Faedah Dari Setiap Surat (Bagian Pertama)

Faedah Dari Setiap SuratMakalah ini berisi kumpulan faidah-faidah yang telah dikumpulkan oleh penulisnya yaitu Abdul Malik bin Ahmad Ramdhani , materinya bercampur dari aqidah, tajwid dan tafsir. Dalam setiap surat beliau kupas satu ayat saja yang nanti akan bercabang pada faidah lainnya. Sebelum pada pembahasan inti penulis memberikan beberapa pendahuluan.

Pendahuluan

Tentang penjagaan Allah terhadap al-Quran

Termasuk bukti dari benarnya nabi saw adalah terjaganya al-Quran yang diturunkan kepada nabi muhammad saw, tidak ada kitab samawi yang penjagaannya demikian ketat seperti pada al-Quran karena Allah-lah yang menjaganya, anak kecil dalam TPA mereka dan para qurra; di masjid-masjid dan para ulama di ma’had-ma’had. Dan benarlah perktaan al-Baahi yang mengatakan: “kitab kita dijaga oleh tua dan muda, tidak mungkin terkurangi dan ditambah, orang yang membacanya di timur sama dengan yang membaca di barat tanpa ada sama sekali kekurangan, perbedaan dalam harakat dan titik.”[1]

Tadabbur al-Quran

Al-Quran diturunkan untuk dibaca dan selanjutnya diamalkan, Allah berfirman: “ Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya.” Dan amalan tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan mengamalkannya, sebagaimana firman Allah: “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”

Dan kita lihat pada masa ini, umat islam banyak lemah dari mentadabburi al-Quran karena mereka meninggalkan amal, lalu bagaimana mereka bisa faham serta akan hidup hati mereka jika mereka meninggalkan amal?. Umat hari ini harus memberikan perhatian agar tidak menjauhi al-Quran karena hal ini akan menjadi sebab tertutupnya hati, sebagaimana firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?.” Dan meninggalkan tadabbur adalah awal sebab sulitnya beramal dengan al-Quran sedangkan Allah swt telah memudahkanya untuk dijadikan pelajaran, Allah swt berfirman: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Istimbath Hukum dan Faidah-faidah dari al-Quran

Ilmu tafsir adalah ilmu yang mulia karena ia adalah ilmu tentang perkataan Allah, di dalamnya terdapat banyak faidah yang bisa diketahui oleh orang-orang yang diberikan Allah kekuatan istimbath dan kefahaman atau orang yang diberi hidayah oleh Allah dengan kemampuan untuk menelaah kitab-kitab ulama dalam masalah ini, dan setiap bertambah telaahnya akan bertambah pula imannya, sebagaimana firman Allah: “Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” adapun orang-orang yang beriman, Maka surat Ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa yang ingin ilmu maka pelajarilah al-Quran, karena di dalamnya terdapat ilmu orang terdahulu dan akan datang.”(zuhd: 814)

Macam-macam Tafsir

Metode tafsir bermacam-macam, ada yang sandarannya akal, bahasa, isyarat tersembunyi dan makna batin, dan cara yang selamat adalah dengan mengikuti atsar, yaitu menafsirkan dengan al-Quran, hadits, perkataan sahabat serta kemampuan bahasa arab, dan orang yang telah mengumpulkan keempat hal ini akan selamat secara fiqih dan aqidah.

Ada juga mufasir yang khusus tentang ilmu kauni yang sekarang dikenal dengan nama ‘I’jaz ilmi’ sampai shalat ia artikan dengan olah raga, sehingga hilanglah rasa khusyu’ dan ibadah kepada Allah. Dan terkadang mufasir tersebut mempunyai aqidah khurafat sehingga ia memasukkan dalam tafsirnya hal-hal yang aneh.

Dalam kitab at-Tibyan fi Aqsam al-Quran disebutkan tentang pokok-pokok dalam tafsir, yaitu

  1. Tafsir lafzi, banyak dilakukan mutaakhirin
  2. Tafsir maknawi, banyak oleh salaf
  3. Tafsir isyarat dan qiyas, banyak dilakukan oleh orang sufi, hukumnya boleh jika memenuhi syarat-syarat ini:
  • Tidak bertentangan dengan makna ayat
  • Maknanya sendiri sudah benar
  • Ada petunjuk dalam lafaz tersebut
  • Ada keterikatan antara keduanya

Macam-macam cara istimbath yang dilakukan oleh para ulama:

  1. Seseorang mengatakan: “Saya telah mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan ilmu dan amal.” Atau mengatakan: “saya mengumpulkan ayat tentang rukum iman yang enam.” Atau mengatakan: “Saya mengumpulkan ayat tentang hak-hak Allah dan hamba-Nya.” Atau mengatakan: “saya mengumpulkan ayat tentang peringatan terhadap penyakit subhat dan syahwat.”
  2. Berpegangan pada qorinah atau tujuan yang cakupannya universal, seperti tafsiran Ibnu Abbas tentang surat an-Nashr sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari no: 4294
  3. Mengumpulkan ayat-ayat yang masih dalam satu pembahasan agar bisa menemukan hukum yang masih tersembunyi, seperti dalam QS al-Ahqaf: 15 dan QS al-Baqarah: 233, dimana para ulama menyimpulkan dari kedua ayat ini bahwa batas minimal waktu melahirkan adalah enam bulan.
  4. Dengan melihat alur ayat sebelum atau sesudahnya, Muslim bin Yasar berkata: “jika engkau berbicara tentang ayat Allah, maka berhentilah sehingga engkau melihat ayat yang sebelum dan sesudahnya.” Dan akibat tidak memperhatikan masalah ini bisa menyebabkan seseorang masuk pada jurang kebid’ahan atau salah faham seperti yang terjadi pada kaum khawarij.

Contoh Tafsir Isyarat yang menyeleweng

  1. “Dan (ingatlah), ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu Ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.”. mereka mengatakan makan ayat ini secara zahir adalah ka’bah dan secara batin adalah hati orang yang beriman
  2. “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.”. makna batinnya adalah dua hal yaitu dunia dan akhirat
  3. “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu[1223]., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”. ada yang menafsirkan bahwa Muhammad bukanlah nabi terakhir, karena makna khatam disitu adalah az-zinah atau perhiasan
  4. “Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”. Sapi disitu artinya Aisyah
  5. “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu,” maknanya adalah Ali dan Fatimah

SURAT AL-FATIHAH

Baca juga:   Adab Pelajar Ilmu Hadits

DI DALAMNYA TERDAPAT OBAT BAGI HATI DAN TUBUH

1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4. Yang menguasai di hari Pembalasan. 5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan6. Tunjukilah kami jalan yang lurus, 7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Allah swt menyebutkan bahwa zikir adalah obat bagi hati dan al-quran adalah sebaik-baik zikir dan obat bagi hati sebagaimana firman Allah: “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Ibnu Qayyim menjelaskan dalam kitabnya Zaadul Ma’ad bahwa penyakit itu ada dua macam, yaitu:

  1. Penyakit pada hati, yaitu berupa penyakit subhat dan syahwat. Tentang penyakit subhat Allah swt berfirman: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” Dan tentang penyakit syahwat Allah swt berfirman: “Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,”
  2. Penyakit pada badan

AL-FATIHAH SEBAGAI PENYEMBUH HATI

Ibnu Qayyim yang dikenal sebagai dokter hati telah menjelaskan masalah ini dengan gamblang dalam kitabnya Madarij as-Salikin, beliau menjelaskan bahwa dalam al-fatihah memang terdapat obat untuk hati, karena dalam surat ini terdapat dua penyakit yaitu rusaknya ilmu dan niat dan di dalamnya juga terdapat dua racun yaitu kesesatan dan marah dan jalan untuk mengobati ini semua adalah siratal mustaqim dan ia menejelaskan bahwa obatnya adalah iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in karena dalam ayat ini terdapat rasa tawakal, isti’anah, iftiqar dan tafwidh. Dan Ibnu Taimiyah juga pernah menjelaskan bahwa ayat Iyyaka na’budu sebagai obat dari riya’ dan wa iyyaka nasta’in sebagai obat dari kesombongan.

AL-FATIHAH SEBAGAI PENYEMBUH BADAN

Ada sebagian kalangan yang berfahaman laduni dan sedikit sekali mempelajari kitab salaf menolak untuk berobat dengan al-quran dan sunnah, karena hal ini termasuk dalam khurafat dan amalan dukun dan mereka menganggap bahwa penyakit itu hanya bisa diobati dengan obat kedoteran saja.

Ibnu Qayyim dalam kitab Madarij salikin 1/55 memberikan argument bahwa al-fatihah dapat dijadikan obat untuk badan, salah satunya ia menyebutkan satu hadits dari Said al-khudri bahwa ada sebagian sahabat nabi yang pergi ke daerah badui, mereka tidak mau memberi makan kepada para sahabat, sampai suatu ketika ketua mereka mengalami sakit yang belum ditemukan obatnya, dan salah seorang sahabat mencoba untuk mengobati ketua tersebut dengan membacakan al-fatihah kepada ketua badui itu dan akhirnya disembuhkan oleh Allah. Dan dihalaman yang lain dari kitab Madarij tepatnya 1/ 57-58 beliau telah mencoba sendiri kemanjuran al-fatihah, ketika berhaji beliau mengambil air zam-zam lalu dibacakan padanya al-fatihah lalu beliau minum dan beliau merasakan rasa segar dan enak yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

SURAT AL-BAQARAH

KESESUAIAN ANTARA AWAL DAN AKHIR SURAT

Allah swt berfirman dalam awal surat al-baqarah: “ Alif laam miin 2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” Dan di akhir surat al-baqarah: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”.

Awal al-baqarah bercerita tentang orang-orang yang bertaqwa dan di akhir surat tentang pertolongan, dan antara ketaqwaan dan pertolongan terdapat hubungan yang erat antara sebab dan musabab. Karena orang yang bertaqwa adalah orang yang mendapat pertolongan, sehingga ada yang mengatakan: “dengan bertaqwa kepada Allah, kalian akan mendat pertolongan, wahai umat islam.” Dan terdapat banyak ayat dalam al-quran yang menghubungkan antara ketaqwaan dan pertolongan, seperti dalam al-a’raf: 128, thaha: 132, al-baqarah: 194 dan an-nahl: 128. Namun banyak kita dapatkan pada zaman ini orang-orang yang menginginkan pertolongan datang tetapi mereka tidak mempersiapkan sebuah generasi yang bertaqwa kepada Allah, mereka selalu tergesa-gesa sehingga akhir mereka seperti perkataan: “barang siapa yang tergesa-gesa sebelum waktunya, maka ia akan diharamkan darinya.”

Dan antara awal dan akhir surat ini Allah swt menjelaskan hukum dam amal-amal yang bisa mengantarkan kepada derajat taqwa seperti; keyakinan yang benar, rukun islam, hukum-hukum muamalat seperti jual beli, nikah dan jihad; dan Allah Y telah mengumpulkan semua ini dalam satu ayat, yaitu al-baqarah: 177 dan dikhiri dengan sebutan taqwa bagi orang yang memiliki sifat-sifat tersebut. “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (qs. Al-baqarah:177)

Baca juga:   Waktu Adalah Kehidupan

Dalam surat ini pula Allah banyak mengisahkan cerita tentang kaum yang tidak memperhatikan taqwa sehingga mereka tidak berhak atau haram untuk mendapatkan pertolongan, sebagaimana kisah bani israil yang banyak sekali disebutkan dalam surat ini. Di antara kisah yang Allah swt ceritakan adalah Allah telah menyelamatkan bani israil dari musuh mereka dan memberikan kemudahan bagi mereka untuk kembali ke daerah mereka, sebagaimana firman Allah: “dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan Katakanlah: “Bebaskanlah Kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”. Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas bahwa mereka diperintrahkan untuk tunduk kepada Allah setelah kemenangan dengan perkataan dan perbuatan, agar mereka mengakui kesalahan dan meminta ampun atas kesalahan tersebut serta agar mereka bersyukur atas nikmat Allah tersebut, sebagaimana firman Allah swt dalam qs. An—nashr, sebagian sahabat ada yang menafsirkannya dengan zikir dan istighfar dan ibnu abbas menafsirkannya dengan dekatnya ajal nabi saw, dan antara kedua tasiran ini tidak ada pertentangan dan disebutkan alam sebuah riwayat bahwa nabi saw dalam fathu makkah, beliau sangat khudu’.

Maka terdapat kesamaan dalam hal ini, yaitu kalau kalau bani israil diperintahkan untuk sujud dan nabi saw diperintahkan untuk bertasbih yang salah satu bentuknya adalah shalat, dan bani israil diperintahkan untuk meminta agar dosa mereka dihapus, nabi juga diperintah untuk melakukan istighfar dan ada satu kesamaan bahwa mereka dilarang untuk masuk ke negeri mereka, dan ini termasuk keajaiban petunjuk ibnu katsir dalam tafsirnya.

Bani israil diperintahkan untuk bersyukur dengan pekerjaan tetapi mereka menggantinya dengan tidak masuk ke quds dengan sujud tetapi malah membelakangi lalu mereka juga diperintahkan untuk bersyukur dengan perkataan, dan mereka menggantinya dengan perkataan yang menghina yaitu ‘Hinthah’.

Walhasil bahwa bani israil diperintahkan agar mereka bertaqwa, sebagaimana firman Allah: “dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” (qs al-baqarah: 41) tetapi mereka menyelisihinya sehingga mereka berhak untuk mendapat azab. Dan kisah semisal juga dapat kita temukan dalam thalut dan jalut, sebagai pelajaran bagi orang yang menginginkan pertolongan dengan tergesa-gesa dan bukan orang yang bertaqwa; mereka meminta kepada nabi mereka agar diturunkan seorang nabi untuk memimpin mereka berjihad, dan ketika pemimpin itu telah datang mereka enggan untuk menaatinya hanya karena ia hanya orang yang lemah. Dan selanjutnya ketika dalam perjalanan hanya orang yang bertaqwa saja yang bisa sampai pada tempat tujuan, dan orang-orang ini hanyalah sedikit.

Ada beberapa faidah-faidah yang dapat kita ambil dari surat al-baqarah dalam kaitannya dengan al-quran.

  1. Dalam surat ini Allah banyak memuliaka al-quran dan juga menyebutkan hidayah yang akan menjadi sebab kebahagiaan di dunia serta karamah dan kebaikan yang akan mereka dapat kelak di akhirat.
  2. Dalam banyak ayat Allah swt banyak menyebutkan pembagian dan penggolongan manusia, dan pembagian ini bisa kita lihat menjadi tiga bagian.
  • Bagian pertama, permbagian manusia dalam masalah beriman kepada al-quran, ada tiga golongan yaitu orang yang bertaqwa, orang kafir dan orang yang munafik.
  • Bagian kedua, Allah swt telah memberikan peringatan dari berselisih terhadap al-quran, dan hasil dari perselisihan tersebut hanyalah perpecahan. Sebagaimana firman Allah: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (qs al-baqarah: 137)
  • Pada bagian yang ketiga Allah swt berfirman untuk menguatkan keterangan di atas: “yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al kitab dengan membawa kebenaran; dan Sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (qs al-baqarah: 176).

Sebab perselisihan dalam kalam Allah ada dua:

  1. Perselisihan dalam masalah turunnya al-quran, perselisihan ini termasuk kekafiran karena berarti mengimani yang sebagian dan mengkufuri yang sebagian, perselisihan model ini banyak kita dapati pada agama-agama terdahulu kecuali agama islam, kalau dalam yahudi mereka mengimani musa tapi mengkufuri nabi muhammad dan dalam nasrani, mereka mengimani isa tetapi mengkufuri nabi muhammad, sedangkan dalam islam, mereka mengimani muhamamad juga mengimani musa dan isa, sebagaimana firman Allah: “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (qs al-baqarah: 285)
  2. Perselisihan dalam takwil atau tafsir al-quran. Dan hal inilah yang menyebabkan adanya kelompok dalam islam yang keluar dari jama’ah islam dengan kebid’ahan mereka, dan sebab perselisihan ketika masa awal islam adalah karene menafsirkan al-quran bukan dengan tafsiran yang diinginkan oleh Allah swt.

Maka memerangi orang yang melakukan takwil bid’ah terhadap al-quran sangat dianjurkan seperti yang pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib yang memerangi khawarij disebabkan salah takwil pada al-quran dan banyak kitab-kitab para ulama dahulu ditulis untuk membantah tawilan dari ahli bid’ah.

Baca juga:   Kritik Terhadap Istilah Tafsir Bil Ma’tsur

SURAT AL-AN’AM

BANTAHAM AL-QURAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI HADITS AHAD

Allah swt berfirman: ” orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (qs al-al’anam: 148)

Ahlu kalam tidak mengambil hadits ahad dalam perkara aqidah dan hanya mengambilnya dalam masalah hukum saja, mereka berdalil bahwa hadits ahad adalah dhan dan ayat seperti ini banyak terdapat dalam perkara aqidah.

Yang menjadi pertanyaan kita pada mereka adakah kenapa mereka membedakan sedekimian rupa? Menerima hadits ahad dalam hukum dan tidak menerimanya dalam masalah aqidah, dan syaikh al-bani telah mengarang satu kitab yang membantah mereka yang berjudul “al-hadits hujjatun binafsihi fi al-aqaid wa al-ahkam”

Mereka banyak menggunakan dalil tentang celaan Allah terhadap orang musyrik yang mengikuti dhan saja, sebagaimana firman Allah: “itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (an-najm: 23) namun sayangnya bahwa maksud dari dhan di sini bukanlah dhan yang berarti hadits ahad tetapi maknanya adalah syak (keragu-raguan).

Dan jika yang dimaksud dengan dhan sebagaimana sangkaan ahlu kalam tersebut, maka dhan ini jga tidak berlaku pada hukum karena dua sebab:

  1. Allah swt melarangnya secara mutlak tidak mengkhususkan antara aqidah dan fiqih
  2. Dhan yang dimaksud oleh Allah dalam ayat-ayat di atas mesuk juga di dalamnya hukum-hukum.

Maka dapat disimpulkan bahwa maksud dhan yang dilarang adalah dhan dalam arti secara bahasa yang berarti berkata tanpa ilmu dan hal ini dalam masalah aqidah dan hukum dilarang dan adanya pemisahan untuk mengambil hadits ahad dalam masalah aqidah dan fiqih tidak dikenal pada masa slaf shalih dan juga empat mazhab.

SURAT AL-ANFAL

HIKMAH PENGGUNAAN FI’IL DAN FA’IL

Allah swt berfirman: “32. dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah Kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada Kami azab yang pedih”.33. dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (al-anfal: 32-33)

Ada beberapa faidah yang dapat kita ambil:

  1. Allah swt mengaitkan antara istighfar dengan adanya nabi saw
  2. Penghapusan azab pada sighah pertama dengan kata kerja “ليعذبهم” dan pada sighah ke dua dengan isim. Kata kerja menunjukkan hal yang beru terjadi; artinya azab itu dihapus selama nabi masih ada, kemudian isim menunjukkan kelaziman artinya azab itu akan terus ada selama manusia masih hidup, dan dengan istighfar akan dihilangkan dosa-dosa.

SURAT HUD

RAHASIA QARINAH ANTARA TAUBAT DAN ISTIGHFAR

Allah swt berfirman: “Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya Aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya. Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat. (QS Hud:2-3)

Dalam surat ini banyak sekali diulang-ulang antara taubat dan istighfar dan ayat di atas salah satu dari ayat tersebut. Pada surat ini banyak dikisahkan serial dakwah para nabi semisal nabi Hud, Shalih,Nuh yang kesemua para nabi di atas mengajak kaumnya untuk bertaubat dan beristighfar, barangkjali rahasia dari keterikatanyang kuatr antara taubat dan istighfar adalah ketika seseorang itu sudah banyak dosa maka ia membutuhkan istighfar untuk menghapuysklan dosa-dosa tersebut dan tidak cukup itu saja,ia juga harus memiliki keinginan yang kuat untuk tidak mengulangi kesalahannya dan itulah makna taubat pada ayat di atas. faidah dari taubat adalahuntuk menghilangkan dosa pada yang lalu dan istighfar agar seseeorang tidak melakukan dosa pada masa mendatang. Dan demikianlah pembagian waktu yang telah dijelaskan oleh Imam Hasan al-Bashri, dalam salah satu perkataan hikmahnya ia mengatakan bahwa wakti itu ada tiga, yaitu hari kemarin yang tidak akan kembali lagi, besok yang tidak pasti engkau akan menemuinya dan hari ini dimana engkau bekerja.”dan Abdullah bin Munazil mengatakan:”Barangsiapa yang disibukkan dengan hari yang laludan akan datang maka ia tidak akan mendapatkan faidah.”

SURAT YUSUF

MACAM-MACAM TA’BIR MIMPI

Allah swt berfirman:”Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya: “Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Aku memeras anggur.” dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” berikanlah kepada kami ta’birnya; Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena’birkan mimpi).” (QS. Yusuf:36)

Pada ayat di atas terdapat penjelasan tentang macam-macam ta’bir mimpi:

  1. Hakikat atau menafsirkan mimpi sesuai dengan dhahirnya,hal ini juga yang dipraktekkan oleh Ibrahim as ketika akan menyembelih anaknya Ismail as.
  2. Ta’bir mimpi yang membutuhkan contoh dan pandangan lainnya.

[1] Muqaddimah Muhaqqiq kitab al-Baahi

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *