Artikel ini menjelaskan tentang pentingnya menjaga hawa nafsu dan menanamkan kesabaran berdasarkan keterangan para ulama, khususnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Pengertian Hawa Nafsu
Di dalam Lisanul Arab disebutkan kata Ahlul Ahwa’. Kata tunggalnya adalah hawan. Setiap yang kosong bisa disebut hawa’. Di dalam Al-Quran disebutkan “wa afidatuhum hawaa’ artinya mereka tidak mempunyai akal. Menurut Al-Jauhary, setiap yang hampa disebut hawa. Bila dikatakan: hawa-yahwi-hawiyyan artinya jatuh dari atas ke bawah.
Al-Hawa juga berarti hawa nafsu. Menurut para pakar bahasa al-hawa artinya kecintaan seseorang kepada sesuatu dan apa yang menarik hatinya. Allah berfirman: “wa nahan nafsa ‘anil hawaa” artinya menahan diri dari syahwatnya dan hal-hal yang menjurus kepada kedurhakaan kepada Allah.
Jika dikatakan “Istahwathus syaithaan” artinya akalnya pergi bersama nafsu syetan. istahwat artinya di buat bingung. Al -Hawiyah adalah di antara nama – nama neraka jahanam . lebih jelas nya lihat Lisanul Arab , 1/370-373.
Al- Marwady berkata .”Selagi nafsu tampil sebagai pemenang dan selalu menyerat kepada kerusakan. maka akal akan di jadi kan pengikut ang aktif bagi nafsu, maka ia akan selalu mencari – cari kelalaian akal, mendorongnya untuk menyeleweng dari mencari – cari alsan. sebab dominasi nafsu menjadi kuat dan pangkal tipu dayanya tersamar. dari dua jalan ini lah nafsu mendatangi orang yang berakal. hingga hukum – hukum nafsu ada padanya. Dua jalan itu ialah :
- Kekuatan kekuasaan nafsu. Hal ini terjadi takkala kekuatan nafsu sangat kuat disertai pendukungnya, sehingga kemenangan nafsu dan syahwat membuatnya tidak berkutik sama sekai. Akal sudah tidak mampu mengusirnya dan mecegahnya, padahal keburukannya terpampang jelas di hadapan akal yang sudah dikuasai itu.
- Nafsu menyembunyikan tipu dayanya, hingga tindak tanduknya menjadi samar-samar di hadapan akal. Yang buruk terlihat baik, yang berbahaya tampak bermanfaat.
Kondisi ini bisa menjurus kepada salah satu dari dua resiko, boleh jadi jiwa akan condong kepada sesuatu yang tampak, sehingga yang buruk benar-benar tidak tampak karena baik sangka, dan boleh jadi akal tidak mampu membedakan dua hal yang sampak serupa, lalu akhirnya jiwa akan mengikuti yang lebih mudah, sehinga muncul anggapan bahwa itulah yang paling baik dari dua alternatif tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, Hawa nafsu adalah jika jiwa cenderung kepada apa yang diinginkannya. Jika jiwa cenderung kepada menyelisihi syariat, maka itu adalah hawa nafsu yang tercela, dan jika ia cenderung kepada apa yang sesuai dengan syariat, maka itu adalah hawa nafsu yang terpuji. Adapun jiwa kata al-hawa disebut secara mutlak atau disebut negatifnya, maka itu adalah hawa nafsu yang tercela, karena itu adalah mayoritas, dan Allah Maha Mengetahui.
Keburukan Mengikuti Hawa Nafsu
Mengikuti hawa nafsu yang tercela bisa jadi dalam masalah agama atau bisa jadi dalam masalah duniawi, atau dengan kata lain, bisa jadi dalam bentuk syubhat, bisa jadi dalam bentuk syahwat, atau bisa jadi dalam bentuk gabungan keduanya.
Hawa nafsu Syubhat bisa menjerumuskan pelakunya kepada bid’ah dalam agama, dan inilah yang dimaksud oleh sebagian besar perkataan para salaf ketika mereka berbicara tentang orang-orang ahlul ahwa’, yang mereka maksud adalah orang-orang ahli bid’ah.
Adapun hawa nafsu syahwat, bisa jadi pada perkara yang mubah seperti makan, minum, nikah, pakaian, dan bisa jadi pada perkara yang diharamkan seperti zina dan khamar, dan pelakunya disebut dengan orang yang fajir (suka berbuat dosa), fasik dan ahli maksiat.
Hendaknya perlu diketahui bahwa hawa nafsu Syubhat adalah yang paling berbahaya dari pada hawa nafsu syahwat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Mengikuti hawa nafsu dalam hal agama (syubhat) lebih berbahaya dari pada mengikuti hawa nafsu dalam syahwat, karena keadaan yang pertama adalah keadaan ahli kitab dan orang-orang musyrik, sebagaimana firman Allah:
وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَࣖ ٥٠
Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Sudah barang tentu mereka tidak akan mampu mendatangkannya. (Qashash: 50)
Penting untuk diketahui bahwa mengikuti hawa nafsu disebabkan oleh banyak alasan, yang paling penting adalah dua hal:
Salah satunya: Lemahnya iman dan akibat-akibatnya: Seperti iri hati, kesombongan, keinginan untuk menjadi terkenal, hawa nafsu, lemahnya kemauan, keterikatan pada dunia, dan lain-lain.
Yang kedua: Bermajelis dan terpengaruh oleh orang-orang yang memiliki hawa nafsu.
Pengertian Sabar
Sabar secara etimologi berasal dari kata al-Man’u yang berarti menahan, alSyiddah yang berarti kokoh, al-Habsu yang berarti mencegah, al-Dhammu yang berarti menghimpun, dan al-Qawwah yang berarti kekuatan.
Secara terminologi sabar bermakna menahan jiwa dari lemah lisan, dari mengeluh, dan organ tubuh dari berbuat sesuatu yang tidak baik untuk dilakukan.
Sabar Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan makna sabar ialah menahan jiwa dari perasaan sedih yang mendalam, menahan lisan agar tidak berkeluh kesah dan menahan anggota badan agar tidak merobek pakaian, menampar pipi, dan yang menyerupainya.
Pada hakikatnya sabar yaitu akhla mulia yang bisa mencegah manusia melakukan hal tercela dan menggoda, serta salah satu kekuatan jiwa karena dengan bersabar segala urusan jiwa menjadi baik, sabar menjadi benteng yang kuat ketika manusia menghadapi suatu musibah.
Sabar akan menjauhkan seseorang dari rasa sedih, putus asa, dan juga dapat menahan nafsu. Oleh karena itu sabar merupakan budi pekerti yang sangat diperlukan bagi manusia. Sabar akan mencegah seseorang agar tidak marah, menahan lisan dari mengeluh, dan juga menahan anggota badan agar tidak melakukan sesuatu yang tidak baik. Sabar akan menuntun seseorang untuk mempunyai ketegaran hati terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah SWT. dan melaksanakan hukum-hukum syariat yang telah ada.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi sabar dari segi kekuatannya menjadi tiga bagian.
- Pertama, yaitu kekuatan sabar dalam melakukan kegiatan yang bermanfaat lebih besar daripada bersabar dalam menjauhi segala hal yang membahayakan. Hal itu dapat digambarkan dengan seseorang yang dapat bersabar dalam menjalankan ketaatan tetapi tidak bisa sabar ketika dorongan nafsu mengajak pada perbuatan yang dilarang.
- Kedua, kekuatan sabar dalam menjauhi larangan lebih kuat daripada bersabar dalam menjalankan ketaatan.
- Ketiga, tidak ada kesabaran dalam menjalankan keduanya.
Hal yang paling utama ialah sabar dalam dua hal tersebut, yaitu sabar saat menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi larangan. Akan tetapi dalam realitanya tidaklah demikian. Misalnya banyak orang dapat menjalankan shalat tahajud, dapat melaksanakan ibadah puasa baik wajib maupun yang sunnah, tapi tidak bisa bersabar dari pendangan terlarang.
Disisi lain, ada yang bisa sabar terhadap pandangan terlarang atau menyaksikan hal-hal yang dilarang, namun tidak bisa sabar dalam menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sedikit sekali di antara kita yang dapat bersabar dari dua hal tersebut.
Bagaimana jadinya apabila manusia tidak mempunyai sikap sabar?
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan orang yang tidak mempunyai kesabaran, maka orang tersebut mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan dorongan agama. Mereka dikuasai oleh kesesatan bahkan menjual akhirat untuk kesenangan dunia.
Dalam keadaan tersebut manusia menyerah kepada setan tanpa adanya perlawanan, hingga ia di kuasai olehnya.
Macam-Macam Sabar
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa sabar itu wajib menurut ijmak ulama. Secara rinci, Ibnu Qayyim membagi sabar menjadi hukum yang lima yaitu sabar wajib, sabar sunnah, sabar
mubah, sabar makruh dan sabar haram.
Sabar Wajib
Sabar yang wajib dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT menjalankan rukun islam serta rukun iman. Kedua, sabar dari menjauhi larangan dan penyimpangan, hingga terhindar darinya. Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah atau cobaan yang tidak dibuat sendiri melainkan ketentuan dari-Nya seperti
longsor, banjir, sakit dan lainnya.
Sabar Sunah
Sabar sunnah terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu sabar tidak melakukan hal-hal yang dimakruhkan, misalnya tidak memakan petai atau bawang mentah sebab Allah SWT tidak menyukai baunya. Lalu, sabar dalam melaksanakan hal sunnah atau hal-hal yang dianjurkan.
Misalnya berpuasa sunnah, apabila melaksanakan puasa sunnah secara tidak langsung sedang
melatih diri untuk bersabar dari hal yang berlebihan atau tidak baik. Dan yang terakhir, sabar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Pada dasarnya jiwa seseorang tidak suka apabila hak-haknya dilarang. Alangkah baiknya menahan amarah ketika hal buruk itu terjadi. Sabar dalam menghadapi penderitaan, menutup kejelekan dan memaafkan pelakunya agar mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT merupakan hal yang lebih baik.
Sabar Mubah
Sabar yang mubah ialah sabar terhadap perilaku, yang keduanya sama baik. Seorang muslim dapat melakukan hal tersebut atau memilih tidak melakukan dan bersabar terhadap hal tersebut. Misalnya seseorang dapat memakan makanan yang manis, namun ia memilih tidak memakannya dan bersabar terhadapnya.
Sabar Makruh
Kesabaran dikatakan makruh apabila ia melakukan perbuatan dapat mendatangkan pahala ketika hal tersebut ditinggalkan. Misalnya sabar tidak berhubungan badan antara suami dan istri padahal keduanya saling membutuhkan dan tidak pada situasi yang menghalanginya. Kesabaran yang seperti ini makruh sebab apabila keduanya melakukan hubungan badan itu lebih baik bagi keduanya dan menjauhkan keduanya dari perbuatan tercela.
Sabar Haram
Sabar yang haram mempunyai banyak contoh dalam kehidupan seharihari. Salah satu contohnya sabar tidak makan dan minum hingga meninggal dunia. Seperti halnya bersabar tidak memakan bangkai, daging babi atau darah ketika kelaparam dan disaat seperti itu tidak ada makana halal adalah haram hukumnya. Hal tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.
Sumber:
Thuruq daf’i Hawa karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dzammul Hawa, Ibnu bnu Qayyim Al-Jauziyah