AHMADBINHANBAL.COM – Artikel ini berusaha membahas secara lengkap biografi Imam Az Zamakhsyari dan Tafsir Muktazilah, di antaranya Tafsir Al Kasyaf yang ditulis Az Zamakhsyari. Anda bisa langsung membaca ke bagian yang Anda minati dengan melihat daftar isi berikut.
- Biografi Az-Zamakhsyari
- Tafsir Muktazilah
- Kitab Tafsir al-Kasyaf Imam Al-Zamakhsyari
Biografi Az-Zamakhsyari
Nama dan Tempat Lahir
Namanya adalah Mahmud bin Amr bin Muhamamad bin Amr al-Khawarizmi, az-Zamakhsyari dan kuniyahnya adalah Abu al-Qasim, dipanggil juga dengan Jarullah (tetangga Allah) karena ia pernah tinggal di Makkah selama beberapa tahun.[1]
Beliau lahir pada 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, di Zamakhsyar. Zamakhsyar adalah desa kecil di wilayah Khawarizm (sekarang terletak di negara Turkistan, Rusia), kota yang terletak di Asia Tengah, tepatnya di antara Khurasan dan Laut Aral.
Al-Zamakhsyari tumbuh dalam keluarga yang serba kekurangan tetapi memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Ayahnya merupakan seorang alim, abid, dan Imam di kampungnya. Ayahnya dikenal memiliki sifat zuhud dan wara’.
Al-Zamakhsyari memulai pendidikannya di kampung halamannya. Ia belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an. Beranjak remaja, ia melanjutkan pendidikannya di Bukhara. Akan tetapi, tidak lama setelah ia menempuh studinya, ia kembali pulang karena ayahnya dipenjara oleh penguasa Khawarizm dan meninggal dunia. Namun, kepulangannya itu juga ia bertemu dengan ulama terkemuka di Khawarizm, yaitu Abu Mudhar al-Nahwi (w 580 H).
Perjalanan menuntut ilmunya kemudian dilanjutkan ke Makkah. Di sana, ia tinggal cukup lama dan tinggal di samping Ka’bah (Baitullah), sehingga ia digelari dengan jarullah (tetangga Allah). Di Makkah, ia habiskan waktunya untuk menguasai kitab nahwu karangan Sibawaih (518 H). Perjalanan panjang dalam memuaskan hasrat ilmu mengantarkannya sebagai Imam al-Kabir di bidang Tafsir, Hadits, Nahwu, Sastra, dan Fiqh. Selain itu, ia juga sangat dikenal sebagai peletak dasar ilmu Balaghah.
Imam Al-Zamakhsyari menganut faham Mu’tazilah, sehingga ada yang memanggilnya dengan Abu al-Qasim al-Mu’tazili. Al-Zamakhsyari adalah penganut fanatik Mu’tazilah. Saking fanatiknya, ia sempat diturunkan dari jabatannya. Kefanatikannya itu tampak jelas dalam Kitab Tafsir yang dikarangnya. Akan tetapi, kefanatikannya itu justru menandakan kedalaman ilmunya. Ketika menafsirkan dan menakwilkan ayat, al-Zamakhsyari sangat pandai menggunakan isyarat dengan gaya bahasa yang indah. Pembaca Kitab Tafsirnya yang tidak memiliki kedalaman ilmu tidak akan mengetahui kemu’tazilahan al-Zamakhsyari.
Selama hidupnya, Imam Al-Zamakhsyari menghabiskan usianya dengan membujang. Tidak berkeluarga. Ada yang mengatakan bahwa dengan tanpa keluarga dan rumah al-Zamakhsyari merasa lebih bahagia. Akan tetapi, pendapat itu dibantah oleh al-Dayyad. Menurutnya, Imam Al-Zamakhsyari tidak menikah karena ia tidak mampu membiayai pernikahannya. Ia memiliki kesulitan ekonomi. Ditambah lagi, ia juga memiliki cacat di kaki yang membuatnya tidak memilki kemampuan mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, kecintaan kepada ilmu pengetahuan dan kesibukan menuangkan karya-karyanya menjadi dalih lain untuk tidak menikah.
Masa Kehidupan
Masa kehidupannya dapat kita lihat dari tiga sisi
1. Sisi politik
Zamakhsyari hidup ketika masa senggang antara dua pemerintahan yaitu pada tahun 467-538 H, ketika masa ini negara islam banyak mengalami pergolakan politik, negara islam terpecah menjadi negara-negara kecil dan munculnya kerajaan-kerajaan yang terkenal dalam Islam, dan hal ini semua akan mempengaruhi diri az-Zamakhsyari dalam tsaqafah dan adabnya.
Di antara negara-negara yang muncul ketika maza az-Zamakhsyari adalah:
- Khilafah Abbasiyah
- Daulah Aznawiyah di India
- Daulah Fatimiyah di Mesir dan Syam
- Daulah Murabithun di Marakis
- Daulah al-Asraf al-Husainiyyin di Makkah.
Kemudian tentang kota tempat tinggal dari az-Zamakhhsyari, yaitu Khawarizmi, kota ini telah dikuasai oleh setidaknya tiga kekuasaan, yaitu:
- Daulah as-Samaniyah (261-389 H)
- Daulah Siljukiyah (429-552 H)
- Daulah Khawarizmiyah (491-628 H)
2. Sisi kemasyarakatan
Pada masa Zamakhsyari terjadi puncak ketegangan antara orang Turki dan oran Persia, hal ini disebabkan karena beralihnya pemerintahan dari Persia ke Turki serta dengan berpindahnya Ibu kota.
Selain itu, tedapat perselisihan yang amat sengit ketika masa Zamakhsyari, yaitu antara sunni dan syiah, kebanyakan orang Buwaih adalah syiah dan orang Salahiqah dan Khawarizmi adalah sunni.
Khawarizmi ketika itu menjadi kota yang subur dengan pemikiran, seperti pemikiran muktazilah dan filsafat, lalu di daerah timur faham muktazilah menjadi paham yang mendarah daging, kebanyakan mereka adalah syiah, dan fuqaha’ mereka adalah muktazili (berfahaman muktazilah) sehingga paham ini menjalar kepada orang awam dan menjadi hal biasa.
Di tengah pergolakan di daerah khawarizm tersebut, orang awam secara umunya dalam keadaan miskin dan hidup bermasyarakat dalam keadaan terpetak-petak ada yang khusus dan ada yang umum selain itu para penyeru jama’ah dan mazhab juga tak kalah santernya, dan sebagai akibat dari hal itu adalah berkembangnya perilaku tasawuf dan tawakul, menyeruak sihir dan pengagungan pada wali. [2]
Peraturan negara ketika itu sangat jelek, para sultan dan umara’ banyak melakukan korupsi, adapun kalangan ulama ketika itu, terbagi menjadu dua, yaitu ulama yang condong dengan khalifah, sehingga banyak ketika masa itu para ulama yang mengarang kitab karena perintah dari khalifah, dan kelompook ulama kedua, adalah ulama yang bertempat jauh dari keramaian atau tinggal di pedesaan, kebanyakan mereka dalam keadaan miskin.[3]
3. Sisi Ilmiyah
Zamakhsyari hidup dalam masa yang penuh dengan ilmu dan adab, ketika masanya banyak bertebaran ulama, ahli syair, penulis, terutama di daerah Khawarizmi, dan kebudayaan yang demikian banyak dimotofasi oleh pemerintah kala itu sehingga manusia saling berlomba-lomba dalam setipa cabang keilmuan, buku dan madrasah semakin banyak.
Dan daerah Khawarizmi adalah daerah yang menjadi basis pertumbuhan dan pergerakan muktazilah, sehingga tidak akan didapatkan seorang pun di Khawarizmi, kecuali bermazhab Muktazilah, mazhab ini telah menyebar luas, sampai orang awam pun meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk.
Masa Belajar, Guru dan Murid-Muridnya
Guru az-Zamakhsyari
- Mahmud bin Jarir ad-Dhabbi al-Asfahani, ia terkenal dalam ilmu bahasa, nahwu dan kedokteran. Ia wafat pada 507 H.
- Nashr bin Ahmad bin Abdullah bin al-Bathr al-Baghdadi al-Bazaz, ia wafat tahun 494 H.
- Al-Muhsin bin Muhammad bin Karamah al-Jasymi, ia terkenal dalam ilmu ushul dan filsafat, ia guru zamakhsyari dalam tafsir.
- Mauhub bin Ahmad bin Muhammad bin al-Jawaliqi, ia terkenal dalam masalah bahasa, wafat pada 540 H.
- Abdullah bin Thalhah bin Muhammad bin Abdullah al-Yabiri, wafat pada 520 H.
- Asy-Syaikh as-Sadid al-Khayathi
- Ruknu ad-Din Muhammad al-Ushuli
Murid az-Zamakhsyari
- Al-Muwafiq bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Said Ishaq, wafat pada 568 H.
- Muhammad bin Abi al-Qasim Bayajuk, wafat pada 562 H.
- Ali bi Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Marwan, wafat pada 560 H.
- Ya’qub bin Ali bin Muhamamad bin Ja’far.
- Ali bin Isa bin Hamzah bin Wahs Abi Thayib
- Abu Bakar Yahya bin Sa’dun bin Tamam al-Azdi
- Al-Qadhi abu al-Ma’ali Yahya bin Abdurrahman bin Ali as-Saibani
- Zainab binti Abdurrahman bin Hasan al-Jurjani
- Abu Thahir Ahmad bin Muhammad as-Salafi
- Muhamamad bin Muhammad bin Abdul jalil bin Abdul Malik al-Balkhi
Keilmuan, perkataan ulama tentang az-Zamakhsyari dan Karyanya
Perkataan para Ulama tentang az-Zamakhsyari
Zamahsyari adalah orang yang luas ilmunya, pemimpin dalam ilmu balaghah, ma’ani dan bayan, di antara perkataan ulama tentang dia adalah:
As-Sam’ani berkata: “Tidak ada yang menyamainya dalam ilmu adab dan nahwu, ia telah bertemu dengan para senior, memiliki banyak karangan dalam tafsir, penjelasan hadits dan dalam bahasa.”[4]
Az-Zahabi berkata: “Pembesarnya Muktazilah, ahli nahwu, pengarang al-Kasyaf, pemimpin dalam balaghah dan bahasa arab dan al-Bayan dan ia mempunyai nadham yang bagus.”[5]
Yaqut al-Himawi berkata: “Ia adalah imam dalam tafsir, nahwu, bahasa, adab, memiliki banyak keutamaan dan ilmu.”[6]
As-Suyuthi berkata: “Ia adalah orang yang luas ilmunya, memiliki banyak keutamaan, amat cerdas, mumpuni dalam setiap ilmu, bermazhab muktazilah tulen, dan menjadi penolongnya.”[7]
Adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasyaaf karyanya.”
Karangan-karangan Zamakhsyari
- Al-Kasyaf an Haqaiq at-Tanzil
- Al-Faaiq
- Asas al-Balaghah
- Al-Mufashal
- Al-Mustaqshi di al-Amtsal
- Al-Qisthas
- Muqaddimah al-Adab
- Kitab al-Amkinah wa al-Jibal wa al-Baqqa’ al-Mashurah di As’ar al-Arab
- Kitab an-Nashaih al-Kibar
- Rabi’u al-Abrar
- Nawabigh al-Kalm
- Athwaq az-Zahab
- Kitab Khasais al-Asrah al-Kiram al-Bararah
- Masalah fi Kalimah as-Syahadah
- Nuzhah al-Mustaknis wa Nuzhah al-Muqtabis
- Al-Qashidah al-Ba’udhawiyah
- Qashidah fi Sual al-Ghazali an Julus Allah fi al-‘Arsy, wa Qushur al-Ma’rifah al-Basariyah
- Mukahtashar al-Muwafaqah baina Alu al-Bait wa as-Shahabah
- Al-Minhaj fi Ushul ad-Din
- Nakt al-I’rab fi Gharib al-I’rab
- Al-Kasf fi al-Qiraat
- Al-Mufrad wa al-Muallif fi an-Nahwi
- Risalah fi al-Majaz wa al-Isti’arah
- Al-Amali fi an-Nahwi
- Mu’jam al-Hudud
- Diwan at-Tamtsil
- Kitab al-Asma’ fi al-Lughah
- Ruh al-Masail
- Sarair al-Amtsal
Mazhab dan Aqidahnya
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela madzhabnya dan termasuk sebagai imam dan panutan dalam aliran Muktazilah. Ia hidup di lingkungan yang berfahaman Muktazilah, gurunya Abu Madhar ad-Dhabbi memiliki andil besar dalam menancapkan paham muktazilah pada dirinya, begitu juga dengan gurunya, Abu Sa’id al-Jasmi yang menjadi gurunya dalam bidang tafsir.
Zamakhsyari tumbuh dengan mempropagandakan Muktazilah dan mengajarkannya, sehingga jika ada yang memintanya untuk masuk suatu tempat, ia katakan, katakanlah Abu al-Qasim al-Muktazili di depan pintu.[9]
Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah’ [10] dan mengangap telah keluar dari Islam, siapa saja yang menyelisihi aqidahnya[11] dan menyebut kelompok Muktazilah sebagai kelompok yang adil.
Zamakhsyari bermazhab Hanafi dalam masalah furu’ dan bemazhab Muktazilah dalam masalah ushul (aqidah) dan tidak ta’ashub terhadap mazhab hanafi.
Wafatnya
Ia wafat pada malam hari Arafah pada tahun 538 H di tempat tinggalnya, Khawarizm setelah kepulangannya dari kota Makkah.
Tafsir Muktazilah
Secara bahasa kata muktazilah berasal dari kata azala- ya’tazilu ‘azlan yang artinya menyingkir atau memisahkan. Dan dalam istilah, Muktazilah berarti sebuah sekte sempalan yang mempunyai lima pokok keyakinan (Al-Ushul Al-Khamsah) meyakini dirinya merupakan kelompok moderat di antara dua kelompok ekstrim yaitu murji’ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap sempurna imannya, dan khawarij menganggap pelaku dosa besar telah kafir.
Aliran ini berkembang pada masa Umawi sampai kepada pemerintahan Abasiah, pelopor firqah ini adalah Wasil bin Atha’ dengan julukan Al-Ghazali yang di lahirkan pada tahun 80 hijriah, dan meninggal pada tahun 131 hijriah, pada masa khilafah Hisyam bin Abdul Malik.
Imam Hasan al-Bashri memiliki majelis pengajian di masjid Basrah. Pada suatu hari seorang laki-laki masuk ke dalam pengajian Imam Hasan Al-Basri dan bertanya “wahai imam di zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar yaitu kelompok wahidiah Khawarij.
Dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak membahayakan iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama sekali bila bersama kekafiran, yaitu kelompok murji’ah. Bagaimana sikap kita?
Imam Hasan Al-Basri terdiam memikirkan jawabannya, saat itulah murid beliau yang bernama Wasil bin Atha’ menyela “sayatidakmengatakanpelakudosabesaritumu’minsecaramutlaqdantidak pula kafir, namundiaberada di satuposisi di antaraduaposisitidakmu’mindantidakkafir”jawaban ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunah yang menyatakan pelaku dosa besar tetap mu’min namun imanya berkurang.
Tentu saja Hasan Al-Basri membantah pendapat Atha’ yang tanpa dalil itu. Kemudian Wasil pergi menyendiri di sudut masjid, maka Imam Hasan Al-Basri berkata “ia telah memisahkan diri dari kita “ sejak saat itu dia dan orang-orang yang mengkutinya disebut Mu’tazilah .[Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal. 19]
Beberapa Pendapat Ulama’ Tentang Tafsir Mu’tazilah
- Al-Imam AbulHasan Al-Asyari“Tafsir Mu’tazilah adalah sesat, yang demikian itu sebagaimaa tercantum dalam muqaddimah tafsirnya yang bernama “al mukhtazan” dan ini tidak ada pada kami. Sesungguhnya ahlu kesesatan menta’wilkan alquran dengan analogi mereka. Serta mnefsirkannya dengan hawa nafsu meraka”. (Dr.Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, I/385.)
- IbnuTaimiyah“Mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sesuai dengan apa yang sudah menjadi keyakinan mereka, tanpa bersandarkan kepada bagaimana penafsiran dari Salaf as-Salehdan orang-orang setelah mereka yang berjalan di atas manhaj (jalan) yang benar yang bersumberkan langsungdari Rasulullah.” (Dr. Muhammad Husain Adzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, hal: I/386).
- IbnuQayyim “Tafsir mereka (mu’tazilah) adalah sampah pilkiran, dan menyelisihi otak, dan mengganggu dada (tidak menjadikan lega). Mereka mengisi dengan lembaran-lembaran hitam dan keraguan hati serta al ‘alim yang rusak setiap ap yang mereka uraikan berdasarkan akal nyata diketahui kejelekan al alim yang mengedepankan akal daripada wahyu dan hawa nafsu”. (Tafsir Wal Mufassirun, Dr. Muhammad Adzahabi, hal: I/287.)
Buku-Buku Tafsir Muktazilah
- Tanzihul Qur’an minal Mathain: Abdul Jabar
- Amali Syarif Al-Murtadha : Abul Qasim
- Al-Kasyaf An Haqoiqit Tanzil : Zamkhasyari.
Kitab Tafsir al-Kasyaf Imam Al-Zamakhsyari
Kitab tafsir karangan Imam Al-Zamakhsyari diberi judul kitab Tafsir al-Kasysyaf an Haqaiq Gawamid al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Kitab ini ketika ia berada di Makkah pada 526-528 H. Penulisan kitab ini awalnya adalah atas usulan dari rekan-rekan Mu’tazilah yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adiyah. Kelompok ini sangat mengagumi dan mengakui kedalaman ilmu dan keintelektualan al-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, nama ini ditulis oleh Zamakhsyari dalam pendahuluan kitabnya. Dan pada cetakan yang lain tedapat tambahan “Ghawamidh”, sehingga judulnya menjadi “Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq Ghawamidh at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, judul inilah yang telah disebutkan oleh Borklemen dan selanjutnya diikuti banyak orang.
Tentang tanggal penulisannya, Zamakhsyari menyebutkan bahwa kitab ini selesai di Dar Sulaimaniyah pada waktu Dhuha, hari senin tanggal 23 Rabi’ul akhir pada tahun 528 H. Dan ia juga menyebutkan bahwa kitab ini selesai dalam jangka waktu masa kekhilafahan Abu Bakar, ia mulai menulis al-Kasyaf pada tahun 526 H yaitu tahun ketika ia kembali ke Makkah dan tinggal di sana selama tiga tahun. [Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 44 dan Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, juz. IV, hal. 825]
Awalnya, al-Zamakhsyari mendiktekan tentang masalah yang terkandung dalam surat al-Fatihah, al-Fawatih al-Suwar, dan beberapa pembahasan tentang hakikat-hakikat surat al-Baqarah kepada rekan-rekannya. Ternyata Kitab Tafsir tersebut memperoleh apresiasi yang luar biasa dari berbagai daerah. Keunggulannya adalah cara penyampaiannya yang ringkas dan menarik. Para ulama Mu’tazilah pun tertarik terhadap kitab ini dan meminta untuk dipresentasikan di hadapan mereka. Akhirnya, Kitab Tafsir ini diberi masukan agar disusun secara i’tazili. Bahkan pemimpin Kota Makkah, Ibn Wahhas, berkeinginan memiliki Kitab Tafsir tersebut. Banyaknya respons positif terhadap Kitab Tafsir tersebut, al-Zamakhsyari menjadi lebih termotivasi untuk melanjutkan penulisan al-Kasysyaf.
Tafsir al-Kasysyaf disusun secara tartib mushafi yaitu disusun sesuai dengan urutan mushaf usmani yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Tafsir ini dikategorikan kedalam tafir bi al-ra’yi karena menggunakan penafsiran rasional yang didukung riwayat. Metode yang digunakan al-Zamakhsyari adalah Tahlili. Ia berusaha menguraikan berbagai segi dari suatu ayat, lalu menjelaskan apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an. Al-Zamakhsyari menekankan pada bahasa dalam menjelaskan maksud ayat. Penenakan tersebut didukung kemampuan ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu nahwu, dan sharaf yang ia miliki.
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah.
Sisi keindahan dan balaghah dalam al-Quran adalah hal yang sangat ditekankan dalam tafsirnya, dan ia banyak berusaha dalam tafsirnya untuk mengarahkan maknanya pada ‘Majaz’, ‘Isti’arah’, ‘Tamtsil’ atau Isykal Balaghiyah. Ini semua untuk meunjukkan uslub dan syair al-Quran, oleh karena itu kitab ini termasuk kitab tafsir yang paling luas menyebutkan sisi bayan dan balaghah al-Quran.
Tujuan Al-Zamakhsyari mengungkapkan sisi-sisi kebalaghahan Al-Qur’an dengan lafaz isti’arah, kinayah, majaz, dan kemusykilan balaghah lainnya adalah untuk melemahkan para penentang Al-Qur’an. Kekayaan ilmu bahasa dan sastranya inilah yang menjadikan Tafsir al-Kasysyaf sebagai rujukan hingga kini. Selain Ilmu Balaghah, Kitab Tafsir inilah yang menjadi warisan utama al-Zamakhsyari yang wafat pada 537 H atau 1144 M di Desa Jurjaniyah.•
Nilai Ilmiah Dalam Kitab Al-Kasyaf
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya. Ia bermazhabkan Hanafi dalam masalah furu’ dan bermazhab Muktazilah dalam masalah ushul tanpa berta’ashub terhadap mazhab Hanafi, dan penulis Thabaqat Hanafiah mengatakan: “Imam besar dalam masalah adab dan namanya sering disebut-sebut.”
Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’. Ia juga memiliki diwan syair yang banyak dipuji oleh para penulis, Borklemen, dalam bukunya al-Adab al-Islami, menyebutkan salah satu dari syairnya.
Hasyiyah atas Kitab Al-Kasyaf
Tafsir Al-Kasyaf adalah kitab tafsir yang paling tinggi dalam tingkatan ilmu Balaghah dan Bahasa Arab. Bagi Zamakhsyari, bahasa Arab adalah ratu baginya, meskipun dia dilahirkan dengan bahasa Persia.
Tafsir Al-Kasyaf menjadi terkenal di kalangan umat Islam karena memiliki banyak syarh dan hasiyah atas kitab ini meskipun penulisnya adalah seorang Muktazilah.
Dalam tulisannya, Anas Abdul Latif mengemukakan 3 Hasyiyah yang telah dilakukan para ulama atas kitab ini.
Pertama, Ditulis untuk membantah paham Muktazilah
Kedua, Ditulis sebagai syarah dan takhrij hadis-hadis al-Kasyaf
Ketiga, Ditulis untuk membincang perihal Bahasa Arab dalam al-Kasyaf
***
Faham Muktazilah Dalam Kitab Al-Kasyaf Dari Al-Fatihah Sampai Sampai Al-A’raf Ayat 43
1. Lafaz Basmalah
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Zamakhsyari berkata bahwa makna Rahmah, al-Athf dan al-Hanw, maka saya katakan: majaz yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.
Sifat rahmah adalah slah satu sifat yag ditakwilkan oleh Muktazilah, syubhat yang mereka lontarkan adalah jika Allah memiliki sifat wujudiyah, maka ia butuh atau membutuhkan pada yang lain.
2. QS.al-Baqarah: 272
“Bukanlah kewajiban menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberikan taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya”
Dalam ayat ini Zamakhsyari berpendapat bahwa petunjuk bukanlah Allah yang menciptakannya, akan tetapi hamba yang menciptakan petunjuk untuk dirinya sendiri.
3. QS.Al-An’am: 158
“Pada hari datangnya beberapa ayat dari Tuhan tidaklah bermanfaat lagi imam seseorang seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya”
Zamakhsyari berpendapat bahwa orang kafir dan orang yang melakukan maksiat sama saja mereka itu kekal di dalam neraka. Bersinggungan erat dengan janji dan ancaman. Maka Mu’tazilah menolak adanya ayat-ayat yang berbicara tentang Syafa’at (pengampunan pada hari kiamat). Argumen yang dibawanya adalah bahwa syafa’at merupkan hal yang berlawanan dengan prinsip al-Wa’ad wa al-Wa’id
4. QS. Al-An’am: 103
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.”
Menurut Zamakhsyari ayat ini sebagai penjelasan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala kapanpun. Lafad nafi ( la ) yang terdapat pada ayat tersebut berlaku umum, tidak terkait waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun di akhirat.
5. QS. Al-A’raf: 43
“Mereka berkata segala puji bagi Allah yang menunjuki kami kepada surga ini”
Dalam ayat ini Zamakhsyari mengartikan huda di sini dengan arti kata luthf (kelembutan) dan taufiq. Zamakhsyari membelokkan petunjuk (huda) Allah kepada makna luthf (kelembutan) dengan sebab bahwa hamba yang menciptakan petunjuk untuk dirinya sendiri. Disamping itu keadilan Tuhan juga dibicarakan dalam kaitan dengan perbuatan manusia yang bebas dan merdeka tanpa paksaan. Jika manusia dituntut melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat, maka manusia harus mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri, bukan perbuatan yang ditentukan oleh Allah sebelumnya.
Penjelasan Dr. Abdurrahman Asy-Syihri tentang Tafsir Al-Kasyaf
Tulisan terkait dengan Muktazilah
- Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-Khamsah)
- Pandangan Muktazilah Tentang Al-Quran dan Kritik Ahlu Al-Sunnah Terhadap Konsep Khalq Al-Quran
- Beda Muktazilah dan Islam Liberal dalam Masalah Al-Quran
Tulisan terkait tentang Tafsir Al-Kasyaf
- Sejarah perkembangan Tafsir Muktazilah yang menjadi rujukan utama di Pusat-pusat Pengkajian Islam selama 3-4 Abad oleh Anas Bad Latif (link)
- Al-Zamakhsyari: Antara Tafsir al-Kasyaf dan Paham Muktazilah oleh Tanwir.id
- Tafsir al-Kasysyaf – karya al-Zamakhsyari oleh Blog Abu Syahmin (link)
- Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf dari Tafsirquran.id (link)
Makalah ini terakhir diupdate pada akhir 2022 dengan menambah isi dan link terkait by Jumal Ahmad Ibnu Hanbal
[1] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal. 19
[2] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal. 20 dan Murtadha Ayatullah Zad az-Sairazi, az-Zamakhsyari Lughawiyan wa Mufasiran, (Kairo, Matba’ah ats-Tsaqafah, 1977), hal. 39
[3]Adam Mathew, Al-Hadharah al-Islamiyah, (Beirut, Dar kutub al-Arabi, 1387 H), juz II, hal. 157-180
[4] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 29
[5] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 30
[6] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 30
[7] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 31
[8] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 38 dan Yaqut al-Himawi, Mu’jam al-Adibba’, (Maktabah Syamilah), Juz V, hal. 494
[9] Wafayat al-A’yan, Juz V, hal. 170
[10] Abu Abdillah, Muhammad al-Mahmud an-Najdi , al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin , hal.16-17
[11] Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II, hal 39