Benarkah Setan Dibelenggu saat Bulan Ramadan?

Saat Ramadan, kita sering mendengar kutipan bahwa di bulan suci ini pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan dibelenggu. Lantas, benarkah setan akan dibelenggu ketika Ramadan tiba?

Ungkapan mengenai setan yang dibelenggu selama bulan Ramadan terdapat dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1899. Muslim, no. 1079, dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu,  sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

“Apabila bulan Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu ditutup dan setan-setan dibelenggu”.

Berdasarkan hadis Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita mempercayai secara pasti karena disampaikan oleh Nabi yang shiddiq bahwa setan terikat sepanjang Ramadan.

Penjelasan dari para ulama bisa diringkas menjadi dua tafsiran dari hadis ini.

Pertama; Makna Metaforis

Bahwa pada hadis ini Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada Sahabat dan memberi tahu mereka bahwa kebaikan yang mereka lakukan akan membuka gerbang surga dan membuka rahmat. Dan meningkatkan untuk meninggalkan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup neraka bagi mereka. Adapun setan, tidak berbarti setan dirantai di suatu tempat, namun karena kesadaran yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mencegah iblis mencapai tujuan mereka mengganggu manusia dan secara tidak langsung membatasi gerak-gerik.

Kedua; Makna literal

Makna literal atau harfiah yang dipegang oleh beberapa ulama. Seperti Iyadh yang berkata: Ada kemungkinan maknanya sesuai zahir dan hakekatnya. Yaitu sebagai tanda bagi para malaikat akan masuknya bulan Ramadan, agar mereka mengagungkan kesuciannya dan melarang para setan mengganggu kaum beriman.

Hadits seperti ini termasuk perkara ghaib, sikap orang muslim adalah menerima dan membenarkannya. Dan tidak kita memperbincangkan (apa kenyataan sesungguhnya)  di balik itu. Karena sikap tersebut  lebih menyelematkan agama seseorang dan lebih bagus akibatnya. Oleh karena itu ketika Abdullah bin Imam Ahmad berkata kepada bapaknya: “Sesungguh orang kerasukan (jin) pada bulan Ramadan (maksudnya mengapa sampai terjadi padahal katanya setan dibelenggu)”.  Imam Ahmad berkata: Begitulah hadits ini dan jangan membicarakan (lebih dalam masalah) ini.

Hadis di atas banyak mendapatkan komentar para ulama, dan mayoritas mengambil makna yang pertama.

Kenapa masih kita dapatkan orang-orang yang bermaksiat di bulan Ramadan?

Berkaitan dengan pemahaman hadis di atas, bisa kita buat permisalan demikian. Bahwa diumpamakan syetan diikat seperti anjing. Apakah anjing yang diikat tidak bisa menggigit? Bagi orang yang menjauhi anjing pasti tidak akan tergigit olehnya. Akan jadi masalah jika ada orang yang mendekati anjing atau duduk-duduk disamping dengan anjing. Tak ayal kena gigitan serius lantaran anjing marah.

Ramadan menjadikan setan terbelenggu untuk bebas berkeliaran merupakan proses mengurangi potensi setan mengganggu manusia berbuat jahat. Sebagaimana hadis Nabi Shallallahu alaihi wasallam dari riwayat Bukhari Muslim bahwa “Sesungguhnya Setan bergerak dalam diri anak Adam melalui saluran darah, maka sempitkanlah perjalanannya dengan rasa lapar”.

Baca juga:   Stik Yahya Sinwar, Simbol Perlawanan Baru

Ramadan mengurangi potensi syetan. Akan tetapi bagi mereka yang menghabiskan waku di tempat maksiat dan dosa. Ketika syetan diikat malah dia mencari-cari syetan dan menghabiskan waktu dengan sia-sia. Bukankah dia seperti menyerahkan diri jadi santapan syetan?

Sumber kejahatan manusia ada dua, dari luar dan dari dalam. Dari luar adalah syetan dan dari dalam dan paling berbahaya adalah hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Taala, “Apakah kamu tidak melihat orang yang menuhankan hawa nafsunya sendiri?” (Al-Jaatsiyyah : 23).

Mereka adalah orang yang jiwa fujurnya lebih kuat daripada jiwa taqwa.

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Qs. An-Naziat: 37-41)

Allah membagi manusia menjadi dua golongan.

  1. Mengutamakan kehidupan dunia dan melampaui batas> neraka
  2. Takut kepada Allah dan menahan nafsu > surga.

Ayat ini memberikan perbandingan antara orang yang mampu menahan nafsu dan orang yang tidak bisa menahan nafsunya.

Manusia diciptakan untuk beribadah. Siapa yang tidak bisa menguasai nafsu atau tubuhnya sendiri, seperti seorang driver yang menguasai kendaraan, itulah orang yang menang. Maka tubuh, harta dan apa saja yang kita miliki menjadi kendaraan untuk beribadah kepada Allah.

Orang yang melampaui batas adalah kebalikannya, yang menjadikan tubuhnya sebagai driver, keinginan dirinya menjadi skala prioritas. Hendaknya selalu diingat, ketika berbuat sesuatu selalu menanyakan kepada diri, saya bergerak ini siapakah yang menggerakkan, apakah nafsu fujur saya atau nafsu taqwa saya?

Mari kita potret diri kita. Sudahkah kita memerdekakan penilaian manusia kepada penilaian Allah saja. Ikatlah penilaian kita kepada penilaian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penilaian manusia bersifat fluktuatif, besok jadi teman bisa jadi besoknya lagi jadi musuh.

Mengikat penilaian kepada Allah, anda akan tetap mulia di mata manusia yang baik. Dengan memprioritaskan akhirat anda akan tetap bisa hidup enak, karena dalam mencari akhirat kita harus kaya  untuk bisa beribadah seperti menutup aurat, ibadah zakat, haji dan shadaqah. Maka salah anggapan bahwa mencari ridha Allah akan menjadi susah.

Manusia di akhirat akan menghayal jika sekiranya menjadi debu/tanah (akhir ayat surat An-Naba’) padahal di dunia terkenal, cantik dan kaya. Demikian gambaran manusia yang melampaui batas di akhirat, lebih memilih menjadi tanah daripada di siksa dan dibakar di neraka.

Jadilah mutiara di mata Allah walau menjadi debu di mata manusia. Kenapa menjadi debu di mata manusia? Karena jika anda menjadi mutiara di mata Allah anda akan menjadi manusia yang baik dimata orang yang baik.

Baca juga:   Apakah Imam Al-Ghazali menolak Ilmu Kalam?

Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak memberikan gambaran bagaimana gunung dan batu lebih baik dari hati manusia padahal mereka bukan mukallaf atau tidak diperintah dan dilarang dan mereka tidak masuk surga dan neraka. Batu, gunung dan lainnya takut kepada Allah karena keagungan Allah.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.” (Qs. Ar-Ra’du: 13)

Guruh dalam ayat ini takut kepada Allah, apakah dia mukallaf (dibebani hukum Islam), apakah dia masuk surga atau neraka? lalu kenapa dia takut?

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir” (Qs. Al-Hasyr: 21)

Gunung, makhluk terbesar di dunia, takut kepada Allah sementara manusia yang lebih kecil dan lebih lemah dari gunung tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Gunung pun bukan mukallaf dan tidak masuk surga atau neraka, tetapi dia takut kepada Allah, takutnya adalah karena keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang yang tidak merasa takut dengan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti tidak bisa menahan nafsunya. Nafsu disini bukan hanya berbuat maksiat seperti zina, contoh yang kecil saja seperti shalat cepat cepat.

Siapakah yang pertama kali kita hadapi dalam menaklukkan jiwa? nomor satu adalah diri kita sendiri. Maka dalam kesabaran yang pertama adalah kesabaran dalam menegakkan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, selanjutnya bersabar dari kesengsaraan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”  (Qs. Al-Kahfi: 28)

Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam juga manusia, dia juga bisa tidak bisa bersabar dalam keadaan gundah seperti yang lain. Juga menjelaskan pentingnya set up lingkungan agar terus menjadi baik. Nabi yang ma’shum saja diminta agar bergaul dengan orang yang baik apalagi kita. Mata kita pun harus terus bersama orang orang yang baik dan jangan tertipu dengan gemerlapnya dunia.

Hidup adalah ujian, agar tidak salah langkah harus menyebut nama Allah terlebih dahulu dalam segala aktifitas kita. Kenapa dalam banyak ayat disebutkan perintah untuk berdzikir, menyebut nama Allah dalam keadaan, berdiri, duduk dan berbaring?

Karena dalam sebuah hadits disebutkan bahwa dalam hati manusia terdapat dua pintu, pintu yang dimasuki syetan dan pintu yang dimasuki malaikat. Jika manusia berdzikir maka syetan akan minggir dan malaikat masuk, kalau tidak berdzikir syetan akan masuk.

Baca juga:   Mengambil Hikmah dari Pandemi

Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa orang yang berdzikir dan orang yang tidak berdzikir seperti orang mati dan hidup.

Hadits yang lain, orang yang tidak berdzikir laksana orang yang diserang musuh, kemudian ketika dia berdzikir laksana dia masuk ke dalam benteng, dimana musuh tidak bisa menyentuhnya.

Maksud dari ‘selalu bersama orang yang berzikir’ bukan hanya secara fisik saja, tetapi setelah selesai perkumpulan kita tetap terus berdzikir mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika membiasakan diri untuk berdzikir ketika berdiri, duduk dan berbaring, sebenarnya kita sedang menghadapi diri sendiri, seperti ketika muncul suatu ide, benturan terjadi dalam diri, jika berjalan anda menang, jika tidak anda kalah dengan diri sendiri.

Tidak ada orang yang tidak ingin masuk surga, dan orang yang masuk surga sudah terpola dia bisa menaklukkan diri sendiri. Contohnya, puasa adalah bentuk peperangan terbesar terhadap diri sendiri.

gajah di bulan ramadan

Gajah di Bulan Ramadan

Suatu kali Imam Malik duduk di Masjid Nabawi seperti biasanya untuk mengajar dan meriwayatkan hadits. Para pelajar duduk berkeliling di sekitar beliau dengan tenang menunggu kucuran ilmu dari guru yang mulia.

Tiba-tiba di tengah-tengah konsentrasi belajar itu terdengar orang berteriak, “Gajah…gajah…gajah!

Rupanya ada gajah yang lewat di luar masjid. Dan gajah bukan binatang yang biasa ada di kota Madinah.

Mendengar teriakan itu dengan spontan murid-murid Imam Malik berlarian ke luar masjid untuk menyaksikan gajah. Kecuali ada satu orang pemuda belia yang duduk dengan tenangnya di hadapan Imam Malik. Ia tidak terpengaruh dengan perbuatan teman-temannya.

Melihat itu Imam Malik heran, lantas bertanya kepadanya, “Apakah kamu biasa melihat gajah? Banyakkah gajah di kampungmu? Kenapa kamu tidak ikut melihat gajah dengan teman-temanmu?”

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, pemuda itu menjawab:

Aku datang jauh-jauh dari negeri Andalusia (Spanyol) ke Madinah ini untuk melihat dan mengambil ilmu darimu tuan guru, bukan untuk melihat gajah.

Imam Malik tercengang mendengar jawaban anak muda itu dan mendo’akan keberkahan untuknya. Hingga hari-hari berikutnya ia menjadi salah seorang murid terbaik Imam Malik yang menyebarkan madzhab maliki di bagian barat bumi ini. Yaitu di tanah Andalusia.

Imam Malik menggelarinya dengan (أعقل أهل الأندلس) “penduduk Andalus yang paling cerdas”. Beliaulah Imam Yahya bin Yahya Al Laytsi Al Andalusi.

Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang keteguhan sikap untuk meraih apa yang dicita-citakan. Tidak terperdaya sedikitpun dengan godaan kiri dan kanan apapun bentuknya.

Sikap ini sangat kita butuhkan untuk menghadapi Ramadhan kali ini. Banyak “gajah-gajah” bertebaran yang akan menarik perhatian agar berpaling meraih cita-cita Ramadhan terbaik kita. []

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

  1. Terima kasih atas penjelasannya mas.

    By the way, sebagai yang sesekali mengunjungi blog ini saya takjub blog ini telah berpindah ke self-hosted dan memiliki domain baru. Selamat dan semoga berkah. aamiin.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *