Imam Al-Ghazali dan Ilmu Hadis

Pernyataan bahwa kitab Ihya banyak memuat hadis dhaif gugur karena hadis dhaif dapat diamalkan dalam peringkat fadhail, dan Ihya' banyak membahas raqaiq yang termasuk fadhailul amal. Pembelajaran Al-Ghazali terhadap dua kitab shahih di atas justru menunjukkan sosok Al-Ghazali sebagai ulama sungguhan. Kebesaran namanya tidak menghalangi untuk terus belajar kepada ulama yang dinilai memiliki otoritas.

Pada sebagian kaum terpelajar dan penuntut ilmu tersebar aksioma hadis palsu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dan menimbulkan polemik terus menerus. Al-Ghazali adalah imam agung dalam Islam, hujjatul Islam. Nama beliau adalah nama yang tidak boleh dipinggirkan oleh penuntut ilmu keislaman. Isu hadis palsu seakan menggugurkan kehebatan Imam Al-Ghazali. Merasa tersentuh dengan Kitab Ihya Ulumuddin tetapi terganggu dengan hadis-hadis palsu di dalamnya.

Di salah satu web berita islam yang terbit tahun 2014, menyebutkan hasil penelitian dari Prof. Dr. Jawiah Akhir dari  Pengkajian Islam di UKM Malaysia yang mendapati 34,42% atau 265 hadis palsu terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Kajian ini disampaikan dalam makalahnya berjudul “Keberadaan Al-Mawdu dalam Masyarakat Melayu”. Menurutnya hadis palsu dalam Islam telah membawa perpecahan umat dalam masalah aqidah, ibadah dan kehidupan.

Maka pentingnya tulisan ini adalah membuka wawasan perihal otoritas Imam Al-Ghazali dalam ilmu hadis yang saya uraikan dari buku Dr. Muhammad Ardiansyah dari Atco College dan makalah Dr. Arrazy Hasyim.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat memahami lebih mendalam Imam Al-Ghazali, mengetahui kehebatannya dan layak diberi gelar Hujjatul Islam.

Otoritas Imam Al-Ghazali dan dalam Ilmu Hadis

Tanggal 14 April 2021, saya dikirimkan buku oleh Pesantren At-Taqwa (Atco) Depok karya Dr. Muhammad Ardiansyah berjudul ‘Otoritas Imam al Ghazali Dalam Ilmu Hadits’, Satu Tinjauan Yang Adil. Buku ini diberikan sebagai pegangan bagi mahasiswa program PK3 Atco yang sedang fokus meneliti pemikiran dua intelektual Islam yaitu Imam Al-Ghazali dan Syed Alattas. Dr. Ardiansyah merupakan doktor dalam bidang Pendidikan Islam di UIKA Bogor dan kini menjadi pimpinan di Pesantren At Taqwa Depok, yang didirikan Dr. Adian Husaini.

Buku yang ada di tangan saya ini adalah cetakan kedua dengan beberapa tambahan melengkapi buku sebelumnya yaitu manaqib atau perjalanan kehidupan Imam Al-Ghazali dan tentang kitab Ihya’ Ulumuddin beserta contoh-contoh perbandingan para ulama tentang takhrij hadis dalam kitab Ihya’.

Menarik bagi saya ketika beliau menjelaskan Manaqib Imam Al-Ghazali, tidak seperti penulis lain yang fokus menjelaskan alur perjalanan hidup saja, Dr. Ardiansyah menyelipkan faidah dan ibrah yang bisa diambil dari sejarah kehidupan Imam Al-Ghazali. Menurutnya inilah cara Al-Quran ketika menceritakan kisah tokoh-tokoh. Bukan sekedar menengok peristiwa masa lalu, tetapi mengambil pelajaran (ibrah) bermanfaat untuk membangun peradaban di masa mendatang.

Buki ini memiliki tebal 175 halaman, dan memiliki banyak rujukan  yang tak kurang lebih 55 kitab berbahasa Arab, 11 buku berbahasa Inggris dan 5 buku berbahasa Indonesia.

Di Manaqibnya, Dr. Ardiansyah mengungkapkan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Al-Ghazali, dia mengalami konflik batin antara panggilan duniawi dan panggilan ukhrawi. Al-Ghazali harus memilih antara meninggalkan kebiasaan lama atau berhenti beberapa saat kemudian tampil kembali dengan keadaan yang lebih baik. Akhirnya, Al-Ghazali meninggalkan harta, jabatan, popularitas dan memilih melakukan ‘uzlah dan mujahadah.

Proses dan mujahadah  yang dilakukan Al-Ghazali ini disebut Majid Irsan al-Kilani sebagai metode al-Insihab wa al-Awdah. Al-Insihab artinya menarik diri untuk memperbaiki keadaan internal dan membangun komunitas yang tangguh. Al-‘Audah artinya terjun kembali ke kancah masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan dengan nilai-nilai baru. Prinsip ini mengandung makna, umat Islam meninggalkan pertikaian cabang lalu memfokuskan perhatian untuk mendidik komunitas dengan membersihkan penyakit-penyakit dalam diri kemundian terjun ke kancah masyarakat.

Baca juga:   Ringkasan Buku Islam dan Sekulerisme: Islam - Konsep Agama Serta Dasar Etika dan Moralitas

***

Buku ini menjawab keragu-raguan sebagian orang terhadap Imam Ghazali. Dr Ardiansyah berhasil menyajikan argumentasi-argumentasi ilmiah bahwa Imam Al Ghazali adalah seorang ulama besar yang memahami Hadis Rasulullah

Imam Ghazali mempunyai guru-guru terkemuka dalam bidang ilmu Hadis. Al- Ghazali belajar Hadits langsung dari para ulama. Dia pernah belajar Sunan Abi Daud dari Abu al Fath al Hakimi, al Thusi dengan metode sama’. Juga mendengarkan banyak Hadis dari para ulama fiqh (fuqaha’). Ibn Asakir menyatakan bahwa al Ghazali mendengarkan Shahih al Bukhari dari Abu Sahl Muhammad ibn Abdullah al Hafshi. Ibn al Sam’ani juga menyatakan bahwa al Ghazali banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan Hadits Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim dari al Hafizh Abu al Fityan Umar ibn Abi al Hasan al Ruasi. Selain itu al Ghazali juga meriwayatkan Hadits tentang Maulid Nabi Muhammad saw dari al Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al Huwari.

Jika Imam Al-Ghazali dikatakan mempelajari dua kitab shahih al Bukhari dan Shahih Muslim di sisa usianya, bisa jadi itu adalah proses penyempurnaan. Artinya di masa mudanya Al- Ghazali telah mempelajari kedua kitab itu dengan metode yang lain, seperti wijadah, ijazah atau lainnya. Kemudian disempurnakan di masa tuanya dengan metode sama’. Menurut Dr. Ardiansyah mustahil Al-Ghazali yang dianggap sebagai faqih tidak memahami ilmu hadis.

Pembelajaran Al-Ghazali terhadap dua kitab shahih di atas justru menunjukkan sosok Al-Ghazali sebagai ulama sungguhan. Kebesaran namanya tidak menghalangi untuk terus belajar kepada ulama yang dinilai memiliki otoritas. Dengan demikian, Al Ghazali selalu berusaha meningkatkan kualitas dan otoritas keilmuannya dalam ilmu Hadits. Hal ini belum tentu dilakukan orang yang dianggap pengkaji Hadits atau ahli Hadits saat ini. Dimana, banyak diantara mereka belajar Hadits hanya lewat buku, bukan talaqqi kepada guru dengan metode sama’ atau qira’ah.

Imam Al-Ghazali mengakui kelemahannya dalam ilmu hadis sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Qanun At-Takwil (وبضاعتي في علم الحديث مزجاة) bahwa pengetahuannya dalam bidang hadis sedikit. Menurut uraian Dr. Ardiansyah, ungkapan beliau adalah iqtibas dari Surat Yusuf ayat 38. Menurut Ibnu Katsir, ada beberapa makna mujzah. Ada yang menafsirkan dengan sedikit (qalil), rendah (radi’), tidak laku (kaasidah) dan sebagainya. Begitu juga menurut Fakhruddin Al-Razi, sesuatu disebut mujzah jika kurang atau bernilai rendah.

Pernyataan Al-Ghazali di atas juga mesti dipahami sesuai konteksnya, bahwa yang melatarbelakangi lahirnya kata-kata tersebut adalah jawaban terhadap beberapa masalah metafisikan yang diajukan kepadanya. Menurut para pengkaji, penanya dalam kitab tersebut adalah Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, pakar bidang hadis penulis syarh Sunan At-Tirmidzi.

Pernyataan Al-Ghazali bahwa pengetahuan hadis beliau sedikit memang ada benarnya jika dibandingkan dengan imam Bukhari, Muslim dan lainnya, bahkan dari ulama hadis yang mengkritiknya seperti At-Turthusi dan As-Subki. Tapi jika dibandingkan dengan ulama saat ini, apalagi kalangan awam, bisa jadi pengetahuan ilmu hadis Al-Ghazali lebih banyak dan lebih luas.

Dr. Arrazy Hasyim menyebutkan dua makna dari pernyataan Al-Ghazali di atas. Makna pertama, sebagai bentuk ketawadhuan dari Al-Ghazali. Ini sama dengan pernyataan Imam Abdullah bin al-Mubarak ketika mengatakan, “Aku menyintai orang-orang saleh, namun aku bukan dari golongan mereka. Aku pernah memarahi orang saleh, padalah aku lebih buruk dari mereka.”.

Baca juga:   Pendekatan Islam tentang Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Makna kedua, ungkapan itu dipahami sesuai dengan zahir kalimat. Artinya, al-Ghazali memang tidak mendalami ilmu Hadis. Namun, hal ini dapat ditepis dari dua hal, pertama tradisi pembelajaran hadis yang pernah ia ikuti —sebagaimana dijelaskan sebelumnya-, dan kedua dengan memperhatikan beberapa karyanya, terutama kitab al-Mankhul. Dua hal ini mengindikasikan dengan kuat bahwa al-Ghazali mendalami ilmu Hadis.

Buku Dr. Ardiansyah dari At-Taqwa College

Hadis dalam Kitab Ihya’

Latar belakang penulisan buku Dr. Ardiansyah karena saat ini muncul kesan bahwa Imam Al-Ghazali tidak memahami ilmu hadis dan muncul ajakan untuk meninggalkan kitab Ihya’ Ulumuddin.

Hal itu muncul bisa jadi muncul karena pandangan-pandangan ulama terdahulu terhadap kitab Ihya’

Menurut Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Muntazam fit Tarikh Al-Muluk wal Umam menyebutkan:

“Dan dia (Al-Ghazali) menyebutkan di kitab Ihya hadits-hadits maudhu’  yang tidak shahih dalam jumlah yang banyak. Sebabnya adalah karena dia kurang mengetahui tentang ilmu naql. Seandainya dia menunjukkan hadis-hadis itu kepada orang-orang yang memahaminya. Sayangnya Al-Ghazali menukil hadis bagaikan pencari kayu bakar di malam hari”.

Ath-Thurtusy juga memberikan tanggapan terhadap Ihya’.

“Abu Hamid Al-Ghazali memenuhi Ihya’ dengan kedustaan atas nama Rasulullah SAW. Aku tidak mengetahui kitab lain di atas bumi ini yang lebi banyak kedustaannya dibandingkan Ihya’”.

Datang ulama selanjutnya seperti Ibnu Taimiyyah, Al-Dzahabi dan Ibnu Katsir yang memberikan pandangan yang sama seperti Ibnul Jauzi.

Menurut Tajuddin As-Subki, sebab kekurangan Ihya’ adalah kelemahan sebagian hadis-hadisnya. Al-Ghazali dikenal tidak memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu hadis. Umumnya dalam kitab Ihya’, hadis dan atsar dikutip dari kitab-kitab sebelumnya dari kalangan ahli tasawuf, ahli fiqih dan tidak menyebutkan sanad periwayat satu hadis pun.

Kemudian As-Subki mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab Ihya’ yang tidak dia temukan sanadnya, dan menemukan 900 lebih hadis tanpa sanad.

Menurut Dr. Ardiansyah, kata As-Subki ‘menemukan 900 lebih hadis tanpa sanad’ ini telah diplintir orang zaman sekarang bahwa ada 900 hadis palsu di dalam kitab Ihya’ padahal As-Subki tidak menyebutkan hadis palsu, tidak selamanya hadis tanpa sanad adalah hadis palsu.

Harus diakui, bahwa di dalam Ihya’ memang ada sejumlah Hadits palsu sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Dalam sejumlah takhrijnya, al Iraqi juga sepakat dengan penilaian Ibn al Jauzi. Begitu juga al Zabidi dengan takhrij yang lebih luas. Hanya saja, berdasarkan penelitian al Iraqi dan al Zabidi, jumlah Hadits yang dinilai palsu atau tidak ada sanadnya tidak sebanyak yang dikatakan Ibn al Jawzi, al Thurtusyi dan juga al Subki. Bahkan al Zabidi sampai pada kesimpulan bahwa Hadits palsu di dalam Ihya’ hanya sedikit.

Takhrij al Iraqi juga menunjukkan hal itu. Beberapa Hadits yang dinilai tidak ditemukan sanadnya oleh al Subki, ternyata berhasil ditemukan sanadnya oleh al Iraqi. Setelah diteliti, Hadits yang tidak ditemukan sanadnya oleh al Iraqi tersisa sekitar tiga ratusan (300) jumlahnya. Sisanya yang enam ratusan (600) ditemukan sanadnya dengan kualitas yang berbeda-beda. Jadi, takhrij al Iraqi terhadap Hadits dalam kitab Ihya’ sebagai berikut : 93,86% Shahih, Hasan, Dhaif dan 6,14% tidak ditemukan sanadnya.

Baca juga:   Imam Al-Ghazali dan Ilmu Kalam

Temuan ini menyanggah hasil penelitian Prof. Dr. Jawiah Akhir sebelumnya.

Al-Iraqi menjawab tuduhan hadis dhaif dalam kitab Ihya di kitabnya Ta’rif Al-Ahya’ bi Fadhail Al-Ihya’, ini bisa menjadi jawaban kepada orang-orang yang masih meragui kitab Ihya.

اِنَّ اَكْثَرَ مَا ذَكَرَهُ الغَزَالِيّ لَيْسَ بِمَوْضُوْعٍ كَمَا بُرْهَنَ عَلَيْهِ فِيْ التَّخْرِيْجِ وَغَيْرُ الاَكْثَرِ وَهُوَ فِيْ غَايَةِ القِلَّةِ رَوَاهُ عَنْ غَيْرِهِ اَوْ تَبِعَ فِيْهِ غَيْرَهُ مُتَبَرِّئًا بِنَحْوِ صِيْغَةِ رُوِىَ عَنْهُ وَاَمَّا الاِعْتِرَاضُ عَلَيْهِ اَنَّ فِيْمَا ذَكَرَهُ الضَّعِيْفَ بِكَثْرَةٍ فَهُوَ اِعْتِرَاضٌ سَاقِطٌ لِمَا تَقَرَّرَ اَنَّهُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الفَضَائِلِ وَكِتَابُهُ فِي الرَّقَائِقِ فَهُوَ مِنْ قَبِيْلِهَا

“Sesungguhnya kebanyakan yang disebutkan al-Ghazali bukanlah hadits palsu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam takhrij-nya. Yang tidak banyak, dan itu sangat sedikit, diriwayatkan dari orang lain atau mengikuti orang lain dengan menggunakan shighat pembebasan diri “Diriwayatkan dari…”. Ada pun sanggahan bahawa Ihya’ di dalamnya banyak memuat hadits dha‘if adalah pernyataan yang gugur, kerana, hadits dha‘if pun dapat diamalkan dalam peringkat fadha’il. Dan kitab Ihya’ adalah dalam perbahasan raqaiq (tentang perbaikan jiwa) dan itu termasuk dari fadhilah amal”.

Menurut Dr. Ardiansyah, Imam Al-Ghazali tidak menulis kitab khusus dalam ilmu hadis, itu adalah fakta yang benar. Tapi perhatian Al-Ghazali terhadap ilmu hadis cukup besar, perhatian tersebut nampak dalam beberapa karyanya seperti al-mankhul min Ta’liqaat al-Ushul dan al-Mustashfaa min Ilmil Ushul.

Berkenaan hadis palsu dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Zabidi menyebutkan kesimpulan hasil penelitiannya terhadap kitab Ihya’ selama 11 tahun, dan mengatakan;

فإن الأحاديث التي ذكرهل المصنف ما بين متفق عليه من صحيح و حسن بأقسامها، وفيه الضعيف والشاذ والمنكر والموضوع على قلة كما ستقف عليه إنشاء الله

Aku (Al-Zabidi) berkata: “Masalah ini (adanya hadis palsu) memang demikian, karena hadis-hadis yang disebutkan pengarang (Al-Ghazali) itu berkisar yang disepakati keshahihannya (muttafaq alaih), shahih dan hasa dengan berbagai jenisnya, di dalamnya juga ada yang lemah (dhaif), syadz, munkar dan palsu (maudhu’( yang tidak banyak)”.

Jika ada hadist palsu di dalam kitab Ihya Ulumuddin, itu bisa karena dua hal. Pertama, al-Ghazali mengutipnya tanpa sengaja, atau karena ketidak tahuannya. Sehingga tidak termasuk mendapat ancaman karena sengaja memalsukan hadist. Kedua, mungkin al-Ghazali memandang hadist itu tidak palsu berdasarkan metode penilainnya, sehingga tetap ditulis di dalam Ihya’. 

***

Walhasil dalam buku kecil Dr. Ardiansyah yang berbobot dengan rujukan yang otoritatif ini, berhasil menjawab keragu-raguan sebagian orang terhadap Imam Ghazali atau Hadits yang terdapat dalam Ihya’ Ulumiddin. Buku ini sangat penting dibaca oleh para aktivis Islam, guru, dosen, dai atau para kyai yang telah mengenal karya-karya monumental Imam Ghazali.

Rujukan

Dr. Muhammad Ardiansyah, Otoritas Imam al-Ghazali dalam Ilmu Hadits, Satu Tinjauan yang Adil, Yayasan Pendidikan Islam at-Taqwa, Tahun Terbit : 2019.

Materi kelas PK3 Atco, Depok bersama Dr. Muhammad Ardiansyah

Dr. Arrazy Hasyim, Bisakah Al-Ghazali Disebut Sebagai Seorang Ahli Hadis? Islami.co https://islami.co/bisakah-al-ghazali-disebut-sebagai-seorang-ahli-hadis/  (diakses 5 Juli 2021)

Pakdin.My, Terdapat 265 Hadis Palsu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yang digunapakai oleh orang Melayu, https://pakdin.my/terdapat-265-hadis-palsu-dalam-kitab-ihya-ulumuddin-yang-digunapakai-oleh-orang-melayu/  (diakses pada 5 Juli 2021)

[VIDEO] Syarahan Perdana Profesor UKM, Keberadaan Al-Maudhu’ dalam Masyarakat Melayu oleh Prof. Dr. Jawiah Dakir, 12 September 2014 : https://youtu.be/dx3N2epbZY8 (diakses pada 5 Juli 2021)

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

Comments are closed.