AHMADBINHANBAL.COM – Pemikir Muslim ternama yag hidup pada abad ke-14, Ibnu Khaldun, menilai penting adanya rasa kebersamaan, serta senasib dan sepenanggungan, atau disebutnya sebagai ashabiyah sebagai penjamin kelangsungan sebuah negara. Hilangnya ashabiyah itu, kata dia, akan melahirkan antara lain perilaku korupsi.
Khaldun mengamati jatuh bangunnya kesultanan dan menulisnya kesimpulannya dalam buku The Muqaddimah (Mukadimah). Buku tersebut juga masuk dalam daftar bacaaan CEO Facebook Mark Zuckeberg.

Ibnu Khaldun, seorang pemikir Muslim dari abad ke-14, mengemukakan bahwa korupsi sering kali muncul akibat pejabat yang mengejar kemewahan hidup. Dalam karyanya yang terkenal, Muqaddimah, ia menjelaskan bahwa kemewahan dan ambisi untuk hidup mewah dapat mengarah pada perilaku korupsi di kalangan penguasa. Menurutnya, ketika pejabat pemerintah berusaha memenuhi gaya hidup mewah, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat dan melakukan tindakan tidak etis untuk mendapatkan uang yang diperlukan.
Konsep Ashabiyah
Khaldun menekankan pentingnya konsep ashabiyah, atau solidaritas kelompok, sebagai fondasi bagi stabilitas dan keberlangsungan suatu negara. Pada awal berdirinya suatu kesultanan, terdapat rasa kebersamaan yang kuat antara pemimpin dan rakyat. Namun, seiring dengan datangnya kemakmuran dan hilangnya ashabiyah, pejabat mulai mengejar kemewahan, yang berujung pada korupsi dan ketidakadilan sosial. Ketika ashabiyah melemah, pemimpin dan birokrasi semakin terpisah dari masyarakat, menciptakan celah yang memungkinkan praktik korupsi berkembang.
Proses Siklus Korupsi
Ibnu Khaldun mencatat bahwa kemewahan yang berlebihan dapat melemahkan karakter masyarakat dan merusak moralitas. Ia berpendapat bahwa generasi setelah generasi akan mengalami penurunan dalam solidaritas dan keberanian, yang pada akhirnya dapat menyebabkan keruntuhan peradaban. Ketika kehidupan masyarakat beralih dari gaya hidup nomaden yang keras menjadi kehidupan kota yang lebih nyaman, individu menjadi lebih individualistis dan kurang peduli terhadap kepentingan bersama. Ini mempercepat kemerosotan moral yang membuka peluang bagi praktik korupsi untuk berkembang lebih luas.
Selain itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa setiap peradaban mengalami siklus perkembangan, dari fase awal yang kuat dan penuh semangat hingga fase akhir yang ditandai dengan kemerosotan moral dan sosial. Dalam fase kemakmuran yang tinggi, penguasa dan elit mulai menikmati kemewahan secara berlebihan, yang pada gilirannya memicu korupsi sebagai cara untuk mempertahankan gaya hidup tersebut. Siklus ini terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya, mempercepat kejatuhan suatu dinasti atau negara.
Dampak Korupsi
Korupsi tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada aspek moral dan sosial masyarakat. Ketika pejabat lebih fokus pada kepentingan pribadi daripada kesejahteraan rakyat, hal ini dapat menyebabkan kemiskinan dan kesulitan ekonomi di kalangan masyarakat. Khaldun memperingatkan bahwa jika perilaku korupsi terus dibiarkan, maka negara akan menghadapi kehancuran. Ia juga mengamati bahwa pemerintahan yang korup cenderung kehilangan legitimasi di mata rakyatnya, yang pada akhirnya dapat memicu pemberontakan atau pergantian rezim secara paksa.
Selain itu, korupsi yang merajalela dapat memperburuk ketimpangan sosial, menciptakan kesenjangan antara kaum elit dan masyarakat umum. Ini dapat melemahkan stabilitas sosial dan menimbulkan konflik yang berujung pada kehancuran suatu bangsa. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya keadilan dan kepemimpinan yang berintegritas sebagai kunci dalam menjaga keberlangsungan negara.
Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun di Era Modern
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang korupsi tetap relevan hingga saat ini. Banyak negara modern mengalami tantangan serupa dalam bentuk ketimpangan sosial, birokrasi yang korup, dan penguasa yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibanding kesejahteraan rakyat. Konsep ashabiyah juga dapat diterapkan dalam konteks demokrasi modern, di mana partisipasi masyarakat dan solidaritas sosial menjadi elemen penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
Selain itu, pemikiran Ibnu Khaldun memberikan wawasan tentang bagaimana kemewahan dan korupsi dapat menyebabkan kemunduran peradaban. Negara-negara yang gagal menanggulangi korupsi sering kali mengalami stagnasi ekonomi, ketidakadilan sosial, dan krisis politik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, kebijakan yang menekankan nilai-nilai integritas, keadilan sosial, dan pengelolaan sumber daya yang transparan sangat penting dalam mencegah dampak negatif dari korupsi.
Dengan demikian, pemikiran Ibnu Khaldun memberikan wawasan penting tentang dinamika sosial dan politik yang masih relevan hingga saat ini. Pemahamannya tentang korupsi sebagai akibat dari pengejaran kemewahan hidup oleh pejabat dapat menjadi landasan bagi perumusan kebijakan yang lebih adil dan berorientasi pada kepentingan rakyat.