Biografi dan Pemikiran Arthur Jeffery

Tidak banyak keterangan yang kami dapatkan tentang biografi Arthur Jeffery, ia adalah seorang orientalis yang berasal dari Inggris yang meninggal pada tahun 1959 M. Ia pernah menjabat sebagai dosen di kolej Kristen Madras (Madras Christian College) di India.

Arthur Jeffery adalah seorang orientalis terkemuka dalam studi sejarah al-Qur’an. Ia menghabisi hampir keseluruhan hidupnya untuk mengkaji sejarah al-Quran, ia mengkui bahwa gagasannya untuk mengkaji sejarah al-Quran secara kritis berasal dari Pendeta Edward Sell, seorang misionaris. Kemudian ia menggeluti gagasan kritis-historis al-Quran ini sejak tahun 1926 M.

Gagasan ambisiusnya adalah membuat al-Quran edisi kritis, oleh karena itu ia menghimpun segala jenis teks yang bisa didapatkan dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qira’ah dan manuskrip-manuskrp lainnya. Dan untuk mewujudkan ambisinya itu ia menggalang kerjasama dengan Profesor Gotthelf Bergstrasser.

Menurut Jeffery, format Al-Qur’an edisi kritis ter­sebut memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai textus receptus. Teks tersebut akan dire­konstruksi menurut sumber-sumber lama yang berkaitan dengan tulisan Hafs. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Referensi yang relevan akan dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta catatan kakinya di setiap halaman. Setelah itu, diberi berbagai simbol, yang menunjukkan nama para Qurra’ yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan menunjukkan apakah para Qurra’ yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan dibanding dengan qira’ah sab’ah.

Jilid kedua akan diisi dengan pengenalan (introduction), untuk para pembaca ba­hasa Inggris. Edisi ini dalam bahasa Jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Berbagai varian bacaan tersebut perlu dijelaskan lebih men­dalam. Penjelasan tersebut mencakup asal-mula, derivasi dan pentingnya qira’ah. Ini akan bermanfaat jika terjadi perdebat­an mengenai sebuah bacaan.

Para sarjana akan mendapat informasi tambahan sehingga mereka bisa menilai. Jilid keempat, berisi kamus al-Qur’an. Jeffery membayangkan Kamus al-Qur’an tersebut seperti Kamus Grimm-Thayer atau Kamus Perjanjian Baru Milligan-Moulton. Kamus yang be­lum pernah dibuat oleh para mufasir Muslim, Kamus al-­Qur’an tersebut akan memuat makna asal dari kosa-kata di dalam al-Qur’an.

Akan tetapi usaha itu gagal setelah segala bahan yang dikumpulkan di Munich sehingga mencapai 40.000 naskah musnah terkena bom tentara sekutu pada perang dunia kedua. Melihat peristiwa ini, Jeffery mengatakan:

Seluruh tugas kolosal harus dimulai lagi dari awal. Jadi, sangat amat diragukan jika generasi kita akan melihat kesempurnaan teks al-Quran edisi kritis yang sebenarnya.”

Jeffery juga tergolong penulis yang sangat produktif. Tulisannya mengenai al-Quran banyak, baik artikel maupun buku. Di antara bukunya adalah Materials for the History of the text of the Quran: The old Codices; The foreign vocabulary of the Quran; The Quran as Scripture; Muqaddimatani fi Ulum al-Quran wa huma muqaddimah kitab al-Mabani wa Muqaddimah ibnu ‘Athiyah; dan The Koran, Selected suras Translated from the Arabic. Dan Jeffery meninggal dunia pada tahun 1959.

Adapun Krtitiknya terhadap al-Quran adalah Jeffery memandang bahwa pengumpulan al-Quran oleh Utsman bin Affan didorong oleh motifasi politik, Jeffery juga menuduh bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi (95 H) telah membuat al-Qur’an versi baru secara menyeluruh.

Berikut ini jawaban rinngkas terhadap tuduhan-tuduhan Jeffery tersebut.

Pembukuan al-Qur’an sebagai Rekayasa Politik Usman

Kefatalan Jeffery dan yang mengikuti pemikirannya dalam memahami al-Quran, berangkat dari kebodohan mereka tentang ilmu al-Quran.

Dalam kitab Mabahits fi Ululm al-Quran, Manna’ al-Qaththan menyebutkan bahwa pengumpulan al-Quran terjadi pada dua masa; masa Rasulullah saw dan masa Sahabat setelah Rasulullah saw wafat.

Pada masa Rasulullah saw

Pengumpulan pada masa Rasulullah saw ini lebih cocok disebut hifdzu al-Quran. Ada dua jenis hifdzul al-Quran pada masa ini yaitu; (1). Dengan cara menghafalnya, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas’ud: “Dulu, jika para Sahabat telah mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak akan menambahnya hingga mereka memahami dan mengamalkan kesepuluh ayat tadi.” (2). Dengan cara penulisan, di kalangan Sahabat terdapat orang-orang yang khusus menulis wahyu seperti; Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan yang lainnya.

Pada masa Sahabat

Pengumpulan al-Quran pada masa ini lebih cocok disebut “pembukuan”, terjadi dalam dua dekade; yaitu masa Abu Bakar dan masa Utsman, dan pembukuan pada masa Utsman lah yang banyak menuai kritik dari orientalis dengan anggapan sangat mungkin ada kecurangan dalam pembukuan al-Quran pada masa ini.

Tuduhan Jeffery bahwa pembukuan al-Quran itu berkaitan dengan hegemoni dan kepentingan Utsman sebagai khalifah dan orang Quraisy adalah tidak benar karena jika memang Mushaf Utsmani dihimpun terkait dengan rekayasa politik Utsman untuk mengokohkan kedudukannya dan kedudukan Quraisy, maka seharusnya; sepeninggal Utsman, tentunya akan datang silih berganti penguasa-penguasa yang membuat mushaf baru, seharusnya Bani Umayyah membuat mushaf baru, demikian juga Bani Abbasiyah dan Turki Utsmani, namun hal ini tidak pernah terjadi.

Dan Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya telah mengabarkan bahwa Utsman adalah salah satu penghuni surga, jika Utsman adalah seorang pengkhianat seperti tuduhan Jeffery dan JIL berarti Rasulullah saw telah berbohong atau wahyu yang salah, dan keduanya mustahil terjadi.[1]

Selain itu, Utsman ra membakar al-Quran yang lain bukan karena alasan politis, namun untuk menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-Qur’an. Sehingga tindakan ‘Uthman ra ini sangat diperlukan karena Ia mempertahankan kebenaran otentisitas al-Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan Uthman untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus’ab bin Sa‘d, tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu mengingkari perbuatan ‘Utsman ra.[2]

Senada dengan pendapat Mus`ab ibn Sa`d, `Ali ra. mengatakan ketika `Uthman membakar mushaf-mushaf: “Seandainya la belum melakukannya, maka aku yang membakarnya. ” `Ali ra. juga mengatakan: “Seandainya aku  yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai mushaf sebagaimana yang `Utsman buat.” Tsabit ibn `imarah al-Hanafi rnengatakan: Aku telah mendengar Ghanim ibn Qis al-Mazni mengatakan: “Seandainya `Utsman belum menulis mushaf, maka manusia akan mulai membaca puisi.”  Abu Majlaz mengatakan: “Seandainya `Utsman tidak menulis al-Qur’an, maka manusia akan terbiasa membaca puisi”

Pendapat Arthur Jeffery di atas diadopsi juga oleh kalangan Liberal di Indonesia, seperti perkataan Khalil Abdul Karim: “Pembukuan al-Quran dalam satu versi mushaf Utsmani juga membuktikan praktik kekuasaan pelanjut Negara Quraisy”. Dan Sumanto al-Qurtuby berkata: “Dalam kontes ini, anggapan bahwa al-Quran adalah suci keliru. Kesucian yang dilekatkan pada al-Quran (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” tidak ada teks yang secara antologis suci”.[3]

Taufik Adnan Amal, seorang dosen ‘Ulum AI-Qur’an di IAIN Alaudin Ujung Pandang ingin mengedit Mushaf ‘Utsmani. Ia menyatakan: “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan AI-Qur’an sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortograti teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan permasalahan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis AI-Qur’an.”[4]

Menuduh Al-Hajaj telah merubah al-Quran versi baru secara menyeluruh

Jeffery dengan mengeksploitasi informasi yang ada di dalam Kitab al-Masahif, menuduh al-Hajjaj telah merubah al-Qur’an. Bagaimanapun, Jeffery tidak mengkaji lebih lanjut mengenai sanad yang ada di dalam karya tersebut. Padahal kalangan muhaddithun mengklasifikasikan ‘Abbad ibn Suhayb sebagai seorang yang ditinggalkan (ahad min al-matrukin).

Ibn Hajar di dalam Lisan al-Mizan memuat berbagai pendapat para muhaddithun mengenai ‘Abbad ibn Suhayb sekaligus contoh-contoh hadits yang diriwayatkannya. Jadi, riwayat ‘Abbad bukan saja lemah, namun lebih tepat dikatakan palsu. Hampir seluruh muhaddithun, baik sebelum atau sesudah ‘Ibn Abi Dawud menolak hadits dari ‘Abbad ibn Suhayb. Riwayat dari ‘Auf ibn Abi Jamilah juga bermasalah. Sekalipun ia tsiqah (terpercaya), namun punya kecenderungan syiah dan anti Umayyah. Al-Hajjaj, sebagai salah seorang tokoh Umayyah, wajar saja menjadi target ‘Auf ibn Abi Jamilah.[5]

Argumentasi lain yang perlu juga dikemukakan sebagai berikut. Pertama, al-Hajjaj setia kepada ‘Utsman. Ia tidak akan memaafkan orang yang membunuh ‘Uthman. Ia akan membela Mushaf ‘Uthman dari segala bentuk perubahan. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Masahif ’Uthmani sudah tersebar dimana-mana dan jumlahnya sangat banyak. Al-Hajjaj adalah salah seorang saja dari Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih luas.

Seandainya, al-Hajjaj sanggup mengubah berbagai salinan yang ada Kufah, daerah kekuasannya, tetap saja ia tidak akan sanggup mengubah ribuan atau semua salinan yang ada di Makkah, Madinah, Syam, dan di daerah lain. Ini belum termasuk yang dihafal oleh puluhan ribu kaum Muslimin saat itu. Jelas, al-Hallaj tidak bisa merubah yang sudah dihafal oleh kaum Muslimin itu. Ketiga, seandainya al-Hajjaj mengubah Mushaf ‘Utsman, maka tentu ummat akan akan bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Umayyah, telah banyak merubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah al-Qur’an, dinasti Abbasiah akan mengeksploitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj atau Bani Umayyah. Namun, informasi seperti itu sama sekali tidak ada.[6]


[1] Mas’ud, Lc, Kitab Suciku Ternoda, dalam majalah an-Najah, (no. 03/VI/Januari/2010), hal. 53-55

[2] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Islam (terjemahan), hal. 162 dan lihat juga Adnin Armas, Menjawab Kritikan Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an, www.insitsnet.com diakses 6/6/2010

[3] Sumanto al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama, hal. 67-71

[4] Taufik Adnan Amal, “AI-Qur’an Edisi Kritis,” 78, dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia oleh Dr. Adian Husaini.

[5] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, hal. 45

[6] Adnin Armas.MA, Menjawab Kritikan Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an, www.insits.net, diakses 7/6/2010

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

4 Comments

  1. wkwkkwwk alquran tuh yang kalian baca bukan terbiitan usman, tapi terbitan mesir tahun 1923…wkwkwk lu di bidoki oleh sarjana mesir..!!! terbukti surah at taubah surah yang ke 9 ..tidak ada kata bismilah….!!! jadi ql quran yang sekarang udah di palsukan ..wkwkkwk murtadlah bro…

  2. al quran versi usman udah di temukan di sana’a dan perpustakaan Inggris..setelah di compere dengan edisi sekarang tuh terjadi p0enyimpangan yang sangat dalam..conth.kata MHD , bukan merujuk pada Muhammad, tetapi merujuk pada Mahmud , jadi sudah menyimpang bukan..????

  3. Gerd R. Puin mengklaim telah menemukan mushaf tua di Yaman yang konon mengandungi qira’ah yang lebih awal dari Qira’ah Tujuh yang terkandung dalam Mushaf Utsmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat berbeda dengan Mushaf Utsmani.

    Kita, kaum Muslimin, tidak perlu terlalu bimbang dengan serangan baru melalui manuskrip ini, karena kualitas manuskrip itu pada dasarnya sama dengan kualitas riwayat hadits.

    Sebuah hadits, yang bila dari segi isnadnya nampak sah, tetapi pengertian matannya bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat derajat kesahihannya, maka hadis tersebut dianggap syadz (menyimpang). Begitu pula nilai sebuah manuskrip al-Quran dan qiraah-nya. Kesahihan manuskrip maupun riwayat harus menjadi ukuran utama.

    Puin mengklaim bahwa manuskrip Sana’a itu lebih tua dari sistem qiraah tujuh atau sepuluh, yang telah diakui  mutawatir atau masyhur masing-masingnya oleh para ulama Islam. Kebetulan manuskrip itu mengandung qiraah yang lebih banyak daripada qiraah tujuh, sepuluh atau empat belas seperti yang diuraikan dalam Mu‘jam al-Qira`at al-Quraniyyah.

    Kita ingin mengatakan kepada Puin bahwa banyaknya qiraah yang terdapat dalam manuskrip itu sebenarnya tidak sahih. Karena apabila ia telah keluar dari qiraah 14 yang memuatkan bacaan ahad, boleh jadi bacaan-bacaan yang banyak itu hanyalah merupakan bacaan yang bernilai syadz (ganjil, menyimpang) ataupun mawdhu’‘ (palsu).

    Bacaan-bacaan yang dikategorikan bernilai dha’if (lemah) seperti itu boleh jadi merupakan suatu kesalahan-kesalahan tulisan dalam manuskrip al-Quran yang ditulis secara individual oleh para penulis manuskrip, yang bisa jadi dalam keadaan mengantuk, letih, tidak profesional, dan lain-lain. Perlu disebutkan bahwa asal al-Quran adalah bacaan (qiraah) yang diperdengarkan, barulah tulisan (rasm) mengikutinya.

    Prinsip yang disepakati adalah al-rasm tabi‘ li al-riwayah (tulisan teks mengikuti periwayatan). Karena itu, faktor periwayatan dari mulut ke mulut sangatlah penting. Hal itu telah dilakukan oleh para sarjana dan penghafal al-Quran yang berwibawa. Tetapi para orientalis ingin menyodorkan pemikiran mereka yang menyeleweng dengan mengatakan bahwa bacaan al-Quran mestilah mengikuti teks tulisan (rasm), sekalipun tulisan itu salah.

    Para ulama Islam awal telah membuat perbedaan antara al-Quran dengan qiraah. Al-Quran adalah bacaan mutawatir yang diterima oleh keseluruhan umat Islam, dibaca dalam shalat,dan menolak bacaan itu adalah kufur. Sedangkan pada qiraah tidak demikian. Mereka juga telah meletakkan syarat-syarat penerimaan qiraah. Pembahagian qiraah yang kita sebutkan di atas menunjukkan kategori penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu qiraah. Oleh karena itu tidak semua qiraah dapat diterima. Kalaupun diterima, belum tentu bacaan itu dibenarkan untuk dibaca dalam shalat. Dan hal ini tidak berarti qiraah tersebut tidak bermakna, karena fungsi bacaan itu masih boleh membantu dalam ilmu tafsir. Jadi penemuan Puin mengenai banyak terdapatnya qiraah dalam manuskrip itu mungkin sekali termasuk qiraah-qiraah yang dha’if , yang tidak akan diterima para ulama.

    Agaknya Puin tidak begitu mengindahkan tiga rukun utama yang mesti dipenuhi agar setiap qiraah itu bisa diterima. Rukun-rukun yang telah disepakati itu adalah: pertama, qiraah mestilah sesuai dengan tata bahasa Arab, walaupun itu hanya dari satu pengertian (wajh); kedua, qiraah mesti juga sesuai dengan salah satu dari Mushaf Utsmani, walaupun itu hanya dari segi kemungkinannya (ihtimal); dan ketiga, qiraah juga mesti sah sanad periwayatannya. Apabila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka qiraah tadi dianggap dha’if (lemah), syadzh (ganjil) atau batil.

    Menurut Ibnu al-Jazari, ketentuan itu adalah sahih di mata para pengesah (pentahqiq), baik di kalangan ulama salaf (ulama di masa awal) ataupun khalaf (ulama yang terkemudian). Uraian terperinci terhadap ketiga rukun itu terdapat dalam kajian ‘Ulum al-Quran.

    Demikian jawaban kami.
    Terima kasih.

  4. Di Surat 25 ayat 63 Allah memberikan arahan.

    “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

    Usman bin Affan yang pertama kali mengumpulkan Al-Quran menjadi satu mushaf seperti yang sampai kepada kita sekarang.

    Beriring tahun, cetakan Al-Quran semakin diperbaiki baik dari segi huruf dan tanda bacanya. Dan sama sekali tidak merubah Al-Quran yang dikumpulkan Usman bin Affan. Al-Quran terbitan Mesir di atas pasti juga merujuk kepada mushaf Usmani.

    Surat At-Taubah tidak didapatkan basmalah didalmnya karena isinya tentang sifat orang kafir dan musyrik. Dan ada 1 surat yang memilki 2 basmalah yaitu An-Naml.

    Sehingga secara jumlah, basmalah dalam Al-Quran tetap 114 basmalah sesuai jumlah surat. Maka anggapan bahwa Al-Qur’an dipalsukan sudah terbantahkam.

    Terima kasih.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *