Biografi Fakhruddin Ar-Razi – Fakhrudin ar-Razi adalah salah satu pemikir muslim yang ikut serta menyumbangkan keilmuannya dalam khazanah dunia tafsir. Ar-Razi adalah seoran ilmuan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang mendalam. Salah satu tulisannya dituangkan ke dalam kitab tafsir yang diberi judul Mafatih al-Ghaib.
Artikel ini akan membahas mengenai siapa Fakhrudin ar-Razi, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana perjalanan pendidikan serta karirnya dalam khazanah keilmuan Islam. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap segala hal tentang tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, dan bagaimana esensi-esensi yang ada dalam kitab tersebut.
- Biografi Fakhruddin Ar-Razi
- Metodologi Tafsir Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib
- Otensitas Tafsir Mafatih al-Ghaib sebagai Karya Fakhruddin Ar-Razi
- Tentang Pemberian Nama Tafsir Mafatih al-Ghaib
- Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib
- Bukti Al Razi Menulis Semua Kitab Tafsir Mafatihul Ghaib
- Bukti 1. Pernyataan dari Fakhruddin Al Razi
- Bukti 2. Ditemukannya banyak keterangan waktu tentang selesainya penafsiran beberapa surat yang baik hari, tanggal, bulan maupun tahun, masih menunjukkan waktu kapan al-Rāzī hidup.
- Bukti 3. Tidak ada kesenjangan metodologis antara penafsiran surat di awal mushaf, di tengah dan bagian akhir
Biografi Fakhruddin Ar-Razi
Siapa itu Fakhruddien ar-Razi?
Rayy, salah satu kota yang terletak di sebelah tenggara Teheran adalah sebuah kota yang telah banyak melahirkan para pemikir Islam terkenal di antaranya: Abu Bakar Muhamamd bin Zakariya ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi, Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya ar-Razi, Abu Bakar ar-Razi al-Jashash, Quthbuddien ar-Razi dan Fakhruddien ar-Razi.
Disebabkan banyaknya pemikir dari Rayy, maka untuk menyebut identitas pemikir yang berasal dari Rayy, tidaklah cukup hanya dengan menyebutkan asal kelahirannya (al-Razi). Nama lengkap atau julukan perlu diikutsertakan agar identitas pemikir yang dimaksud menjadi jelas.
Fakhruddien ar-Razi adalah gelar yang diberikan umat pada masanya. Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali at-Taimi al-nakri at-Thabari ar-Razi at-Thabarstani al-Qurashi al-Faqih as-Syafi’i.
Fakhruddien lahir pada bulan Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M dan namanya dinisbahkan kepada ar-Razi sebagaimaan terdapat pada kitab al-Ansaab karangan as-Sam’ani. Versi lain menyebut beliau lahir pada 543 H, namun pendapat ini lemah, jika dibandingkan dengan tulisan al-Razi sendiri pada tafsir surat Yusuf, bahwa ia telah mencapai umur 57 tahun dan di akhir suarat ia menyebutkan bahwa tafsirnya selesai pada bulan sya’ban tahun 601 H. Jika dikurangi usia beliau saat usia 57, maka kelahiran al-Razi adalah tahun 544 H/1150 M.
Tentang perawakannya ia berbadan tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan santun, sebagaimana terdapatdalam kitab al-Ibar: 18 dan Sadzarat az-Zahab: 5/21.
Fakhruddien ar-Razi mempunyai beberapa nama panggilan seperti Abu Abdullah, sebagaimana terdapat dalam kitab Wafayatul ‘Ayan, Sadzara az-Zahab dan Uyunul Anba’, Abul Ma’ali, sebagaimana terdapat dalam kitab an-Nujum az-Zahirah, Abul Fadhl sebagaimana dalam kitab Akhbarul Ulama karangan al-Qafathi dan Ibnu Khatib ar-Rayy sebagaimana dalam Tarikh Ibnu Khaldun.
Fakhruddien ar-Razi adalah orang yang kaya raya. Al-Maraghi melaporkan bahwa sumber kekayaan al-Razi ada dua.
Pertama, ia memiliki seorang besan yang berprofesi sebagai dokter spesialis di Ray, Persia. Suatu waktu, besannya ini meninggal dan seluruh harta milikinya diserahkan pada al-Razi.
Dia juga mendapat berbagai gelar disebabkan pengetahuaannya yang luas, seperti: Khatib ar-Rayy, al-Imam, Fakhruddien dan Syaikh Islam. Dia mendapat julukan Khatib ar-Rayy karena dia adalah ulama terkemuka Rayy. Dia dijuluki Imam karena menguasai ushul fiqih dan syariat. Dia juga disebut Fakhruddien ar-Razi karena penguasaannya yang sangat mendalam tentang berbagai disiplin kelimuan yang menyebabkannya berbeda dengan para tokoh pemikir dari Rayy. Dia juga dipanggil sebagai Syaikhul Islam di Herat karena penguasaaan keilmuannya yang tinggi.
Al-Razi menikah di Ray dengan salah satu anak seorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah. Ketika dokter itu sakit dan akan meninggal, ia menikahkan salah seorang putrinya dengan Al Razi. Sejak pernikahannya terjadi, ia menjadi orang yang berkecukupan dalam hal ekonomi. Dari pernikahan ini al-Razi dikaruniai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ketiga anak laki-lakinya bernama Dhiya’ al-Din, Syams al-Din dan Muhammad meninggal pada saat al-Razi masih hidup dan membuatnya sangat sedih. Kesedihannya itu diungkapkan dengan menyebutkan Muhammad berkali-kali dalam tafsir surat Yunus, Hud, al-Ra’d dan Ibrahim. Muhammad meninggal dalam usia muda beranjak dewasa, saat ia jauh dari teman dan keluarga.
Dua anak lelaki lainnya, Dhiyaud Din dan Syamsudin. Dyiyauddin anak tertua bernama asli Abdullah, dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia menjadi tentara dan mengabdi kepada Sultan Muhamad bin Taksy. Adapun Syamsuddin, yang termuda dari ketiganya, mengikui jejak Al Razi setelah kematiannya dan banyak ulama yang menuntut ilmu kepadanya.
Salah satu anak perempuan beliau dinikahkan dengan ‘Ala’ al-Mulk, seorang menteri sultan Khawarazmshah Jalal al-Din Taksh bin Muhammad bin Takhs yang terkenal dengan julukan Minkabari. Sedangkan anak perempuan lainnya hanya disebut dalam riwayat pada saat pasukan Mongol menyerang kediaman al-Razi. ‘Ala’ al-Mulk meminta suatu permohonan kepada mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan dan kemudian dikabulkan. Dan ketika permohonan tersebut dibacakan, anak perempuan ini termasuk di dalamnya.
Sumber kekayaan kedua dari Al-Razi adalah kedekatannya dengan penguasa dan dari kedekatannnya ini ia mendapatkan banyak harta.
Al-Maraghi menulis:
فقد كان اتصاله بالملوك والأمراء مصدرا آخر لغناه ومع ذلك فقد عرف في ذلك المال حق الله وحق الفقراء
“Sungguh, relasinya dengan raja dan penguasa adalah sumber kekayaan al-Razi yang lain. meski demikian, sungguh ia paham hak Allah dan hak orang fakir dalam harta tersebut”.
Mazhab fiqih yang ia pelajari berasal dari ayahnya Dhiyauddien Umar dan ia dari Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Farral al-Baghawi dan ia dari al-Qahi Husain al-Maruzidan ia dari al-Qafal al-Maruzi dan ia dari Abi Zaid al-Maruzi dan ia dari Abu Ishaq al-Maruzi dan ia dari Abul Abbas bin Suraij (Ahmad bin Umar) dan ia dari Abu Qasim al-Anmathi dan ia dari Ibrahim al-Muzani dan ia dari Imam Syafi’i. (Wafayatul A’yan: 3/384, Miratul Jinan: 4/11)
Selain sebagai seorang Mufasir, Fakhruddien juga seorang pakar syariah. Ini nampak bukan saja dari tulisan-tulisanya dalam bidang fiqih danb ushul fiqih, namun juga dari berbagai perdebatannya dengan ahli-ahli fiqih yang lain.
Fakhruddien ar-Razi meiliki keilmuan yang tinggi dalam masalah fiqih dan ushulnya karena memang sejak muda ia telah berhasil menguasai literature yang dijadikan standar dalam ushul fiqih seperti: al-Burhan karya Imam al-Haramain al-Juwaini, al-‘Ahd karya Qadhi Abdul Jabar, Musthafa karya Imam Ghazali, al-Mu’tamid karya Abu Husain al-Bashri dan ar-Risalah karya Imam Syafi’i. Di antara tulisan-tulisan Fakhruddien dalam masalah fiqih dan ushul fiqih seperti Ihkamul Ahkam,Ibthal QIyas, Sharh Wajiz fil Fiqh, dan al-Mahshul fi Ilmil Ushul.
Fakhruddien adalah seorang penulis yang produktif, ia banyak membahas berbagai persoalan dengan mendalam. Ia menulis sastra arab, kedokteran dan perbandingan agama, di antara karyanya dalam sastra arab seperti: Nihayatul Ijaz fi Dirayat al-‘Ijaz, Sarh Saqt al-Zand Li Abil al-Ma’ari dan al-Muharar fi Haqaiq an-Nahwu. Karyanya dalam bidang kedokteran seperti Sarh al-Qanun, at-Tibb al-Kabir dan Masail Fit Thibb.
Al-Razi meninggal di kota Herat, Afganistan, pada usia 60 tahun. Tepatnya pada hari senin tanggal 1 syawal 606 H/1209 M. Dalam potret sejarah memaparkan bahwa beliau meninggal ketika berselisih pendapat dengan kelompok al-Karamiyah tentang urusan akidah. Mereka sampai mengkafirkan Fakhr al-Din al-Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuninya sehingga mengakibatkan beliau meninggal dunia.
Al-Razi dimakamkan di gunung musaqib desa Muzdakhan tidak jauh dari Herat. Sebelum meninggal beliau meninggalkan wasiat yang dicatat oleh muridnya Ibrahim al-Asfihani, wasiatnya berisi tentang pengakuaannya bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai macam ilmu tanpa memperhatikan mana yang berguna dan mana yang tidak. Dalam wasiatnya ia menyatakan ketidakpuasannya terhadap filsafat dan ilmu kalam(teologi), ia lebih menyukai metode al-Quran dalam mencari kebenaran. Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis terhadap problem-problem yang tak terpecahkan.
Pernyataan terakhir Al Razi mengenai filsafat dan teologi ini mesti dicatat dan menjadi perhatian dalam meneliti pemikiran Al Razi dalam isu kontroversial yang bermacam macam.
Keadaan Masyarakat
Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau kedua belas Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di kalangan umat Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan akidah. Kelemahan Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga Baghdad sebagai pusat pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali serangan dari tentara Mongol di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656 H/1258 M.
Secara efektif, tidak ada kesatuan politik yang benar-benar memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan khalifah di Baghdad hanya diakui secara simbolis karena dalam prekteknya masing masing daerah diperintah secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Sejak 1055 M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk. Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.
Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah di Baghdad.
- Al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa kekuasaannya belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk.
- Al-Mustadhi Billah (566-575 H) yang merupakan anak al-Mustanjid yang memegang kekuasaan setelah ayahnya meninggal.
- Al-Nashir liDinillah (575-622 H), anak al-Mustadhi yang merupakan khalifah Abbasiyah dengan masa kekuasaan terpanjang.
Khalifah inilah yang berusaha mengembalikan kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan “kompromi” dengan syari‟ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotespara khalifah. Al-Nashir juga bergabung dengan kelompok futuwwah di Baghdad. Namun kebijakan al-Nashir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah.
Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya dikuasai oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang menguasai daerah ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), Ala al-Din Muhammad bin Taksy (596-615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-Din sampai tahun 628 H. Kabar mengenai perang salib di Syam dan serangan bangsa Mongol di Timur selalu menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu di mana bayangan kehancuran berada di depan mata.
Ketika masa itu banyak terjadi perselisihan mazhab dab aqidah, dan di daerah Rayy saja terdapat tiga kelompok yaitu: Syafi’iyah, Ahnaf dan Syi’ah dan juga kelompok-kelompok seperti Syi’ah, Muktazilah, Murjiah, Bathiniyah dan al-Karrasiyah. Tentang perkembangan ilmiah ketika itu, Ibnu Khaldun mengatakan: “Pada masa itu telah berkembang ilmu alam, ilmu agama, arsitektur dan music terutama di daerah pedalaman Iraq dan di daerah Wara’ an-Nahr dan ilmu akal pada masa itu sangat menguasai kebudayaan mereka.” (al-Muqaddimah: 381)
Kelompok Batiniyah menjadi kuat ketika itu, pengrang kitab Syadzarat az-Zahab mengatakan bahwa mereka membuat takut para pemimpin dan alim karena mereka suka membunuh manusia dan sebagaimana Imam Ghazali mensifati mereka, sacara Dhahir mazhab mereka adalah rafidhah dan batinnya adalah kekufuran (Fadhaih Bathiniyah: 37), pada masa itu juga berkembang kelompok Tasawuf, dan Ibnul Jauzi telah mengarang kitab Talbis Iblis untuk mengkritik praktek ibadah mereka.
Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi hidup. Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikirandalam hal ini al-Razi sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya. Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan metode untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari fakta keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak dengan suatu kelompok, seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya sebagai anggota masyarakat” (Edward Said, Orientalisme)
Pembahasan lebih dalam ke arah itukondisi politik, sosial, dan keilmuan akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang ulama atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya merupakan indikasi bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran, minimal pada saat itu.
Perantauan Intelektual
Banyak faktor yang membentuk Fakhruddien ar-Razi menjadi seorang ulama yang berwibawa. Selain memang memiliki keilmuan, ia mendapat pendidikan awal dari kedua orang tuanya, guru-gurunya dan dukungan dari para penguasa. Pengalaman dalan perantauan termasuk factor utama dalam membentuk kepribadian Fakhruddien ar-Razi. Setelah ayahnya, sekaligus guru pertamanya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddien ar-Razi yang saat itu berusia 15 tahun sudah merantau ke berbagai daerah.
Dia pertama kali merantau ke Simman dan mendalami fiqih kepada seorang pakar dalam fiqih yaitu al-Kamal as-Samnani (w. 575 H). Dia kemudian kembnali lagi ke Rayy dan berguru kepada ke Al-Majd Al-Jili (606 H) seorang faqih filsuf sekaligus sufi besar murid dari Abu Najib As-Sahrawardi (w. 563 H) dan Najmudin Kubra (w. 618 H) untuk mendalami masalah filsafat. Ketika al-Ijili pndah ke Maraghah untuk mengajar, Fakhruddien ikut menemani perjalanan gurunya.
Untuk meluaskan wawasannya, Fakhruddien merantau ke berbagai daerah lainnya, ia merantau ke Khawarizm dan berdebat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang saat itu sangat berpengaruh di Khawarizm, selain berdebat degan tokoh-tokoh Mu’tazilah, Fakhruddiien ar-Razi juga berdebat dengan para pendeta Kristen.
Dalam perdebatan tersebut, dia menujukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma,dogma Kristen serta mempertahankan kemurnian Islam, dari perdebatan ini ia mengarang sebuah kitab yang berjudul Munazarah fi ar-Rad ala an-Nashara. Perdebatan dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah menyebabkan Fakhruddien tidak betah dan kembali pulang ke Rayy.
Pada tahun 508 H, Fakhruddien yang pada saat itu sudah berusia 35 tahun, merantau lagi ke Transoxiana dan menetap kurang lebih dua tahun. Kini Transoxiana (ma wara’ an-nahr) adalah pecahan dari wilayah Uni Soviet yang meliputi Khazakastan, Samarkand dan Uzbekistan. Di Sarkhes ia bertemu dengan Abdurrhman bin Abdulkarim as-Sarkhsi, seorang dokter, dalam pertemuan tersebut, Fakhruiddun yang juga sudah mengetahui tentang ilmu kedokteran menjelaskan kepada Abdurrahman tentang kitab al-Qanun.
Dari Sarkhes, Fakhruddien menuju Bukhara, selanjutnya ke Samarkand, Khujand, Banakit, Ghaznah dan India. Selama perjalanan tersebut Fakhruddien aktif berdialog dan berdebat dengan tokoh-tokoh setempat.
Dalam perdebatan, terkadang dia menyebut lawan diskusinya dengan “jahil” (bodoh) hingga sempat dipaksa meminta maaf. Dan itu dilakukan oleh Imam Ar-Razi. Semua kisah ini menggambarkan sosok Imam Ar-Razi yang ambisius namun juga rendah hati. Dengan perjalanan hidup semacam itu maka tak usah heran jika Imam Ar-Razi memiliki banyak penggemar sekaligus banyak sekali musuh.
Dari Samarkand, Fakhruddien bekunjung ke Ghaznah, disana ia mendapat perlindungan dari raja Ghaznah, Shihabuddien al-Ghuridan saudaranya Ghiyatuddien. Fakhruddien berhasil mengubah Ghiyatuddien yang meyakini karamiyah kepada Ahlu Sunnah, karena hal ini pengikut Karamiyah sangat marah kepadanya. Selain itu, pengikut Karamiyah juga marah kepada Fakhruddien karena dia mengkritik tokoh mereka, Ibnu Qudwah di depan public. Amiruddien, sepupu Ghiyatuddien menolong Ibnu Qudwah dan mengusir Fakhruddien dari Ghur.
Semua hasil pengembaraan beliau dirumuskan dan dikokumentasikan dalam bukunya yang bertajuk Munzarat Fakhruddin al Razi fi Bilad Ma Wara al-Nahar.
Perantauan Fakhruddien ar-Razi berakhir di Herat. Di Herat dia mendapat perlindungan dari Sultan Khurasan Ali ad-Din Khawarazamshah Tukush, ia menjadi pengajar anak sultan yang mewarisi tahta tahun 596 H.
Disebutkan bahwa ketika berada di Herat, lebih dari 300 orang murid dan pengikutnya menemani Fakhruddien ketika berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Acara-acara Fakhruddien ar-Razi di kota Herat di hadiri oleh banyak cendekiawan dan tokoh. Mereka bertanya mengenai berbagai persoalan dan mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Disebabkan usahanya banyak dari kalangan Karamiyah dan kalangan yang lain kembali ke Ahlu Sunnah.
Di Herat Fakhruddien diberi gelar Syaihul Islam. Ia menetap di Herat sampai akhir hayatnya, ia meninggal di desa Mudhakhan, Herat pada tahun 606 H pada usia 62 tahun.
Keilmuan Fakhruddin ar-Razi
Imam Fakhruddin Ar Razi menguasai berbagai bidang keilmuan seperti al-Qur’an, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Selain telah menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadits, Fakhruddin al-Razi telah menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri dan al-Mustasfa karya al-Ghazali. Intelektual sezaman dengan Fakhruddin al-Razi; di antaranya Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan Al-Suhrawardi.
Al-Razi, adalah salah seorang “raksasa” intelektual dalam kesarjanaan Islam. al-Maraghi menyebut bahwa penulis Mafatih al-Ghaib ini memiliki dua kemampuan sekaligus secara bersamaan: kemampuan menulis dan kemampuan orasi yang memukau.
al-Dzahabi memberi testimoni tentang beliau:
الأصولي المفسر كبير الأذكياء والحكماء والمصنفين وانتشرت تواليفه في البلاد شرقا وغربا وكان يتوقد ذكاء
“Al-Razi adalah seorang ahli ushul fikih, mufassir, sarjana besar, bijak bestari dan penulis prolifik, karya-karyanya menyebar seantero negeri, timur dan barat. Ia orang yang sangat cerdas”.
Kecerdasan dan keilmuan beliau sangat tinggi, berbagai macam ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa dibuktikan dengan kitab-kitab karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, dan tak heran jika Ibnu Katsir dalam bidayah wan nihayahnya menyebutkan, bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua ratusan buku.
Pada masanya tidak ada yang menyamai keilmuan Fakhr al-Din al-Razi, ia seorang mutakallimin pada zamannya, ia ahli bahasa, Imam Tafsir dan sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga banyak orang yang berdatangan dari penjuru Negri untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang dari luar berdatangan untuk berguru kepada beliau adalah karena beliau juga seorang ahli bahasa asing yang fasih dalam menerangkan beberapa disiplin ilmu baik bahasa Arab maupun non Arab.
Muhammad bin Ibrahim bin Said Al-Anshari (749 H) mencatat dalam Irsyad Al-Qasid Ila Asna Al-Maqashid bahwa karya Ar-Razi mencapai 400 buah dalam 60 disiplin ilmu, Tasy Kubra Zadah membengkakkan lagi, Ali Sami An-Nassyar dalam mukadimah tahqiq I’tiqad Firaq Al-Muslimin wa Al-Musyrikin hanya mencatat 96 karya. Sementara Thaha Jabir Al-Ulwani mencatat karya Ar-Razi mencapai 240 lebih.
Karya-karya tersebut meliputi: tafsir, ilmu kalam, filsafat dan hikmah, gramatika dan sastra Arab, fikih dan ushul fikih, kedokteran dan psikologi, tasawuf, sejarah, arsitektur, astronomi, perbintangan, dan ilmu lain yang belum dikategorisasi.
Fakhruddin ar-Razi sang Ahli Debat
Debat Fakhruddin ar-Razi dan para Pendeta
Fakhruddien ar-Razi adalah seorang kristolog ulung, hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang pernah terjadai antara dia dan para pendeta, semisal di Khawarizm.
Berikut ini kami kutip perdebatan antara Fakhruddien ar-Razi dan para pendeta di Khawarizm yang kami ambil dari kitab Izharul Haq, karya Syaikh Muhammad Rahmatullah al-Kairanawi halaman: 472-474 cetakan Penerbit Cendekia, Jakarta.
Dia pernah ditanya oleh seorang pendeta, “Apa argument tentang kenabian Muhammad SAW? Dia menjawab,”Seperti telah diberitakan kepada kita mengenai mukjizat Nabi Musa dan Isa serta nabi-nabi lainnya, maka diberikan pula kepada kita mengenai mukjizat Nabi Muhammad SAW. Persoalannya apakah kita menolak atau menerima argument-argument mutawatir itu atau menerimanya?
Jika kita mengatakan bahwa mukjizat-mukjizat itu tidak menunjukkan kepada kebenaran, maka dengan serta merta kenabian para nabi itu batal. Lalu, jika kita mengakui sahnya berta mutawatir dan dengan mukjizat itu kita mengakui kebenaran eksistensi para nabi, termasuk nabi Muhammad SAW, maka kita harus mengakui kenabian Muhammad SAW. Menurut para ahli logika, dengan tetapnya argument maka sesuatu yangh ditunjuk oleh dalil itu menjadi sesuatu yang taken for granted.
Kemudian pendeta itu berkata,”Tetapi, saya tidak mengatakan bahwa Yesus itu nabi, sebab bagi saya Yesus adalah Tuhan.” Tentang pernyataan ini, Syaikh ar-Razi, melihat beberapa segi kerancuan.
- “Perkataan tentang kenabian mesti didahhului dengan pengakuan tentang Tuhan.” Asumsi seperti ini saya tegaskan kepadanya sebagai asumsi batil. Menurut saya, Tuhan adalah zat wajibul wujud lidzatihi yang mesti bukan dari jism atau aradh. Sedangkan Yesus adalah eksistensi dari makhluk bias yang ada setekah sebelumnya tidak ada, mengalami proses bayi, kecil, remajadan dewasa. Ia biasa makan, tidur dan terjaga. Karena itu sesuatu yang baru, selalu butuh dan berubah-ubah adalah makhuk, dan bukan Tuhan.
- Apabila sebagian juz Tuhan menyatu dalam Tuhan, maka ini juga tidak mungkin. Sebab juz tersebut apabila dianggap masuk dalam Tuhan, maka ketika terjadi pemisahan Tuhan, maka ia bukanlah juz dari Tuhan. Kedua kemugkinan ini jelas-jelas batil.
- Secara akal berubahnya tongkat menjadi ular lebih rumit ketimbang berubahnya mayit menjadi hidup. Kemungkinan perubahan mayit menjadi hidup lebih besar daripada kemungkinan perubahan tongkat menjadi ular. Tetapi, mengapa perubahan tongkat menjadi ular tidak menyebabkan Musa mendapat klain sebagai Tuhan atau anak Tuhan? Jika kejadian luar biasa seperti berubahnya tongkat menjadi ular tidak menjadikan Musa sebagai Tuhan, maka apalagi perubahan mayit menjadi hidup. maka kejadian luar biasa tidak dengan serta-merta menunjukkan pemiliknya sebagai Tuhan.
Sumber lain yang kami dapatkan tentang kisah perdebatan Ar-Razi dengan pendeta tentang kaidah.
يلزم مع وجود الدليل وجود المدلول ولا يلزم مع عدم الدليل عدم المدلول
Aksioma bahwa eksistensi dalil menunjukkan kepastian eksistensi madlul dan ketiadaan dalil menunjukkan kepastian ketiadaan madlul.
Setelah sang Pendeta paham, Imam Ar-Razi berkata “Kenapa kamu menjadikan Isa (as) sebagai Tuhan (madlul)?
Nasrani: (Dalilnya) karena banyak keajaiban yang bisa dilakukannya seperti menghidupkan orang mati dan sebagainya.
Imam Ar-Razi: Kalau begitu, kamu juga harus mengakui Musa as sebagai Tuhan. Sebab ia telah merubah tongkat menjadi ular yang sangat besar.
Nasrani: Tidak begitu
Imam Ar-Razi: Bukankah tadi kita sudah sepakat bahwa wujudnya dalil merupakan sebuah kepastian atas wujudnya madlul. Kamu menjadikan kemampuan Isa as menghidupkan orang mati sebagai dalil atas ketuhanannya, maka harusnya kalau kamu fair, juga mengakui Musa as sebagai Tuhan. Sebab mustahil ada dalil tanpa madlul.
Beliau melanjutkan:
Mungkinkah menurut Anda makhluk hina seperti kita, hewan, kumbang misal, menjadi Tuhan?
Nasrani: Tidak mungkin.
Imam Ar-Razi: Bagaimana kamu bisa berkata demikian, sementara kita sudah sepakat bahwa ketiadaan dalil bukan merupakan kepastian bahwa madlulnya tidak ada.
Bisa saja orang seperti kita tidak mengetahui keajaiban-keajaiban yang dilakukan makhluk-makhluk hina ini. Dan bila prinsip akidahmu bahwa keajaiban seperti ini menunjukkan pelakukan adalah Tuhan, maka dengan keajaibannya, makhluk-makhluk ini adalah Tuhan-Tuhan berdasarkan prinsip akidahmu.
Debat Fakhruddin ar-Razi dan Pengikut Ismailiyyah dan Karamiyyah
Ar-Rāzī tidak hanya ahli dalam berdakwah tetapi juga ahli perdebatan. Kemampuannya untuk membantah argumen orang lain, selain itu sifatnya yang agresiv, kepercayaan diri dan temperamen membuatnya memiliki banyak musuh.
Pernah suatu ketika beliau berdebat dengan pengikut Syiah Isamiliyah atau dikenal dengan Sab’iyah karena mereka percaya bahwa Ismāʿīl, imam ketujuh (pemimpin spiritual), adalah imam terakhir dari para imam. Ar-Rāzī memojokkan pengikut Ismāʿīlī karena tidak memiliki bukti yang sah atas keyakinan mereka.
Suatu hari, seorang Ismāʿīlī bisa mendapatkan akses untuk dekat dengan Imam Ar-Razi dengan menyamar sebagai murid dan mengarahkan pisau ke dadanya, mengatakan: “Ini adalah bukti kami.” Disebutkan pula bahwa akhir kehidupan ar-Rāzī bukan karena sebab alami, tetapi diracuni oleh sekte Karrāmīyah, sebagai pembalasan atas serangannya terhadap mereka. (Lihat situs Britannica)
Metodologi Tafsir Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib
Berbicara tentang Al Quran, berarti membahas tentang suatu kitab yang suci nan sakral. Al Quran sebagai rahamat linnas wa rahmatal lil ‘alamiin, menjadikan kitab suci ini sebagai landasan dan huda dalam menapak jejak kehidupan di dunia ini.
Dalam Al Quran yang menjadi mukjizat Rasulullah Saw, didalamnya banyak terkandung hikmah dan interpretasi yang luas, sehingga ketika membaca Al Quran maka kita akan mendapatkan makna-makna yang lain ketika kita membacanya lagi. Inilah yang menjadikan Al Quran terasa nikmat ketika dibaca dan terasa tenang dihati ketika mendengarnya, walaupun yang mendengarnya itu seorang ‘Ajami yang tidak paham bahasa Al Quran.
Dalam bermuamalah dengan Al Quran, terkadang kita mendapatkan ayat-ayat yang sulit untuk dipahami maksudnya. kita memerlukan sebuah perangkat untuk memahami kandungan Al Quran, yang kita kenal dengan istilah tafsir. bahkan sahabat nabi terkadang masih sulit untuk memahami Al Quran. Sehingga ketika para sahabat tidak mengetahui makna atau maksud suatu ayat dalam Al Quran, mereka langsung merujuk kepada Rasulullah dan menanyakan hal tersebut.
Sebagai umat Islam yang baik, tentunya kita tidak pernah luput dalam bersentuhan dengan Al Quran, setidaknya dengan senantiasa membacanya.Namun apakah cukup hanya dengan membacanya saja? tentunya untuk meningkatkan kualitas kita dalam bergaul dengan Al Quran, dan untuk merasakan mukjizat Al Quran lebih dalam, adalah disamping kita membacanya, kita juga membaca dan menelaah tafsir-tafsir sebagai bayan atau yang menjelaskan dari Al Quran itu sendiri.
Salah satu jalan yang ditempuh dalam bergelut dalam dunia tafsir, setidaknya dengan mengetahui pengarang dan metodologi yang dipakai dalam menginterpretasi Al Quran.
Sekilas Mafatihul Ghaib karya Imam Fakhruddin Ar-Razi
Tafsir Mafaihul Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bir ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan aqli), dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’anil Quran, Al-Farra’ wal Barrad dan Gharibul Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.
Riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sudai, Said bin Jubair, riwayat dalam tafsir At-Thabari dan tafsir Ats-Tsa’labi, juga berbagai riwayat dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi’in. Sedangkan tafsir bir ra’yi yang jadi rujukan adalah tafsir Abu Ali Al-Juba’i, Abu Muslim Al-Asfahani, Qadhi Abdul Jabbar, Abu Bakar Al-Ashmam, Ali bin Isa Ar-Rumaini, Az-Zamakhsyari dan tafsir Abul Futuh Ar-Razi.
Secara umum, Tafsir Ar-Razi lebih banyak menggunakan tafsir bir ra’yi (berdasarkan nalar) dan tahlili (analitis), karena di dalamnya setiap ayat dianalisa berbagai sudut baik berupa riwayat, bahasa, filsafat dan lain sebagainya, walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen yang sama.
Fakhruddin Ar-Razi tidak menuliskan kata pendahuluan dalam tafsirnya, dimaksudkan agar pembaca meneliti sendiri kondisi ketika tafsir ini ditulis. Jika dianalisa, kondisi dan keadaan ketika Tafsir Mafatihul Ghaib ditulis antara lain:
- Menjaga dan membersihkan Al Quran beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadap Al Quran.
- Ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah swt dengan dua hal. Yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca”, dalam bentuk Al Quran. Apabila merenungi hal yang pertama secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu Ar-Razi merelevansikan keyakinan ilmiyah dengan kebenaran ilmiyah dalam tafsirnya.
- Ar-Razi ingin menegaskan sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat Al Quran, selama berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Metodologi Tafsir Mafatih al-Ghaib
Metode Penulisan
Susunan penyajian kitabnya, pertama dituliskan Nama Surat, lalu klasifikasi makkiyah atau madaniyyahnya, dilanjutkan dengan penyebutan ayat. Disebutkan juga perincian mana yang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dalam surat tersebut, serta waktu susunan penurunan surat. Kemudian masuk ke dalam ayat, dan dilanjutkan dengan tafsirnya.
Dalam menguraikan tafsirnya, ar-Razi menggunakan beberapa model pengungkapan yaitu problematika (al-mas’alah) dan tanya jawab (su’al-jawab) :
- Problematika (al-mas’alah). Pada bagian ini ar-Razi berusaha menyajikan analisanya secara fokus pada beberapa problematika yang dinilai penting. Di antara pembahasannya adalah mengenai gramatikal (nahwu), dan perbedaan pendapat kalangan Ushuliyyin, mufassirin, dan fuqaha terhadap kandungan ayat.
- Tanya jawab (su’al-jawab). Pada bagian ini ar-Razi mempertajam analisanya dalam bentuk pertanyaan dalam menggunakan logika, kemudian ar-Razi memberikan juga jawabannya.
- Jika ditemukan perbedaan qiraat dalam pembacaan suatu ayat maka akan dicantumkan bagaimana perbedaan qiraah tersebut. Terkadang juga disebutkan mengenai faedah-faedah yang dapat diambil dari ayat itu.
- Ar-Razi terkadang menceritakan pribadinya secara spesifik dalam tafsirnya. Seperti kesedihan sebab kematian putranya yang masih muda yang diceritakan dalam tafsir surat Yunus. Di dalam tafsir tersebut ar-Razi menceritakan bahwa hatinya sedang dirundung kesedihan yang mendalam karena wafatnya putra beliau dan juga meminta kepada siapapun yang membaca karyanya ini untuk ikut mendoakan.
Metode Penafsiran
[1] Penekanan pada aspek Munasabah antar surah
Kecenderungan ini dapat dengan mudah ditemukan oleh setiap pembaca kitab tafirnya. Kejelian Al Razi dalam mengungkapkan munasabah bukan hanya antara satu ayat dengan ayat lainnya yang masih berurutan, tetapi antara satu ayat dengan ayat lainnya yang telah terpisahkan oleh beberapa ayat.
Dr. Ad Zahabi menjelaskan, bahwa Ar Razi sangat mementingkan munasabah antar ayat dengan ayat lain, dan surah dengan surah yang lain, bahkan Ar Razi tidak hanya menyebutkan satu munasabah saja, tapi menyebutkan banyak munasabah.
Seperti akhir surat al-Infithar dengan awal surat al-Muthaffifin. Pada munasabah kedua tersebut adalah contoh munasabah yang paling mudah diidentifikasi. Pada Akhir surat al-infithar ditunjukkan betapa agungnya peristiwa qiyamat dan yang menguasai hari tersebut adalah Allah, ini sekaligus berfungsi sebagai peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Lalu disambunglah dengan surat al-muthaffifin yang membahas mengenai siksa.
Dalam salah satu lembaran muqaddimah kitab tafsirnya, Imam Ar-Razi menyebutkan Qaumun min ahli al-jahl wa al-ghaiy wa al-‘inad (golongan yang bodoh yang buruk, yang jelek). Ungkapan tersebut dimaksudkan atau ditujukan kepada golongan Mu’tazilah. Mereka adalah kaum yang menurut Ar-Razi adalah golongan yang mengingkari ayat-ayat mutasyabihat, seperti “Alif Lam Mim, dan fawatihus suwar lainnya”.
Ketika mengutarakan pendapat-pendapat mufassir atau golongan lain, Ar-Razi ketika mengutarakan pendapat dari golongan mutakalimin tentang ayat mutasyabihat, Ar-Razi menuliskan bahwasanya “Mutakallimin (Muktazilah) tidak menyetujui qoul (menafsirkan ayat mutasyabihat) ini”.
Lanjutnya, mereka (golongan muktazilah) ini tidak memperkenankan untuk menjelaskan makna dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh makhuk, karena menjelaskan tafsir haruslah yang dapat dijelaskan dengan ayat, riwayat, dan akal.
[2] Pemanfaatan Qiraat dan Asbabun Nuzul
Dalam menggali makna suatu ayat, biasanya Al Razi mulai dari qiraat yang dikemukakan para tokoh dalam bidang ini, baik berupa pendapat dan dasar yang dikemukakannya. Al Razi juga sering menggunakan argumentasi nahwu yang bersumber dari penjelasan Zamakhsyari dalam Al Kasyafnya.
Tentang Asbabun Nuzul, Al Imari dalam bukunya al-Imām Fakhr al-Dīn, hlm. 134 menyebutkan;
“Dia cukup antusias mengungkap persoalan sabab al-nuzūlmanakala pemahaman ayat harus didasarkan pada penjelasan sabab al-nuzūl tersebut”.
Menurut Muhammad Mansur, Ada satu hal yang perlu digarisbawahi mengenai cara penyampaian asbāb al-nuzūl di dalam kitab tafsir al-Rāzī. Yaitu, bahwa al-Rāzī seringkali membuat bingung terutama pembaca tingkat pemula karena dia sering mengemukakan pernyataan yang ketika ditinjau dari segi materi dan sigat-nya adalah asbāb al-nuzūl, tetapi bila dilihat dari cara mengemukakannya, pernyataan tersebut terlihat seperti hanya pendapat seseorang (tokoh). Artinya, otentisitasnya sebagai asbāb al-nuzūl menjadi meragukan.
Fenomena serupa ini dapat kita saksikan, misalnya, ketika al-Rāzī menafsirkan potongan akhir QS. al-Ma’idah (5): 5. Tentang ayat ini dia mengutip sebuah statemen yang dinyatakannya sebagai kata-kata Qatādah. Dia menulis:
قال قتادة : ان ناسا من المسلمين قالوا : كيف نتزوج نسائهم مع كونهم على غير ديننا. قا نزل ال له تعالى هذه الاية
Qatādah berpendapat: sungguh sekelompok orang Islam mempertanyakan: “Bagaimana mereka boleh menikahi perempuan ahli kitab, sementara mereka berbeda agama, maka lalu Allah menurunkan ayat ini.
Bila ditinjau dari segi materi dan sighatnya, pernyataan di atas menunjukkan asbāb al-nuzūl dari ayat yang sedang ditafsirkannya. Bahkan, menurut teori ‘Ulūm al-Qur’ān, sigatyang digunakannya merupakan sigat yang secara jelas (ṣarīh) menunjukkan sebagai asbāb al-nuzūl. Akan tetapi jika dilihat dari cara menyampaikannya, timbul kesan seakan pernyataan tersebut hanyalah kata-kata Qatādah, apalagi al-Rāzī tidak mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut adalah riwayat yang diterima atau disampaikan Qatādah.
[3] Penggunaan Dalil Bahasa
Fakhru Ar Razi hampir-hampir tidak melewatkan ayat-ayat hukum kecuali beliau sebutkan semua mazhab-mazhab fiqih, walaupun begitu tetap ada kecenderungan kepada mazhab yang dianutnya yakni mazhab Syafi’i. Begitu juga ketika beliau memaparkan masalah-masalah fiqih, nahwu dan balaghah, namun beliau tidak berbicara panjang lebar pada masalah tersebut lebih dari pembahasan beliau yang berkaitan dengan alam ini, dan riyadhiah.
Dengan keluasan dan pemahaman beliau terhadap ilmu fiqih, sampai-sampai beliau pernah mengutarakan,”Ketahuilah suatu waktu, terlintas pada lisanku, bahwa surat yang mulia ini yaitu Al fatihah bisa ditarik hikmah-hikmah dan permasalahan sebanyak sepuluh ribu. (At tafsir wal mufassiruun, darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal. 253)
[4] Perhatian pada ilmu riyadhiyah, dan fisafat
Ar Razi dalam tafsirnya sangat memperhatikan terhadap ilmu riyadhiyah (ilmu pasti), filsafat dan lain sebagainya. Beliau juga memaparkan argumen-argumen filsafat kemudian membantahnya dengan argumen yang lebih kuat.Walaupun beliau membantah dengan menggunakan dalil akal, namun tetap sejalan dengan keyakinan ahlusunnah.
Penulis kasyfu ad zunuun mengatakan,” Didalam tafsir Ar Razi terdapat begitu banyak perkataan-perkataan mutakallimiin dan filosof. Ia keluar dari permasalahan kepermasalahan yang lain, sehinggga membuat pembaca mengagumi tafsir beliau”.
Saat membahas mengenai ideologi kalam, ar-Razi menggunakan pendapat Sunni Asy’ariyah, oleh karena itu kitabnya penuh dengan penolakan terhadap aliran muktazilah dan golongan-golongan lain yang tidak sejalan. Setiap ayat yang berkaitan dengan akidah dan mazhab di beberkan dan diikuti dengan pendapat golongannya atau pendapatnya sendiri. Dan memang kebanyakan saat membahas mengenai ayat-ayat ideologi kalam, ar-Razi mengutip pendapat Muktazilah lalu memberikan retorika pembanding yang berlandaskan Sunni Asya’irah.
Ar Razi sangat serius dalam menghadapi muktazilah, dalam tafsirnya, terlebih dahulu beliau memaparakan pendapat-pendapat muktazilah dan kemudian beliau membantah dengan argumen yang kuat. Ibnu Hajar pernah mengatakan,” Bahwa Ar Razi dicela karena banyak meriwayatkan syubhat secara tunai dan mengatasinya secara kredit”. Namun hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau sebagai seorang ulama yang memperjuangkan agama islam. (lihat Tafsir wal Mufassirun)
Corak dan Ittijah Tafsir Mafatih al-Ghaib
Menurut Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud dalam bukunya Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, 319, menjelaskan bahwa secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut. Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.
Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib adalah sebuah karya keilmuan yang besar. Pengkaji pun akhirnya menyimpulkan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ini bercorak tafsir yang berada di bawah naungan filsafat. Bukan berarti mengambil pendapat-pendapat para filsuf, namun tafsir ini disajikan dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mendasar kefilsafatan. Hal ini bisa kita lihat pada penafsiran ar-Razi terhadap QS. Yusuf ayat 4. Pada ayat ini dipertanyakan mengenai bagaimana bintang, matahari, dan bulan itu bersujud? Padahal mereka adalah benda mati. Di sini tafsir ar-Razi mengambil pendapat dari para filsuf yang beranggapan bahwa bintang-bintang merupakan makhluk hidup yang juga dapat berfikir.
Otensitas Tafsir Mafatih al-Ghaib sebagai Karya Fakhruddin Ar-Razi
Tentang Pemberian Nama Tafsir Mafatih al-Ghaib
Pada umumnya para penulis literatur ‘Ulūm al-Qur’ān dan pengamat studi tafsir menyebut kitab tafsir karya al-Rāzī ini dengan nama Mafātīḥ al-Gaib. Misalnya Mannā’ al-Qaṭṭan dalam Mabāḥiṡ-nya dengan tegas menulis:
ولفخرالدّين الرّازى تصانيف كثيرة منها مفاتيح الغيب فى تفسير القران
Di antara sekian banyak karya al-Rāzī adalah Mafātīḥ al-Gaib.
Nama yang sama juga diberikan oleh al-Ẓahabī, meskipun dengan sigat yang tidak terlalu tegas:
ومن اهم هذه المصنفات تفسيره الكبير المسمى بمفاتيح الغيب
Di antara karya-karyanya yang terpenting adalah tafsirnya yang besar, disebut dengan Mafātīḥ al-Gaib.
Bahkan al-Daudī dalam Ṭabaqāt al-Mufassirīn seperti dikutip Syekh Khalīl al-Mīs, mengatakan:122
ومن تصانيفه التّفسير الكبير لكنّه لم يكمل كذا فى مختصر تاريخ الذهبى سماه مفاتيح الغيب
Di antara karya-karyanya adalah sebuah tafsir yang besar tetapi belum sempurna, demikian menurut Mukhtaṣar Tārīkh al-Ẓahabī yang dia namakan Mafātīḥ al-Gaib.
Sementara baik dalam terbitan al-Bahiyah maupun Dār alFikr kitab tafsir karya al-Rāzī ini dicetak dengan judul al-Tafsīr al-Kabīr. Akan tetapi istilah al-Tafsīr al-Kabīr dalam beberapa catatan digunakan dengan redaksi yang berbeda-beda, di catatan al-Ẓahabī dengan Tafsīr al-Kabīr, dan dalam kutipan Ibn al-Imād dengan Tafsīr Kabīr. Al-Imārī seperti halnya dalam catatan alDaudī menyebut dengan al-Tafsīr al-Kabīr. Lain lagi, dalam komentar Goldziher digunakan istilah Tafsīruh al-‘Aẓīm. Dalam hemat , Muhammad Mansur, istilah al-Tafsīr al-Kabīr tidak lain hanyalah sebutan yang diberikan untuk kitab Mafātīḥ al-Gaib lantaran besarnya kitab ini.
Pernyataan-pernyataan ini nampaknya belum dapat dijadikan patokan yang meyakinkan, mengingat adanya beberapa hal yang masih perlu diperhatikan.
- alam pendahuluan kitab tafsir ini, al-Rāzī tidak menyebutkan nama kitab yang ditulisnya, satu hal yang kelihatan sangat berbeda dengan kebiasaan umum para penulis kitab. Bahkan dalam tradisi penulisan abad lampau memilih untaian kata indah dan mengandung arti tertentu menjadi masalah yang dianggap penting.
- Para penulis yang relatif dekat masa hidupnya dengan al-Rāzī tidak menyebut nama kitab ini ketika menyebutkan tentangnya. Ibn Abī Uṣaibi‘ah (w. 668 H/ 1270 M) misalnya, seperti dikutip al-Imārī, menyebut tafsir al-Rāzī dengan Tafsīr al-Qur’ān li Ibn Khaṭīb al-Rai. 123 Ibn Khallikān (W. 681 H/1283 M) juga hanya menyebutnya dengan Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, sebutan yang diberikan pula oleh Syekh ‘Abdullāh ibn As‘ad al-Yafi‘ī (W. 768 H/1367 M). 124 Karena alasan inilah barangkali, sehingga al-Fāḍil ibn ‘Āsyūr tidak pernah menyebut kitab ini kecuali dengan sebutan Tafsīr al-Rāzī.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Muhammad Mansur menyimpulkan bahwa tidak mustahil nama yang populer ini justru muncul dari para penulis belakangan atau dari para penulis naskah kitab ini. Di sisi lain, tetap tidak tertutup kemungkinan nama itu diberikan oleh al-Rāzī sendiri, Apalagi jika mengingat bahwa kitab ini merupakan karyanya yang terbesar di bidang penafsiran al-Qur’an. Garis besarnya, menurut penulis, kita menerima begitu saja nama yang populer itu sebagai nama yang diberikan oleh al-Rāzī tanpa adanya informasi yang akurat dari sumber aslinya. Namun demikian, terlepas dari siapa sebenarnya yang pertama kali memberikan nama untuk kitab tafsirnya ini, yang jelas nama itu menggambarkan betapa di dalamnya al-Rāzī banyak melakukan hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam khazanah tafsir.
Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib
Terdapat perdebatan di antara para ulama apakah al-Razi sempat menyelesaikan karya tafsirnya ini atau tidak. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Ar Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajalnya menjemputnya sebelum ia menyelesaikan tafsir Al Kabiir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya wafiyatul a’yan nya juga berkata demikian.
al-Dhahabi misalnya dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun (1/207-208) mendasari pendapatnya berdasarkan temuannya dalam Mafatih al-Ghaib, tepatnya pada tafsir surah Alwaqi’ah.
Di sana dia mendapati terdapat redaksi “dzakaraha al-Imam Fakhr al-Din al-Razi…” yang artinya, “Imam Fakhr al-Din al-Razi menyebutkan…”. Redaksi seperti ini menunjukkan bahwa bagian ini tidak ditulis langsung oleh al-Razi, melainkan telah dilanjutkan oleh orang lain.
Lalu siapa yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir ini? dan sampai dimana beliau mengerjakan tafsirnya? (at tafsir wal mufassiruun, darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal. 249.)
Ibnu hajar Al ‘Asqalani menyatakan pada kitabnya ,”Yang menyempurnakan tafsir Ar Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al Qammuli, wafat pada tahun 727 H, beliau orang mesir. (Ad durarul kaminah. Jilid 2, hal 304.)
Penulis kasyfu Ad dzunuun juga menuturkan,” Yang merampungkan tafsir Ar Razi adalah Najamuddin Ahmad bin Muhammad Al Qamuli, dan beliau wafat tahun 727 H. Qadi Al Qudat Syahabuddin bin Khalil Al Khulay Ad Dimasyqy, juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan, beliau wafat tahun 639 H. (Kasyfu ad zunuun.jilid 2,hal. 299.)
Kemudian, sampai dimana Ar Razi terhenti dalam menulis tafsirnya? DR. Muhammad Husain Ad Zahabi menjelaskan pada kitabnya tafsir al mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis tafsirnya sampai surah Al Anbiya, setelah itu datang Syahabuddin Al Khulay melanjutkan tafsir ini, namun beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian datang Najamuddin Al Qamuli menyempurnakan tafsir Ar Razi. Ad Zahabi juga mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan tafsir Ar Razi sampai akhir adalah Al Khulay.
Namun, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk pada keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan klarifikasi bahwa sekelompok mufasir era belakangan yang meneliti tafsir ini menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Ar-Razi secara utuh.
al-Dhahabi tidak mengklaim bahwa kesimpulannya ini sudah mencapai titik final, meskipun telah didukung oleh data-data yang kuat. Namun, tetap saja perkara ini masih menjadi perdebatan di antara para ulama.
Ali Muhammad al-Imariz mengutarakan pendapatnya dalam kitabnya tentang Imam ar-Razi dalam kitabnya, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu setelah meneliti tentang simpang siur pendapat yang beredar bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara utuh
Bukti Al Razi Menulis Semua Kitab Tafsir Mafatihul Ghaib
Lepas dari polemik di atas, penulis hendak menyampaikan hujah dari Muhammad Mansur bahwa berdasarkan penelitiannya, Al Razi adalah penulis semua isi kitab tafsirnya. Beliau menyebutkan tiga alasan untuk membantah anggapan bahwa al-Rāzī tidak menulis Mafātīḥ al-Gaib seluruhnya.
Bukti 1. Pernyataan dari Fakhruddin Al Razi
Imām al-Rāzī sebagai penulis kitab Mafatihul Ghaib, sebagaimana yang dapat kita pahami dari statemen berikut.
Dalam tafsir QS. Yusuf (12): 42 kita dapati pernyataan:
قال مصنفه فخرالدين الرازى . . . .
Penyusunnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzī berkata: . . .
Demikian pula dalam tafsir ayat 101 dari surat yang sama kita mendapatkan kalimat.
قال الامام فخرالدين الرازى رحمه ال له وهو مصنف هذا الكتاب انار ال له برهانه
Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzī penyusun kitab ini berkata:
Dari kutipan di atas, bisa disebutkan bahwa kelompok yang menyatakan bahwa al-Rāzī belum selesai dalam menyusun tafsirnya (hanya sampai QS. Al-Anbiya’) tidak mengemukakan argumentasi. Kesimpulan mereka masih patut untuk dipertanyakan kebenaranya.
Bukti 2. Ditemukannya banyak keterangan waktu tentang selesainya penafsiran beberapa surat yang baik hari, tanggal, bulan maupun tahun, masih menunjukkan waktu kapan al-Rāzī hidup.
Ada data historis yang dapat kita jumpai di akhir penafsiran beberapa surat yang dapat dijadikan petunjuk bahwa dalam menyusun tafsirnya, al-Rāzī tidak terikat dengan sistematika surat dalam mushaf. Data historis yang penulis maksud adalah keterangan waktu tentang selesainya suatu surat ditafsirkan.
Misalnya, al-Rāzī menulis keterangan bahwa QS. al-Isra’ (17) selesai ditulis pada bulan Muharram tahun 601 H. Sementara, keterangan mengenai selesainya penafsiran QS. al-Anfal (8), alTaubah (9), Yunus (10), Hud (11), Yusuf (12), al-Ra’d (13) dan Ibrahim (14), yang secara urutan mushafi lebih awal dari QS. al-Isra’ (17), adalah pada bulan-bulan berikutnya di tahun yang sama. Sama halnya, QS. al-Anfal (8) dan al-Taubah (9) diselesaikan pada bulan Ramadhan tahun 601 H. Tetapi, selesainya penafsiran QS. Yunus (10) dan Hud (11) adalah pada bulan Rajab tahun yang sama.
Data historis tersebut menunjukkan bahwa surat-surat yang dalam tartib mushafi terdapat lebih akhir justru ditafsirkan lebih dulu dari pada surat-surat yang dalam tartib mushafi terdapat lebih awal, begitupun sebaliknya. Melihat ini, kesimpulan beberapa penulis bahwa QS. al-Anbiya’ adalah surat terakhir yang ditafsirkan al-Rāzī menjadi nampak tidak ada artinya, karena bukan tidak mungkin ada beberapa surat yang dalam tartib mushafi lebih akhir dibandingkan dengan QS. al-Anbiya’ justru telah ditafsirkan terlebih dahulu. Kenyataan memang menunjukkan demikian. Misalnya, QS. al-Fath (48) ditegaskan telah selesai penafsiranya pada hari Kamis, 17 Zulhijjah tahun 603 H. QS. al-Ahqaf (46) selesai pada hari Rabu, 20 Zulhijjah tahun 603 H. Demikian pula, QS. al-Jatsiyah (45) dinyatakan selesai pada hari Jum’at 15 Zulhijjah pada tahun yang sama.
Bukti lain bahwa al-Rāzī tidak terikat dengan sistematika mushafi adalah bahwa seringkali dalam penafsiran suatu surat, al-Rāzī merujuk uraiannya dalam suatu surat yang menurut tartib mushafi terdapat lebih kemudian dibanding dengan surat yang sedang ditafsirkannya.
Menurut logika, ketika al-Rāzī merujuk uraian tafsir sebuah surat, artinya dia sudah menyelesaikan tafsir surat tersebut. Kasus semacam ini misalnya dapat kita temukan dalam penafsiran QS. al-Ma’arij (70): 4. al-Rāzī mengatakan:
واما ظاهر قول المتكلمين وهو ان الروح هو جبريل عليه السلام. فقد قررنا هذه المسالة فى تفسير قوله تعالى : يوم يقوم الروح و الملائكة صفا
Pendapat para teolog yang jelas yaitu bahwa yang dimaksud alRuh adalah Malaikat Jibril As. masalah ini telah kami ketengahkan dalam tafsir firman Allah: pada hari al-Ruh dan Malaikat berdiri sejajar.
Ayat yang ditunjuk dalam penafsiran ayat di atas adalah QS. al-Naba’(78): 30. Dari kalimat tersebut di atas dapat diambil pemahaman bahwa sebelum menafsirkan QS. al-Ma’arij (70), al[1]Rāzī telah menafsirkan QS. al-Naba’ (78) terlebih dahulu.
Bukti 3. Tidak ada kesenjangan metodologis antara penafsiran surat di awal mushaf, di tengah dan bagian akhir
Metode, langkah-langkah, pola atau kecenderungan tafsir yang ditemukan dalam kitab ini sejak awal hingga akhir tidak mengalami perbedaan. Penulis melihat inilah indikasi terkuat bahwa al-Rāzī betul-betul telah menyelesaikan penyusunan kitab tersebut. Akhirnya, kuatlah dugaan penulis bahwa otentisitas tafsir Mafātīḥ al-Gaib sebagai buah karya Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzī secara totalitas adalah kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri lagi.
Jika tahun-tahun yang disebutkan dalam tafsir ini, yakni antara 595 H sampai 603 H, dihubungkan dengan tahun-tahun dalam perjalanan hidup al-Rāzī, dapat ditemukan bahwa kitab ini disusun pada saat al-Rāzī menghabiskan sisa hidupnya di Harrah, di mana al-Rāzī diserahi tugas sebagai Syekh al-Islām oleh pemerintah Khawārizmī Syāh. Pada saat ini kehidupan al-Rāzī dapat dikata telah mapan, setelah sebelumnya bertualang dari satu kota ke kota lainnya dalam kapasitasnya sebagai mutakallim. Perjalanan kariernya sebagai mutakallim kelana tentu cukup sarat dengan berbagai pengalaman yang tak terlupakan terutama berbagai perdebatannya dengan berbagai kalangan. Apalagi justru karena berbagai perdebatan itu dia sering dipaksa untuk meninggalkan suatu daerah. Walhasil kitab Mafātīḥ al-Gaib ini tidak lain adalah pantulan dan bagian dari sekian banyak pengalaman hidupnya baik secara politis, intelektual, maupun spiritual yang telah mengendap dalam kesadarannya. Oleh sebab pengalaman hidupnya relatif lebih banyak ditempa wacana kalām, bahwa kitab tafsirnya muncul dengan penuh muatan diskusi kalām adalah konsekuensi yang niscaya.
Statemen yang terdapat dalam tafsir ayat
جزاء بما كانوا يعملون
Dalam QS. al-Waqi‘ah yang oleh al-Ẓahabī dijadikan alasan munculnya dugaan bahwa al-Rāzī tidak sampai menafsirkan ayat atau surat al-Waqi‘ah ini besar kemungkinan berasal dari para penulis naskah kitab Mafātīḥ al-Gaib.
Pernyataan yang dimaksud adalah:
المسألة الاولى اصولية ذكرها الامام فخر الدين رحمه ال له فى مواضع كثيرة ونحن نذكر بعضها
Persoalan pertama adalah masalah usul yang dikemukakan Imām Fakhr al-Dīn dalam banyak tempat, dan kami sebutkan sebagiannya.
Argumen penulis ini didasarkan pada statemen yang terdapat di akhir tafsir QS. Hud: 161
وقد وجد بخط المصنف فى السخة المنتقل منها
Tulisan tangan penyusun kitab ini ditemukan dalam naskah yang dijadikan sumber penukilan.
Kitab ini diduga dicetak berdasarkan pada catatan para penulis naskah. Kemungkinan lain terkait penyebab munculnya beberapa penjelasan dalam QS. al-Waqi’ah seperti kutipan di atas adalah karena bisa jadi tulisan asli al-Rāzī dalam menafsirkan surat ini tercecer atau hilang ketika terjadi kerusuhan akibat serangan bangsa Mongol di Khawārizmī, sekitar sebelas tahun setelah beliau wafat.
Karenanya, para penulis naskah terpaksa melakukan penafsiran sendiri berdasarkan pada gagasan Imām al-Rāzī tentang penafsiran surat tersebut yang pernah dilihat atau didengarnya. Dengan kata lain, tafsir QS. al-Waqi’ah sesungguhnya adalah hasil penafsiran al-Rāzī, tetapi ditulis dengan redaksi dari penulis naskahnya. Kemungkinan serupa ini diakui pula oleh Ibn ‘Āsyūr. Menurut informasi yang dia terima dari tulisan Imām Syarf al-Dīn al-Ṭibī, teks tafsir ini pernah lenyap untuk beberapa saat lamanya dari peredaran dan baru pada abad ke-8 H kitab ini muncul kembali.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam waktu cukup lama naskah kitab ini menghilang. Menurut catatan sejarah, naskah-naskah ini dihimpun oleh poligraf Mesir kenamaan, Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī di abad ke-15 M. Sekarang kitab tersebut beredar dalam masyarakat dengan dua edisi yakni terbitan Dār al-Fikr Beirut tahun 1978 dalam 8 jilid dan terbitan al-Bahiyyah al-Miṣriyyah Mesir tanpa tahun dalam 32 jilid.
Referensi:
- Tafsir al-Fakhru ar-Razi (Tafsir al-Kabir wa Mafatihul Ghaib), Darul Fikr, 1414 H, Beirut, Libanon
- Izharul Haq, syaikh Rahmatullah al-Hindi, penerbit Cendekia, cet pertama, 2003 M
- Tafsir wal Mufassirun, Dr. Muhammad Husain Az-Zahabi
- Muhammad Mansur, Tafsir Mafatih Al–Gaib: Historisitas dan Metodologi. Lintang Books, 2019.
barakallah. bertambah ilmu saya. semoga bermanfaat. salam kenal. mohammad rozi.