Biografi Imam Ja’far As-Shadiq, Perbandingan Sunni Syiah dan Serial Imamul Fuqaha’

AHMADBINHANBAL.COM – Kali ini kita akan membahas tentang Ja’far as-Shadiq, salah seorang yang terpandang di kalangan Ahlu Bait dan kaum muslimin bahkan matahari yang terang benderang di dunia Islam.

Meski demikian kita tidak boleh bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mencintainya, tetapi kita cinta kepadanya atas dasar Islam. Dan Allah Swt telah mencela sikap ghuluw yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap Nabi Isa as, sebagaimana fiman Allah Swt:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (17)

Artinya:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?”. Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Qs. Al-Maidah: 17)

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah y telah berlepas diri dari sikap ghuluwnya orang-orang Nasrani, demikian juga kita berlepas diri dari sikap ghuluw yang dilakukan oleh kelompok Syiah Itsna Asy’ariyah.

Umat Islam secara umum bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt lewat orang-orang yang shalih, lalu bagaimaa jika ada seseorang yang dalam dirinya terkumpul kepemimpinan dalam agama ditambah dengan kekerabatan dengan Nabi saw, sebagaimana wasiat Nabi s kepada umatnya tentang Ahlu Bait, seperti sabda Nabi saw dibawah ini.

أُذكِّرُكُمُ الله في أهلِ بَيْتي

Artinya:

“Aku ingatkan kalian dengan Ahlu Bait ku”.[1]

Di zaman ini, jika ada seseorang yang menasabkan dirinya kepada keluarga Nabi Muhammad Saw, ia akan sangat dihormati, disanjung dan dicintai karena kedekatannya dengan Nabi Muhammad Saw, yang boleh jadi antara dia dan Nabi Saw telah berselang puluhan bapak. Lalu bagaimana dengan Ja’fas as-Shidiq yang ia adalah ibnu Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib atau binti Fatimah, jarak antara ia dengan Nabi Saw hanyalah empat orang saja.

Pernah suatu ketika Khalifah Harun al-Rasyid yang ingin menunjukkan rasa kebanggaannya dengan kekerabatan Nabi Saw di depan manusia, ketika mendekati kuburan Nabi s, ketika itu manusia mengatakan: “as-salamu alaika ya Rasulallah” lalu datang Harun al-Rasyid dan menyanpaikan salam kepada Nabi s dengan mengatakan: “assalamualaika ya ibnu ammi” dan ketika itu Ali Ridha ada di tempat tersebut lalu ia mendatangi Harun dan mendekati kuburan Nabi Saw dengan mengucapkan salam: “assalamulaika ya abati”.

Lalu Ali Ridha mengatakan kepada Harun; Wahai Harun! Jika engkau merasa bangga di hadapan manusia karena Rasulullah s adalah anak pamanmu, maka aku juga merasa bangga kepadamu karena Nabi Saw adalah kakekku”, lalu Harun menoleh kepada Ali Ridha sambil mengatakan: “Demi Allah, sungguh engkau mendapatkan keutamaan yang besar”.

Biografi Imam Ja’far As-Shadiq

Nasab

Namanya adalah Ja’far as-Shadiq, ayahnya bernama Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin yang dijuliki as-Sajjad bin Husan as-Syahid bin Ali bin Abi Thalib.

Ibunya bernama Ummu Farwah bin al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Shidiq, ini dari jalur bapak, sedangkan dari jalur ibu adalah Ummu Farwah binti Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar as-Shidiq.

Ia dilahirkan pada tahun 80 H di rumah yang penuh dengan ilmu, ibadah dan karamah, ia sempat bertemu dengan kakeknya Zainal Abidin as-Sajjad dan banyak belajar ilmu dari ayahnya al-Baqir, kemudian ia tumbuh berkembang sebagaimana karib-kerabatnya yang mempunyai perhatian dengan hafalan al-Quran dan hadits-hadits Nabi s, sampai akhirnya ia dikenal sebagai “Alimul Madinah” (orang jeniusnya Madinah).

Julukan

Ja’far as-Shadiq ketia kecilnya dijuliki sebagai “as-Shadiq”, gelar ini selalu tersemat padanya karena memanng beliau terkenal dengan sifat jujur dalam maslah hadits, perkataan dan tindakan.

Ketika menginjak usia dewasa, ia dijuliki sebagai “al-Imam” dan “al-Faqih”. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum seperti yang diyakini kelompok Itsna Asariyah. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya, bahwa al ‘Ishmah (ma’shum) hanyalah milik Nabi s, sebagaimana riwayat dari Abdul Jabbar bin Abdul Abbas al-Hamdani bahwa Imam Ja’far berkata: “Barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.”

Anak-Anaknya

Jumlah anak dari Ja’far as-Shadiq ada tujuh orang dan dipanggil dengan sebutan ‘Abu Abdillah’ meskipun anak pertamanya bernama Ismail, dan barangkali nama panggilan ini telah ada sebelum beliau dikaruniai keturunan. Anak-anaknya adalah Ismail, Abdullah, Musa yang bergelar al-Kadzim[2], Ishaq, Muhammad, Ali dan Fatimah.

Kepribadiannya

Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hati yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah s adalah orang yang paling murah hati.

Baca juga:   Ajaran Syiah yang Bertentangan dengan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah tentang Sahabat, Al-Quran dan Hadis

Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.

Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.

Guru-Gurunya

Dalam perjalanan ilmiyahnya, Imam Ja’far as-Shadiq banyak bertemu dengan ulama-ulama besar. Gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri yaitu Muhammad al-Baqir kemudian ia sempat juga bertemu dengan awakhir shahabah yaitu sahabat-sahabat Nabi s yang berumur panjang seperti Sahl bin Sa’ad, Anas bin Malik dan ulama kenamaan yang ada ketika itu seperti Atha’ bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, Urwah bin Zubair, Muhammad bin al Munkadir, ‘Abdullah bin Abi Rafi’,  Ikrimah maula Ibnu Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Shidiq.

Murid-Muridnya

Muridnya banyak sekali, di antara mereka yang paling terkenal adalah Yahya bin Sa’id al-Anshari, al-Qaththan, Abdul Malik bin Juraij, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Abu Hanifah dan masih banyak lagi. Para Imam hadits kecuali Imam al Bukhari meriwayatkan hadits-hadits Ja’far pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di selain kitab ash Shahih.

Mayoritas ulama yang diambil ilmunya oleh Imam Ja’far berasal dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama terkenal, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran. Maka fiqih Ima Ja’far adalah fiqih Madinah yang banyak diambil pendapatnya oleh ulama Madinah sendiri seperti Imam Malik, ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ibnu Juraij dan ulama lainnya yang ada di Madinah, sehingga fiqih Ja’far as-Shadiq adalah fiqih yang diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah.

Hal ini berbeda dengan riwayat-riwayat yang ada pada buku-buku Syiah Itsna Asariyah bahwa mayoritas bahkan semua riwayat yang berasal dari Ja’far berasal dari para perawi Kufah. Hal ini tidak benar, karena Ja’far tidak pernah pergi atau tinggal di Kufah, karena Ja’far as-Shadiq dilahirkan di Madinah, tumbuh dan berkembang di Madinah dan dikuburkan di Madimah di pekuburan Baqi’. Dalam buku-buku itu disebutkan riwayat dari Muhammad bin Sinan, Abdullah bin Sinan, Muhammad bin Muslim, Abu Bashir dan lainnya yang semuanya berasal dari Kufah.

Sanjungan Ulama Terhadapnya

Abu Hanifah berkata,”Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.”

Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta’dil (2/487) berkata,”(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”

Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah”.[3]

Klaim Syiah atas Imam Ja’far Ash-Shadiq

Berikut ini contoh-contoh kedustaan yang dilekatkan oleh kelompok Syiah Itsna Asariyah atas nama Imam Ja’far as-Shadiq.

Ucapan Imam Ja’far tentang Taqiyyah; “taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah”.[4]

At Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Di antara dalil yang mereka gunakan untuk menjustifikasi keyakinan tersebut adalah sebuah hadits Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.”[5]

Ucapan Imam Ja’far tentang al-Quran; “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril a.s kepada Nabi Muhammad s adalah 17.000 ayat”.

Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang ini telah dirubah, ditambahi atau dikurangi dari yang seharusnya. Dan Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah.[6]

Ucapan Imam Ja’far; “al-Quran adalah makhluq”

Pada masa Imam Ja’far, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar dan sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad ketika ditanya orang-orang Syiah tentang kemakhlukan al-Quran menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”.[7] Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk riwayat yang sering diriwayatkan dari Ja’far ash Shadiq.[8]

Pendapat bahwa al-Quran bukanlah makhluk juga telah dinyatakan oleh kakeknya Imam Ja’far yaitu Ali bin Abi Thalib, ketika orang Khawarij menuduhnya telah berhukum dengan makhluk, mereka mengatakan: “engkau berhukum dengan dua laki-laki? Maka Ali menjawab: “Aku tidak berhukum dengan makhluk, aku berhukum dengan al-Quran”. Jawaban Ali bahwa ia berhukum dengan al-Quran adalah penafsiran bahwa al-Quran itu bukanlah makhluq.[9]

Keyakinan Syiah bahwa Imam Ja’far as-Shadiq akan kekal abadi dan tidak meninggal.

Keyakinan ini menunjukkan bahwa kedudukan imam dimata masyarakat Syiah amat tinggi. Ada di antara mereka yang menyamakan Imam dengan Nabi, bahkan ada yang beranggapan bahwa imam lebih tinggi dari pada Nabi. Sehingga bagi Syiag, imam adalah segala-galanya.

Imam Ja’far as-Shadiq mencela Abu Bakar dan Umar

Baca juga:   Tentang Fatwa Dar Ifta’ Mesir, Bolehnya Pemimpin Non Muslim

Imam Ja’far tidak mungkin membenci bahkan mencela dua sahabat yang menjadi teman dekat kakeknya yakni Rasulullah s dan penggantinya.

Imam Ja’far tidak mungkin mencela mereka berdua, karena kalau kita lihat silsilah Imam Ja’far (lihat gambar di atas) akan kita temukan bahwa ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr.

Sehingga dari keterangan ini sulit digambarkan bahwa Imam Ja’far mencela Abu Bakar dan Umar.

Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata,’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.”

Syaikh Muhibuddin al-Khatib dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ‘Mungkinkah Syiah dan Sunnah bersatu’ menyebutkan bahwa anak dari Imam Ja’far yang bernama Abdullah menamakan salah satu putranya dengan nama Yazid karena ia mengetahui bahwa Yazid berperilaku baik dan terpuji.[10]

Klaim kitab dan tulisan-tulisan yang telah ditulis oleh Imam Ja’far as-Shadiq.

Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr, ‘Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A’dha`, Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.

Golongan Syi’ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi, seorang pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja’far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas.

Pernyatan di atas telah jelas dusta dan telah dibantah oleh ulama dengan argument-argument sebagai berikut.

  1. Pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya.
  2. Tidak ada kemungkinan Imam Ja’far bertemu dengan Jabir bin Hayyan yang meninggal tahun 200 H.
  3. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja’far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al Barmaki.
  4. Imam Ja’far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad.
  5. Perbedaan antara Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alam, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash Shadiq.

Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja’far as-Shadiq.

Syiah Itsna Asariyah adalah kelompok yang sangat berlebihan kepada Imam Ja’far as-Shadiq, bahkan terhadap Ahlul Bait, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Syi’ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka.

Dari kalangan Imam Ahli Bait, seperti ‘Ali bin al Husain Zainal ‘Abidin, Abu Ja’far al Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah y di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan ‘Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi s), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan ‘Umar.”[11]

Dari pemaparan di atas, kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa Imam Ja’far as-Shadiq adalah imamnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan sama sekali bukan milik Syiah Rafidhah.

Perbandingan Imam Ja’far Ash-Shadiq antara Sunah dan Syiah

Ja’far Ash-Shodiq adalah keturunan Nabi saw, Sayyid sekaligus Imam dari orang-orang Islam, orang yang paling berilmu dan cahaya islam. Meski demikian kita sebagai Ahlus Sunnah dilarang untuk berbuat yang berlebih-lebihan. Ghuluw kepada orang yang shalih menjadi salah satu sebab kehancuran umat-umat terdahulu.

Berikut ini perbandingan antara Ja’far As-Shodiq menurut Sunnah (Ja’far Sunni) dan Syi’ah (Ja’far Syi’i). Semoga dengan pemaparan berikut semakin menambah pengetahuan dan keyakinan kita terhadap Aqidah Salaf Ash-Shalih.

Pertama; Ja’far As-Shadiq bukanlah seorang pembuat hukum syari’at, namun Syiah menganggap demikian seperti yang disebutkan oleh Kasyul Ghitha’ dalam bukunya ‘Ashlus Sy’ah wa Ushuluha’. Ia menulis bahwa salah satu hikmah at-tadrij (berangsur-angsur)-nya hukum yaitu ada hukum yang dijelaskan dan disembunyikan, lalu Nabi saw mewasiatkan sebagian hukum itu kepada Imam-imam Syiah yang dua belas sesuai waktu dan hikmahnya.

Pernyataan di atas jelas sekali bertentangan dengan Aqidah Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa syariat telah sempurna dan tidak ada yang disembunyikan sama sekali oleh Nabi saw, dan Allah swt juga telah berfirman bahwa agama islam telah sempurna ketika zaman Nabi saw; “Hari ini telah Ku sempurnakan bagmu agamamu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS AL-Maidah: 3)

Kedua; Syiah mengatakan bahwa imam-imam mereka bersepakat menyebut Al-Quran yang ada sekarang telah dirubah atau muharaf. Salah satu ulama mereka yang bernama Ath-Thabrasi menuduh Al-Quran dengan tuduhan yang leih hina lagi dalam kitabnya ‘Fashlul Khithab’bahwa ayat-ayat Al-Quran itu muharraf dan sakhifah atau hina, wal’iyadhu billah.

Ath-Thabrasi dalam dalam kitabnya ‘Fashlul Khithab’ menyebutkan 1000 riwayat tentag tahriful quran dan Ni’matullah Al-jazairi menyebutkan 2000 riwayat.  Dan hampir 1500 dari riwayat-riwayat tersebut diriwayatkan oleh Ja’far As-Shodiq. Salah satunya riwayat Ja’far As-Shodiq yang disebutkan oleh Almajlisi dalam kitab ‘Mir’atul Uqul’ bahwa ayat Al-Quran itu berjumlah 7000 ayat.

Baca juga:   Mut’ah dan Prakteknya di Negeri Iran

Ketiga; Ja’far As-Shodiq tidak mengetahui perkara-perkara yang ghaib, namun Syiah menganggap demikian. Al-majlisi dalam kitab ‘Biharul Anwar’ menyebutkan riwayat dari Ja’far bahwa imam mereka mengetahui ilmunya orang-orang yang terdahulu dan yang akan datang dan mengetahui perkara-perkara yang ghaib.

Kelima; Ja’far As-Shodiq bukan seorang yang terjaga dari dosa (ma’shum), sementara itu mayoritas ulama Syiah meyakini bahwa imam mereka adalah ma’shum dari dosa dan kesalahan.

Keenam; Ja’far As-Shodiq mencintai sahabat-sahabat Nabi saw, beliau bangga karena dilahirkan dari keturunan Abu Bakar Ash-Shidiq, namun Syiah menuduhnya sebagai orang yang sangat membenci dan memusuhi Abu Bakar Ash-Shidiq dengan menyebutnya sebagai ‘Abu Syurur’ atau Bapak Kejelekan. silahkan anda simak riwayat berikut dari kitab ‘Ma’ani Al-Akhbar’ hal 110.

Al-majlisi dalam kitab ‘Biharul Anwar’ menyebutkan bahwa maksud dari ‘Abu Syurur’ adalah Abu Bakar Ash-Shidiq.

Ini jelas kebohongan karena Ja’far pernah mengatakan kebanggaannya bahwa ia dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali karena dari jalur ayah dan ibunya bersambung kepada Abu Bakar ra. lebih dari itu Syiah menuduh Ja’far Ash-Shodiq telah mengkafirkan semua sahabat kecuali tiga orang saja yaitu Miqdad, Abu Dzar dan Salman Al-Farisi.

Serial Imamul Fuqaha (Imam of Scholars), Ja’far Ash-Shadiq

Ramadhan tahun 2012 yang lalu, salah satu perusahaan film di Kuwait merilis serial baru selama Ramadhan, yang bertema seri kehidupan Imam Ja’far As-Shadiq. Film ini diproduksi oleh MAP atau Model Art Production. Di awal video disebutkan bahwa fil ini dibuat berdasarkan pada sumber sejarah dan riwayat yang dipercaya dan telah diteliti kebenaranya oleh para peneliti salah satunya adalah fatwa dari Ma’rja’ Syiah Ayatullah Al-Udhma As-Sayyid Ali As-Sistani.

Ada beberapa pemain film Timur Tengah yang ikut dalam film ini seperti: Yusuf Al-Muqbil, Suhail Haddad, Ali Al-Qashim, Fatih Sulaiman, Nashir Murqabi, Qasgi Qudsiah, Syafiq Muhsin, Mahmud Abdul Aziz, Saami Naufal, Faraas Al-Faqir dan lain-lain.

Fans page film Imam Ja’far As-Shadiq, disini.

Mengutip dari iqna.ir, Serial Imamul Fuqaha yang ditayangkan di Kuwait mengundangn kontroversi ulama Syiah. Pasalnya serial ini menampilkan wajah Imam Ja’far Shadiq as tanpa disensor, yang menurut sebagian ulama hal itu tidak boleh.

Sayid Muhammad Baqir Almehri, wakil para marja’ Syiah di Kuwait menyatakan: “Sebenarnya penayangan serial ini di televisi tidak ada larangan yang syar’i. Hanya saja sebagian ulama menganggapnya tak patut.”

Ia menambahkan: “Aktor yang berperan sebagai Imam Ja’far Shadiq as dalam serial tersebut adalah orang baik yang beretika mulia. Ia pun memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Kontroversi ini hanya sekedar beda pendapat antar ulama Syiah saja.”

Diberitakan bahwa skenario serial tersebut telah disetujui oleh Hujjatul Islam Sayid Ja’far Murtadha Amili dan Sayid Ahmad di Lebanon. Mereka adalah ulama besar Syiah di Lebanon yang dulunya pelajar agama di Qom.

Semoga Allah swt merahmati mereka yang senantiasa mengingatkan umat Islam dari keburukan dan kejelekan, selama masih ada ulama-ulama yang tsiqah seperti mereka, umat ini akan selalu terjaga.

Referensi:

  1. Diadaptasi dari Kajian dan Ceramah (Muhadharah) Syaikh Utsman al-Khumais yang bertema: Sirah al-Imam Ja’far as-Shadiq (Biografi Imam Ja’far as-Shadiq) Ja’faruna wa Ja’faruhum (Imam Ja’far menurut kita (Ahlus Sunnah) dan menurut mereka (Syiah Rafidhah)
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah (Riyadh, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah) tanpa tahun cetak
  3. Ihsan Ilahi Dhahir, As-Syi’ah wa Ahlul Bait (Lahore: Idarah Turjuman as-Sunnah, 1995), cet ke-10
  4. Tahqiq kitab al Munazharah yang berjudul Munazharah Ja’far bin Muhammad ash Shadiq Ma’a ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa ‘Ali, karya Imam al Hujjah Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tahqiq oleh  ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz al ‘Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H.
  5. Syaikh Muhibuddin al-Khatib, Mungkinkah Syiah dan Sunnah bersatu,Alih bahasa oleh Muhammad Arifin Badri, MA
  6. Dr. Musthafa Muhammad Hilmi, Manhaj Ulama Hadots wa as-Sunnah fi Ushul al-Dien (Kairo: Dar Ibnul Jauzi, 2005 M), cet. Ke-1, hal. 21
  7. Majalah as-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M

[1] HR Muslim no. 2408. Hadits ini termasuk dalam deratan hadits shahih tetapi difahami dengan pemahaman yang khusus oleh Syiah yaitu bahwa Rasulullah s memrintahkan untuk berpegang teguh dengan Ahlu Bait. Lihat. Ahadits Yuhtajju biha as-Syia’ah karangan Abdurrahman Muhamad Sa’id Damsyiqiyyah hal. 1:1. Maktabah Syamilah

[2] Oleh Syi’ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi’ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma’iliyah tentang imam setelah Ja’far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma’il yang sudah meninggal terlebih dahulu.

[3] Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245

[4] Lihat Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2 hal: 219

[5] Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary, India

[6] lihat kitab Syi’ah Al-Kafi fil Ushul juz I hal 240-241

[7] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah (Riyadh, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), Juz 2, hal. 251

[8] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah (Riyadh, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), Juz 2, hal.2/245

[9] Dr. Musthafa Muhammad Hilmi, Manhaj Ulama Hadots wa as-Sunnah fi Ushul al-Dien (Kairo: Dar Ibnul Jauzi, 2005 M), cet. Ke-1, hal. 21

[10] Syaikh Muhibuddin al-Khatib Mungkinkah Syiah dan Sunnah bersatu, hal. 30

[11] Minhaj as-Sunnah karangan Ibnu Taimiyah, hal. 2:..

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

4 Comments

  1. Ayat quran yg anda pakai utk peringatan ghuluw kaum nasrani kpd al masih isa ibn Maryam
    Tidak pas jika d sematkan dlm tubuh kaum muslimin menyangkut individu2 org saleh

    Tidak ada yg menyebut nabi saww sbg Tuhan
    Apalagi sayidina imam jafar

    Anda penulislah yg bersikap ghuluw ketika memakai ayat tsb utk sayidina imam jafar
    Melampui Batas-batas

  2. Sholat tanpa bersholawat kpd nabi saww tidak syah secara fiqh
    Sholawat yg d lantunkan
    Tidak boleh d kurangi (di buang ahlul bayt nya) atau d tambahi (spt wasohbihi dll) sbg syarat sah sholat secara fiqh
    Dlm semua madzhab, bahkan dlm madzhab ibadi, modern khawarij yg kaumnya membunuh sayidina Ali

    Cinta kpd nabi saww dan ahlul bayt nya itu wajib
    Tanpa perlu embel2 dgn istilah ghuluw
    Cinta y cinta…

    Quran sudah menjamin dzuriyah ibrahim as yg saleh sbg panutan yg d beri petunjuk
    Dan Alloh sudah mengancam dgn ancaman yg keras akan kedengkian dan iri hati kaum yg punya penyakit hati atas pilihan Alloh (dzuriyah ibrahim)
    Dan madzhab kita ahli sunnah di sunnahkan utk membaca sholawat ibrahimiyah (Syi’ah tidak pernah melantumkan sholawat ini ketika sholat)

    Kecuali anda berasumsi bhw sayidina imam jafar
    Bukan ahlul bayt nabi saww yg mendapat lantunan sholawat ketika kita sholat
    Itu pilihan anda sendiri

    Mksh

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *