Biografi Fakhruddin Ar-Razi dan Metodologi Tafsir Mafaatihul Ghaib

Home » Biografi Fakhruddin Ar-Razi dan Metodologi Tafsir Mafaatihul Ghaib

Pendahuluan

Sejak diturunkannya Al-Qur’an, umat Islam telah berusaha memahami dan menggali maknanya, tidak hanya sebagai panduan spiritual tetapi juga sebagai sumber hukum, moralitas, dan ilmu pengetahuan. Dalam perjalanan sejarah Islam, ulama memainkan peran penting dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya ketika umat menghadapi tantangan konteks sosial, budaya, dan intelektual yang terus berkembang.

Ilmu tafsir adalah cabang keilmuan yang berfungsi menjembatani antara teks Al-Qur’an dan pemahaman manusia. Ulama tafsir tidak hanya bertugas menjelaskan makna ayat, tetapi juga mengembangkan metode dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Kontribusi mereka memastikan bahwa pesan-pesan Al-Qur’an tetap relevan bagi umat Islam sepanjang masa.

Salah satu ulama besar yang memberikan sumbangsih luar biasa dalam bidang ini adalah Fakhruddin Ar-Razi. Beliau, yang hidup pada abad ke-12 M, dikenal sebagai intelektual serba bisa, dengan keahlian di berbagai bidang seperti filsafat, logika, dan teologi. Karyanya yang monumental, Mafatihul Ghaib (Kunci-kunci Gaib), lebih dari sekadar kitab tafsir; ia adalah ensiklopedia pemikiran yang mencakup berbagai disiplin ilmu.

Fakhruddin Ar-Razi membawa perspektif unik ke dalam tafsir Al-Qur’an. Ia memadukan pendekatan rasional dengan penafsiran tekstual, menjadikan Mafatihul Ghaib sebagai karya yang membedakan dirinya dari tafsir-tafsir sebelumnya. Dengan metode ini, Ar-Razi tidak hanya menjelaskan makna literal ayat-ayat Al-Qur’an tetapi juga mengeksplorasi argumen filosofis dan teologis yang terkandung di dalamnya. Pendekatan ini menjadi sangat relevan dalam menjawab berbagai tantangan intelektual di masa beliau, seperti perdebatan dengan berbagai aliran pemikiran Islam dan non-Islam.

Kontribusi Ar-Razi menunjukkan bahwa tafsir tidak hanya berfungsi sebagai alat memahami teks suci, tetapi juga sebagai wadah untuk menyelaraskan wahyu dengan akal manusia. Karya beliau menjadi bukti bahwa intelektualisme dan spiritualitas dapat berjalan beriringan dalam memahami kitab suci, sekaligus menjawab tantangan zaman.

Melalui Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi tidak hanya menorehkan sejarah dalam ilmu tafsir, tetapi juga meninggalkan warisan metodologi yang hingga kini menjadi rujukan penting, baik bagi ulama klasik maupun modern. Beliau adalah teladan tentang bagaimana seorang ulama dapat berkontribusi dalam menjaga relevansi dan kedalaman pemahaman Al-Qur’an sepanjang zaman.

Artikel ini akan membahas mengenai siapa Fakhrudin ar-Razi, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana perjalanan pendidikan serta karirnya dalam khazanah keilmuan Islam. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap segala hal tentang tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, dan bagaimana esensi-esensi yang ada dalam kitab tersebut.

Biografi Fakhruddin Ar-Razi

Kehidupan Awal

Nama

Rayy, salah satu kota yang terletak di sebelah tenggara Teheran adalah sebuah kota yang telah banyak melahirkan para pemikir Islam terkenal di antaranya: Abu Bakar Muhamamd bin Zakariya ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi, Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya ar-Razi, Abu Bakar ar-Razi al-Jashash, Quthbuddien ar-Razi dan Fakhruddien ar-Razi.

Disebabkan banyaknya pemikir dari Rayy, maka untuk menyebut identitas pemikir yang berasal dari Rayy, tidaklah cukup hanya dengan menyebutkan asal kelahirannya (al-Razi). Nama lengkap atau julukan perlu diikutsertakan agar identitas pemikir yang dimaksud menjadi jelas.

Fakhruddien ar-Razi adalah gelar yang diberikan umat pada masanya. Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali at-Taimi at-Thibristani ar-Razi at-Thabarstani. Karena silsilah beliau bertemu dengan Khalifah Abu Bakar, ia disebut dengan al-Bakri.

Kelahiran

Fakhruddien lahir pada bulan Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M dan namanya dinisbahkan kepada ar-Razi sebagaimaan terdapat pada kitab al-Ansaab karangan as-Sam’ani.

Versi lain menyebut beliau lahir pada 543 H, namun pendapat ini lemah, jika dibandingkan dengan tulisan al-Razi sendiri pada tafsir surat Yusuf, bahwa ia telah mencapai umur 57 tahun dan di akhir surat ia menyebutkan bahwa tafsirnya selesai pada bulan sya’ban tahun 601 H. Jika dikurangi usia beliau saat usia 57, maka kelahiran al-Razi adalah tahun 544 H/1150 M.

Tentang perawakannya ia berbadan tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan santun, sebagaimana terdapatdalam kitab al-Ibar: 18 dan Sadzarat az-Zahab: 5/21.

Kuniah

Telah menjadi tradisi orang Arab, terlebih lagi di masa al-Razi untuk Memberikan sebutan atau gelar bagi seseorang yang memiliki kelebihan tertentu. Semakin besar otoritas keilmuannya, semakin banyak sebutan dan gelar yang dimiliki.

Fakhruddien ar-Razi mempunyai beberapa nama panggilan seperti Abu Abdullah, sebagaimana terdapat dalam kitab Wafayatul ‘Ayan, Sadzara az-Zahab dan Uyunul Anba’, Abul Ma’ali, sebagaimana terdapat dalam kitab an-Nujum az-Zahirah, Abul Fadhl sebagaimana dalam kitab Akhbarul Ulama karangan al-Qafathi dan Ibnu Khatib ar-Rayy sebagaimana dalam Tarikh Ibnu Khaldun.

Mendapat berbagai gelar disebabkan pengetahuaannya yang luas, seperti: Khatib ar-Rayyal-ImamFakhruddien dan Syaikh Islam. Dia mendapat julukan Khatib ar-Rayy karena dia adalah ulama terkemuka Rayy. Dijuluki Imam, karena menguasai ushul fiqih dan syariat. Dia juga disebut Fakhruddien ar-Razi karena penguasaannya yang sangat mendalam tentang berbagai disiplin kelimuan yang menyebabkannya berbeda dengan para tokoh pemikir dari Rayy. Dia juga dipanggil sebagai Syaikhul Islam di Herat karena penguasaaan keilmuannya yang tinggi.

Keluarga

Imām al-Rāzī lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga terhormat. Keturunan Arab Quraisy yang bermigrasi ke daerah Tibristan.

Ayahnya seorang tokoh agama yang dihormati dan dikenal dengan gelar Khatib al-Rai. Imam al-Razi memiliki seorang kakak bernama Rukn al-Din, seseorang yang memiliki minat dalam ilmu agama tetapi selalu iri dengan popularitas sang adik.

Fakhruddin al-Razi dikaruniai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ketiga anak laki-lakinya bernama Muhammad, Dhiya’ al-Din, dan Syams al-Din. Muhammad meninggal pada saat al-Razi masih hidup dan membuatnya sangat sedih. Kesedihannya itu diungkapkan dengan menyebutkan Muhammad berkali-kali dalam tafsir surat Yunus, Hud, al-Ra’d dan Ibrahim. Muhammad meninggal dalam usia muda beranjak dewasa, saat ia jauh dari teman dan keluarga.

Dua anak lelaki lainnya, Dhiyaud Din dan Syamsudin. Dyiyauddin bernama asli Abdullah, dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia menjadi tentara dan mengabdi kepada Sultan Muhamad bin Taksy. Adapun Syamsuddin, yang termuda dari ketiganya, mengikui jejak Al Razi setelah kematiannya dan banyak ulama yang menuntut ilmu kepadanya.

Salah satu anak perempuan beliau dinikahkan dengan ‘Ala’ al-Mulk, seorang menteri sultan Khawarazmshah Jalal al-Din Taksh bin Muhammad bin Takhs yang terkenal dengan julukan Minkabari. Sedangkan anak perempuan lainnya hanya disebut dalam riwayat pada saat pasukan Mongol menyerang kediaman al-Razi. ‘Ala’ al-Mulk meminta suatu permohonan kepada mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan dan kemudian dikabulkan. Dan ketika permohonan tersebut dibacakan, anak perempuan ini termasuk di dalamnya.

Sebenarnya al-Razi dulu hidup miskin, kemudian menjadi kaya secara mendadak, sehingga ketika al-Razi meninggal al-Razi meninggalkan harta yang melimpah ruah. Hal juga menimbulkan pertanyaan besar, mengenai dari mana al-Razi mendapatkan harta tersebut?

Menurut al-Maraghi, sumber kekayaan al-Razi ada dua yaitu dari perkawaninan dua anaknya dengan dua anak dari seorang dokter dan dari kedekatannya dengan penguasa.

Al-Razi memiliki seorang besan yang berprofesi sebagai dokter spesialis di Ray, Persia. Dokter yang kaya ini menikahkan kedua putrinya dengan kedua putra al-Razi. Suatu waktu, saat sang dokter merasakan hidupnya tidak akan lama lagi, ia menyerahkan seluruh harta milikinya pada al-Razi. Sejak itu, ia menjadi orang yang berkecukupan dalam hal ekonomi.

Al-Razi dan Penguasa

Sumber kekayaan kedua dari Al-Razi adalah kedekatannya dengan penguasa dan dari kedekatannnya ini ia mendapatkan banyak harta. Selain gaji dari Syihabuddin sebagai pegawai tetap.

Al-Maraghi menulis:

فقد كان اتصاله بالملوك والأمراء مصدرا آخر لغناه ومع ذلك فقد عرف في ذلك المال حق الله وحق الفقراء

“Sungguh, relasinya dengan raja dan penguasa adalah sumber kekayaan al-Razi yang lain. meski demikian, sungguh ia paham hak Allah dan hak orang fakir dalam harta tersebut”.

Karena al-Razi sangat dekat dengan beberapa penguasa, membuat sebagian ulama menuduh bahwa al-Razi terlalu cinta dunia dan keadaan seperti itu bukanlah sikap seorang ulama.

Kiranya dalam masalah kedekatan al-Razi dengan para penguasa perlu adanya penelitian, mengapa al-Razi berbuat demikian dan siapa saja raja-raja yang didekati?.

Raja-raja yang al-Razi gandeng adalah sultan Khawarizmsyah, yang bisa dikatakan sebagai kekuatan Islam. Salah seorang dari mereka yang bernama Taksy ibn Iyal Arselan adalah raja yang mencegah Tar-Tar dan menguasai sebagian wilayahnya.

Sedangkan Muhammad Ibn Taksy adalah seorang yang agung, menghormati ulama dan ahli agama. Beliau juga sering mengajak diskusi, meski beliau adalah seorang raja, tapi ketika ingin bertemu dengan al-Razi, ‘Alauddin Muhammad Taksy ini, tidak memanggilnya seperti kebiasaan raja-raja pada umumnya, tapi sebaliknya beliaulah yang pergi kerumah al-Razi. Raja-raja ini sering juga menghadiri majlis-majlis al-Razi dengan bersama para menteri, pembesar kerajaan serta rakyat-rakyat jelata lainnya.

Tujuan al-Razi berhubungan dengan raja membendung kekuatan Tartar agar tidak merebut kewilayahan Islam. Meski hal tidak berlangsung lama, karena kematian sultan Jalaluddin Khawarizmsyah ibn Sultan Muhammad ibn Tasky, menyebabkan kekuatan Islam jadi terpecah dan bangsa Tartar mudah memasuki wilayah Islam.

Selanjutnya misi al-Razi adalah menyebarkan atau meneruskan kebaikan kepada umat, menghidupkan sunnah dan memberantas bid‘ah. Mengembalikan hak yang terampas kepada yang berhak serta mencegah kejahatan.

Sedangkan menjauhi raja mungkin akan membahayakan umat, walaupun itu menyelamatkan agama ulama itu pribadi. Meskipun al-Razi berhubungan dekat dengan para raja, beliau selalu muraqabah kepada Allah dan muhasabah dirinya serta bersandar hanya kepada Allah, cinta kepada ahli ilmu dan mengharap manfaat barokahnya.

Guru

Imam al-Razi menerima pendidikan awalnya dari sang ayah, Dhiyauddin, khususnya bidang fikih dan Ilmu Kalam. Pengaruh didikan sang ayah yang sangat mendalami dalam Ilmu Fikih dan Ilmu Kalam, kelak nampak dengan jelas ketika al-Razi turut andil dalam mempopulerkan pola pikir Asyariyah dan membela Mazhab Syafi’i.

Di bidang fikih, ia bermazhab Syafi’i, menurut Ibnu Khallikan, rantai mazhab fiqih yang ia pelajari berasal dari ayahnya Dhiyauddien Umar dari Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Farral al-Baghawi dari al-Qahi Husain al-Maruzidan dari al-Qafal al-Maruzi dari Abi Zaid al-Maruzi dari Abu Ishaq al-Maruzi dari Abul Abbas bin Suraij (Ahmad bin Umar) dari Abu Qasim al-Anmathi dari Ibrahim al-Muzani dari Imam Syafi’i. (Wafayatul A’yan: 3/384, Miratul Jinan: 4/11)

Sementara itu, rantai akidah Asyari ia dapatkan dari Dhiyauddin dari Abul Qasim al-Anshari dari al-Juwaini dari Abu Ishaq al-Isfaraini dari Abu Hasan al-Bahili dari al-Asyari.

Setelah belajar dari sang ayah, al-Razi mengembangkan keilmuannya di bawah bimbingan Ahmad bin Zarinkum al-Kamal al-Simmani, berasal dari Simman bukan Ray, untuk disiplin Ilmu Fikih. Dan Syaikh Majdudin al-Jili dari Maragha di Azerbaijan, murid dari Muhammad bin Yahya al-Naisaburi, murid al-Ghazali, untuk pengembangan dasar keilmuan di bidang teologi. Al-Jili adalah orang pertama yang mengenalkan filsafat kepada al-Razi. Selain belajar dari para guru, al-Razi juga belajar filsafat dan ilmua lainnya secara otodidak.

Fakhruddien ar-Razi meiliki keilmuan yang tinggi dalam masalah fiqih dan ushulnya karena memang sejak muda ia telah berhasil menguasai literature yang dijadikan standar dalam ushul fiqih seperti: al-Burhan karya Imam al-Haramain al-Juwaini, al-‘Ahd karya Qadhi Abdul Jabar, Musthafa karya Imam Ghazali, al-Mu’tamid karya Abu Husain al-Bashri dan ar-Risalah karya Imam Syafi’i. Di antara tulisan-tulisan Fakhruddien dalam masalah fiqih dan ushul fiqih seperti Ihkamul Ahkam,Ibthal QIyas, Sharh Wajiz fil Fiqh, dan al-Mahshul fi Ilmil Ushul.

Fakhruddien adalah seorang penulis yang produktif, ia banyak membahas berbagai persoalan dengan mendalam. Ia menulis sastra arab, kedokteran dan perbandingan agama, di antara karyanya dalam sastra arab seperti: Nihayatul Ijaz fi Dirayat al-‘Ijaz, Sarh Saqt al-Zand Li Abil al-Ma’ari dan al-Muharar fi Haqaiq an-Nahwu. Karyanya dalam bidang kedokteran seperti Sarh al-Qanun, at-Tibb al-Kabir dan Masail Fit Thibb.

Keadaan Masyarakat

Disintegrasi Politik

Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau kedua belas Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di kalangan umat Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan akidah. Kelemahan Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga Baghdad sebagai pusat pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali serangan dari tentara Mongol di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656 H/1258 M.

Secara efektif, tidak ada kesatuan politik yang benar-benar memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan khalifah di Baghdad hanya diakui secara simbolis karena dalam prekteknya masing masing daerah diperintah secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Sejak 1055 M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk. Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.

Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah di Baghdad.

  1. Al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa kekuasaannya belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk.
  2. Al-Mustadhi Billah (566-575 H) yang merupakan anak al-Mustanjid yang memegang kekuasaan setelah ayahnya meninggal.
  3. Al-Nashir liDinillah (575-622 H), anak al-Mustadhi yang merupakan khalifah Abbasiyah dengan masa kekuasaan terpanjang.

Khalifah inilah yang berusaha mengembalikan kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan “kompromi” dengan syari‟ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotespara khalifah. Al-Nashir juga bergabung dengan kelompok futuwwah di Baghdad. Namun kebijakan al-Nashir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah.

Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya dikuasai oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang menguasai daerah ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), Ala al-Din Muhammad bin Taksy (596-615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-Din sampai tahun 628 H. Kabar mengenai perang salib di Syam dan serangan bangsa Mongol di Timur selalu menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu di mana bayangan kehancuran berada di depan mata.

Perselisihan Mazhab

Ketika masa itu banyak terjadi perselisihan mazhab dan aqidah, dan di daerah Rayy saja terdapat tiga kelompok yaitu: Syafi’iyah, Ahnaf dan Syi’ah dan juga kelompok-kelompok seperti Syi’ah, MuktazilahMurjiah, Bathiniyah dan al-Karrasiyah.

Syafiiyyah yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat Rayy. Syiah tidak kuat di Rayy karena kekuasaan politik yang mendominasi saat itu di wilayah Asia Tengah, yaitu Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Seljuk, Kerajaan Ghur dan Kesultanan Khawarezmi adalah Sunni.

Tentang perkembangan ilmiah ketika itu, Ibnu Khaldun mengatakan: “Pada masa itu telah berkembang ilmu alam, ilmu agama, arsitektur dan music terutama di daerah pedalaman Iraq dan di daerah Wara’ an-Nahr dan ilmu akal pada masa itu sangat menguasai kebudayaan mereka.” (al-Muqaddimah: 381)

Kelompok Batiniyah menjadi kuat ketika itu, pengrang kitab Syadzarat az-Zahab mengatakan bahwa mereka membuat takut para pemimpin dan alim karena mereka suka membunuh manusia dan sebagaimana Imam Ghazali mensifati mereka, sacara Dhahir mazhab mereka adalah rafidhah dan batinnya adalah kekufuran (Fadhaih Bathiniyah: 37), pada masa itu juga berkembang kelompok Tasawuf, dan Ibnul Jauzi telah mengarang kitab Talbis Iblis untuk mengkritik praktek ibadah mereka.

Baca juga:   Pandangan Al-Quran Tentang Homoseksual

Relasi Kalam Filsafat

Konteks historis relasi kalam dan filsafat, saat di mana filsafat telah berhasil membentuk budaya filosofis, menjadikan gagasan dan Kalam al-Razi tampak filosofis.

Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi  hidup. Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikirandalam hal ini al-Razi sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya.

Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan metode untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari fakta keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak dengan suatu kelompok, seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya sebagai anggota masyarakat” (Edward Said, Orientalisme)

Pembahasan lebih dalam ke arah itukondisi politik, sosial, dan  keilmuan akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang ulama atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya merupakan indikasi bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran, minimal pada saat itu.

Perantauan Intelektual

Banyak faktor yang membentuk Fakhruddien ar-Razi menjadi seorang ulama yang berwibawa. Selain memang memiliki keilmuan, ia mendapat pendidikan awal dari kedua orang tuanya, guru-gurunya dan dukungan dari para penguasa. Pengalaman dalan perantauan termasuk factor utama dalam membentuk kepribadian Fakhruddien ar-Razi. Setelah ayahnya, sekaligus guru pertamanya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddien ar-Razi yang saat itu berusia 15 tahun sudah merantau ke berbagai daerah.

Dia pertama kali merantau ke Simman dan mendalami fiqih kepada seorang pakar dalam fiqih yaitu al-Kamal as-Samnani (w. 575 H). Dia kemudian kembali lagi ke Rayy dan berguru kepada ke Al-Majd Al-Jili (606 H) seorang faqih filsuf sekaligus sufi besar murid dari Abu Najib As-Sahrawardi (w. 563 H) dan Najmudin Kubra (w. 618 H) untuk mendalami masalah filsafat. Ketika al-Ijili pindah ke Maraghah untuk mengajar, Fakhruddien ikut menemani perjalanan gurunya.

Merantau ke Khawarizm

Untuk meluaskan wawasannya, Fakhruddien merantau ke berbagai daerah lainnya, ia merantau ke Khawarizm dan berdebat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang saat itu sangat berpengaruh di Khawarizm, selain berdebat degan tokoh-tokoh Mu’tazilah, Fakhruddiien ar-Razi juga berdebat dengan para pendeta Kristen.

Dalam perdebatan tersebut, dia menujukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma,dogma Kristen serta mempertahankan kemurnian Islam, dari perdebatan ini ia mengarang sebuah kitab yang berjudul Munazarah fi ar-Rad ala an-Nashara. Perdebatan dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah menyebabkan Fakhruddien tidak betah dan kembali pulang ke Rayy.

Merantau ke Transoxiana

Pada tahun 508 H, Fakhruddien yang pada saat itu sudah berusia 35 tahun, merantau lagi ke Transoxiana dan menetap kurang lebih dua tahun. Kini Transoxiana (ma wara’ an-nahr) adalah pecahan dari wilayah Uni Soviet yang meliputi Khazakastan, Samarkand dan Uzbekistan. Di Sarkhes ia bertemu dengan Abdurrhman bin Abdulkarim as-Sarkhsi, seorang dokter, dalam pertemuan tersebut, Fakhruiddun yang juga sudah mengetahui tentang ilmu kedokteran menjelaskan kepada Abdurrahman tentang kitab al-Qanun.

Merantau ke Bukhara dan tempat lainnya

Dari Sarkhes, Fakhruddien menuju Bukhara, selanjutnya ke Samarkand, Khujand, Banakit, Ghaznah dan India. Selama perjalanan tersebut Fakhruddien aktif berdialog dan berdebat dengan tokoh-tokoh setempat.

Dalam perdebatan, terkadang dia menyebut lawan diskusinya dengan “jahil” (bodoh) hingga sempat dipaksa meminta maaf. Dan itu dilakukan oleh Imam Ar-Razi. Semua kisah ini menggambarkan sosok Imam Ar-Razi yang ambisius namun juga rendah hati. Dengan perjalanan hidup semacam itu maka tak usah heran jika Imam Ar-Razi memiliki banyak penggemar sekaligus banyak sekali musuh.

Dari Samarkand, Fakhruddien bekunjung ke Ghaznah, disana ia mendapat perlindungan dari raja Ghaznah, Shihabuddien al-Ghuri dan saudaranya Ghiyatuddien. Fakhruddien berhasil mengubah Ghiyatuddien yang meyakini karamiyah kepada Ahlu Sunnah, karena hal ini pengikut Karamiyah sangat marah kepadanya. Selain itu, pengikut Karamiyah juga marah kepada Fakhruddien karena dia mengkritik tokoh mereka, Ibnu Qudwah di depan public. Amiruddien, sepupu Ghiyatuddien menolong Ibnu Qudwah dan mengusir Fakhruddien dari Ghur.

Semua hasil pengembaraan beliau dirumuskan dan dikokumentasikan dalam bukunya yang bertajuk Munzarat Fakhruddin al Razi fi Bilad Ma Wara al-Nahar.

Perantauan Fakhruddien ar-Razi berakhir di Herat. Di Herat dia mendapat perlindungan dari Sultan Khurasan Ali ad-Din Tukush, ia menjadi pengajar anak sultan bernama Muhammad yang mewarisi tahta tahun 596 H.

Disebutkan bahwa Sultan Ali ad-Din Tukush membangun sebuah Sekolah untuknya yang mana al-Razi mengajarkannya beberapa murid disana. Ketika berada di Herat, lebih dari 300 orang murid dan pengikutnya menemani Fakhruddien ketika berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Acara-acara Fakhruddien ar-Razi di kota Herat di hadiri oleh banyak cendekiawan dan tokoh. Mereka bertanya mengenai berbagai persoalan dan mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Disebabkan usahanya banyak dari kalangan Karamiyah dan kalangan yang lain kembali ke Ahlu Sunnah.

Di Herat Fakhruddien diberi gelar Syaihul Islam. Ia menetap di Herat sampai akhir hayatnya, ia meninggal di desa Mudhakhan, Herat pada tahun 606 H pada usia 62 tahun.

Keilmuan Fakhruddin ar-Razi

Penguasaan Berbagai Disiplin Ilmu

Imam Fakhruddin Ar Razi menguasai berbagai bidang keilmuan seperti al-Qur’an, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Selain telah menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadits, Fakhruddin al-Razi telah menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri dan al-Mustasfa karya al-Ghazali. Intelektual sezaman dengan Fakhruddin al-Razi; di antaranya Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan Al-Suhrawardi.

Al-Razi, adalah salah seorang “raksasa” intelektual dalam kesarjanaan Islam. al-Maraghi menyebut bahwa penulis Mafatih al-Ghaib ini memiliki dua kemampuan sekaligus secara bersamaan: kemampuan menulis dan kemampuan orasi yang memukau.

al-Dzahabi memberi testimoni tentang beliau:

الأصولي المفسر كبير الأذكياء والحكماء والمصنفين وانتشرت تواليفه في البلاد شرقا وغربا وكان يتوقد ذكاء

“Al-Razi adalah seorang ahli ushul fikih, mufassir, sarjana besar, bijak bestari dan penulis prolifik, karya-karyanya menyebar seantero negeri, timur dan barat. Ia orang yang sangat cerdas”.

Kecerdasan dan keilmuan beliau sangat tinggi, berbagai macam ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa dibuktikan dengan kitab-kitab karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, dan tak heran jika Ibnu Katsir dalam bidayah wan nihayahnya menyebutkan, bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua ratusan buku.

Pada masanya tidak ada yang menyamai keilmuan Fakhr al-Din al-Razi, ia seorang mutakallimin pada zamannya, ia ahli bahasa, Imam Tafsir dan sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga banyak orang yang berdatangan dari penjuru Negri untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang dari luar berdatangan untuk berguru kepada beliau adalah karena beliau juga seorang ahli bahasa asing yang fasih dalam menerangkan beberapa disiplin ilmu baik bahasa Arab maupun non Arab.

Muhammad bin Ibrahim bin Said Al-Anshari (749 H) mencatat dalam Irsyad Al-Qasid Ila Asna Al-Maqashid bahwa karya Ar-Razi mencapai 400 buah dalam 60 disiplin ilmu, Tasy Kubra Zadah membengkakkan lagi, Ali Sami An-Nassyar dalam mukadimah tahqiq I’tiqad Firaq Al-Muslimin wa Al-Musyrikin hanya mencatat 96 karya. Sementara Thaha Jabir Al-Ulwani mencatat karya Ar-Razi mencapai 240 lebih.

Karya-karya tersebut meliputi: tafsir, ilmu kalam, filsafat dan hikmah, gramatika dan sastra Arab, fikih dan ushul fikih, kedokteran dan psikologi, tasawuf, sejarah, arsitektur, astronomi, perbintangan, dan ilmu lain yang belum dikategorisasi.

Berikut adalah daftar karya-karya Imam al-Razi

Bidang Tafsir

  1. Tafsir al-Qur’an al-Kabir (Mafatihul Ghaib)
  2. Tafsir al-Fatihah, yang sekarang merupakan jilid pertama dari tafsir
    Mafatihul Ghaib
  3. Tafsir surat al-Baqarah, tafsir ini tercakup satu jilid, tetapi sekarang berdiri sendiri.
  4. Tafsir al-Qur’an al-Sagir atau dikenal dengan Asrar al-Ta’wil wa al-Anwar alTanzil, nama terakhir mirip dengan nama tafsir karya al-Badhawi
  5. Kitab Tafsir Asma Allah al-Husna
  6. Kitab al-Ayat al-Bayyinat
  7. Risalah fi al-Tanbih Ala Ba’di Asrar alMauidah fi al-Qur’an kitab ini merupakan gabungan tafsir kalam dengan ide-ide sufi tentang metafisika yang didasarkan pada surat al-Tin, rekaman pekerjaan manusia berdasarkan pada surat al-Asr.

Bidang Teologi

  1. Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin min al-Ulama’ wa al-Hukama al-Mutakallimin.
  2. Al-Mu’allimin Fi Ushul al-Din
  3. Tanbih Al-Isyarat fi Ushul al-Din
  4. Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din
  5. Kitab Subdat al-Afkar Wa Umdat al-Nuzzar.
  6. Kitab Asas al-Taqdis
  7. Kitab Tahdib al-Dala’il Wa Uyum al-Masa’il
  8. Mabahis al-Wujud wa al-Adam
  9. Kitab Jawab Al-Ghailany
  10. Lawami al-Bayyinat fi Sarh Asma Allah wa al-Sifat
  11. Kitab al-Qada wa al-Qadar
  12. Kitab al-Khalq wa al-Ba’as
  13. Masa’il Khamsum fi Ushul al-Din (ditulis dalam bahasa persia)
  14. Kitab Ismat al-Anbiya
  15. Kitab al-Riyyad al-Mu’niqat fi Milal wa alNihal.
  16. Kitab al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd Ala Ahl al-Zaiq al-Tughyan
  17. Kitab Irsyad al-Nuzzar Ila Lata’if al-Asrar.
  18. I’tiqad Farq al-Muslimin wa al-Musyrikin (tentang studi perbandingan Agama).
  19. Risalah fi al-Nubuwwah.
  20. Kitab Syarah al-Wajiz li al-Ghazali, (al-Razi tidak menuntaskan karya ini tetapi ia menulis tiga jilid yang memuat tentang ibadah dan pernikahan).

Bidang Fikih

  1. Kitab al-Mahsul fi al-Ilm Ushul Fiqh.
  2. Kitab al-Ma’alim fi Ushul Fiqh.
  3. Al-Kitab Ihkam Ahkam.

Bidang Sejarah

  1. Kitab Munaqih al-Imam al-Azm al-Syafi’i.
  2. Kitab al-Fadhail al-Sahabah al-Rasyidin.

Bidang Bahasa dan Sastra

  1. Kitab al-Muhassal fi Syarh al-Kitab al- Mufassal li al-zamakhsyari.
  2. Syarh Najh al-Balagah.
  3. Nihayat al-I’Jaz fi Dirayyat al-I’jaz (fi Ulum al-Balaghah Bayan I’jaz al-Qur’an al-Syarif).

Bidang Tasawuf dan Umum

  1. Kitab al-Rasalah al-Kamaliyah fi al-Haqiq al-Ilahiyah.
  2. Risalah Naftat al-Masadir.
  3. Kitab Risalah fi Gamm al-Dunya.
  4. Risalah al-Majdiyah.
  5. Tahsil al-Haqq.
  6. Mabahis Imadiyah fi al-Matalib al-Ma’diyah.
  7. Kitab Lataif al-Gilatiyyah
  8. Siraj Qulub
  9. Ajwibuh al-Masa’il al-Tijariyah
  10. Risalah al-Suhubiyah

Bidang Filsafat

  1. AL-Mahabis al-Misriqiyah.
  2. Kitab Syarah Uyum al-Hikmah li Ibnu Sina.
  3. Syarah Isyarah wa al-Tanbihat li Ibnu Sina.
  4. Kitab Hibab al-Isyarah.
  5. Nihayat al-Huqul.
  6. Kitab al-Mukhalas fi al-Hikmah.
  7. Kitab al-Tariqah fi al-Jaddal.
  8. Kitab al-Risalah fi al-Su’al.
  9. Kitab Muntakhab Tanha Lusa.
  10. Mahabis al-Jaddal.
  11. Kitab al-Ibtal al-Qiyas.
  12. Kitab Risalah al-Quddus.
  13. Kitab Tahjim Ta’jiz al-Falasifah.
  14. Al- Barahim al-Bahaiah
  15. Kitab Syifa’al-Iyyah min al-Khilaf.
  16. al-Akhlaq.
  17. Al-Munzarah.
  18. Risalah al-Jauhar al-Fard.
  19. Syarah Musadirah Iqlidis.
  20. Kitab Syarah Qist al-Zarid li al-Ma’ari.

Bidang Eksakta

  1. Kitab Syarah Kullyah al-Qanun
  2. Al-Jami’ al-Kabir al-Maliki fi al-Tibb.
  3. Jami’al-Ulum.
  4. Kitab Sir al-Maktum.
  5. Kitab an-Nabad.
  6. Lubub fi al-Handasah.
  7. Kitab al-Ikhtiyarah al-Ilahiyah fi al-Tatirah al-Samawiyah (Astrologi).
  8. Risalah fi al-Nafs.
  9. Ilm al-Firasah.
  10. Kitab fi al-Raml.
  11. Tasrih min al-Ra’is ila al-Haqq.

imam al-ghazali

Fakhruddin ar-Razi sang Ahli Debat

Debat Fakhruddin ar-Razi dengan para Pendeta

Fakhruddien ar-Razi adalah seorang kristolog ulung, hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang pernah terjadai antara dia dan para pendeta, semisal di Khawarizm.

Berikut ini kami kutip perdebatan antara Fakhruddien ar-Razi dan para pendeta di Khawarizm yang kami ambil dari kitab Izharul Haq, karya Syaikh Muhammad Rahmatullah al-Kairanawi halaman: 472-474 cetakan Penerbit Cendekia, Jakarta.

Dia pernah ditanya oleh seorang pendeta, “Apa argument tentang kenabian Muhammad SAW? Dia menjawab,”Seperti telah diberitakan kepada kita mengenai mukjizat Nabi Musa dan Isa serta nabi-nabi lainnya, maka diberikan pula kepada kita mengenai mukjizat Nabi Muhammad SAW. Persoalannya apakah kita menolak atau menerima argument-argument mutawatir itu atau menerimanya?

Jika kita mengatakan bahwa mukjizat-mukjizat itu tidak menunjukkan kepada kebenaran, maka dengan serta merta kenabian para nabi itu batal. Lalu, jika kita mengakui sahnya berta mutawatir dan dengan mukjizat itu kita mengakui kebenaran eksistensi para nabi, termasuk nabi Muhammad SAW, maka kita harus mengakui kenabian Muhammad SAW. Menurut para ahli logika, dengan tetapnya argument  maka sesuatu yangh ditunjuk oleh dalil itu menjadi sesuatu yang taken for granted.

Kemudian pendeta itu berkata,”Tetapi, saya tidak mengatakan bahwa Yesus itu nabi, sebab bagi saya Yesus adalah Tuhan.” Tentang pernyataan ini, Syaikh ar-Razi, melihat beberapa segi kerancuan.

  1. “Perkataan tentang kenabian mesti didahhului dengan pengakuan tentang Tuhan.” Asumsi seperti ini saya tegaskan kepadanya sebagai asumsi batil. Menurut saya, Tuhan adalah zat wajibul wujud lidzatihi yang mesti bukan dari jism atau aradh. Sedangkan Yesus adalah eksistensi dari makhluk bias yang ada setekah sebelumnya tidak ada, mengalami proses bayi, kecil, remajadan dewasa. Ia biasa makan, tidur dan terjaga. Karena itu sesuatu yang baru, selalu butuh dan berubah-ubah adalah makhuk, dan bukan Tuhan.
  2. Apabila sebagian juz Tuhan  menyatu dalam Tuhan, maka ini juga tidak mungkin. Sebab juz tersebut apabila dianggap masuk dalam Tuhan, maka ketika terjadi pemisahan Tuhan, maka ia bukanlah juz dari Tuhan. Kedua kemugkinan ini jelas-jelas batil.
  3. Secara akal berubahnya tongkat menjadi ular lebih rumit ketimbang berubahnya mayit menjadi hidup. Kemungkinan perubahan mayit menjadi hidup lebih besar daripada kemungkinan perubahan tongkat menjadi ular. Tetapi, mengapa perubahan tongkat menjadi ular tidak menyebabkan Musa mendapat klain sebagai Tuhan atau anak Tuhan? Jika kejadian luar biasa seperti berubahnya tongkat menjadi ular tidak menjadikan Musa sebagai Tuhan, maka apalagi perubahan mayit menjadi hidup. maka kejadian luar biasa tidak dengan serta-merta menunjukkan pemiliknya sebagai Tuhan.

Sumber lain yang kami dapatkan tentang kisah perdebatan Ar-Razi dengan pendeta tentang kaidah.

يلزم مع وجود الدليل وجود المدلول ولا يلزم مع عدم الدليل عدم المدلول

Aksioma bahwa eksistensi dalil menunjukkan kepastian eksistensi madlul dan ketiadaan dalil menunjukkan kepastian ketiadaan madlul.

Setelah sang Pendeta paham, Imam Ar-Razi berkata “Kenapa kamu menjadikan Isa (as) sebagai Tuhan (madlul)?

Nasrani: (Dalilnya) karena banyak keajaiban yang bisa dilakukannya seperti menghidupkan orang mati dan sebagainya.

Imam Ar-Razi: Kalau begitu, kamu juga harus mengakui Musa as sebagai Tuhan. Sebab ia telah merubah tongkat menjadi ular yang sangat besar.

Nasrani: Tidak begitu

Imam Ar-Razi: Bukankah tadi kita sudah sepakat bahwa wujudnya dalil merupakan sebuah kepastian atas wujudnya madlul. Kamu menjadikan kemampuan Isa as menghidupkan orang mati sebagai dalil atas ketuhanannya, maka harusnya kalau kamu fair, juga mengakui Musa as sebagai Tuhan. Sebab mustahil ada dalil tanpa madlul.

Beliau melanjutkan:

Mungkinkah menurut Anda makhluk hina seperti kita, hewan, kumbang misal, menjadi Tuhan?

Nasrani: Tidak mungkin.

Imam Ar-Razi: Bagaimana kamu bisa berkata demikian, sementara kita sudah sepakat bahwa ketiadaan dalil bukan merupakan kepastian bahwa madlulnya tidak ada.

Bisa saja orang seperti kita tidak mengetahui keajaiban-keajaiban yang dilakukan makhluk-makhluk hina ini. Dan bila prinsip akidahmu bahwa keajaiban seperti ini menunjukkan pelakukan adalah Tuhan, maka dengan keajaibannya, makhluk-makhluk ini adalah Tuhan-Tuhan berdasarkan prinsip akidahmu.

Debat Fakhruddin ar-Razi dengan Ismailiyyah dan Karamiyyah

Ar-Rāzī tidak hanya ahli dalam berdakwah tetapi juga ahli perdebatan. Kemampuannya untuk membantah argumen orang lain, selain itu sifatnya yang agresiv, kepercayaan diri dan temperamen membuatnya memiliki banyak musuh.

Suatu ketika di hadapan khalayak ramai, termasuk Sultan Shihab aI-Din, al-Razi mengadakan diskusi sengit dengan pemimpin Karramiyah, ‘Abdul Majid Ibn al-Qudwa, yang membuat al-Razi memaki-maki lawannya dengan kata-kata kasar.

aI-Din al-Ghuri, sepupu sultan, yang seorang pendukung Karamiyah bertemu dengan al-Razi pada salat Jumat dan menuduhnya kafir dengan alasan bahwa ia membaca karya-karya Ibnu Sina dan Aristoteles, dan menyatakannya bersalah karena melecehkan cendekiawan Ibnu Qudwa.

Pidato tersebut membangkitkan perasaan penduduk sedemikian rupa sehingga mereka dihasut untuk membunuh al-Razi. Menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh insiden tersebut sultan menenangkan rakyat, meyakinkan mereka bahwa ia akan mengasingkan al-Razi dari Herat. Al-Razi meninggalkan kota secara diam-diam, sehingga kerusuhan yang mungkin terjadi dapat dicegah.

Pernah suatu ketika beliau berdebat dengan pengikut Syiah Isamiliyah atau dikenal dengan Sab’iyah karena mereka percaya bahwa Ismāʿīl, imam ketujuh (pemimpin spiritual), adalah imam terakhir dari para imam. Ar-Rāzī memojokkan pengikut Ismāʿīlī karena tidak memiliki bukti yang sah atas keyakinan mereka.

Suatu hari, seorang Ismāʿīlī bisa mendapatkan akses untuk dekat dengan Imam Ar-Razi dengan menyamar sebagai murid dan mengarahkan pisau ke dadanya, mengatakan: “Ini adalah bukti kami.” Disebutkan pula bahwa akhir kehidupan ar-Rāzī bukan karena sebab alami, tetapi diracuni oleh sekte Karrāmīyah, sebagai pembalasan atas serangannya terhadap mereka. (Lihat situs Britannica)

Baca juga:   Faidah Menghafal Al-Quran
Makam Imam Fakhruddin Ar-Razi
Makam Imam Fakhruddin Ar-Razi

Akhir Hayat

Al-Razi meninggal di kota Herat, Afganistan, pada usia 60 tahun. Tepatnya pada hari senin tanggal 1 syawal 606 H/1209 M. Dalam potret sejarah memaparkan bahwa beliau meninggal ketika berselisih pendapat dengan kelompok al-Karamiyah tentang urusan akidah. Mereka sampai mengkafirkan Fakhr al-Din al-Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuninya sehingga mengakibatkan beliau meninggal dunia. Al-Razi dimakamkan di gunung musaqib desa Muzdakhan tidak jauh dari Herat.

Sebelum meninggal beliau meninggalkan wasiat yang dicatat oleh muridnya Ibrahim al-Asfihani, wasiatnya berisi tentang pengakuaannya bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai macam ilmu tanpa memperhatikan mana yang berguna dan mana yang tidak. Dalam wasiatnya ia menyatakan ketidakpuasannya terhadap filsafat dan ilmu kalam(teologi), ia lebih menyukai metode al-Quran dalam mencari kebenaran. Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis terhadap problem-problem yang tak terpecahkan.

Pernyataan terakhir Al Razi mengenai filsafat dan teologi ini mesti dicatat dan menjadi perhatian dalam meneliti pemikiran Al Razi dalam isu kontroversial yang bermacam macam.

Pengakuan Imam imam Ar Razi tersebut mengungkapkan bahwa filsafat yang berlandaskan Al Quran dan sunnah akan dapat menunjukkan manusia kejalan yang benar.

Sedangkan filsafat yang tidak menggunakan metode Al Quran dan Sunnah maka bukanlah metode yang selamat dan benar. Sebagaimana ucapannya yang terkenal, “Mengutamakan akal akan berakhir dengan kecelakaan”.

tafsir mafatihul ghaib
Halaman depan kitab Tafsir Mafatihul Ghaib

Metodologi Tafsir Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib

Berbicara tentang Al Quran, berarti membahas tentang suatu kitab yang suci nan sakral. Al Quran sebagai rahamat linnas wa rahmatal lil ‘alamiin, menjadikan kitab suci ini sebagai landasan dan huda dalam menapak jejak kehidupan di dunia ini.

Dalam Al Quran yang menjadi mukjizat Rasulullah Saw, didalamnya banyak terkandung hikmah dan interpretasi yang luas, sehingga ketika membaca Al Quran maka kita akan mendapatkan makna-makna yang lain ketika kita membacanya lagi. Inilah yang menjadikan Al Quran terasa nikmat ketika dibaca dan terasa tenang dihati ketika mendengarnya, walaupun yang mendengarnya itu seorang ‘Ajami yang tidak paham bahasa Al Quran.

Dalam bermuamalah dengan Al Quran, terkadang kita mendapatkan ayat-ayat yang sulit untuk dipahami maksudnya. kita memerlukan sebuah perangkat untuk memahami kandungan Al Quran, yang kita kenal dengan istilah tafsir. bahkan sahabat nabi terkadang masih sulit untuk memahami Al Quran. Sehingga ketika para sahabat tidak mengetahui makna atau maksud  suatu  ayat dalam Al Quran, mereka langsung merujuk kepada Rasulullah dan menanyakan hal tersebut.

Sebagai umat Islam yang baik, tentunya kita tidak pernah luput dalam bersentuhan dengan Al Quran, setidaknya dengan senantiasa membacanya.Namun apakah cukup hanya dengan membacanya saja? tentunya untuk meningkatkan kualitas kita dalam bergaul dengan Al Quran, dan untuk merasakan mukjizat Al Quran lebih dalam, adalah disamping kita membacanya, kita juga membaca dan menelaah tafsir-tafsir sebagai bayan atau yang menjelaskan dari Al Quran itu sendiri.

Salah satu jalan yang ditempuh dalam bergelut dalam dunia tafsir, setidaknya dengan mengetahui pengarang dan metodologi yang dipakai dalam menginterpretasi Al Quran.

Sekilas Mafatihul Ghaib karya Imam Fakhruddin Ar-Razi

Tafsir Mafaihul Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir al-Kabir adalah kitab tafsir bir ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan aqli), dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’anil Quran, Al-Farra’ wal Barrad dan Gharibul Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.

Riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sudai, Said bin Jubair, riwayat dalam tafsir At-Thabari dan tafsir Ats-Tsa’labi, juga berbagai riwayat dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi’in. Sedangkan tafsir bir ra’yi yang jadi rujukan adalah tafsir Abu Ali Al-Juba’i, Abu Muslim Al-Asfahani, Qadhi Abdul Jabbar, Abu Bakar Al-Ashmam, Ali bin Isa Ar-Rumaini, Az-Zamakhsyari dan tafsir Abul Futuh Ar-Razi.

Secara umum, Tafsir Ar-Razi lebih banyak menggunakan tafsir bir ra’yi (berdasarkan nalar) dan tahlili (analitis), karena di dalamnya setiap ayat dianalisa berbagai sudut baik berupa riwayat, bahasa, filsafat dan lain sebagainya, walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen yang sama.

Fakhruddin Ar-Razi tidak menuliskan kata pendahuluan dalam tafsirnya, dimaksudkan agar pembaca meneliti sendiri kondisi ketika tafsir ini ditulis. Jika dianalisa, kondisi dan keadaan ketika Tafsir Mafatihul Ghaib ditulis antara lain:

  1. Menjaga dan membersihkan Al Quran beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadap Al Quran.
  2. Ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah swt dengan dua hal. Yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca”, dalam bentuk Al Quran. Apabila merenungi hal yang pertama secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu Ar-Razi merelevansikan keyakinan ilmiyah dengan kebenaran ilmiyah dalam tafsirnya.
  3. Ar-Razi ingin menegaskan sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat Al Quran, selama berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Metodologi Tafsir Mafatih al-Ghaib

Metode Penulisan

Susunan penyajian kitabnya, pertama dituliskan Nama Surat, lalu klasifikasi makkiyah atau madaniyyahnya, dilanjutkan dengan penyebutan ayat. Disebutkan juga perincian mana yang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dalam surat tersebut, serta waktu susunan penurunan surat. Kemudian masuk ke dalam ayat, dan dilanjutkan dengan tafsirnya.

Dalam menguraikan tafsirnya, ar-Razi menggunakan beberapa model pengungkapan yaitu problematika (al-mas’alah) dan tanya jawab (su’al-jawab) :

  1. Problematika (al-mas’alah). Pada bagian ini ar-Razi berusaha menyajikan analisanya secara fokus pada beberapa problematika yang dinilai penting. Di antara pembahasannya adalah mengenai gramatikal (nahwu), dan perbedaan pendapat kalangan Ushuliyyin, mufassirin, dan fuqaha terhadap kandungan ayat.
  2. Tanya jawab (su’al-jawab). Pada bagian ini ar-Razi mempertajam analisanya dalam bentuk pertanyaan dalam menggunakan logika, kemudian ar-Razi memberikan juga jawabannya.
  3. Jika ditemukan perbedaan qiraat dalam pembacaan suatu ayat maka akan dicantumkan bagaimana perbedaan qiraah tersebut. Terkadang juga disebutkan mengenai faedah-faedah yang dapat diambil dari ayat itu.
  4. Ar-Razi terkadang menceritakan pribadinya secara spesifik dalam tafsirnya. Seperti kesedihan sebab kematian putranya yang masih muda yang diceritakan dalam tafsir surat Yunus. Di dalam tafsir tersebut ar-Razi menceritakan bahwa hatinya sedang dirundung kesedihan yang mendalam karena wafatnya putra beliau dan juga meminta kepada siapapun yang membaca karyanya ini untuk ikut mendoakan.

Metode Penafsiran

[1] Penekanan pada aspek Munasabah antar surah

Kecenderungan ini dapat dengan mudah ditemukan oleh setiap pembaca kitab tafirnya. Kejelian Al Razi dalam mengungkapkan munasabah bukan hanya antara satu ayat dengan ayat lainnya yang masih berurutan, tetapi antara satu ayat dengan ayat lainnya yang telah terpisahkan oleh beberapa ayat.

Dr. Ad Zahabi menjelaskan, bahwa Ar Razi sangat mementingkan munasabah antar ayat dengan ayat lain, dan surah dengan surah yang lain, bahkan Ar Razi tidak hanya menyebutkan satu munasabah saja, tapi menyebutkan banyak munasabah.

Seperti akhir surat al-Infithar  dengan awal surat al-Muthaffifin. Pada munasabah kedua tersebut adalah contoh munasabah yang paling mudah diidentifikasi. Pada Akhir surat al-infithar ditunjukkan betapa agungnya peristiwa qiyamat dan yang menguasai hari tersebut adalah Allah, ini sekaligus berfungsi sebagai peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Lalu disambunglah dengan surat al-muthaffifin yang membahas mengenai siksa.

Dalam salah satu lembaran muqaddimah kitab tafsirnya, Imam Ar-Razi menyebutkan Qaumun min ahli al-jahl wa al-ghaiy wa al-‘inad  (golongan yang bodoh yang buruk, yang jelek). Ungkapan tersebut dimaksudkan atau ditujukan kepada golongan Mu’tazilah. Mereka adalah kaum yang menurut Ar-Razi adalah golongan yang mengingkari ayat-ayat mutasyabihat, seperti “Alif Lam Mim, dan fawatihus suwar lainnya”.

Ketika mengutarakan pendapat-pendapat mufassir atau golongan lain, Ar-Razi ketika mengutarakan pendapat dari golongan mutakalimin tentang ayat mutasyabihat, Ar-Razi menuliskan bahwasanya “Mutakallimin (Muktazilah) tidak menyetujui qoul (menafsirkan ayat mutasyabihat) ini”.

Lanjutnya, mereka (golongan muktazilah) ini tidak memperkenankan untuk menjelaskan makna dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh makhuk, karena menjelaskan tafsir haruslah yang dapat dijelaskan dengan ayat, riwayat, dan akal.

[2] Pemanfaatan Qiraat dan Asbabun Nuzul

Dalam menggali makna suatu ayat, biasanya Al Razi mulai dari qiraat yang dikemukakan para tokoh dalam bidang ini, baik berupa pendapat dan dasar yang dikemukakannya. Al Razi juga sering menggunakan argumentasi nahwu yang bersumber dari penjelasan Zamakhsyari dalam Al Kasyafnya.

Tentang Asbabun Nuzul, Al Imari dalam bukunya al-Imām Fakhr al-Dīn, hlm. 134 menyebutkan;

“Dia cukup antusias mengungkap persoalan sabab al-nuzūlmanakala pemahaman ayat harus didasarkan pada penjelasan sabab al-nuzūl tersebut”.

Menurut Muhammad Mansur, Ada satu hal yang perlu digarisbawahi mengenai cara penyampaian asbāb al-nuzūl di dalam kitab tafsir al-Rāzī. Yaitu, bahwa al-Rāzī seringkali membuat bingung terutama pembaca tingkat pemula karena dia sering mengemukakan pernyataan yang ketika ditinjau dari segi materi dan sigat-nya adalah asbāb al-nuzūl, tetapi bila dilihat dari cara mengemukakannya, pernyataan tersebut terlihat seperti hanya pendapat seseorang (tokoh). Artinya, otentisitasnya sebagai asbāb al-nuzūl menjadi meragukan.

Fenomena serupa ini dapat kita saksikan, misalnya, ketika al-Rāzī menafsirkan potongan akhir QS. al-Ma’idah (5): 5. Tentang ayat ini dia mengutip sebuah statemen yang dinyatakannya sebagai kata-kata Qatādah. Dia menulis:

قال قتادة : ان ناسا من المسلمين قالوا : كيف نتزوج نسائهم مع كونهم على غير ديننا. قا نزل ال له تعالى هذه الاية

Qatādah berpendapat: sungguh sekelompok orang Islam mempertanyakan: “Bagaimana mereka boleh menikahi perempuan ahli kitab, sementara mereka berbeda agama, maka lalu Allah menurunkan ayat ini.

Bila ditinjau dari segi materi dan sighatnya, pernyataan di atas menunjukkan asbāb al-nuzūl dari ayat yang sedang ditafsirkannya. Bahkan, menurut teori ‘Ulūm al-Qur’ān, sigatyang digunakannya merupakan sigat yang secara jelas (ṣarīh) menunjukkan sebagai asbāb al-nuzūl. Akan tetapi jika dilihat dari cara menyampaikannya, timbul kesan seakan pernyataan tersebut hanyalah kata-kata Qatādah, apalagi al-Rāzī tidak mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut adalah riwayat yang diterima atau disampaikan Qatādah.

[3] Penggunaan Dalil Bahasa

Fakhru Ar Razi hampir-hampir tidak melewatkan ayat-ayat hukum kecuali beliau sebutkan semua mazhab-mazhab  fiqih, walaupun begitu tetap ada kecenderungan kepada mazhab yang dianutnya yakni mazhab Syafi’i. Begitu juga ketika beliau memaparkan masalah-masalah fiqih, nahwu dan balaghah, namun beliau tidak berbicara panjang lebar pada masalah tersebut lebih dari pembahasan beliau yang berkaitan dengan alam ini, dan riyadhiah.

Dengan keluasan dan pemahaman beliau terhadap ilmu fiqih, sampai-sampai beliau pernah mengutarakan,”Ketahuilah suatu waktu, terlintas pada lisanku, bahwa surat yang mulia ini yaitu Al fatihah bisa ditarik hikmah-hikmah dan permasalahan sebanyak sepuluh ribu. (At tafsir wal mufassiruun, darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal. 253)

[4] Perhatian pada ilmu riyadhiyah, dan fisafat

Ar Razi dalam tafsirnya sangat memperhatikan terhadap ilmu riyadhiyah (ilmu pasti), filsafat dan lain sebagainya. Beliau juga memaparkan argumen-argumen filsafat kemudian membantahnya dengan argumen yang lebih kuat.Walaupun beliau membantah dengan menggunakan dalil akal, namun tetap sejalan dengan keyakinan ahlusunnah.

Penulis kasyfu ad zunuun mengatakan,” Didalam tafsir Ar Razi terdapat begitu banyak perkataan-perkataan mutakallimiin dan filosof. Ia keluar dari permasalahan kepermasalahan yang lain, sehinggga membuat pembaca mengagumi tafsir beliau”.

Saat membahas mengenai ideologi kalam, ar-Razi menggunakan pendapat Sunni Asy’ariyah, oleh karena itu kitabnya penuh dengan penolakan terhadap aliran muktazilah dan golongan-golongan lain yang tidak sejalan. Setiap ayat yang berkaitan dengan akidah dan mazhab di beberkan dan diikuti dengan pendapat golongannya atau pendapatnya sendiri. Dan memang kebanyakan saat membahas mengenai ayat-ayat ideologi kalam, ar-Razi mengutip pendapat Muktazilah lalu memberikan retorika pembanding yang berlandaskan Sunni Asya’irah.

Ar Razi sangat serius dalam menghadapi muktazilah, dalam tafsirnya, terlebih dahulu beliau memaparakan pendapat-pendapat muktazilah dan kemudian beliau membantah dengan argumen yang kuat. Ibnu Hajar pernah mengatakan,” Bahwa Ar Razi dicela karena banyak meriwayatkan syubhat secara tunai dan mengatasinya secara kredit”. Namun hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau sebagai seorang ulama yang memperjuangkan agama islam. (lihat Tafsir wal Mufassirun)

Corak dan Ittijah Tafsir Mafatih al-Ghaib

Menurut Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud dalam bukunya Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, 319, menjelaskan bahwa secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut.

Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib adalah sebuah karya keilmuan yang besar. Pengkaji pun akhirnya menyimpulkan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ini bercorak tafsir yang berada di bawah naungan filsafat. Bukan berarti mengambil pendapat-pendapat para filsuf, namun tafsir ini disajikan dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mendasar kefilsafatan.

Hal ini bisa kita lihat pada penafsiran ar-Razi terhadap QS. Yusuf ayat 4. Pada ayat ini dipertanyakan mengenai bagaimana bintang, matahari, dan bulan itu bersujud? Padahal mereka adalah benda mati. Di sini tafsir ar-Razi mengambil pendapat dari para filsuf yang beranggapan bahwa bintang-bintang merupakan makhluk hidup yang juga dapat berfikir.

Ilustrasi Ulama Klasik
Ilustrasi Ulama Klasik

Otensitas Tafsir Mafatih al-Ghaib sebagai Karya Fakhruddin Ar-Razi

Tentang Nama Tafsir Mafatih al-Ghaib

Pada umumnya para penulis literatur ‘Ulūm al-Qur’ān dan pengamat studi tafsir menyebut kitab tafsir karya al-Rāzī ini dengan nama Mafātīḥ al-Gaib. Misalnya Mannā’ al-Qaṭṭan dalam Mabāḥiṡ-nya dengan tegas menulis:

ولفخرالدّين الرّازى تصانيف كثيرة منها مفاتيح الغيب فى تفسير القران

Di antara sekian banyak karya al-Rāzī adalah Mafātīḥ al-Gaib.

Nama yang sama juga diberikan oleh al-Ẓahabī, meskipun dengan sigat yang tidak terlalu tegas:

ومن اهم هذه المصنفات تفسيره الكبير المسمى بمفاتيح الغيب

Di antara karya-karyanya yang terpenting adalah tafsirnya yang besar, disebut dengan Mafātīḥ al-Gaib.

Bahkan al-Daudī dalam Ṭabaqāt al-Mufassirīn seperti dikutip Syekh Khalīl al-Mīs, mengatakan:122

ومن تصانيفه التّفسير الكبير لكنّه لم يكمل كذا فى مختصر تاريخ الذهبى سماه مفاتيح الغيب

Di antara karya-karyanya adalah sebuah tafsir yang besar tetapi belum sempurna, demikian menurut Mukhtaṣar Tārīkh al-Ẓahabī yang dia namakan Mafātīḥ al-Gaib.

Sementara baik dalam terbitan al-Bahiyah maupun Dār alFikr kitab tafsir karya al-Rāzī ini dicetak dengan judul al-Tafsīr al-Kabīr. Akan tetapi istilah al-Tafsīr al-Kabīr dalam beberapa catatan digunakan dengan redaksi yang berbeda-beda, di catatan al-Ẓahabī dengan Tafsīr al-Kabīr, dan dalam kutipan Ibn al-Imād dengan Tafsīr Kabīr. Al-Imārī seperti halnya dalam catatan alDaudī menyebut dengan al-Tafsīr al-Kabīr. Lain lagi, dalam komentar Goldziher digunakan istilah Tafsīruh al-‘Aẓīm. Dalam hemat , Muhammad Mansur, istilah al-Tafsīr al-Kabīr tidak lain hanyalah sebutan yang diberikan untuk kitab Mafātīḥ al-Gaib lantaran besarnya kitab ini.

Pernyataan-pernyataan ini nampaknya belum dapat dijadikan patokan yang meyakinkan, mengingat adanya beberapa hal yang masih perlu diperhatikan.

  1. Dalam pendahuluan kitab tafsir ini, al-Rāzī tidak menyebutkan nama kitab yang ditulisnya, satu hal yang kelihatan sangat berbeda dengan kebiasaan umum para penulis kitab. Bahkan dalam tradisi penulisan abad lampau memilih untaian kata indah dan mengandung arti tertentu menjadi masalah yang dianggap penting.
  2. Para penulis yang relatif dekat masa hidupnya dengan al-Rāzī tidak menyebut nama kitab ini ketika menyebutkan tentangnya. Ibn Abī Uṣaibi‘ah (w. 668 H/ 1270 M) misalnya, seperti dikutip al-Imārī, menyebut tafsir al-Rāzī dengan Tafsīr al-Qur’ān li Ibn Khaṭīb al-Rai. 123 Ibn Khallikān (W. 681 H/1283 M) juga hanya menyebutnya dengan Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, sebutan yang diberikan pula oleh Syekh ‘Abdullāh ibn As‘ad al-Yafi‘ī (W. 768 H/1367 M). 124 Karena alasan inilah barangkali, sehingga al-Fāḍil ibn ‘Āsyūr tidak pernah menyebut kitab ini kecuali dengan sebutan Tafsīr al-Rāzī.
Baca juga:   Menghafal Al-Quran Meski Menderita Epilepsi

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Muhammad Mansur menyimpulkan bahwa tidak mustahil nama yang populer ini justru muncul dari para penulis belakangan atau dari para penulis naskah kitab ini. Di sisi lain, tetap tidak tertutup kemungkinan nama itu diberikan oleh al-Rāzī sendiri, Apalagi jika mengingat bahwa kitab ini merupakan karyanya yang terbesar di bidang penafsiran al-Qur’an.

Garis besarnya, menurut penulis, kita menerima begitu saja nama yang populer itu sebagai nama yang diberikan oleh al-Rāzī tanpa adanya informasi yang akurat dari  sumber aslinya. Namun demikian, terlepas dari siapa sebenarnya yang pertama kali memberikan nama untuk kitab tafsirnya ini, yang jelas nama itu menggambarkan betapa di dalamnya al-Rāzī banyak melakukan hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam khazanah tafsir.

Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib

Terdapat perdebatan di antara para ulama apakah al-Razi sempat menyelesaikan karya tafsirnya ini atau tidak.

Di bawah ini penulis kumpulkan pandangan beberapa ulama dan peneliti tentang apakah

Pendapat 1: Al-Razi Tidak Menyelesaikan Tafsir Mafatihul Ghaib

[1[ Ibnu Qadhi Syuhbah

Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Ar Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajalnya menjemputnya sebelum ia menyelesaikan tafsir Al Kabiir.

[2] Ibnu Khallikan

Ibnu Khulakan dalam kitabnya wafiyatul a’yan nya juga berkata demikian.

[3] Husain az-Zahabi

al-Dhahabi misalnya dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun (1/207-208) mendasari pendapatnya berdasarkan temuannya dalam Mafatih al-Ghaib, tepatnya pada tafsir surah Alwaqi’ah.

Di sana dia mendapati terdapat redaksi “dzakaraha al-Imam Fakhr al-Din al-Razi…” yang artinya, “Imam Fakhr al-Din al-Razi menyebutkan…”. Redaksi seperti ini menunjukkan bahwa bagian ini tidak ditulis langsung oleh al-Razi, melainkan telah dilanjutkan oleh orang lain.

Lalu siapa yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir ini? dan sampai dimana beliau mengerjakan tafsirnya?

Ibnu hajar Al ‘Asqalani menyatakan pada kitabnya ,”Yang menyempurnakan tafsir Ar Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al Qammuli, wafat pada tahun 727 H, beliau orang mesir. (Ad durarul kaminah. Jilid 2, hal 304.)

Penulis kasyfu Ad dzunuun juga menuturkan,” Yang merampungkan tafsir Ar Razi adalah Najamuddin Ahmad bin Muhammad Al Qamuli, dan beliau wafat  tahun 727 H. Qadi Al Qudat Syahabuddin bin Khalil Al Khulay Ad Dimasyqy, juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan, beliau wafat tahun 639 H. (Kasyfu ad zunuun.jilid 2,hal.  299.)

Kemudian, sampai dimana Ar Razi terhenti dalam menulis tafsirnya? DR. Muhammad Husain Ad Zahabi menjelaskan pada kitabnya tafsir al mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis tafsirnya sampai surah Al Anbiya, setelah itu datang Syahabuddin Al Khulay melanjutkan tafsir ini, namun beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian datang Najamuddin Al Qamuli menyempurnakan tafsir Ar Razi. Ad Zahabi juga mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan tafsir Ar Razi sampai akhir adalah Al Khulay.

al-Dhahabi tidak mengklaim bahwa kesimpulannya ini sudah mencapai titik final, meskipun telah didukung oleh data-data yang kuat. Namun, tetap saja perkara ini masih menjadi perdebatan di antara para ulama.

[4] Sohaib Saeed

Sohaib Saeed adalah ….

Kemarin saya mengambil pena ke salinan saya hanya untuk menunjukkan kepada Anda tiga sisipan yang diduga, jadi yang di sebelah kanan di sini adalah sisipan satu dan kemudian ada halaman putih yang diterima sebagai razzies dan kemudian kuning yang di sini menyeberang dari satu jilid ke jilid yang lain adalah sisipan dua, sisipan yang terbesar dan kemudian ada ruang putih kecil lagi yang kembali ke razzie dan kemudian merah adalah sisipan tiga seperti yang akan saya sebut dalam presentasi ini

Sumber: Presentasi Dr. Shoaib Saed

Keterangan lengkap

Pendapat 2: Al-Razi Menyelesaikan Tafsir Mafatihul Ghaib

[1] Sayyid Muhammad Ali al-Imariz

Merujuk pada keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan klarifikasi bahwa sekelompok mufasir era  belakangan yang meneliti tafsir ini menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Ar-Razi secara utuh.

Ali Muhammad al-Imariz mengutarakan pendapatnya dalam kitabnya tentang Imam ar-Razi dalam kitabnya, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu setelah meneliti tentang simpang siur pendapat yang beredar bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara utuh.

[2] Taha Jabir al-‘Alwani

Dr. Taha Jabir al-‘Alwani spent 14 pages looking at this question, whether the Imam completed his tafsir. He concludes that he did, despite few additions from the Imam’s students which should not be considered as completing an unfinished work.

Kitab al-Imam Fakhruddin wa Mushannafatuhu.

[3] Muhammad Mansur

Lepas dari polemik di atas, penulis hendak menyampaikan hujah dari Muhammad Mansur bahwa berdasarkan penelitiannya, Al Razi adalah penulis semua isi kitab tafsirnya. Beliau menyebutkan tiga alasan untuk membantah anggapan bahwa al-Rāzī tidak menulis Mafātīḥ al-Gaib seluruhnya.

Bukti 1. Pernyataan dari Fakhruddin Al Razi

Imām al-Rāzī sebagai penulis kitab Mafatihul Ghaib, sebagaimana yang dapat kita pahami dari statemen berikut.

Dalam tafsir QS. Yusuf (12): 42 kita dapati pernyataan:

 قال مصنفه فخرالدين الرازى . . . .

Penyusunnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzī berkata: . . .

Demikian pula dalam tafsir ayat 101 dari surat yang sama kita mendapatkan kalimat.

 قال الامام فخرالدين الرازى رحمه ال له وهو مصنف هذا الكتاب انار ال له برهانه

Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzī penyusun kitab ini berkata:

Dari kutipan di atas, bisa disebutkan bahwa kelompok yang menyatakan bahwa al-Rāzī belum selesai dalam menyusun tafsirnya (hanya sampai QS. Al-Anbiya’) tidak mengemukakan argumentasi. Kesimpulan mereka masih patut untuk dipertanyakan kebenaranya.

Bukti 2. Ditemukannya banyak keterangan waktu tentang selesainya penafsiran beberapa surat

Ada data historis yang dapat kita jumpai di akhir penafsiran beberapa surat yang dapat dijadikan petunjuk bahwa dalam menyusun tafsirnya, al-Rāzī tidak terikat dengan sistematika surat dalam mushaf. Data historis yang penulis maksud adalah keterangan waktu tentang selesainya suatu surat ditafsirkan.

Misalnya, al-Rāzī menulis keterangan bahwa QS. al-Isra’ (17) selesai ditulis pada bulan Muharram tahun 601 H. Sementara, keterangan mengenai selesainya penafsiran QS. al-Anfal (8), alTaubah (9), Yunus (10), Hud (11), Yusuf (12), al-Ra’d (13) dan Ibrahim (14), yang secara urutan mushafi lebih awal dari QS. al-Isra’ (17), adalah pada bulan-bulan berikutnya di tahun yang sama. Sama halnya, QS. al-Anfal (8) dan al-Taubah (9) diselesaikan pada bulan Ramadhan tahun 601 H. Tetapi, selesainya penafsiran QS. Yunus (10) dan Hud (11) adalah pada bulan Rajab tahun yang sama.

Data historis tersebut menunjukkan bahwa surat-surat yang dalam tartib mushafi terdapat lebih akhir justru ditafsirkan lebih dulu dari pada surat-surat yang dalam tartib mushafi terdapat lebih awal, begitupun sebaliknya. Melihat ini, kesimpulan beberapa penulis bahwa QS. al-Anbiya’ adalah surat terakhir yang ditafsirkan al-Rāzī menjadi nampak tidak ada artinya, karena bukan tidak mungkin ada beberapa surat yang dalam tartib mushafi lebih akhir dibandingkan dengan QS. al-Anbiya’ justru telah ditafsirkan terlebih dahulu. Kenyataan memang menunjukkan demikian. Misalnya, QS. al-Fath (48) ditegaskan telah selesai penafsiranya pada hari Kamis, 17 Zulhijjah tahun 603 H. QS. al-Ahqaf (46) selesai pada hari Rabu, 20 Zulhijjah tahun 603 H. Demikian pula, QS. al-Jatsiyah (45) dinyatakan selesai pada hari Jum’at 15 Zulhijjah pada tahun yang sama.

Bukti lain bahwa al-Rāzī tidak terikat dengan sistematika mushafi adalah bahwa seringkali dalam penafsiran suatu surat, al-Rāzī merujuk uraiannya dalam suatu surat yang menurut tartib mushafi terdapat lebih kemudian dibanding dengan surat yang sedang ditafsirkannya.

Menurut logika, ketika al-Rāzī merujuk uraian tafsir sebuah surat, artinya dia sudah menyelesaikan tafsir surat tersebut. Kasus semacam ini misalnya dapat kita temukan dalam penafsiran QS. al-Ma’arij (70): 4. al-Rāzī mengatakan:

واما ظاهر قول المتكلمين وهو ان الروح هو جبريل عليه السلام. فقد قررنا هذه المسالة فى تفسير قوله تعالى : يوم يقوم الروح و الملائكة صفا

Pendapat para teolog yang jelas yaitu bahwa yang dimaksud alRuh adalah Malaikat Jibril As. masalah ini telah kami ketengahkan dalam tafsir firman Allah: pada hari al-Ruh dan Malaikat berdiri sejajar.

Ayat yang ditunjuk dalam penafsiran ayat di atas adalah QS. al-Naba’(78): 30. Dari kalimat tersebut di atas dapat diambil pemahaman bahwa sebelum menafsirkan QS. al-Ma’arij (70), al[1]Rāzī telah menafsirkan QS. al-Naba’ (78) terlebih dahulu.

Bukti 3. Tidak ada kesenjangan metodologis antara penafsiran surat di awal mushaf, di tengah dan bagian akhir

Metode, langkah-langkah, pola atau kecenderungan tafsir yang ditemukan dalam kitab ini sejak awal hingga akhir tidak mengalami perbedaan. Penulis melihat inilah indikasi terkuat bahwa al-Rāzī betul-betul telah menyelesaikan penyusunan kitab tersebut. Akhirnya, kuatlah dugaan penulis bahwa otentisitas tafsir Mafātīḥ al-Gaib sebagai buah karya Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzī secara totalitas adalah kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri lagi.

Jika tahun-tahun yang disebutkan dalam tafsir ini, yakni antara 595 H sampai 603 H, dihubungkan dengan tahun-tahun dalam perjalanan hidup al-Rāzī, dapat ditemukan bahwa kitab ini disusun pada saat al-Rāzī menghabiskan sisa hidupnya di Harrah, di mana al-Rāzī diserahi tugas sebagai Syekh al-Islām oleh pemerintah Khawārizmī Syāh. Pada saat ini kehidupan al-Rāzī dapat dikata telah mapan, setelah sebelumnya bertualang dari satu kota ke kota lainnya dalam kapasitasnya sebagai mutakallim.

Perjalanan kariernya sebagai mutakallim kelana tentu cukup sarat dengan berbagai pengalaman yang tak terlupakan terutama berbagai perdebatannya dengan berbagai kalangan. Apalagi justru karena berbagai perdebatan itu dia sering dipaksa untuk meninggalkan suatu daerah.

Walhasil kitab Mafātīḥ al-Gaib ini tidak lain adalah pantulan dan bagian dari sekian banyak pengalaman hidupnya baik secara politis, intelektual, maupun spiritual yang telah mengendap dalam kesadarannya. Oleh sebab pengalaman hidupnya relatif lebih banyak ditempa wacana kalām, bahwa kitab tafsirnya muncul dengan penuh muatan diskusi kalām adalah konsekuensi yang niscaya.

Statemen yang terdapat dalam tafsir ayat

جزاء بما كانوا يعملون

Dalam QS. al-Waqi‘ah yang oleh al-Ẓahabī dijadikan alasan munculnya dugaan bahwa al-Rāzī tidak sampai menafsirkan ayat atau surat al-Waqi‘ah ini besar kemungkinan berasal dari para penulis naskah kitab Mafātīḥ al-Gaib.

Pernyataan yang dimaksud adalah:

المسألة الاولى اصولية ذكرها الامام فخر الدين رحمه ال له فى مواضع كثيرة ونحن نذكر بعضها

Persoalan pertama adalah masalah usul yang dikemukakan Imām Fakhr al-Dīn dalam banyak tempat, dan kami sebutkan sebagiannya.

Argumen penulis ini didasarkan pada statemen yang terdapat di akhir tafsir QS. Hud: 161

 وقد وجد بخط المصنف فى السخة المنتقل منها

Tulisan tangan penyusun kitab ini ditemukan dalam naskah yang dijadikan sumber penukilan.

Kitab ini diduga dicetak berdasarkan pada catatan para penulis naskah. Kemungkinan lain terkait penyebab munculnya beberapa penjelasan dalam QS. al-Waqi’ah seperti kutipan di atas adalah karena bisa jadi tulisan asli al-Rāzī dalam menafsirkan surat ini tercecer atau hilang ketika terjadi kerusuhan akibat serangan bangsa Mongol di Khawārizmī, sekitar sebelas tahun setelah beliau wafat.

Karenanya, para penulis naskah terpaksa melakukan penafsiran sendiri berdasarkan pada gagasan Imām al-Rāzī tentang penafsiran surat tersebut yang pernah dilihat atau didengarnya. Dengan kata lain, tafsir QS. al-Waqi’ah sesungguhnya adalah hasil penafsiran al-Rāzī, tetapi ditulis dengan redaksi dari penulis naskahnya. Kemungkinan serupa ini diakui pula oleh Ibn ‘Āsyūr. Menurut informasi yang dia terima dari tulisan Imām Syarf al-Dīn al-Ṭibī, teks tafsir ini pernah lenyap untuk beberapa saat lamanya dari peredaran dan baru pada abad ke-8 H kitab ini muncul kembali.

Seperti telah disebutkan di atas, dalam waktu cukup lama naskah kitab ini menghilang. Menurut catatan sejarah, naskah-naskah ini dihimpun oleh poligraf Mesir kenamaan, Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī di abad ke-15 M. Sekarang kitab tersebut beredar dalam masyarakat dengan dua edisi yakni terbitan Dār al-Fikr Beirut tahun 1978 dalam 8 jilid dan terbitan al-Bahiyyah al-Miṣriyyah Mesir tanpa tahun dalam 32 jilid.

Penutup

Sebagai salah satu ulama besar dalam sejarah Islam, Fakhruddin Ar-Razi melalui Mafatihul Ghaib telah memberikan kontribusi yang tak ternilai dalam integrasi antara ilmu rasional dan wahyu. Karya ini membuktikan bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak hanya berfokus pada makna tekstual tetapi juga berusaha memahami pesan-pesan Ilahi melalui pendekatan logis, filosofis, dan saintifik.

Dengan menggabungkan analisis linguistik mendalam, argumen rasional, dan diskusi teologis, Ar-Razi menunjukkan bahwa wahyu dan akal bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Pendekatan ini membuka ruang bagi umat Islam untuk mengatasi tantangan intelektual di masanya, seperti perdebatan teologi dan filsafat, sekaligus menegaskan pentingnya Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan yang dinamis.

Kontribusi ini tidak hanya relevan pada zamannya tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya, terutama di era modern yang membutuhkan penafsiran baru terhadap teks-teks keagamaan dalam konteks ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi. Mafatihul Ghaib menjadi bukti bahwa tafsir bukan hanya alat untuk memahami kitab suci, tetapi juga sebuah medium untuk menjalin harmoni antara spiritualitas dan intelektualitas, menjadikan Al-Qur’an tetap relevan sepanjang masa.

Fakhruddin Ar-Razi melalui warisannya mengajarkan kita pentingnya keterbukaan dalam memahami agama, sekaligus menekankan bahwa ilmu, baik yang bersifat rasional maupun wahyu, adalah jalan menuju kebenaran yang sama. Karya beliau terus menjadi inspirasi, menegaskan posisi tafsir sebagai jembatan antara tradisi dan modernitas, antara wahyu dan akal, demi kemajuan umat manusia.

Referensi

Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Fakhru ar-Razi (Tafsir al-Kabir wa Mafatihul Ghaib), Darul Fikr, 1414 H, Beirut, Libanon

Syaikh Rahmatullah al-Kairanawi al-Hindi, Izharul Haq, Penerbit Cendekia, cet pertama, 2003 M

Muhammad Husain Az-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun, Jilid I Beirut: Dar al-Qalam, t.th.

Muhammad Ibrahim ‘Abd al-Rahman, Manhaj al-Fakhral-Razy fiy al-Tafsir, Nashr: al-Shadr Likhidmati ath-Thaba’ah, 1989.

Muhammad Husain al-Amari, al-Imam Fakhrulrazi hayatuhu wa atsaruhu, Makkah: Majlis al a’la li al Shu’un al-Islamiyah, 1969.

Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Leiden: 2006.

Abdurrahman bin Yahya bin Ali al-Muallimi, Bahts haula Tafsir Fakhruddin al-Razi, tafsir.net (unduh buku)

Muhammad Mansur, Tafsir Mafatih AlGaibHistorisitas dan Metodologi. Lintang Books, 2019.

Adamson, Peter and Fedor Benevich, “Fakhr al-Din al-Razi”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/al-din-al-razi/>.

Haywood, J. A. (2024, March 1). Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/biography/Fakhr-ad-Din-ar-Razi

FAQ

Apa itu Tafsir Mafatihul Ghaib?

Tafsir Mafatihul Ghaib adalah kitab tafsir bir ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan aqli), dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah.

dalamnya setiap ayat dianalisa berbagai sudut baik berupa riwayat, bahasa, filsafat dan lain sebagainya, walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen yang sama.

Apa yang menjadi ruh dari tafsir Mafatihul Ghaib?

Yang menjadi ruh dari tafsir mafatihul ghaib adalah pembahasan yang panjang dan lebar. Al-Razi menggunakan pedakan akalnya dalam mayoritas tafsirnya.

Apa metode penafsiran yang digunakan al-Razi dalam Mafatihul Ghaib?

Tafsir Mafatihul Ghain adalah pionir dalam tafsir dengan metode penafsiran birra’yi. aspek lainnya adalah Penekanan pada aspek Munasabah antar surah, Pemanfaatan Qiraat dan Asbabun Nuzul, Penggunaan Dalil Bahasa, dan Perhatian pada ilmu riyadhiyah, dan fisafat.

Secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut. Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.

Artikel Terkait

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *