Sebelum membahas hal ini, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang ketentuan-ketentuan dalam mengambil sebab. Karena berobat sangat erat kaitannya dengan hukum mengambil sebab.
Maksud mengambil sebab adalah seseorang melakukan suatu usaha (“sebab”) untuk dapat meraih apa yang diingankan. Misalnya seseorang mengambil “sebab” berupa belajar agar dapat meraih prestasi akademik yang memuaskan. Demikian pula, seseorang mengambil “sebab” berobat agar dapat meraih kesembuhan dari penyakitnya.
Para ulama menjelaskan, bahwa wajib bagi seorang hamba untuk mengetahui hukum-hukum dalam mengambil sebab, yaitu:
[1]. Sebab Yang Diambil Harus Terbukti Secara Syar’i Atau Qadari
Maksud terbukti secara syar’i adalah sesuatu tersebut merupakan sebab yang mengantarkan kepada terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu yang lain melalui penjelasan dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Misalnya adalah taqwa yang merupakan sebab untuk mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan urusan dan sebab untuk mendapatkan kelapangan rezeki. Sebagaimana firman Allah swt:
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Sedangkan maksud terbukti secara qadari adalah bahwa pengalaman, penelitian, atau studi ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab yang mengantarkan kepada terjadinya, atau tidak terjadinya sesuatu.
Misalnya, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa jenis pisang tertentu berguna untuk mengobati penyakit maag. Sebab qadari ini terbagi menjadi dua, yaitu sebab yang halal dan yang haram. Seseorang yang berobat tidak boleh berobat dengan cara-cara yang haram, misalnya yang mengandung unsur kesyirikan.
[2]. Hati Tidak Bersandar Kepada Sebab, Tapi Kepada Allah Swt
Maksudnya adalah ketika mengambil sebab tersebut, hatinya senantiasa bertawakal dan memohon pertolongan kepada Allah demi berpengaruhnya sebab tersebut. Dengan demikian, hatinya tidak bersandar kepada sebab. Sehingga, dirinya pun merasa aman setelah mengambil sebab tersebut.
Seseorang yang berobat –setelah dia berusaha secara maksimal mencari pengobatan yang diizinkan oleh syari’at-, maka dia bersandar atau bertawakal kepada Allah swt saja. Jadi, dia bukan bersandar kepada dokter yang merawatnya (betapa pun hebatnya dokter tersebut), dan bukan pula kepada obat yang diminumnya (betapa pun manjur dan berkhasiatnya obat tersebut).
[3]. Meyakini Bahwa Betapa Pun Ampuhnya Sebuah Sebab, Tetap Berada Di Bawah Taqqdir Allah Swt
Hal ini karena Allah swt mengatur segala sesuatu sebagaimana yang Dia kehendaki. Jika Allah menghendaki, sebab tersebut akan menimbulkan pengaruh sesuai dengan hikmah-Nya. Sehingga, manusia mengetahui kesempurnaan hikmah Allah swt ketika mengkaitkan sesuatu dengan sebabnya. Dan jika Allah menghendaki, Allah akan mengubah pengaruh dari sebab tersebut sesuai dengan kehendak-Nya.
Sehingga, seorang hamba tidak bersandar kepada sebab tersebut serta agar seorang hamba mengetahui kesempurnaan takdir Allah swt. Demikianlah yang sering kita jumpai, dimana sesorang terkadang telah meminum bermacam-macam obat yang mahal harganya, tetapi penyakitnya sama sekali tidak merespon pengobatan yang diberikan.
Di sisi lain, seseorang yang baru dalam tahap awal pengobatan, tetapi penyakitnya langsung sembuh dengan izin Allah swt.[1]
Berdsarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka pengobatan apa pun –baik yang konvensional ataupun alternatif- hukumnya mubah selama memenuhi kriteria di atas. Oleh karena itu, apabila di sana terdapat pengobatan alternatif yang terbukti keefektifannya, tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi seseorang, tidak mengandung unsur kesyirikan, dan tidak menggunakan barang-barang yang hukum asalnya haram, maka tidak mengapa berobat dengannya.
Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa para ahli pengobatan alternatif telah melakukan pelbagai eksperimen terhadap perngobatan tersebut. Mereka merujuk pada perlbagai buku medis yang disusun oleh para pakar pengobatan. Oleh karena itu, hukumnya boleh mempelajari ilmu pengobatan seperti ini dan berobat dengannya.[2]
Namun sesuatu yang perlu diwaspadai, dan sering terjadi pada sebagian orang sakit –semoga Allah menunjukkan hidayah kepada mereka- adalah apabila mereka mendengar, bahwa ada orang yang mampu mengobati suatu penyakit, mereka langsung bergegas mendatanginya tanpa bertanya terlebih dahulu tentang keshalihan dan latar belakang hidupnya.
Oleh karena itu, sebagian mereka tidak membedakan siapa orang yang mengobatinya, bahkan bagi mereka itu sama saja. Di situlah terkandung musibah yang besar.[3]
Sumber:
ke mana seharusnya anda berobat? Antara pengobatan Medis, Alternatif, dan Thibb Nabawi, dr. M. Saifudin Hakim
Footnote:
[1] Lihat Qaulus Sadid fi Maqashidit Tauhid, Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, hal. 34-35
[2] Lihat Fiqih Pengobatan Islami, Dr. Ali bin Sulaiman Ar-Rumaikhan, cet.I,Al-Qowam, th.2008, hal. 99-100
[3] Lihat Fiqih Pengobatan Islami, Dr. Ali bin Sulaiman Ar-Rumaikhan, cet.I,Al-Qowam, th.2008,hal. 230-231