Berpikir Reflektif |Reflective Thinking

Berpikir Reflektif

Generasi Z adalah generasi yang besar dengan internet. Internet telah menjadi bagian dan gaya hidupnya. Mereka melek teknologi, pengguna teknologi mobile, mudah mengadopsi dan mengadaptasi. Tugas-tugas pembelajaran dengan pertanyaan apa, kapan, dan bagaimana sudah tidak sesuai lagi dengan pembelajar generasi Z karena jawaban itu akan mudah diperoleh dengan hanya mengetik kata kunci di smartphone mereka. Tugas-tugas pembelajaran harus menuntut mereka berpikir reflektif dan sekaligus responsif terhadap teknologi.

Dalam KBBI, Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam ingatan. Dalam Oxford Andvanced Learner’s Dictionary of Current English dijelaskan bahwa makna Reflektif adalah tending to think deeply about thing and capable of reflecting something, artinya bahwa berpikir reflektif adalah upaya atau kemampuan berpikir atau memikirkan sedalam-dalamnya mengenai atau tentang sesuatu.

Ada beberapa model berpikir dari yang simpel sampai kompleks; yaitu menghafal, pemikiran intuitif, pemikiran inovatif, pemikiran konseptual, pemikiran implementasi dan berpikir kritis atau disebut juga berpikir reflektif.

  1. Menghafal, mengambil informasi / pengetahuan yang telah direkam sebelumnya. Menghafal adalah kegiatan berpikir yang paling sederhana.
  2. Pemikiran intuitif, kemampuan untuk mengambil apa yang Anda rasakan atau rasakan sebagai kenyataan dan, tanpa pengetahuan atau bukti, secara tepat dijadikan keputusan akhir.
  3. Pemikiran inovatif, Menghasilkan ide-ide baru atau cara-cara baru untuk menciptakan kemungkinan dan peluang.
  4. Pemikiran konseptual, Kemampuan untuk menemukan koneksi atau pola antara ide-ide abstrak kemudian mengumpulkannya untuk membentuk gambaran yang lengkap.
  5. Pemikiran implementasi, Kemampuan untuk mengorganisasikan ide dan rencana dengan cara yang dilakukan secara efektif.
  6. Berpikir kritis, Proses mental untuk menganalisis situasi secara objektif dengan mengumpulkan informasi dari semua sumber yang mungkin, dan kemudian mengevaluasi aspek yang nyata dan tidak berwujud, serta implikasi dari setiap tindakan.

Berpikir reflektif adalah cara berpikir yang berbeda yang lebih maju daripada berpikir kritis. Berpikir kritis dan berpikir reflektif sering digunakan secara sinonim. Pemikiran reflektif, di sisi lain, adalah bagian dari proses berpikir kritis yang mengacu khusus pada proses menganalisis dan membuat penilaian tentang apa yang telah terjadi.

Dewey (1933) mengemukakan bahwa pemikiran reflektif adalah pertimbangan yang aktif, gigih, dan hati-hati terhadap suatu keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diharapkan, dari dasar-dasar yang mendukung pengetahuan itu, dan kesimpulan lebih lanjut dari mana pengetahuan itu mengarah. Peserta didik menyadari dan mengontrol pembelajaran mereka dengan secara aktif berpartisipasi dalam pemikiran reflektif – menilai apa yang mereka ketahui, apa yang mereka perlu ketahui, dan bagaimana mereka menjembatani kesenjangan itu – selama situasi belajar.

Singkatnya, berpikir kritis melibatkan berbagai keterampilan berpikir yang mengarah pada hasil yang diinginkan dan pemikiran reflektif berfokus pada proses membuat penilaian tentang apa yang telah terjadi.

Namun, pemikiran reflektif adalah yang paling penting dalam mendorong pembelajaran selama situasi penyelesaian masalah yang kompleks karena memberikan siswa kesempatan untuk mundur dan berpikir tentang bagaimana mereka benar-benar memecahkan masalah dan bagaimana satu set strategi pemecahan masalah tertentu disesuaikan untuk mencapai tujuan mereka.

Baca juga:   Strategi Menaikan H Index pada Google Scholar

Bagi Dewey, berpikir adalah pemecahan masalah dan paradigmanya telah disebut dengan beragam; pemecahan masalah, berpikir kritis, berpikir reflektif, berpikir fungsional, pemikiran ilmiah, tindakan lengkap pemikiran dan metode kecerdasan – Tanner & Tanner, 2007: 57

Jika kita mengikuti Dewey, berpikir kritis dimotivasi oleh suatu masalah. Itu pasti masalah nyata, masalah siswa itu sendiri. Itu pasti masalah yang terkait dengan kehidupannya – dalam konteks mereka.

Pemikiran reflektif tidak hanya menyiratkan pemecahan masalah, tetapi juga mencakup, misalnya, merenungkan kebesaran Allah, apresiasi keagungan alam, merefleksikan perkembangan siswa di semua bidang kehidupan, penemuan sastra yang indah, meditasi Firman Tuhan, dll. Berpikir reflektif membantu menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.

Metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru cenderung didominasi metode tertentu, sehingga siswa pasif dalam proses pembelajaran. Guru hanya meningkatkan pengetahuan kognitif siswa dengan memberi hafalan-hafalan teori dari materi yang ada.

Dalam buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed menulis bahwa dunia pesantren dan pendidikan Islam umumnya masih cenderung menerapkan metode belajar dengan sistem hapalan, tanpa disertai dengan pengembangan wawasan, penalaran, dan kemampuan berfikir sistematik dan kritis. Akibatnya mereka hanya menjadi konsumen ilmu yang terkadang kurang relevan dengan zaman, dan tidak berani tampil sebagai produsen ilmu.

Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed juga menyebutkan beberapa  masalah dalam pendidikan  umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. antara lain adalah pendidikan kita memetingkan produk final daripada proses, mengutamakan pengembangan pemikiran model “linear” daripada model “lateral”, mengutamakan pemikiran “reaktif” daripada “proaktif”. Pemikiran reaktif tidak pernah mampu keluar dari struktur kondisi dan aturan yang ada, sedang pemikiran “proaktif” mampu keluar dari struktur kondisi dan aturan itu dan selalu berupaya mencari jalan baru, berorientasi pada What to think dan bukan How to think.[1]

Banyak lembaga pendidikan yang belum melakukan analisa kritik terhadap apa yang sudah mereka lakukan, sehingga tidak merasakan kesalahan atau kekurangannya padahal itu sangat penting dalam perkembangan sistem pendidikan.

Menyelenggarakan pendidikan bermutu diperlukan kegiatan evaluasi diri yang dilaksanakan secara konsisten dalam periode-periode tertentu oleh institusi agar diketahui kelemahan, penyimpangan, kekuatan, dan peluang bisa diperbaiki.[2]

Pendidikan di Indonesia masih belum menanamkan afeksi (affection) dalam pembelajaran yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dipelajari di kelas yang kemudian direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.  Akibat dari kurangnya refleksi ini, kita melihat murid tidak merasakan apa yang mereka pelajari di kelas sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupannya.

Baca juga:   Is reflection can increase religiosity? and what extent reflection can increase one's religiosity?

Pendidikan adalah menyiapkan bekal hidup manusia, agar  ia mampu menjalani kehidupannya masa kini sekaligus mampu mempersiapkan masa depannya. Kehidupan adalah realita yang bisa saja dipenuhi aneka masalah. Semua masalah itu harus dihadapi manusia; jika tidak, ia akan menumpuk sehingga beban hidupnya semakin berat.[3]

Maka pendidikan harus lebih banyak menjadi pendidikan kehidupan dan perbuatan daripada sekedar pendidikan hafalan dan ucapan.  sebagaimana pilar-pilar pendidikan UNESCO untuk membangun pendidikan bermartabat yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan pekerjaan (learning to do), belajar untuk hidup bersama satu sama lain secara kolaboratif, rukun dan damai (learning to live together), dan belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be). Para pakar di Indonesia menambahkan satu pilar, yakni belajar untuk mengabdi (learning to worship) kepada Yang Maha Kuasa. Keempat pilar dan satu pilar tersebut merupakan modal untuk membangun Indonesia seutuhnya yang memiliki kecerdasan tinggi dan berkepribadian luhur sehingga mampu membangun diri sendiri dan masyarakat yang bermartabat.[4]

Garin Nugroho ketika memberikan orasi budaya bertema “Pendidikan Karakter Kunci Kemajuan Bangsa” di Jakarta tanggal 3 Maret 2010 mengatakan bahwa saat ini dunia pendidikan Indonesia belum mampu mendorong pembangunan karakter bangsa. Hal ini disebabkan oleh ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan kepada pasar. [5]

Senada dengan Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed yang melihat kurangnya perhatian pemerintah kepada partai yang mengusunya daripada rakyat, beliau mengatakan ‘Loyalitas para pelaksana demokrasi terhadap rakyat kalah tinggi terhadap partai yang menghantarkannya ke kursi kekuasaan, sehingga dalam setiap kebijakan lebih menekankan kepada keuntungan golongannya bahkan menggunakan dismal science, yaitu cara pandang yang sempit dalam menyelesaikan suatu masalah.’[6]

Maka, saya bermaksud meneliti tentang Reflection dalam rencana tesis saya yaitu kemampuan untuk mengetahui kualitas diri sendiri, belajar dari yang lalu dan mampu mempernbaiki diri untuk masa depan yang lebih baik tanpa intervensi faktor eksternal (orang lain) dan  mengkaji tema ini dari sudut Islam yang dikaji dari Al-Quran dan Hadits  dan ilmu pengetahuan barat tentang pendidikan karakter.

Berpikir Reflektif dalam Alquran

Al-Quran telah menyampaikan metode pendidikan dan pembangunan karakter yang sempurna untuk menjadi  manusia yang mulia dan bertaqwa.[7] Hadits Nabi juga mengambarkan dengan jelas bagaimana praktek Nabi Muhammad SAW dalam membangun akhlak/karakter sesuai petunjuk Al-Quran.[8]

Salah satu Ayat Al-Quran yang menjadi landasan dalam Meta-Level Reflection adalah Al-Quran Surat Al-Hasyr : 18.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Dalam sebuah hadits disebutkan siapa yang paling cerdas? Lalu Nabi Muhammad Saw menyebutkan adalah yang mampu menahan nafsunya dan mencari bekal untuk kehidupan setelah di dunia.

Baca juga:   Ringkasan Buku Islam dan Sekulerisme: Pengantar oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud

Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menahan nafsunya dan meyiapkan bekal untuk kehidupan sesudah kematian. (HR. At-Tirmidzi dan Hakim)

Ayat dan hadits di atas menjadi pijakan dalam Meta-Level Reflection yaitu (1) mampu mengukur kekurangan diri sendiri, (2) mampu mengukur kelebihan diri sendiri, (3) belajar dari kesalahan dan dan (4) apa yang harus dilakukan ke depan (what I need, What I have to do), selanjutnya mengeluarkan komitmen (iltizamun nafsi) atau kemampuan mengikat diri dengan disiplin.

Anak didik belajar membaca kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri. Sementara pendidikan saat ini, sekolah berlomba mencari anak didik, sementara karakter pribadi anak tidak dikembangkan, yang harus dibangun adalah kemampuan merefleksikan diri sendiri dan anak mampu hidup di kondisi terburuk sekalipun.

Perkembangan anak muncul dari faktor eksternal, secara formal seperti buku, nasehat guru, dan informal seperti aturan sekolah atau pesantren, disilpin-disiplin di sekolah atau pesantren. Tidak ada komitmen dalam diri anak sementara komitmen akan masuk jika timbul dari dalam diri (internal). Nilai-nilai luhur apapun yang ditanam pada diri anak seperti menghormati, tanggung jawab, integritas dan lain sebagainya tidak akan berhasil selama tidak ditanam dari diri anak (internal). Problematika saat ini adalah pejabat, pemimpin dan yang dipimpin tidak bisa mengoreksi kesalahan diri sendiri, tidak bisa menentukan masa depan mana yang harus dilakukan yang terbaikm karena tidak ada kemampuan membaca kekurangan diri sendiri, itulah yang harus diasah dalam pendidikan karakter yaitu Meta-Level Reflection.

….
https://twitter.com/JumalAhmad/status/1064845215356186626?s=19

[1] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, Menuju Paradigma Baru Pendidikan Indonesia dalam buku Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Kualitas Sumberdaya Manusia Abad 21, PT. Internusa, Jakarta, cet. 1 Juni 1997, hal.80-82

[2] Immawati Muflichah, S.Ag, Review: Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21 Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed link http://sanaky.staff.uii.ac.id/2012/07/13/menata-ulang-pemikiran-sistem-pendidikan-nasional-dalam-abad-21/#_ftn10 (diakses 13 Juli 2017)

[3] Dr. Muhammad Muhammad Badri, Sentuhan Jiwa untuk Anak Kita, (Daun Publishing, Bekasi, 2015), hal.4

[4] Dr. Muhammad Yaumi, M. Hum., MA dan Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd, Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligence), (Jakarta, Prenada Media Group, 2013), hal. 4

[5] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta, Bumi Aksara, Cet.V, 2015), hal.2

[6] Odink, Sistem Pendidikan Nasional Visioner oleh: Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed link: https://odink.wordpress.com/2008/10/30/sistem-pendidikan-nasional-visioner-oleh-prof-dr-mastuhu-med/ (diakses tanggal 12 Juli 2017)

[7] Sayid Qutub, Manhaj Tarbiyah Islamiyah, (Mesir, Dar Shorok, cet. 14 th. 1993), hal.8

[8] Prof. Dr. Abdul Karim Bakkar, ‘Ashruna wal A’ish fii Zamanis Sya’b, (Damsyiq, Darul Qalam, Cet. 1, th. 200), hal. 209.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *