jalan, dari Yaziid bin Abi Ziyaad, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits dengan sanad hadits di atas.

[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Manaaqib, Baab : Manaaqib Qurbati Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (no. 3713), kemudia ia ulangi dalam Fadhlul-Hasan wal-Musain (no. 3751), dari jalan yang lain, dari Syu’bah.

[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Manaaqib, Baab : Manaaqib Qurbati Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (no. 3712).

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 8/914 dari jalan Ibrahim bin Al-Muhaajir, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbas, ia berka : Telah berkata ‘Umar kepada Al-‘Abbas : “…..kemudian disebutkanlah lafadhnya…”.

[6] Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma mengenai posisi para shahabat atas permasalahan ini :

كنا نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت

“Kami mengutamakan di jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 7251, Ibnu Abi Syaibah 12/9, Ahmad 2/14, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Ath-Thabaraniy no. 13301; shahih].

Pengutamaan Abu Bakr dan ‘Umar atas ‘Ali radliyallaahum ajma’in merupakan ijma’ dari kalangan Ahlus-Sunnah. Bahkan ‘Ali sendiri mengatakan hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud :

عن محمد بن الحنفية قال: قلت لأبي: أيُّ الناس خير بعد رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال: أبو بكر، قال: قلت: ثم من؟ قال: ثم عمر، قال: ثم خشيت أن أقول ثم من؟ فيقول عثمان، فقلت: ثم أنت يا أبتِ؟ قال: ما أنا إلا رجل من المسلمين.

Dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (yaitu ‘Ali bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Beliau menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya : “Kemudian siapa ?”. Beliau menjawab : “Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : “Kemudian aku takut untuk mengatakan kemudian siapa (setelah ‘Umar). Namun kemudian beliau berkata : “Kemudian ‘Utsman”. Aku kembali bertanya : “Kemudian setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Beliau menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4629; shahih].

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *