Hukum Bermain Catur dalam Islam

Satronji atau nardasyir atau yang dikenal di zaman sekarang dengan bermain catur merupakan adat dan kebiasaan orang zaman modern untuk melakukannya.

Bentuk permainannya tidak sebagaimana dadu ataupun bermain kartu remi, akan tetapi lebih kepada permainan yang menguras otak dengan mengatur siasat untuk dapat mengalahkan lawan dengan beberapa icon yang diibaratkan sebagai dua buah kerajaan yang sedang melakukan peperangan.

Permainan catur ini telah diselenggarakan dalam beberapa pertandingan olahraga termasuk dalam olahraga tingkat dunia, Olimpiade yang telah dimulai puluhan tahun yang lalu.

Hadits-Hadits berkenaan dengan Catur

Dari Sulaiman bin Buraidah. Dari bapaknya katanya Nabi SAW bersabda, “Siapa yang bermain permainan nardasyir (sejenis catur), maka seolah-olah dia melumuri tangannya dengan daging dan darah babi.“.[1] Juga hadits yang berarti, “Barang siapa yang bermain dengan dadu berarti ia telah durhaka terhadap Alloh dan Rasul-Nya.”Terkutuk orang yang main catur itu.

Kedudukan hadits ini adalah maudhu’. Dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu’-kannya.

Syaikh al-Albani sependapat, sanad ini maudhu’ (palsu) dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar periwayatannya. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan, “Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu’.”

Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), “Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih.”

Yang semisalnya adalah yang dikemukakan oleh imam As-Suyuthi dalam kitabnya al-Jami‘ dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan “Dan orang yang melihat kearahnya bagaikan makan daging babi.” 

Al-Manawi mengatakan, “Habbah adalah seorang tabi’in yang tidak dikenal kecuali dengan periwayatan ini,” dan di dalam kitab al-Mizan dinyatakan, “Ini adalah riwayat mungkar.”

Hadits ini, menurut syaikh Al-Albani, merupakan periwayatan Ibnu Juraij dari Habbah, dikatakan pada salah satu dari kedua jalur sanad yang paling shahih darinya, namun keduanya dhaif. Telah meriwayatkan hadits dari Habbah bin Muslim dan mempunyai dua kelemahan, mursal dan keterputusan sanad.[2]

Apabila kalian melewati mereka yang tengah bermain undi nasib seperti catur, dadu, dan apa saja yang termasuk lahwun ‘main-main’ maka janganlah kalian memberi salam kepada mereka. Dan, bila mereka memberi salam kepada kalian, maka janganlah kalian balas salam mereka, karena apabila mereka berkumpul menggelutinya, datanglah iblis –semoga Allah menghinakannya– dengan membawa tentaranya seraya mengerumuni mereka. Dan, setiap ada orang yang meninggalkan tempat catur ia memojokkannya,

lalu datanglah malaikat dari belakang seraya melotot terhadap mereka, dan merekapun (yakni iblis) tidak lagi mendekati mereka (orang-orang yang berpaling dari permainan). Dan, para malaikat tidak henti-hentinya mengutuk mereka hingga mereka berpisah dan berpencar bagaikan anjing yang berkumpul berebut bangkai, memakannya hingga kenyang perutnya kemudian mereka berpencar.

Hadits ini adalah maudhu’. Dikeluarkan oleh al-Ajri dalam kitab Tahrim an-Nard wasy-Syathranj wal-malahi (II/43-Q) dengan jalur sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamami, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurarirah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda …” (hadits di atas).

Menurut Syaikh al-Albani, sanad riwayat ini sangat dhaif dan ada penyakitnya karena ada Sulaiman bin Daud al-Yamami. Tentangnya, Imam adz-Dzahabi menegaskan dalam kitab al-Mizan, “Ibnu Mu’in mengatakan, ‘Sulaiman bin Daud tidak ada harganya.’” Sedangkan Imam Bukhari menyatakan, “Sulaiman bin Daud mungkar periwayatan haditsnya.” Mengenai hal ini telah berulang kali saya jelaskan bahwa makna penyataan Bukhari “mungkar periwayatan haditsnya” berarti tidak dibenarkan meriwayatkan hadits pemberitaannya.

Adapun Ibnu Hibban hanya mengatakan ia sebagai perawi dhaif, sedangkan para pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Sulaiman bin Daud ditinggalkan periwayatannya.

Kemudian, kami dapatkan al-Hafizh Ibnul Muhibb al-Maqdisi dengan tulisan tangannya menulis catatan pinggir kitab al-Ajri, “Ini hadits dhaif.”

Menurut syaikh al-Albani, bahkan hadits ini adalah maudhu‘. Dan tanda-tanda kepalsuannya sangat nyata karena penyakitnya, yaitu al-Yamami sebagai perawi tertuduh seperti telah kita ketahui dari pernyataan Imam Bukhari.” Wallahu a’lam.[3]

Hukum Bermain Catur

Setiap permainan yang menjadikan satu pihak bisa menang dan pihak lain kalah adalah termasuk judi yang diharamkan, baik menggunakan sarana apa saja seperti catur, dadu dan lain-lainya, yang di jaman kita ini disebut lotere atau adu nasib, baik yang bertujuan untuk kebaikan, seperti dana sosial atau yang semata-mata demi mencari keuntungan, maka semuanya itu termasuk keuntungan yang tidak baik.

Ibnu Sirin berkata, bahwa setiap sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu adalah judi. Dalam hal ini Imam al-Alusi berpendapat, bahwa yang tergolong maisir adalah segala macam permainan judi, seperti dadu, catur dan lain-lain. Adapun permainan dadu, maka telah menjadi ijma atas haramnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.[4]

Adapun berkenaan dengan bermain catur sebagaimana disebutkan di atas, maka hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah maudhu’, hanya saja para ulama mengharamkannya dengan dalil surat al-Maidah ayat 3. Sufyan bin Waki’ bin Jaroh berkata, “kata ‘azlam’ adalah catur.”

Imam Mujahid berkata, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka akan ditampakkan di hadapan teman-teman duduknya. Suatu hari seorang yang suka bermain catur sedang manghadapi ajalnya, lantas ditalqinkan atasnya syahadat, namun orang tersebut berkata, “Skak” lalu ia mati. Lidahnya sudah terbiasa mengucapkan kata-kata itu selagi ia hidup, sehingga ketika ajal datang ia mengganti kalimat tauhid dengan skak. Demikian juga sebagaimana orang-orang yang duduk bersama para pemabuk.[5]

Imam adz-Dzahabi berkata, “Adapun tentang catur sebagian besar para ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Jika dengan taruhan maka termasuk judi tanpa diperselisihkan lagi. Sedang jika tidak maka diperselisihkan dan para ulama mengangapnya sama.”[6]

Termasuk kekeliruan yang dilakukan kaum muslimin dalam menyambut ied adalah dengan begadang di malam hari, asyik duduk menyaksikan film-film atau sinetron, permainan-permainan, seperti kartu remi, domino, catur dan semisalnya.[7]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya Apakah boleh bermain catur dengan syarat-syarat tidak terus menerus (kontinyu) tapi hanya pada waktu luang saja. Tidak saling mengejek selama pemainan. Tidak melalaikan shalat-shalat wajib?

Beliau menjawab, “Menurut pendapat yang kuat bahwa permainan catur hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan, yaitu :

  1. Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi bersabda yang artinya, “Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya ada gambar.”[8]
  2. Permainan tersebut telah condong membuat lalai dari mengingat Allah, maka segala sesuatu yang dapat membuat lalai dari mengingat Allah adalah haram hukumnya, karena Allah telah menerangkan tentang hikmah dilarangnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan firman Alloh SWT yang artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-maidah : 91]

Alasan lain yang membuatnya haram adalah bahwa permainan itu berpotensi menimbulkan permusuhan sesama pemain, dimana seseorang bisa saja mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya ia ucapkan kepada saudaranya sesama muslim. Selain itu, permainan catur dapat membatasi kecerdasan seseorang hanya pada satu bidang saja (hanya dalam permainan catur saja) dan dapat melemahkan akal sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas.

Konon dikatakan bahwa orang yang tekun dalam permainan catur, jika mereka terjun ke bidang lain yang membutuhkan kecerdikan dan kecerdasan, maka kita mendapatkan mereka sebagai orang yang paling lemah akalnya. Untuk alasan itulah maka permainan catur diharamkan. Jika permainan catur tanpa menggunakan uang atau tanpa berjudi saja hukumnya haram, apalagi bila permainan itu disertai dengan perjudian.” Demikian pendapat dari Syaikh al-Utsaimin.[9]

Lepas dari masalah tempat untuk bermainnya apakah di masjid atau di tempat lain, para ulama jauh sebelum kita ini sudah membicarakan sebatas hukum main caturnya saja. Dan sebagaimana biasa dalam masalah yang tidak ada nash yang sorih, maka pendapat mereka para ulama ahli fikih tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Secara lebih jauh bisa kita sebutkan beberapa pendapat mereka.

Pendapat Pertama, Mereka yang mengharamkan main catur.

Mereka adalah jumhur ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Hanabilah dan sebagian riwayat pendapat Imam Malik. Ulama al-Hanafiyah menetapkan bahwa permainan catur itu hukumnya makruh baik main dadu atau catur.

Sedangkan bila permainan itu bercampur dengan unsur judi, atau dilakukan secara rutin atau bahkan sampai meninggalkan pekerjaan yang wajib, maka hukumnya menjadi haram secara ijma`.

Sedangkan al-Malikiyah mengatakan bahwa permainan tersebut tidak ada kebaikan di dalamnya, hingga sampai pada titik dimana orang yang bermain catur tidak bisa diterima kesaksiannya. Al-Hanabilah mengatakan, bahwa permainan catur itu hukumnya haram secara mutlak.

Pendapat Kedua, Mereka yang mengatakan makruh

Pendapat ini didukung oleh para ulama asy-Syafi`iyyah dan para pengikutnya. Hanya saja Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hal-hal tersebut menjadi makruh bila dilakukan secara rutin.

Pendapat Ketiga, Mereka yang mengatakan boleh.

Ini adalah pendapat para tabi’in besar dan juga riwayat dari Abi Yusuf dari al-Hanafiyah dan mereka memberikan alasan jika permainan itu dimaksudkan untuk melatih otak.

Al-Hafidz Ibnul-Bar berkata, bahwa pendapat jumhur fuqoha tentang catur adalah bahwa orang yang memainkannya tanpa ada unsur judi dan dilakukan secara tertutup bersama keluarga sekali dalam sebulan atau setahun dan juga tidak diketahui oleh orang lain maka hukumnya dimaafkan dan tidak haram atau tidak makruh.

Tapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka muru`ah dan a`dalahnya jatuh sehinggga mengakibatkan kesaksiannya tidak diterima. (Lihat At-Tamhid : 13/183 dan Al-Qurtubi : 8/338).

Diantara orang yang memberikan rukhshah untuk bermain catur selama tidak ada unsur judi adalah: Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Muhammad bin Sirin, Urwah bin Zubair, as-Sya`bi, al-Hasan Al-Bashri, Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Ibnu Syihab, Rabi`ah dan Atho` (Lihat At-Tamhid : 13/181).

Dr. Yusuf al-Qordhawi dalam kitab “Halal dan Haram”nya yang masyhur, beliau berkata, “Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur. Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadits Nabi. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadits yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif).[10]

Di kalangan para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.

Ali bin Abi Tholib berkata, Catur itu adalah judinya orang-orang a’jam (selain Arab).” Suatu ketika beliau berjalan di hadapan orang yang bermain catur lalu berkata, “Patung-patung apakah yang kalian hadapi ini? Seandainya kalian menyentuh bara api sampai padam adalah lebih baik dari pada menyentuh benda ini, Demi Allah bukan untuk ini kalian diciptakan.”

Sedangkan sahabat Ibnu Abbas pernah diamanahi mengurusi anak yatim dan harta mereka, lalu beliau mendapatkan dalam rumah itu terdapat catur lalu beliau membakarnya, kalalulah boleh tentu beliau tidak akan membakarnya. Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Orang yang bermain catur hanyalah orang yang salah.”

Ibrohim an-Nakho’i berkata, “Bermain catur adalah terkutuk.”[11]

Dan di antara sahabat dan tabi’in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin ‘Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair. Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya.

Dan pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olahraga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.

Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:

  1. Tidak boleh menyebabkan tertundanya shalat.
  2. Tidak boleh bercampur dengan unsur judi.
  3. Bisa menjaga lisannya ketika sedang bermain untuk tidak bicara kotor atau membicarakan orang dan yang sejenisnya.

Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.[12]

Imam asy-Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Hai Imam Syafi’i, kamu membolehkan manusia bermain catur padahal Rasulullah telah bersabda, ‘Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.[13]

Demikian Imam asy-Syafii, bahkan beliau membolehkan permainan catur dengan syarat-syarat, bila permainan catur tanpa pertaruhan, tanpa omongan yang melampaui batas dan tidak sampai melalaikan shalat, maka tidak haram dan tidak termasuk maisir (judi), karena judi ditandai adanya pembayaran uang atau pengambilan uang, sedang hakekat permainan catur tidak demikian, maka ia tidak termasuk judi.[14]

Imam an-Nawawi pernah ditanya tentang boleh dan tidaknya, dosa atau tidak bermain catur, beliau menyebutkan bila dalam permainan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk menunaikan sholat, atau disertai dengan taruhan maka hukumnya menjadi haram, jika tidak maka makruh, demikian pendapat asy-Syafi’i sedang menurut pendapat lainnya tetap haram.[15]

Dengan ketatnya pendapat ulama tentang masalah main catur ini, apalagi para ulama dahulu sering mengaitkannya dengan muru’ah dan `adalah seseorang, yaitu kehormatan/nama baik dan keadilan. Sehingga bisa menggugurkan level kebolehannya untuk bisa diterima kesaksiannya di depan sidang pengadilan. Terlebih lagi bermain catur di dalam masjid, maka hal ini sangatlah tidak layak karena bermain catur di masjid jelas merusak kehormatan masjid itu sendiri dan lebih baik untuk dihindari. 16

Demikian bermain catur secara umum, terlebih dilakukan di masjid. Maka dalam hal ini Alloh SWT telah berfirman yang artinya:

“(Mereka yang mendapat pancaran nur Ilahi) adalahbertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.

Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang..(Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” ( Q.S An Nuur : 36-38 )

Kesimpulan

Para Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum bermain catur, kebanyakan dari mereka adalah mengharamkannya dengan menyamakannya dengan permainan dadu dan atau selainnya yang baik dilakukan untuk berjudi atau tidak.

Adapun yang membolehkan permainan catur adalah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama di atas. Wallahu A`lam Bisshowab.

Referensi:

  1. Al-Fiqh al-lslami wa Adillatuh, DR. Wahbah Az Zuhaili, CET 4 TAHUN 1418 / 1997 Darul Fikr wal Ma’ashir, Beirut, Suriyah
  2. Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair wa yaliihi Al mahrumat wal manhiyat, cet 4 tahun 1416, Daar Ibnul Mubarok, Saudi Arabia
  3. Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair, ( Edisi Arab ), tanpa tahun Dinamika Utama Jakarta & Edisi Indonesia; Dosa-dosa Besar cet 1, pustaka Arofah, Solo
  4. Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Al Halal wal Harom; Edisi Indonesia Halal dan Haram dalam Islam, penerjemah Mu’ammal Hamidy, cetakan tahun 1993 Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya
  5. Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah (Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM., Cetakan 1, tahun 1994, Gema Insani Press, Jakarta
  6. Imam Muslim An Naisaburi, HADITS SHAHIH MUSLIM (Edisi Indonesia; Terjemahan Hadits “Shahih Muslim”, Penterjemah : Ma’mur Daud, Pentashih : Syekh H. Abd. Syukur Rahimy, Cetakan kelima, Thn 2003, Penerbit Fa. Widjaya, Jakarta
  7. Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq Jakarta.
  8. Syaikh Ibn Utsaimin, Al-As’ilah Al-Muhimmah, Mamalakah Aroniyah Su’udiyah, Arab Saudi
  9. Pusat Konsultasi Syariah, Office : TB Simatupang 12 A Lenteng Agung Jagakarsa Jakarta Selatan Indonesia, telp. (62-21) 78847267  fax. (62-21) 7884726

[1] Imam Muslim, Sohih Muslim; Edisi Indonesia Terjemahan Hadits “Shahih Muslim” Penterjemah : Ma’mur Daud hadits no. (2107)

[2] Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah (Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, penterjemah: A.M. Basamalah, hadits no. 1145)

[3] Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah (Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, penterjemah: A.M. Basamalah, hadits no. 1146)

[4] lihat Ruhul Ma’ani, Al Alusi, II halaman 114

[5] Adz Dzahabi, Al Kabair, masalah no.58

[6] Adz Dzahabi, Al Kabair, masalah no.58

[7] Brosur berbahasa Arab tentang Hari Raya, ditulis oleh Hamud bin Abdul Aziz al-Shaigh.www as-sofwa.or.id

[8] Al-bukhari dalam bab Bad’u Al-Khalqi 2336 ; Muslim dalam bab Al-Libas 85-2106

[9] Syaikh Ibn Utsaimin, Al-As’ilah Al-Muhimmah, hal. 17,

[10] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam halaman 410

[11] Dari kitab Al Kabair bab nard wa nardasyir

[12] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam halaman 410

[13] al-Fiqh al-lslami wa Adillatuhu, jld. 5, hal. 566.juga dapat dilihat dalam Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 6, hal. 208.

[14] lihat Ruhul Ma’ani, Al Alusi, II halaman 114

[15] Al Kaba’ir, Adz Dzahabi no.58

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

3 Comments

  1. Mungkin jaman dulu catur itu berupa patung2 tidak seperti sekarang.. Barangkali klw mereka para ulama salaf masih hidup dan melihat bentuk catur sekarang fatwanya akan beda.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *