Imam Al-Ghazali dan Ilmu Kalam

AHMADBINHANBAL.COM – Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat, muncul peristiwa demi peristiwa di tengah umat Islam yang menuntut mereka memberi jawaban tentang persoalan pokok keimanan. Hubungan Allah sebagai khalik dan kejadian segala makhluk-Nya, nama-nama dan sifat-sifat Allah yang bisa dikenali dan mesti diakui manusia, sampai kaitan antara kebenaran wahyu dan kebenaran akal, membuat persoalan keimanan ini menghasilkan disiplin ilmu baru bernama Kalam.

Ilmu Kalam dikenal juga dengan ilmu Aqidah, ilmu Tauhid, Aqaid dan Usuluddin, menjadi salah satu ilmu terpenting dalam Islam. Sebab ia memiliki dua fungsi sentral; baik perannya sebagai pengukuh aqidah umat, maupun untuk menolak beragam keraguan “syubhat” dalam beraqidah.

Ilmu Kalam menjadi salah satu hujjah pegangan umat Islam dalam menghadapi berbagai syubhat, yang meski terkesan abstrak namun menguji secara langsung keteguhan iman seseorang.

Menurut Henri Salahuddin, Ilmu Kalam bukan disiplin ilmu berbahaya dan menyesatkan sebagaimana anggapan sebagian orang, sehingga harus dihindari dan dijauhi. Ilmu Kalam sangat penting untuk menjaga aqidah agar tidak mudah diombang-ambing zaman. Permisalan Ilmu Kalam seperti obat untuk kesembuhan penyakit hati.

Imam Al-Ghazali menempatkan filsafat dan Kalam, fiqih dan tasawuf dalam satu kotak yang sama. Pendekatan integratif ini menjadi ciri khas ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya konsep “al-tawassuth baina aql wa naql“, keseimbangan antara penggunaan rasionalitas dan dalil. Kebenaran wahyu diafirmasi rasionalitas, begitu juga sebaliknya.

Menurut Imam al-Ghazzāli, orang yang menafikan akal dan mencukupkan diri dengan cahaya Al-Quran, ibarat seperti orang yang condong kepada cahaya matahari tetapi menutup kelopak matanya.

Sebaliknya, orang yang menyandarkan pada akal dan argumentasi spekulatif semata dalam mencari kebenaran, tanpa mengindahkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis ibarat orang yang buta matanya. Mengakibatkan fanatisme pada kebenaran relatif yang diperolehnya, senang berdebat dan memandang golongan lain dengan pandangan kebencian. Oleh karena itu, akal bersama wahyu haruslah sejalan karena keduanya adalah cahaya di atas cahaya.

Asy’ariyah dan Fase Perkembangan Ilmu Kalam

Dalam khazanah pemikiran Islam, mazhab kalam Asy’ariyah menjadi juru bicara utama aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Pemikirannya memberikan jawaban sekaligus menghapus kebingungan umat tentang persoalan keimanan, dengan cara yang memuaskan akal namun tak melanggar ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Ash‘ari yang memiliki nama lengkap Ali Ibn Isma‘il Ibn Ishaq Ibn Salim Ibn Isma‘il Ibn ‘Abd Allah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Abi Musa al-Ash‘ari. Keturunan kesembilan dari sahabat Nabi Shallalahu alaihi wasallam, Abu Musa al-Ash‘ari radhiyallahu anhu.

Kuniyahnya Abu al-Hasan. Lahir di kota Basrah, Iraq pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H di Baghdad. Beliau belajar dengan beberapa tokoh ulama pada masa itu antaranya al-Saji, Abu Khalifah al-Jumahi, Sahl Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya‘qub, ‘Abd Rahman Ibn Khayr dan lain-lain. Beliau juga turut berguru dengan ulama fiqih mazhab Shafi‘i yaitu Abu Ishaq al-Mawardi.

Imam Abu al-Hasan al-Ash‘ari diasuh dan dididik oleh ayah tirinya Abu Ali Al-Jubai yang merupakan tokoh aliran Mu’tazilah yang populer saat itu. Abu Al-Hasan akhirnya menjadi salah seorang ulama Muktazilah terkemuka sampai akhir umur 40 tahun, beliau meninggalkan Muktazilah dan kembali kepada aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, menjadi pembelanya dan mengkritik balik  aliran menyeleweng Mutazilah di dalam karya-karyanya.

Imam Abu Al-Hasan Al-Ash’ari membuat kaidah-kaidah permasalahan aqidah berdasarkan dalil naqli dengan pengolahan fungsi rasional secara optimal dan terarah sesuai panduan Al-Quran dan hadis Nabi.

Di antara kaidah-kaidah Ash’ariyah yang dapat dilihat jelas adalah:

  1. Integrasi dalil naqli dan qali secara padu dan seimbang.
  2. Tafwidh dan takwil dalam pembahasan ayat-ayat mutasyabihat.
  3. Tidak mengkafirkan ahli kiblat secara serampangan.

Tokoh-tokoh pada peringkat pertama merupakan pengikut dan murid Imam Abu al-Hasan al-Ash‘ari yaitu Abu Ishaq al-Isfirayni (w: 418 hijrah), Abu Bakr al-Qaffal (w: 365 hijrah), ‘Abd al-‘Aziz Ibn Muhammad al-Tabari (w: 310 hijrah), Ibn Mujahid Ibn Ahmad al-Ta’I (w: 370 hijrah) dan Abu al-Hasan al-Bahili (w: 324 hijrah). Dua tokoh yang terakhir adalah mereka yang bekerja keras mendukung, menyebar dan mempertahankan aliran ini pada abad ke 3 hijrah.

Pada abad ke 4 hijrah al-Asha‘irah mulai kokoh. Banyak karya-karya dihasilkan, mulai berkembang subur dan didukung oleh para ulama. Tiga orang tokoh yang paling masyhur dalam mendukung paham Asyariyah:

  1. al-Qadi Abu Bakr Muhammad al-Tayyib al-Baqillani (w: 403 hijrah). Di antara karya beliau yang masyhur ialah al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulahidah wa al-Mu‘attilah wa al-Rafidah wa al-Khawarij wa al-Mu‘tazilah, al-Bayan, Manaqib al-A’immah fi Naqd al-Mata‘in ‘ala Salaf al-Ummah, al-Intisaf, Kashf al-Asrar fi al-Radd ‘ala al-Batiniyyah dan al-Ibanah ‘an Ibtal madhhab ahl al-Kufr wa al-Diyanah.
  2. Kedua,  Abu Bakr Muhammad Ibn al-Hasan (w: 406 hijrah) masyhur sebagai Ibn Furak dan antara karya beliau ialah Mujarrad Maqalat al-Shaykh Abi al-Hasan al-Ash‘ari.
  3. Ketiga, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Muhammad (w: 418 hijrah) yang lebih dikenali sebagai al-Isfirayni.
Baca juga:   Imam Ghazali: Sang Pencari Jati Diri

Adab ke 5 hijrah sangat terkenal dengan munculnya ulama aliran al-Asha‘irah antara lain:

  1. ‘Abd al-Qadir Ibn Tahir al-Baghdadi (w: 429 hijrah). Beliau merupakan pengarang kepada kitab al-Farq bayn al-Firaq.
  2. Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ahmad Abu Ja‘far al-Sammani al-Hanafi, al-Qadi al-Baghdadi (w: 444 hijrah) seorang yang bermazhab Hanafi dalam fikah.
  3. Imam al-Haramayn Abu al-Ma‘ali ‘Abd al-Malik Ibn ‘Abd Allah al-Juwayni (w: 478 hijrah). Beliau seorang yang faqih, ahli ilmu usul dan kalam. Antara karya beliau ialah al-Shamil fi al-Usul al-Din, al-Irshad ila Qawati‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad dan Luma‘ al-Adillah fi Qawati‘ ‘Aqa’id ahl al-Sunnah.
  4. Murid AL-Juwaini, Hujjah al-Islam Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali (w: 505 hijrah) yang mengarang Tahafut al-Falasifah, al-Munqidh min al-Dalal, Qawa‘id al-I’tiqad, al-Iqtisad fi al-I‘tiqad dan lain-lain.

Abad ke 6 juga menyaksikan kelahiran tokoh-tokoh besar dalam aliran ini, antara lain:

  1. Muhammad Ibn Tumart (w: 525 hijrah). Beliau merupakan murid kepada Imam al-Ghazali dan pengasas kepada Daulah Muwahhidin.
  2. Abu Bakr Muhammad Ibn ‘Abd Allah yang lebih terkenal dengan gelaran Ibn al-‘Arabi al-Maliki (w: 543 hijrah) seorang yang faqih dan pakar dalam tafsir al-Quran.
  3. Abu al-Fath Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim al-Shahrastani (w: 548 hijrah) yang karya tersohor beliau al-Milal wa al-Nihal dan Nihayah al-Aqdam fi ‘Ilm al-Kalam.
  4. Imam Fakhr al-Din al-Razi (w: 656 hijrah) yang merupakan seorang pakar dalam bidang tafsir, fikah, usul al-Fiqh dan ‘Ilm al-Kalam.

Abad ke 7 menyaksikan aliran al-Asha‘irah terus berkembang, antara lain:

  1. Saif al-Din al-Amidi (w: 631 hijrah)
  2. Sheikh al-Islam al-‘Iz Ibn ‘Abd al-Salam (w: 660 hijrah)
  3. Syaikh Abu ‘Amru Ibn al-Hajib al-Maliki
  4. Shaykh al-Islam ‘Iz al-Din al-Husayri al-Hanafi dari Bukhara
  5. al-Imam al-Qadi al-Baidawi (w: 685 hijrah).

Abad ke 8 terus menyaksikan aliran ini berkembang pesat dan semakin kokoh. Antara tokoh-tokoh aliran al-Asha‘irah pada abad ini ialah:

  1. Shaykh al-Islam Ibn Daqiq al-‘Id (W: 702 hijrah)
  2. Taqi al-Din al-Subki (w: 756 hijrah)
  3. Safyy al-Din al-Hindi (w: 715 hijrah)
  4. Qadi al-Qudah Shams al-Din al-Saruji al-Hanafi (w: 710 hijrah)
  5. Shaykh Jamal al-Din al-Zamlakani (w: 727 hijrah)
  6. al-Qadi ‘Adud al-Din al-Iiji al-Shirazi (w: 756 hijrah)
  7. Imam Sa’d al-Din al-Taftazani.

Ilmu Kalam menurut Al-Ghazali

Dalam buku autobiografinya ‘Al-Munqiz min Al-Dhalal’, dapat dilihat bagaimana usaha Imam Al-Ghazali merenungi lautan pengetahuan dan mencari tempat berpegang. Dilukiskannya bagaimana kesan dan perasaannya melihat masyarakat yang ada disekelilingnya.

Al-Ghazali mempelajari mazhab-mazhab yang ada dalam setiap aliran yang tumbuh saat itu. Muncul berbagai macam aliran paham agama dan aspirasi pemikiran yang berlawanan. Dari satu sisi lahir ahli kalam dan kebathinan yang beranggapan bahwa diri mereka itu yang di beri keistimewaan dapat mengikuti imam ma’sum (tidak pernah salah) dan sisi lain muncul para filsuf dan ahli tasawuf.

Al-Ghazali adalah seorang pemikir muslim yang dianggap sebagai intelektual yang produktif. Beliau dikenal sebagai pembela terbesar paham sunni dan sekaligus pembela paham Asy’ariah dalam masalah Tauhid. Orang pertama yang mempertemukan antara Sufisme dan Kalam yang sebelumnya merupakan dua aliran yang saling bertentangan karena perbedaan dasar pendekatan yang dipakai.

Sebagaimana yang digambarkan Al-Ghazali dalam kitabnya: Al-Munqidz min al-Dhalal, pengetahuan yang dicarinya adalah pengetahuan yang tidak hanya menghasilkan rasa tahu pada dirinya, tetapi pengetahuan yang bisa meyakinkan diri dari keragu-raguan yang ada dalam pikirannya atau tidak lagi ditemukan bantahannya. Dengan ini, beliau mencoba untuk menelaah, mendalami, dan mengkaji ulang sumber-sumber pemikiran.

Jika rasio melahirkan metode filosofis, intuisi melahirkan metode mistis, maka metode kalam dilahirkan oleh dialektika antara teks dan nalar. Kalam sebagai sebuah metode, dipahami sebagai teologi defensif (bersifat pembelaan atau pertahanan diri), atau seni polimek yang secara eksplisit menganggap pembelaan terhadap doktrin. Kalam lebih menekankan pada dimensi lahiriah tekstual.

Al-Ghazali sebetulnya tidak mengakui keunggulan metode ini, sebab Kalam tidak dapat diandalkan lebih banyak dan tidak pula dapat memuaskan dahaga intelektualnya. Pada satu sisi al-Ghazali membenarkan bahwa Kalam bersumber dari dan berlandaskan pada Al-Qur’an. Pada sisi lain, menganggap metodologi kalam terdiri dari kepercayaan (iman) yang dicemari oleh silogisme palsu.

Kalam telah terpengaruh oleh filsafat dengan bentuk seperti ini, maka dalam pandangan Al-Ghazali Ilmu Kalam hanya bisa dipergunakan untuk menghadapi tantangan terhadap aqidah yang sudah dianut oleh umat, tetapi tidak bisa untuk menanamkan aqidah yang benar kepada orang yang belum menganutnya, lebih-lebih untuk menuntun orang agar mau menghayatinya.

Review buku ‘Al-Munqiz min Al-Dhalal’ oleh Dr. Nidhal Guessoum dalam seri di kanal Youtube beliau, sangat bagus dan menampilkan poin-poin penting dalam buku Imam Al-Ghazali.

Karya Terakhir Al-Ghazali dalam Ilmu Kalam

Sangat urgen mengetahui periode risalah buku yang ditulis Al-Ghazali, darisitu kita bisa memetakan transformasi dan perubahan teologis sepanjang hidupnya.

Abu Khuzaimah Ansari membagi periodisasi kehidupan Al-Ghazali dalam enam tahap.

Periode Pertama, tahun 465-478 H

Masa ketika Al-Ghazali belajar ilmu pengetahuan di Nizamiyyah sampai tahun 478 H ketika gurunya, Al-Juwaini meninggal.

Baca juga:   Analisa Pengaruh Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Dan Fiqhiyyah Terhadap Perbedaan Pendapat Dalam Fiqih (Kasus Hukuman Untuk Tindak Pidana Korupsi)

Periode Kedua, tahun 478-488 H

Masa ketika Al-Ghazali mengajar dan menjadi profesor di Nizamiyyah, Baghdad selama 6 tahun.

Periode Ketiga, tahun 488-490 H

Masa krisis dan kebangkitan Al-Ghazali. Pada masa ini Al-Ghazali mengalami krisis dalam dirinya yang kemudian membuatnya meninggalkan Nizamiyyah dan safar selama dua tahun dengan terus menulis.

Periode Keempat, tahun 490-499 H

Masa ini Al-Ghazali kembali ke Thus, apa yang dilakukannya selama masa ini tidak ada dokumentasi yang baik.

Periode Kelima, tahun 499-503 H

Masa ini merupakan masa kembalinya Al-Ghazali dalam dunia keilmuan. Dia kembali ke Nishapur, Niẓāmiyyah untuk melanjutkan mengajar atas perintah Fakhr al-Mulk. Selama masa ini Al-Ghazālī menyelesaikan karya-karya utamanya seperti tentang Uṣūl al-Fiqh, al-Mustaṣfā Min Ilm al-Uṣūl sekitar tahun 503 H.

Periode Keenam, 503-505 H

Masa ketika Al-Ghazali kembali ke Thus sampai beliau wafat.

Berdasarkan karya-karya Al-Ghazali dalam buku Muallafaat Al-Ghazali oleh Abdul Rahman Badawi, bisa kita buat periodisasi karya Al-Ghazali dalam ilmu kalam, filsafat dan aqidah.

Periode Pertama (465-478 H)Periode Kedua (478-488 H)  Periode Ketiga (488-490 H)  Periode Keempat (490-499 H)  Periode Kelima (499-503 H)  Periode Keenam (503-505 H)  
 Maqāṣid al-FalāsifaRisālah al-Qudsiyyahal-Arbaʿīn Fī Uṣūl al-Dīnal-Munqidh Min al-ḌalālIljām al-ʿAwām ʿAn ʿIlm al-Kalām
 Tahāfut al-FalāsifaIḥyāʾ ʿUlūm al-DīnFayṣal al-Tafriqa Baynal Islam waʿ Zanādiqah  
 Miʿyār al-ʿIlm Fī Fann al-ManṭiqQawāʿid al-AqāʾidAl-Qanūn al-Kullī Fī al-Taʾwīl  
 Miḥak an-Naẓar Fī al-Manṭiq    
 Al-Iqtiṣād Fī al-Iʿtiqād    

Karya terakhir Al-Ghazzali tentang Ilmu Kalam adalah kitab Iljam al-‘awam ‘an ‘ilm al-kalam (menyelamatkan orang awam dari Ilmu Kalam) yang ditulis dua minggu sebelum beliau wafat.

Kitab ini mencerminkan signifikansi mazhab salaf dan ittiba’ sunnah. Kitab Iljam menunjukkan pendekatan teologis kaum tradisionalis, yang dengan keras menolak interpretasi kalam dan alegoris atribut-atribut ilahi. Al-Ghazali membantah para Hashawiyun dan Mutasyabbih.

Dalam Iljam, Al-Ghazali memberikan nasihat kepada orang awam untuk menyerahkan masalah ilmu kalam kepada ahli ma’rifat dan beliau mengelompokkan manusia menurut kapasitas intelektual mereka.

Al-Ghazali mengatakan:

“Manusia diciptakan dalam beragam jenis yang berbeda, seperti tambang-tambang yang menghasilkan emas, perak ataupun berbagai jenis permata lainnya. Maka perhatikanlah perbedaan di antara tambang-tambang tersebut, baik dari sisi bentuk, warna, karakteristik maupun lainnya.

Demikian halnya hati, yang diibaratkan tambang yang menghasilkan berbagai permata ilmu pengetahuan, maka sebagiannya adalah jenis ‘barang tambang’ kenabian, kewalian, pengetahuan tentang Allah SWT, dan sebagian lainnya adalah ‘barang tambang’ syahwat binatang dan perilaku syaithan.

Ma’rifatullah pada hakikatnya juga diibaratkan seperti pembagian manusia, yang dibagi dalam beberapa golongan; baik itu jenis manusia penakut dan lemah yang tidak mampu memahami hakikat struktur ombak lautan walaupun hanya sebatas pesisirnya, maupun jenis manusia yang mempunyai kemampuan dalam memahaminya tapi tidak berkemampuan menyelamatkan manusia ke daratan karena tidak mengetahui seni berenang.”

Dalam kitab Iljam, Al-Ghazali juga menyebutkan aturan dan mekanisme Ilmu Kalam ditinjau dari tingkat kebutuhannya. Ilmu Kalam sering bersentuhan dengan ayat-ayat mutasyabbih, maka menurut Al-Ghazali ada tujuh tugas (wadhifah) yang telah diyakini oleh seluruh generasi salaf sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh orang awam yaitu:

  1. Penyucian (menyucikan Allah dari sifat-sifat jismiyah, tidak menyerupakan Allah dengan makhluk yang bersifat fisik dan segala konsekuensinya)
  2. Pembenaran (tashdiq adalah percaya bahwa apa yang disabdakan nabi itu benar)
  3. Pengakuan akan kelemahan (mengakui bahwa pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah adalah di luar batas kemampuan dirinya, dan bukan urusannya)
  4. Diam dengan tidak memberikan komentar, (tidak perlu bertanya tentang maknanya dan tidak akan memperbinangkannya)
  5. Menahan diri untuk tidak membahas (tidak mengolah kata-kata tersebut dengan cara mentashrif, mengganti dengan bahasa lain, menambah, mengurangi, memadukan, dan memisah-misahkan. Bahkan tidak seharusnya mengatakan kecuali dengan kata-kata itu saja sesuai dengan apa yang dikehendaki dari bentuk dan i’rabnya)
  6. Mengendalikan diri (mengendalikan hati untuk tidak berkontemplasi)
  7. Menyerahkan masalahnya kepada orang yang ahli (dengan tidak berkeyakinan bahwa hal itu tidak bisa diketahui oleh Rasulullah atau para nabi, ash-shiddiqin, dan para wali).

Kitab Iljamul ‘Awam an Ilmil Kalaam

Sebagian orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali menyelisihi pemikiran atau tulisan-tulisan sebelumnya tentang ilmu kalam, bahwa Al-Ghazali lewat kitab Iljam ini menolak sama sekali Ilmu Kalam. Namun yang benar bahwa Al-Ghazali menegaskan kembali aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Menurutnya, hukum mempelajari Ilmu Kalam bagi orang awam adalah bid’ah yang tercela jika mempelajari masalah takwil atau ulama mengajak mereka mendalaminya.Adapun bagi orang yang berilmu dan golongan terpelajar hukumnya fardhu kifayah dalam keadaan darurat, apabila telah tersebar bid’ah yang memutarbalikkan pemahaman ayat Alquran dan hadis Nabi sehingga berdampak timbulnya keraguan.

Bagi para ahli ilmu yang ingin mendalami Ilmu Kalam maka sudah beliau tuliskan buku-buku untuk mempelajarinya seperti Qawaid Al-Aqaid, Risalah Qudsiyyah dan Al-Iqtishad fil I’tiqad.

Sisi Positif dan Sisi Negatif Ilmu Kalam

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin Juz 1 Halaman 97, Imam Al-Ghazali menyebutkan sisi positif dan sisi negatif Ilmu Kalam:

Baca juga:   Keberatan Ateis

أما مضرته ‌فإثارة ‌الشبهات وتحريك العقائد وإزالتها عن الجزم والتصميم فذلك مما يحصل في الابتداء ورجوعها بالدليل مشكوك فيه ويختلف فيه الإشخاص فهذا ضرره في الاعتقاد الحق وله ضرر آخر في تأكيد اعتقاد المبدعة للبدعة وتثبيته في صدورهم بحيث تنبعث دواعيهم ويشتد حرصهم على الإصرار عليه

وأما منفعته فقد يظن أن فائدته كشف الحقائق ومعرفتها على ما هي عليه وهيهات فليس في الكلام وفاء بهذا المطلب الشريف ولعل التخبيط والتضليل فيه أكثر من الكشف والتعريف وهذا إذا سمعته من محدث أو حشوي ربما خطر ببالك أن الناس أعداء ما جهلوا فاسمع هذا ممن خبر الكلام ثم قلاه بعد حقيقة الخبرة وبعد التغلغل فيه إلى منتهى درجة المتكلمين وجاوز ذلك إلى التعمق في علوم أخر تناسب نوع الكلام وتحقق أن الطريق إلى حقائق المعرفة من هذا الوجه مسدود

Sisi positif dan sisi negative Ilmu Kalam dapat kita simpulkan dalam beberapa poin berikut.

Sisi Positif Ilmu Kalam

  1. Melenyapkan ahli bid’ah yang mempengaruhi orang awam.
  2. Ilmu Kalam hanya untuk kalangan tertentu, tapi tidak bisa membungkam ahli bid’ah yang tahu retorika, karena akal sudah kerasukan hawa nafsu.
  3. Perumpamaan Ilmu Kalam seperti obat untuk kesembuhan penyakit.
  4. Melakukan kajian mendalam tentang rahasia ketuhanan

Sisi Negatif Ilmu Kalam

  1. Ilmu Kalam tidak dapat menyembuhkan penyakit aqidah, maka orang yang mendalami ilmu Kalam tidak dapat memperoleh manfaat dengan hanya bersandar pada cara mutakallimun saja.
  2. Hakikat perdebatan dalam fiqih dan Ilmu Kalam sebenarnya hanya bertujuan mencari popularitas dan kebanggaan.
  3. Keyakinan yang kokoh tidak dapat diperoleh dengan argumentasi dan perdebatan akan tetapi keyakinan yang diperoleh dengan cara mengikuti quran dan hadis adalah yang lebih utama.

Meski demikian Al-Ghazali masih mengakui Kalam sebagai disiplin keilmuan yang pada dasarnya memenuhi tujuan untuk melindungi akidah Sunni dan mempertahankannya dari bid’ah, ia yakin bahwa metodenya pada akhirnya gagal untuk menggambarkan jalan hermeneutik yang menentukan untuk mengenal Tuhan dan sifat-sifat-Nya secara intim.

Menurut Al-Ghazali, ilmu kalam itu ada manfaatnya dan ada pula madharatnya. Menilik dari sisi manfaatnya, terlebih saat diperlukan, maka kedudukan dan hukum ilmu kalam adalah mubah, sunnah bahkan bisa menjadi wajib, sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

Sedangkan ditilik dari sisi mudharatnya, maka ia adalah haram. Mudharat ilmu kalam adalah merangsang timbulnya keraguan, menggoyahkan aqidah dan menghilangkan kepastian.

Ilmu kalam pada hakikatnya bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, tapi merupakan ilmu yang bersandar pada premis-premis lawan debat, maka dengan sendirinya ilmu ini bukanlah terminal akhir bagi pencari kebenaran.

ihya ulumuddin
Pernyaataan Al-Ghazali tentang Hukum Ilmu Kalam di Ihya Ulumuddin, hal. 34-35

Apakah Imam Al-Ghazali menolak Ilmu Kalam?

Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya memberikan penjelasan posisinya tentang Ilmu Kalam, dia bukan menilai ilmu Kalam tidak penting dan juga tidak menyangkal nilai ilmiah dalam pencarian fakta masalah.

Ada masalah sederhana namun serius terkait dengan apa yang menjadi perhatian para ahli kalam dalam pandangan Al-Ghazali. Ahli Kalam tidak bisa tidak mencapai tujuan dalam pengetahuan  yaitu keyakinan dan mendapatkan hakikat tentang sesuatu.

Saeed Fouda dalam bukunya ‘Mauqif Imam Al-Ghazali ‘an Ilmil Kalam‘ menyebutkan anggapan sebagian orang bahwa Al-Ghazali menolak Ilmu Kalam setelah mempelajarinya. Saeed Fouda menjelaskan dengan gamblang posisi Al-Ghazali tidak berubah dalam buku-bukunya sebelum Uzlah seperti Al-Iqtishad fil I’tiqad dan setelah Uzlah seperti buku Iljamul Awam ‘an Ilmil Kalam, Ilmu Kalam menurutnya  seperti obat yang hanya bermanfaat untuk orang sakit dan orang miskin, sebagaimana Al-Qur’an seperti makanan yang bermanfaat bagi orang sakit dan orang sehat.

Analogi Al-Ghazali bahwa Ilmu Kalam laiknya sebuah obat yang harus sesuai kadarnya, bisa Anda simak juga pada penjelasan Dr. Hamza al-Bekri berikut.

Dr. Ali Al-Omari menyebutkan bahwa sebagian orang membuat kesimpulan bahwa mempelajari ilmu kalam mengeraskan hati dengan menyandarkan kritik Imam Al-Ghazali terhadap ahli kalam.

Dia mengatakan bahwa mereka mengejar ilmu ini hanya untuk mengungguli rekan-rekan mereka dan tampil lebih pintar dari orang lain. Tapi mereka (para kritikus) mengabaikan bahwa Imam Al-Ghazali dalam pengantar kitab Ihya Ulumuddin, siapakah kelompok pertama yang dia kritik? fuqaha, ulama hadits, bahkan para sufi.

Lantas mengapa mereka hanya melihat kritik Imam AL-Ghazali terhadap ahli kalam? Apakah berarti Imam Al-Ghazali yang mengkritik semua ilmu ini juga mengkritisi Islam?

Apakah yang dikritik Imam Al-Ghazali? Dia mengkritik ulama kalam bukan kalam itu sendiri. Dia mengkritik ahli fiqih bukan fiqh itu sendiri. Dan dia mengkritik para ulama pada masanya. Ia tidak mengkritisi ilmu tersebut dan buktinya adalah Al-Ghazali sendiri setelah menjadi sufi menulis kitabnya Al-Iqtishad fil I’tiqad setelah menjadi sufi, buku ini termasuk karyanya dari kitab-kitabnya yang belakangan. Ia juga memasukkan dalam bukunya Ihya Ulumuddin materi qawaidul aqaaid yang merupakan ringkasan dari Al-Iqtishad fil I’tiqad.

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal

Rujukan

Kelas Pemikiran Imam Al-Ghazali dan Syed Alattas, At-Taqwa College, Depok

Watt, W. Montgomery. The faith and practice of al-Ghazali. Simon and Schuster, 2020.

William Montgomery Watt, Titik Temu Islam Dan Kristen: Persepsi dan Salah Persepsi, Tsipil UGM, http://luk.tsipil.ugm.ac.id/kmi/antar/Watt/Islam-Yunani.html diakses pada 16 Juli 2021

Shu’ayb, Fiazuddin. “Al-Ghazzali’s final word on Kalam.” Islam & Science, vol. 9, no. 2, 2011, p. 151+. Gale Academic OneFile, link.gale.com/apps/doc/A274307799/AONE?u=anon~570320ac&sid=googleScholar&xid=50fb14eb. Accessed 15 Aug. 2021.

Abu Khuzaimah Ansari, al-Ghazali’s Return to the Madhhab of the Salaf; Looking at his Ash’arism and his iljam al-Awam An Ilm al-Kalam, https://www.salafiri.com/al-ghazalis-return-to-the-madhhab-of-the-salaf-looking-at-his-asharism-and-his-iljam-al-awam-an-ilm-al-kalam/, diakses 15 Agustus 2021

Dr. Ali Al-Omari,  Rooted Thought, Was Al-Ghazali against kalam? https://youtu.be/CcDF19ExLCo , diakses 15 Agustus 2021

Sila kunjungi senarai tulisan tentang Imam Al-Ghazali lainnya:

  1. Imam Al-Ghazali dan Ilmu Hadis
  2. Imam Al-Ghazali dan Tuduhan Kemunduran Sains Islam
  3. Imam Al-Ghazali dan Tasawuf
  4. Imam Al-Ghazali dan Ilmu Kalam
Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *