Pendahuluan
Memahami tuntunan Nabi SAW dalam beribadah, terutama dalam shalat adalah sangat urgen. Karena ketika seseorang tidak mengetahui sunnah-sunnah Nabi SAW dalam shalat, akan mengakibatkan seseorang tersebut menjalankan ibadah shalat yang jauh dari tuntunan Rasulullah SAW.
Hal tersebut bisa kita dapatkan dihampir sebagian besar masjid yang ada di tanah air kita, ketika shalat ditegakkan, terlihat shalat dalam keadaan shaf yang tidak rapat dan lurus. Dan ironisnya pada shalat berjama’ah tersebut, diimami oleh seorang kiyai atau ustadz yang tidak menginstruksikan kepada jama’ah untuk merapatkan dan meluruskan shaf shalat.
Amat jauh gambaran mutu shalat generasi sekarang dengan zaman Nabi SAW, ketika gambaran tersebut terekam saat Nu’man bin Basyir ra berkata:
“Saya melihat orang-orang di dalam shaf mempertemukan mata kakinya dengan mata kaki kawannya, lutut dengan lutut kawanya dan bahu dengan bahu kawannya.”
Bahkan diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab ra memukul orang yang tidak berdiri dengan baik dan tidak meluruskan shaf ketika shalat.
Kebanyakan umat Islam sekarang tidak memperhatikan masalah pelurusan shaf dalam shalat, bahkan mereka sudah tidak mau menghiraukannya. Mereka bersikap sinis terhadap orang yang masih peduli terhadap masalah ini. Menurut mereka pelurusan dan perapatan shaf dalam shalat hanya akan membuat jamaah shalat saling berhimpitan, berdesak-deakan dan mempersempit ruang gerak saja.
Di samping itu masalah ini hanyalah masalah furu’ (cabang) bukan masalah ushul (pokok) dalam agama Islam. Sehingga tidak sepatutnya umat Islam disibukkan dengan perkara-perkara seperti ini. Sedangkan di sisi lain mereka mempunyai kewajiban yang lebih besar dan berat, yakni menghadapi musuh-musuh Islam baik di belahan timur maupun barat.
Sesungguhnya pembicaraan tentang masalah pelurusan shaf dalam shalat menurut sebagian besar umat Islam hanyalah akan membuang-buang waktu belaka, serta pemicu terjadinya konflik dan perpecahan di antara mereka.
Akan tetapi permasalahannya adalah bahwa masalah ini tidaklah semata-mata hanya diukur dari tinjauan logika saja, karena masalah ini menyangkut Tauqifiyyah (sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya) dan kita tidak punya kekuatan apapun jika dihadapkan kepada firman Allah SWT dan sabda Rasuluillah SAW.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa’: 65)
Maka pada makalah ini kami akan membahas nash-nash yang membicarakan tentang masalah pelurusan shaf dalam shalat, agar kita mengetahui bahwa masalah ini termasuk perkara yang sangat dianjurkan dan sangat erat dengan kehidupan umat dan agar kita mengetahui bagaimana sikap kita atas perintah ini dan apa yang mesti kita lakukan?.
Cara Menyempurnakan Shaf Shalat
Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Jabir bin Samurah ra, ia berkata: “Rasulullah SAW datang kepada kami seraya berkata: “Aku tidak pernah melihat kalian mengangkat tangan-tangan kalian, hingga seperti ekor kuda liar, hendaklah tenang di dalam shalat.”
Jabir berkata, kemudian beliau datang kepada kami dan melihat kami sedang bergerombol, maka beliau berkata, “Aku tidak pernah melihat kamu bergerombol,” kemudian Jabir berkata kemudian Nabi datang kepada kami seraya berkata, “Kenapa kalian tidak membentuk shaf sebagaimana para malaikat membentuk shaf di hadapan Rabb mereka?”
Maka kami berkata, “Wahai Rasulullah bagaimana para malaikat membentuk shaf di hadapan Rabb mereka? Nabi berkata, “Mereka menyempurnakan shaf yang pertama, mereka saling menempel dan merapat dalam shaf mereka.”[1]
Maka shaf yang benar tidak akan terwujud tanpa dengan menyempurnakan dan merapatkan shaf itu, lihatlah bagaimana keadaan prajurit ketika berbaris, jarak antara prajurit yang satu dengan yang lain rapi dan teratur, maka pantaslah jika Allah SWT senang jika para hamba-Nya berbaris seperti bangunan yang teratur.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS as-Shaf: 4)
Bencana Akibat Tidak Meluruskan Shaf Shalat
Memicu Perseteruan
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِسْتَوُوْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruskanlah shaf, janganlah kau membengkokkan shaf, maka hati kamu akan berseteru.” (HR Muslim: 432, Abu Dawud: 568, at-Tirmidzi: 211, an-Nasa’i: 798 dan Ibnu Majah: 966)
Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada umatnya untuk meluruskan shaf di dalam shalat, dan memerinthkan agar tidak mengingkari perintahnya, karena hal ini akan memicu terjadinya perpecahan. Huruf Fa’ dalam kalimat ‘Takhtalifu’ adalah ‘Fa’ Sababiytah’, sehingga makna hadits adalah bahwa bengkoknya shaf dalam shalat sebagai penyebab timbulnya perseteruan.
Maka orang yang melarang tentang pelurusan shaf telah melakukan ijtihad tanpa ada dasarnya, karena perselisihan itu tidak mungkin luput dari Nabi SAW karena Allah SWT telah berfirman bahwa ucapan Nabi SAW berdasarkan atas wahyu bukan nafsu.
Memicu Kerusakan Umat
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa tidak meluruskan shaf shalat akan berdampak pada perbedaan, kegagalan dan hilanngnya kekuatan. Dan sekarang musuh Islam sedang mengerumuni umat Islam seperti anjing mengerumini makanan.
Maka dengan menerima perintah dari Rasulullah SAW untuk meluruskan shaf shalat adalah sebagai langkah awal untuk menyatukan hati kita yang nantinya akan berlanjut pada penyatuan persepsi dan tujuan.
Allah Palingkan Wajahnya
Dari Nu’man bin Bashir ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لَتُسَوُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللّهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kamu atau Allah akan memalingkan wajah-wajah kamu.” (HR Bukhari: 717, Muslim: 436, Dawud: 567, Ibnu Majah: 964)
Imam Nawawi mengatakan dalam syarhnya: “Terjadinya permusuhan di antara kamu, perseteruan dan perselisihan, sebagaimana halnya perkataanmu, “Ekpresi wajah si fulan berubah terhadapku, saya melihat dari raut wajahnya kebencian kepadaku dan sikapnya berubah kepadaku.”
Ancaman Terputusnya Rahmat Allah SWT
Dari Umar ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ لَمْ يَقُلْ عِيسَى بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
“Luruskanlah shaf, rapatkan antara bahu-bahu, isilah sela-sela yang kosong dan lenturkanlah dengan tangan-tangan saudara kamu, janganlah kamu meninggalkan tempat kosong untuk syetan, barang siapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskanya.”
(HR Ahmad: 5466, Abu Dawud: 570, Nasa’i: 780)
Meluruskan Shaf Hukumnya Wajib
Hal ini berdasarkan pada hadits Nu’man bin Bisyr, ia berkata: bahwa Rasulullah SAW pernah meluruskan barisan kami seakan-akan beliau meluruskan barisan itu dengan anak panah hingga beliau melihat kami benar-benar telah memahaminya. Pada suatu hari, beliau pernah keluar lalu berdiri hingga ketika akan bertakbir, tiba-tiba beliau melihat seseorang menampakkan dadanya dari barisan, maka beliau bersabda:
عِبَادَ اللّهِ لَتُسَوُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Wahai hamba Allah kalian akan benar-benar meluiruskan barisan kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian saling berselisih.” (HR Bukhari: 717, Muslim: 436)
Dan Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Ikhtiarnya bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib bersasarkan hadits di atas dan hadits dari Anas,
سَوُّوْ صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah barisan kalian, karena pelurusan barisan termasuk menegakkan shalat.”
Orang yang menyebutkan adanya ijma’ yang mensunnahkan pelurusan barisan shalat maksudnya adalah penegasan hukum sunnah terhadp hal itu, dan bukan penghilangan hukum wajibnya. Wallahu a’lam[2]
Dalil lain yang menunjukkan wajibnya meluruskan shaf dalam shalat, di antaranya adalah Fi’il (kata kerja) dalam nash yang menunjukkan kepada perintah atau dengan ‘Laamul Amri’, dan adanya ‘Laam Nahiyah’ yang menujukkan bentuk tahrim kecuali ada qarinah yang tidak bertentangan.
Selain itu, para ulama salaf juga telah membahas masalah ini dan mencantumkannya dalam kitab-kitab mereka, yang semuanya menunjukkan wajibnya meluruskan shaf
Imam Bukhari berkata dalam salah satu babnya: Itsmun man lam yatim Ash-Shufuf, Ibnu Khuzaimah membuat bab al-Amr bi taswiyati ash-Shufuf qabla Takbiratul Ihram dan Imam Syaukani menulis dalma kitab Nailul Authar dalam bab al-Hatsu ala Taswiyatis Ash-Shufuf wa Rashiha wa Saddi Khalaliha.
Cara Merapatkan Shaf Shalat
Didalam shalat berjamaah, kita diwajibkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf shalat kita. Shahabat Nu’man bin basyir berkata, “Rasulullah SAW menghadap kepada manusia (jamaah shalat) lalu bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian (beliau menyebutkannya tiga kali)! Demi Allah, sungguh-sungguh kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih.” Maka Nu’man bin Basyir pun melihat seseorang menempelkan bahunya kepada bahu orang disebelahnya, dan mata kakinya dengan mata kaki orang yang disebelahnya.”. (HR Bukhari dan Muslim)
Selain itu apabila kita merapatkan shaf, maka syetan tidak bisa masuk di celah-celah shaf. Rasulullah SAW bersabda, “Rapatkanlah shaf-shaf kalian, saling dekatkan, dan luruskan dengan leher-leher kalian. Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat syaithan masuk ke celah shaf seperti seekor anak domba.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)[3]
Karpet Sajadah Di Masjid
Masalah merapatkan shaf saat shalat berjamaah di masjid ternyata merupakan masalah sederhana yang cukup pelik. Meskipun sang imam telah menghimbau agar saf dirapatkan.
Banyak saf yang renggang bahkan ompong atau bolong. Kadang ada barisan yang rapat berjejal, tetapi banyak lainnya yang beruang-ruang. Di antara sebab susahnya mewujudkan shaf yang rapat, khususnya di masyarakat kita adalah karpet sajadah di masjid.
Kebanyakan karpet yang sudah dipasang di masjid-masjid sudah ada batas-batasnya, berlukiskan kubah dan nyaman sehingga terkesan untuk perseorangan dan setiap jamaah akan menempatkan diri tepat di tengah ruang sajadahnya. Masalah yang timbul setelah itu adalah semua barisan shaf dengan sendirinya akan menjadi renggang.
Maka agar himbauan untuk merapatkan shaf lebih efektif, hendaknya masing-masing DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) cukup menyediakan karpet sajadah yang memanjang tanpa dilengkapi batas-batas. Cukup berupa karpet polos, walau terbuat dari bahan apa pun, termasuk permadani.
Dengan demikian, para jamaah cenderung akan lebih dapat mengikuti dengan berbaris lebih rapat dan syetan tidak akan ikut menumpang Rasulullah SAW bersabda, “Rapatkan shaf-shaf kalian, saling dekatkan dan luruskan dengan leher-leher kalian. Demi yang jiwaku ada ditanganNya, sesungguhnya aku melihat syaithan masuk ke celah shaf seperti seekor anak domba” (HR Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Dalam hal ini seorng penulis dari Timur tengah yang bernama Syaikh Wahid Abdussalam Bali dalam kitab al-Kalimat an-Nafi’ah fi Akhtha’ as-Syariyyah menegaskan bahwa hendaknya masjid itu digelari tikar, karpet atau sajadah yang tiada hiasannya, karena dapat melakaikan orang-orang yang sedang shalat.
Dalil mengenai hal itu ialah hadits yang termaktub dalam shahihain dari Aisyah ra bahwa Abu Jahm memberi hadiah kepada Nabi SAW sebuah pakaian untuk beliau pakai shalat. Kemudian beliau melepaskanya seraya bersabda: “Bawalah pakaian ini kepada Abu Jahm, dan bawakan kepadaku pakaian kasarnya. Karena pakaian ini tadi telah melalaikan dari shalatku.” (HR Bukhari: 373 dan Muslim: 556)
selanjutnya al-Izz bin Abdus Salam mengatakan: “Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang diberi hiasan, pula di atas sesuatu yang mewah. Karena shalat adalah perbuatan tawadhu’ dan merendahkan diri. Manusia di masjid Mekkah dan Madinah masih shalat di atas tanah, pasir dan kerikil, karena tawadhu’ kepada Allah.”[4]
Daftar Pustaka
- Ensiklopedi Shalat menurut al-Quran dan as-Sunnah, Dr. Sa’bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta
- Taswiyatus Shufuf wa Atsaruha fi Hayati Ummah, Husain bin Audah al-‘Awayisyah, Darussunnah.
- Al-Ikhtiyaratul Fiqhiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- al-Kalimat an-Nafi’ah fi Akhtha’ as-Syariyyah, Syaikh Wahid Abdussalam Bali yang dalam edisi indonesia berjudul 474 kesalahan Umum dalam Aqidah dan Ibadah beserta koreksinya, Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Ayo Shalat sesuai Tuntunan Rasulullah SAW, Penerbit Darul Ilmi Jogjakarta