Hukum Membaca Al-Quran Dengan Lagu-Lagu

 Pendahuluan

Prof. Ali Musthafa Ya’qub pernah menceritakan dalam salah satu bukunya tentang seseorang yang naik mimbar untuk membaca Al-Quran ketika sedang mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran MTQ tingkat nasional. Ia tidak dapat bersuara sama sekali, padahal sebelumnya ia tidak apa-apa. Ia tetap berusaha untuk membaca Al-Quran, tetapi tetap tidak dapat bersuara. Akhirnya ia turun meninggalkan mimbar. Kemudian ia terbatuk-batuk, dan keluarlah sesuatu dari dalam mulutnya. Ternyata yang keluar dari mulutnya adalah pecahan-pecahan kaca.

Kejadian seperti yang diceritakan Prof. Ali Musthafa Ya’qub di atas bukanlah hal yang mustahil terjadi pada orang-orang yang selalu bergumul dengan Al-Quran. Sebab tidak sedikit perilaku-perilaku yang tidak qurani justru dilakukan oleh oknum yang selalu dekat dengan Al-Quran.

Masalah melagukan dan mengiramakan Al-Quran merupakan masalah kontroversial dan belum banyak dikenal orang. Prof. Ali Musthafa Ya’qub pernah menulis lampiran di buku beliau yang berjudul “Nasihat Nabi SAW untuk Qari-qariah Hafidh-hafidhah” yang kemudian saya tulis ulang untuk di upload di blog ini. Lampiran makalah yang lain tentang “Hukum Tentang Wanita Membaca Al-Quran Dihadapan Lelaki Lain” dan “Hukum Menerima Imbalan Dalam Mengajarkan Al-Quran”, insya Allah menyusul akan saya upload juga.

Materi-materi tersebut sebenarnya sudah ada dalam kitab-kitab ulama, hanya saja menjadi lebih menarik ketika dirangkum dan ditulis dalam bahasa Indonesia, apalagi oleh orang yang telah dikenal keilmuannya seperti Prof. Ali Musthafa Ya’qub. Dalam makalah tersebut, beliau juga mentarjih pendapat para ulama untuk mengambil jalan tengah.

Hukum Membaca Al-Quran Dengan Lagu-Lagu

Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum pembaca Al-Quran dengan lagu-lagu, seperti berikut ini:

KELOMPOK PERTAMA:

Kelompok ini terdiri dari Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbaki. Begitu pula pendapat beberapa Sahabat dan Tabi’in seperti Anas bin Malik, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i dan Ibnu Sirin. Mereka mengatakan bahwa membaca Al-Quran dengan lagu-lagu itu hukumnya haram.

Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:

Hadits Nabi saw

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bacalah Al-Quran dengan irama dan suara orang-orang Arab, dan janganlah kalian membacanya dengan irama orang-orang Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang Islam yang fasik. Sebab sepeninggal aku nanti akan muncul sekelompok orang yang melagukan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu seperti yang dilakukan oleh para penyanyi, pendeta dan orang yang merintih. Al-Quran tidak melewati tenggorokan mereka. Hati terkena fitnah (penyakit), begitu pula hati orang-orang yang mengaumi mereka”. (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman).

Istidlalnya:

Seperti dituturkan oleh Muhammad Ali Al-Sayis, begitu pula Muhammad Ali Al-Shabuni, bahwa dalam hadits ini Rasulullah saw menceritakan keburukan orang-orang yang melagukan bacaan Al-Quran, dimana hal itu tak ubahnya seperti nyanyian dan suara orang yang merintih, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan para qari-qariah masa kini.[1]

Hadits Nabi saw

Dari ‘Abis Al-Ghifari, bahwa Nabi saw bersabda: “Cepat-cepatlah kalian beramal shalih sebelum datang enam tanda-tanda kiamat seperti berikut ini. Orang-orang bodoh menjadi penguasa, banyaknya para pembantu penguasa, hukum telah dijualbelikan (banyak korupsi), nyawa manusia sudah murah, hubungan kekeluargaan putus, dan adanya para remaja yang menjadikan Al-Quran sebagai “seruling” (nyanyian), dimana di antara mereka diminta masyarakat untuk tampil menyanyikan Al-Quran meskipun sebenarnya ia paling bodoh masalah agama”. (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir)

Istidlalnya:

Menyanyikan atau melagukan bacaan Al-Quran termasuk salah satu dari tanda-tanda hari kiamat. Semua tanda-tanda kiamat itu adalah perbuatan yang terkutuk dan diharamkan. Oleh karena itu, menyanyikan bacaan Al-Quran juga diharamkan.

Hadits Nabi saw

Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Sebenarnya adzan itu mudah, tidak sulit. Oleh karena itu, apabila adzanmu itu mudah, tidak sulit, maka silahkan kamu melakukan adzan. Tetapi apabila tidak demikian, maka kamu jangan melakukan adzan”. (HR Al-Daruquthni)

Istidlalnya:

Hadits ini mempunyai kisah, yaitu Nabi saw mempunyai seorqang muadzin yang melagu-lagukan adzannya. Kemudian Nabi saw menegur seperti di atas. Apabila dalam adzan saja Nabi saw tidak menyukai lagu-lagu, maka beliau tentu lebih tidak menyukai lagu-lagu dalam membaca Al-Quran.[2]

Dalil Akal

Bahwa melagukan, menyanyikan dan mengiramakan Al-Quran itu akan menambah-nambahi hal-hal yang semestinya tidak terdapat dalam Al-Quran. Sebab, bacaan yang pendek kemudian dipanjangkan, satu huruf dijadikan beberapa huruf, misalnya satu alif dipanjangkan bacaannya sehingga menjadi beberapa alif, satu waw menjadi beberapa waw, satu ya’ menjadi beberapa ya’. Maka ini berarti menambah-nambah Al-Quran. Dan ini tentu tidak boleh.[3]

Disamping itu, orang yang mendengarkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu justru akan terbuai dengan lagu-lagunya itu, sehingga ia tidak dapat merenungkan isi Al-Quran. Padahal akhir ini yang seharusnya diperhatikan. Oleh karena itu Imam Malik ketika diminta pendapatnya tentang bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu, beliau menjawab, “Saya tidak tertarik kepada bacaan-bacaan seperti itu”. Beliau juga berkata, “Bacaan seperti ini adalah nyanyian yang dilakukan oleh orang-orang untuk mencari uang”. Imam Ahmad juga pernah berkata, “Saya tidak pernah tertarik kepada bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu, dan bacaan seperti itu adalah bid’ah yang tidak boleh didengarkan”. Bahkan ketika diminta pendapatnya tentang bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu itu, beliau balik bertanya, “Siapa nama Anda?” dijawab “Muhammad”. Lalu beliau bertanya, “Maukah Anda, apabila nama anda disebut menjadi Muhaaammmmmmmaaadd, dengan dipanjangkan?”.[4]

KELOMPOK KEDUA:

Kelompok ini terdiri dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i begitu pula pendapat para tokoh ulama seperti Umar bin Khotob, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Al-Thabari, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa membaca Al-Quran dengan lagu-lagu itu hukumnya boleh.

Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut

Hadits Nabi saw

Dari Al-Bara’ bin Azib ra dari Rasulullah saw beliau bersabda; “Hiasilah Al-Quran itu dengan suara-suara kalian”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)[5]

Istidlalnya:

Dalam hadits ini Nabi saw memerintahkan kita untuk menghiasi Al-Quran dengan suara-suara kita. Suara yang dapat menghiasi Al-Quran adalah suara yang baik, merdu, dan sebagainya, termasuk dalam pengertian ini nada suara yang mengalun, disamping tetap mengikuti ketentuan-ketentuan ilmu tajwid dalam membaca Al-Quran.

Hadits Nabi saw

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mau melagukan Al-Quran”. (HR. Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud)[6]

Istidlalnya

Dalam hadits ini Nabi saw menegaskan bahwa orang yang tidak mau melagukan Al-Quran tidak termasuk golongan beliau, berarti melagukan Al-Quran hukumnya boleh, tidak haram.

Hadits Nabi saw

Dari Abdullah bin Mughaffal ia berkata “Bahwa pada waktu direbutnya kota Makkah (Fathu Makkah) dalam satu perjalanan Nabi Muhammad saw membaca surat Al-Fath sambil naik unta dan beliau membaca dengan tarji’ atau mengiramakan”. (HR Bukhari)[7]

Istidlalnya

Hadits ini juga menegaskan bahwa Nabi saw sendiri pernah melagukan Al-Quran. Seandainya hal itu haram beliau tidak melakukannya

Hadits Nabi saw

Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, “Bahwa Rasulullah saw suatu malam mendengar bacaan Al-Quran Abu Musa Al-Asy’ari maka keesokan harinya ketika beliau berjumpa dengannya beliau bersabda: kamu telah dianugerahi seruling dari seruling keluarga Nabi Dawud”. (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i)[8]

Istidlalnya

Dalam hadits ini Nabi mengagumi kemerduan suara Abu Musa Al-Asy’ari ra dalam membaca Al-Quran, sampai mengibaratkannya bagaikan ‘seruling’ keluarga Nabi Dawud, seandainya perbuatan Abu Musa Al-Asy’ari itu haram niscaya Nabi saw langsung melarangnya bukan malah mengaguminya.

Hadits Nabi saw

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu seperti Dia mendengarkan seorang Nabi yang baik suaranya seraya melagukan Al-Quran”. (HR Bukhari, Muslim dan Ad-Darimi)[9]

Istidlalnya

Dalam hadits ini Nabi saw menjelaskan bahwa Allah swt sangat memperhatikan bacaan Nabi-Nya yang melagukan Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa melagukan Al-Quran itu boleh.

Dalil Akal

Bahwa melagukan, mengiramakan, atau menyanyikan bacaan Al-Quran justru akan menarik orang yang mendengarkannya, sehingga ia akan lebih mudah untuk merenungkan isinya dan lebih terkesan dengan nasihat-nasihatnya. Uma bin Khatab juga pernah minta kepada Abu Musa Al-Asy’ari agar dibacakan Al-Quran. Abu Musa kemudian membacanya. Lalu Umar berkata, “Siapa di antara kalian yang bisa membaca Al-Quran seperti Abu Musa, silahkan ia melakukannya”.[10]

SANGGAHAN

Ulama kelompok pertama – yang mengharamkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu – menyanggah beberapa argumentasi (istidlal) kelompok kedua, sebagai berikut:

  1. Tentang sabda Nabi saw, “Hiasilah Al-Quran dengan suara kalian”[11], maka yang dimaksud adalah “Hiasilah suara kalian dengan Al-Quran”. Ungkapan seperti ini adalah Uslub Maqlub (ungkapan terbalik), dan dari segi bahasa pemakaian seperti ini dibenarkan. Sperti ungkapan seseorang, “Saya memasukkan topi di kepalaku”. Padahal maksudnya adalah “Saya memasukkan kepalaku di topi”.

Dalam pada itu, dalam riwayat yang lain Rasulullah saw bersabda; “Hiasilah suara kalian dengan Al-Quran”.

  1. Tentang hadits “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mau melagukan Al-Quran” maka yang dimaksud adalah “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak merasa cukup dengan Al-Quran”. Seperti kata Imam Sufyan bin Uyainah, “lam Yataghonna” (tidak mau melagukan) dalam hadits itu maksudnya adalah Lam Yastaghni (tidak merasa cukup).[12] Jadi, orang yang tidak merasa cukup dengan Al-Quran sebagai kitab suci, sehingga ia mencari kitab lain, maka ia tidak termasuk golongan umat Nabi Muhammad saw.[13]
  2. Kemudian tentang Nabi Muhammad saw membaca Surat Al-Fath dengan tarji’, (melagukan), maka hal itu karena tidak disengaja. Irama yang timbul dari beliau itu karena goncangnya punggung unta yang beliau naiki.[14]

JAWABAN

Sanggahan-sanggahan di atas dijawab oleh ulama Kelompok Kedua yang membolehkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu sebagai berikut:

  1. Tentang hadits “Hiasilah Al-Quran dengan suara kalian”, maka tidak tepat apabila yang dimaksud adalah “Hiasilah suara kalian dengan Al-Quran”. Begitu pula tentang adanya riwayat lain perlu diteliti kembali. Sebab hadits itu diriwayatkan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib, di mana dalam riwayat lain ia mengatakan:

“Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Perindahlah Al-Quran itu dengan suara kalian, sebab suara yang indah itu dapat menambah indahnya Al-Quran”. (HR Ad-Darimi dan Al-Hakim)[15]

Dalam hadits ini Nabi saw menegaskan bahwa keindahan suara itu dapat menambah indahnya Al-Quran, bukan sebaliknya.

  1. Tentang hadits “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mau melagukan Al-Quran”, maka tidak tepat apabila yang dimaksud dengan “lam Yataghonna” (tidak mau melagukan) itu adalah Lam Yastaghni (tidak merasa cukup). Dari segi bahasa Arab, kata “Yataghonna”  itu artinya bernyanyi, berdendang atau melagukan. Seandainya yang dimaksud oleh Rasulullah saw itu “orang yang merasa tidak cukup”, niscaya beliau mengatakan “Lam Yastaghni” bukan “lam Yataghonna”.[16]
  2. Tentang Rasulullah saw membaca Surat Al-Fath dengan Tarji’ (berirama), maka hal itu sengaja dilakukan oleh beliau. Bukan karena gerakan atau goncangan punggung unta yang beliau naiki. Abdullah bin Mughaffal sendiri, yang meriwayatkab hadits itu, menuturkan bahwa hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw, bahkan ia sendiri menirukan demikian. Seandainya hal itu karena goncangan punggung unta, maka tidak layak apabila hal itu disebut sebagai ‘sesuatu yang berirama’.[17]

TARJIH

Setelah dibanding-bandingkan dan ditimbang-timbang antara dalil-dalil yang dipakai oleh kedua belah pihah di atas, otensitasnya, berikut istidlal masing-masing, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pertama: otensitas dalil-dalil kelompok pertama (yang mengharamkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu) adalah sebagai berikut:

  1. Hadits  “Bacalah Al-Quran dengan irama dan suara orang-orang Arab,………..dan seterusnya”.Adalah dhaif (lemah). Sebab di dalam sanadnya terdapat nama Abu Muhammad dan Baqiyah. Abu Muhammad tidak diketahui identitasnya (majhul al-hal), sedang Baqiyah selalu meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tidak dapat dipercaya.[18]
  2. Hadits “Cepat-cepatlah kalian beramal shalih sebelum datang enam tanda-tanda kiamat………….dan seterusnya”,juga dhaif (lemah). Sebab dalam sanadnya terdapat nama Utsman bin Umair yang tidak dapat dipertanggung jawabkan haditsnya.[19]
  3. Hadits “Sebenarnya adzan itu mudah, tidak sulit…..dan seterusnya”,maka kami belum dapat mengetahui nilai hadits ini, karena kami belum menemukan rujukan aslinya sehingga dapat ditentukan nilai sanadnya.

Kedua: otensitas dalil-dalil kelompok kedua (yang membolehkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu); adalah sebagai berikut:

  1. Hadits “Hiasilah Al-Quran dengan suara kalian”adalah diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dari Al-Barra’ bin Azib. Dan diriwayatkan oleh Abu Nashr dari Abu Hurairah, begitu pula diriwayatkan oleh Al-Daruquthni dan Al-Thabrani dari Ibnu Abbas serta oleh Abu Nu’aim dari Aisyah. Bahkan Bukhari juga meriwayatkannya dalam kitab Khalq Af’al Ibad. Sedang nilai hadits ini shahih.[20]
  2. Hadits “Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mau melagukan Al-Quran” adalah shahih diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Sa’ad bin Abi Waqash. Begitu pula dari Abu Lubabah, Ibnu Abbas dan Aisyah.[21]
  3. Hadits dimana Nabi saw membaca Surat Al-Fatihah dengan tarji’ (berirama) adalah shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari.[22]
  4. 4.      Hadits dimana Nabi saw berkata kepada Abu Musa Al-Asyari, “Sungguh Anda telah dianugerahi seruling dari seruling keluarga Nabi Dawud”, adalah shahih. Antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[23]
  5. Hadits “Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu seperti Dia mendengarkan seorang Nabi yang baik suaranya seraya melagukan Al-Quran”,adalah hadits shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ad-Darimi.[24]

Dari perbandingan otenitasnya dalil-dalil naqli (hadits-hadits) yang dipakai oleh kedua belah pihak, maka dapat disimpulkan bahwa dalil-dalil kelompok kedua (yang membolehkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu) adalah lebih kuat, lebih rajih dibanding dengan dalil-dalil yang dipakai oleh kelompok pertama yang mengharamkan bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu, di mana semua dalilnya adalah dhaif. Namun para ulama mengatakan bahwa perbedaan kedua kelompok di atas itu hanyalah berifat formalitas saja (Al-Khilfa Al-Syakli). Hal itu karena masing-masing kelompok sependapat bahwa apabila lagu-lagu itu sampai merubah ketentuan-ketentuan bacaan Al-Quran, seperti satu alif dibaca panjang beberapa alif, satu waw dibaca panjang menjadi beberapa waw, satu ya’ dibaca panjang menjadi beberapa ya’, dan sebagainya, maka semuanya sependapat bahwa lagu-lagu seperti itu diharamkan. Ini dapat kita simak dari argumen-argumen rasional mereka.[25]

Karenanya, tidak heran apabila di antara para ulama, misalnya Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat. Yaitu lagu-lagu itu diharamkan, dan lagu-lagu itu dibolehkan. Lagu-lagu itu diharamkan apabila sudah melewati batas-batas kewajaran, dan dibolehkan apabila masih dalam batas-batas kewajaran.[26] Jadi kini permasalahannya adalah apakah kriterianya sehingga lagu-lagu itu dibolehkan. Atau dengan kata lain, lagu-lagu yang bagaimana yang sudah keluar dari batas-batas kewajaran, dan lagu-lagu yang bagaimana yang masih dalam batas-batas kewajaran.

Kriteria Lagu-Lagu Yang Diharamkan Dan Lagu-Lagu Yang Dibolehkan

Para ulama, baik dahulu maupun sekarang, banyak memberikan kriteria tentang lagu-lagu yang diharamkan dan lagu-lagu yang dibolehkan dalam membaca Al-Quran. Mereka itu antara lain adalah tokoh-tokoh berikut ini:

Pertama: Imam Syafi’i (wafat 204 H)

“Para ulama murid-murid Imam Syafi’i, atau penerus mazhab beliau dengan menukil dari beliau, mengatakan bahwa apabila lagu-lagu itu berlebih-lebihan, seperti memanjangkan bacaan, sehingga melewati batas, maka beliau tidak menyukainya; namun apabila lagu-lagu itu tidak melewati batas, maka beliau memolehkannya”.[27]

Kedua: Imam Mawardi (wafat 405 H)

Dalam kitabnya Al-Hawi, hakim agung (Qadhi Qudhat) Imam Mawardi mengatakan:

“Adapun membaca Al-Quran dengan lagu-lagu yang diciptakan itu, apabila hal itu sampai merubah lafadh Al-Quran dari bentuk aslinya, misalnya dengan menambah harakat atau menghilangkannya, memendekkan lafadh yang semestinya dibaca pendek, dan atau memperpanjang bacaan sehingga lafadh-lafadh Al-Quran itu diucapkan dengan tidak tepat sehingga tidak jelas maknanya; maka bacaan lagu-lagu seperti itu hukumnya haram. Orang yang membaca dengn lagu-lagu seperti itu menjadi fasik, dan orang yang mendengarkannya berdosa.

Sebab lagu-lagu seperti itu sudah merupakan penyimpangan atau pembengkokan dari cara membaca Al-Quran yang lurus. Padahal Allah swt berfirman: “Adalah Al-Quran dalam bahasa Arab, yang tidak ada kebengkokannya”. (QS Al-Zumar: 28). Tetapi apabila lagu-lagu itu tidak menjadikan lafadh Al-Quran menyimpang atau berubah dari pengucapan yang benar dan bacaan yang tartil, maka hal itu hukumnya boleh. Sebab hal itu justru akan menambah keindahan Al-Quran”.[28]

Ketiga: Imam Nawawi (wafat 676 H)

Imam Nawawi tampaknya cenderung mengikuti kriteria Imam Mawardi, di mana setelah menukil kriteria Imam Mawardi di atas beliau memberikan komentar sebagai berikut:

“Dari bagian pertama ini, yaitu membaca Al-Quran dengan lagu-lagu yang diharamkan, adalah merupakan, adalah merupakan perbuatan maksiat yang ditmpakan kepada orang-orang awam yang bodoh, dan orang-orang dungu dan hina, di mana mereka membacakannya pada acara-acara kematian dan resepsi-resepsi. Membaca Al-Quran seperti itu adalah bid’ah yang sudah jelas haramnya. Semua orang yang mendengarkannya berdosa. Begitu pula orang yang mampu memberantas atau mencegahnya, mereka berdosa apabila tidak mau memberantasnya”.[29]

Keempat: Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H)

Dalam kitabnya “Zaadul Ma’ad”, beliau mengatakan:

“Meyanyikan dan melagukan Al-Quran itu ada dua macam. Yang pertama adalah dengan lagu-lagu yang keluar secara alami (tabi’i), wajar, tidak sulit, tanpa dipaksakan, dan tanpa latihan atau dipelajari lebih dulu. Bahkan, apabila hal itu dibiarkan tanpa kekangan, lagu-lagu itu akan muncul dengan sendirinya. Maka membaca Al-Quran dengan lagu-lagu seperti itu hukumnya boleh. Inilah lagu-lagu yang sifatnya alami, tidak dibikin-bikin, lagu-lagu yang wajar, bukan dipaksa-paksakan. Lagu-lagu seperti inilah yang dilakukan dan didengarkan oleh para ulama salaf. Inilah melagukan Al-Quran yang terpuji, di mana pembaca maupun pendengarnya akan terkesan dengan kandungan ayat-ayat yang dibaca.

Yang kedua, adalah dengan lagu-lagu yang sengaja diciptakan untuk itu, di mana pada dasarnya hal itu sulit dilakukan secara alami. Bahkan tidak mungkin dilakukan kecuali dengan dipaksakan, dan dengan latihan-latihan lebih dahulu, seperti mempelajari nada-nada nyanyian dengan berbagai note-notenya, baik yang mudah maupun yang sulit, sehingga ada keharusan untuk menyesuaikan dengan nada-nada tertentu dan note-note yang sudah diciptakan sejak semula, di mana hal itu tidak dapat dilakukan kecuali dipelajari lebih dulu dan dilakukan dengan cukup sulit. Lagu-lagu seperti inilah yang dikecam dan tidak disukai oleh ulama salaf. Bahkan mereka melarang bacaan Al-Quran dengan lagu-lagu seperti itu, dan menganggapnya sebagai perbuatan mungkar”.[30]

Kelima: Syaikh Muhammad Ali Al-Sayis

Guru Besar dari Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Cairo mengatakan:

“Apabila lagu-lagu dan irama itu sampai merubah lafadh Al-Quran dan menyimpang dari cara-cara membaca yang kita terima, atau lagu-lagu itu dipaksakan, dibikin-bikin, dengan nada-nada yang melengking tinggi dan merendah ke bawah, seperti nada-nada dalam irama musik; maka tidak ada pendapat lain, bahwa lagu-lagu seperti ini dilarang dan diharamkan. Tetapi apabila lagu-lagu itu hanya untuk memperindah bacaan, melembutkan atau menyaduhkannya, atau membuat agar pembaca sendiri terkesan dan dapat menghayati makna ayat-ayat yang dibaca, maka hal itu tidak ada dalil yang melarang”.[31]

Keenam: Syaikh Muhammad Ali Al-Shabuni

“Para ahli fiqih telah sependapat bahwa membaca Al-Quran dengan lagu-lagu itu hukumnya haram. Yaitu lagu-lagu yang tidak mengindahkan hukum-hukum tajwid, seperti memanangkan lafadh yang semestinya dibaca pendek, memendekkan lafadh yang semestinya dibaca panjang, mentarqiqkan (menipiskan) lafadh yang semestinya dibaca tafkhim (tebal), mentafkhimkan lafadh yang semestinya dibaca tarqiq, mengidharkankan lafah yang semestinya dibaca idhgham, mengikhfa’kan lafadh yang semestinya dibaca idh’har, dan lain sebagainya, di mana tujuannya hanyalah melagukan dan menunjukkan kemerduan suara saja tanpa mengikuti aturan-aturan dan tatakrama membaca, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh di kalangan qari-qari’ah masa kini. Maka tidak ada yang meragukan lagi, bacaan dengan lagu-lagu seperti itu hukumnya haram.

Tetapi apabila yang dimaksud dengan lagu-lagu itu memperindah suara dalam membaca Al-Quran, mengucapkan huruf dengan tepat dari makhrajnya, tanpa memakai nada-nada dalam dan memperpanjang bacaan, seraya tetap memperhatikan tanda-tanda baca seperti waqaf dan mad, maka bacaan seperti ini tidak ada seorang pun yang mengharamkannya”.[32]

Itulah tadi, pendapat para ulama baik dahulu maupun kontemporer, tentang kriteria lagu-lagu yang diharamkan dan lagu-lagu yang dibolehkan dalam membaca Al-Quran. Dan tampaknya, Ibnu Qayyim lebih jelas dalam memberikan kriteria daripada para ulama dahulu. Sedang Muhammad Al-Sayis dan Muhammad Ali Al-Shabuni –yang termasuk ulama kontemporer- hanya merekonfirmasi terhadap kriteria para ulama dahulu. Wallahu a’lam.


[1] Muhammad Ali Al-Sayis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Damaskus. Beirut 1373/1953; iv: 194. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawa’iul Bayan, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Maktabah El-Ghazali, Damaskus, 1397/1977;ii: 629.

[2] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawa’iul Bayan, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Maktabah El-Ghazali, Damaskus, 1397/1977;ii: 629.

[3] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:168

[4] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:168

[5] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar Al-Hadits, Himsh. Juz ii hal 155

[6] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iv:304

[7] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iv:307

[8] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iii:235

[9] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iii:231

[10] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:166

[11] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar Al-Hadits, Himsh. Juz ii hal 155

[12] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iii:231

[13] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:165

[14] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:166

[15] Abdullah bin Abdurrahman Al-Darimi, Sunan Al-Darimi, Dar Al-Fikr, Cairo, 1398 H, ii:474

[16] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:166-167

[17] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:165

[18] Muhamad Abdul Rauf Al-Minawi, Faidh Al-Qadir, Dar Al-Fikr, tth, ii:66

[19] Muhamad Abdul Rauf Al-Minawi, Faidh Al-Qadir, Dar Al-Fikr, tth, ii:195

[20] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar Al-Hadits, Himsh. Juz ii hal 155 dan Muhamad Abdul Rauf Al-Minawi, Faidh Al-Qadir, Dar Al-Fikr, tth, ii:68

[21] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iv:304

[22] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iv:307

[23] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iii:235

[24] Muhammad bin ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Sulaiman Marie, Singapore, iii:231

[25] Muhammad Ali Al-Shabuni, , Rawa’iul Bayan, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Maktabah El-Ghazali, Damaskus, 1397/1977;ii: 631

[26] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran, Dar Al-Bayan, Damaskus, hal.89

[27] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran, Dar Al-Bayan, Damaskus, hal.89

[28] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran, Dar Al-Bayan, Damaskus, hal.89, menukil dari kitab ‘Al-Hawi”.

[29] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran, Dar Al-Bayan, Damaskus

[30] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Dar Ihyauts Turats Al-Arabi, Beirut, 1:169

[31] Muhammad Ali Al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, Dar Al-Quran, Beirut, 1373, iv:195-196

[32] Muhammad Ali Al-Shabuni, , Rawa’iul Bayan, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Maktabah El-Ghazali, Damaskus, 1397/1977;ii: 631

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *