Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
Muhammad Abid Al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko, tanggal 27 Desember 1935. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di madrasah hurrah wathaniyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat di Universitas Damaskus, Siria.
Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, dan meraih gelar master dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Târîkh ‘inda Ibn Khaldûn) di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi. Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat, dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya tentang Fanatisme Arab.
Disertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikhil Islâmî). Disertasi tersebut kemudian dibukukan tahun 1971.
Jabiri muda merupakan seorang aktifis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.
Di samping aktif dalam politik, Al-Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Dan sampai sekarang dia masih menjadi Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabab, sejak 1967.
Pada dekade 50-an, ketika masih kuliah di universitas, Muhammad al-Jabiri banyak membaca dan mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. Ia bahkan mengaku sebagi salah seorang pengagum ajaran Marx. Kenyataan ini bukanlah suatu yang aneh. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di Negara bekas protektoriat Perancis, al-Jabiri tidak kesulitan untuk mengakses buku atau pemikiran berbahasa Perancis, Postruktruralis maupun posmodernis yang rata-rata memang lahir dari Perancis.
Akan tetapi, ia kemudian meragukan efektivitas pendekatan Marxian dalam konteks sejarah Pemikiran Islam, apalagi setelah membaca karya Ves Lacoste yang membandingkan Karl Marx dengan Ibn Khaldun, antara Barat dan Islam. Dari situ kemudian dia balik mempertanyakan asumsi-asumsi para peneliti orentalis yang mengkaji Islam dinilainya terlalu memaksakan kehendak, sehingga perlu membangun metodologi tersendiri terhadap turâts Arab.
Abid al-Jabiri menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 3 Mei 2010, di Casablanca.
Karya-karya Muhammad Abid Al-Jabiri
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku dengan berbagai jurusan ilmu, politik, filsafat atau sosial. Buku pertamanya adalah Nahwu wal Turast kemudian al-Khitab al-‘Arabi al Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku ini memang sengaja dipersiapkan oleh Al-jabiri sebagai pengantar bukunya ‘Naqd al-al’ Aql al-‘Arabi’ (kritik nalar Arab).
Karya lainnya yang telah diterbitkan:
- Takwim al-‘Aql al-‘Arabi
- Bunya al-‘Aql-‘Arabi
- al-A’ql al-Siyasi-‘Arabi
- al-‘Aq al-Akhalqi al Arabiyyah
- Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah
- al-Turath wa al Hadatshah
- Ishkaliyyah al Fikr al-‘Arabi al-Mua’asir
- Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar
- Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah
- Sira’ al-Hadarat
- al-Wahdah ila al-Ahklaq
- al-Tasamuh
- al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996
- al-Mashru al-Nahdawi al-‘Arabi Muraja’ah naqdiyayh
- al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah
- Mas’alah al-Hawwiyah
- al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-‘Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd
- al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-A’rabi.
Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri
Salah satu pemikiran Abid al-Jabiri adalah tentang modernitas, ia berambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia merasa tidak puas dengan usaha pembaharuan yang dilakukan oleh intelektual muslim seperti gerakan salaf, yang menurutnya mereka terlalu mengagungkan pencapaian masa silam sehingga cenderung mengabaikan relitas sosial masyarakat.
Al-Jabiri juga mengkritik model pembaharuan kelompok liberal yang secara membabi buta ingin mengadopsi peradaban barat untuk membangun peradaban umat Islam, dan mengadopsi metodologi barat dalam menilai turats mereka, seolah-olah merek lupa bahwa ketika mereka mengadopsi metodologi tersebut, dengan sendirinya mereka juga mengadopsi worldview para orientalis.
Dan sebagai gantinya al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar arab dengan tiga epistemologi yaitu Epistemologi; Burhani, Bayani, dan ‘Irfani.
1. Epistemologi Bayani
Yaitu pola pikir yang bersumber dari nash, ijma’, ijtihad dan ilmu bahasa Arab. Pemikiran al-Jabiri ini adalah batil baik secara syariat atau akal yang berimplikasi pada penyamaan ilmu wahyu dan ilmu manusia dan menghilangkan sifat rabbaniyah dari ilmu-ilmu Islam dan menganggapnya hanya sekedar bahasa saja.
2. Epistemologi Burhani
Yang dimaksud disini adalah bahwa mengukur benar tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia dan akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral. Sumber epistemologi ini adalah realita dan empiris; alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baiak di laboratorium ataupun alam nyata, baik yang bersifat social maupun alam.
3. Epistemologi ‘Irfani
Yaitu dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’ah, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.
Dr. Khalid Kabir Ilal menyatakan bahwa ketiga epistemologi dari al-Jabiri ini adalah untuk menolong sekulerisme dan nasionalisme atas nama Islam seperti dengan mendahulukan epistemologi burhani dari pada epistemologi bayani yang di dalamnya terdapat al-Quran dan al-Sunnah sehingga ia menganggap bahwa ilmu syariat tidak bisa menjadi patokan atau dalil serta bukti kebenaran.
Al-Jabiri juga telah jatuh dalam kesalahan dalam sistem epistemologi yang dibangunnya yaitu dengan memasukkan seorang pemikir ke dalam salah satu ketiga kategori tersebut. Misalnya al-Jabiri melihat seorang faqih sebagai representasi sistem bayani maka ia akan melepaskannya dari sistem irfani dan burhani.
Padahal menurutnya seorang faqih belum tentu hanya sebagai penganut bayani secara hitam putih, karena mungkin saja ia juga menganut sistem yang lain, sebagai contoh Ibnu Sina dan Ghazali, sangat sulit untuk dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
Keduanya bukanlah penganut sistem irfani semata, seperti Ibnu Sina yang dikenal sebagai seorang ilmuwan dalam kedokteran. Demikian juga dengan Ghazali,disiplin ilmu yang ia kuasai sangat luas. Beliau seorang filosof, oleh sebab itu masuk dalam kategori burhani, tapi ia juga seorang sufi yang irfani dan ahli fiqih yang bayani. Dalam dirinya ketiga sistem berfikir tersebut melekat. Maka sikap inkonsistensi al-Jabiri ini adalah salah satu titik kelemahan dalam pemikiran al-Jabiri.
Bibliografi:
Dr. Khalid Kabir Ilal, al-Akhtha’ Manhajiyyah fi Muallafat Muhammad Arkoun wa Muhammad Abid al-Jabiri, (al-Jazair: Dar al-Muhtasib, 2008), cet.ke-2
Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ Al-Jabiri”, dalam Jurnal ISLAMIA, (Edisi kedua, tahun 1, Juni-Agustus 2004), hal. 44-46