Berjarak antara Pengetahuan dan Perilaku

Banyak orang yang memberikan contoh, tapi sedikit yang menjadi contoh. Memberi contoh itu mudah, tapi menjadi contoh itu sangat sulit.

Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah seorang bapak yang selalu menyuruh anaknya rajin salat, padahal si bapak sendiri jarang salat.

Atau si ibu yang menyuruh anaknya yang sekolah di SDIT memakai jilbab, tetapi si ibu mengantarkan anaknya ke sekolah pake tank top, alias kaos yang pamer ketiak.

Atau mungkin, seorang dosen sangat ketat menuntut mahasiswa untuk berlaku jujur, tetapi dia sendiri melakukan plagiarisme. Masih ratusan contoh yang bisa kita dapatkan di kehidupan sehari-hari.

Pun banyak orang kecewa ketika melihat orang yang dipandang memiliki banyak ilmu pengetahuan agama, namun ternyata tidak menjalaninya dengan baik. Membayangkan bahwa orang yang mengerti agama akan menjalankan ajaran itu sepenuhnya. Tetapi, ternyata apa yang dibayangkan tidak sepenuhnya berhasil dibuktikan.

Kecewa tidak perlu, karena mencari yang ideal tanpa salah bak Malaikat adalah sangat sukar. Terlebih lagi, sering kita dapatkan ada jarak antara pengetahuan dan perilaku sehari-hari, bisa jadi seseorang bisa memberi contoh tetapi tidak bisa menjadi contoh.

Ilmu itu cahaya, tetapi ilmu juga bisa memakan kita

Ketika ilmu itu menimbulkan kanker dalam jiwa.

Mari kita simak dan hayati nasehat Fudhail bin Iyadh kepada para penuntut ilmu yang termaktub dalam kitab Shifatus Shahwah hal. 457

Fudhail bin Iyadh menyebutkan, “Janganlah kalian bersikap seperti saringan, saringan itu mengeluarkan tepung yang lembut nan bagus dan menahan tepung yang kasar. Sebagaimana berbagai kata hikmah keluar dari mulut-mulut kalian, namun tersimpan kedengkian di dalam hati-hati kalian”.

Sementara itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengibaratkan orang beriman laiknya lebah madu, apabila berteman dengannya ia memberikan manfaat.

Baca juga:   Edisi Perdana URBFF Soul Food Persembahan 94.7 UFM Moms Community dan Indonesia Syiar Network Bersama Ust. Arifin Jayadiningrat

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu bagaikan lebah yang selalu memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Ia hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak. “ (H.R. Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir)

Orang mukmin selalu mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri juga bagi orang lain sebagimana binatang lebah yang mengeluarkan madu yang bermanfa’at untuk manusia.

Sisi kesamaannya adalah bahwa lebah itu cerdas, ia jarang menyakiti, rendah hati (tawadlu’), bermanfaat, tidak rakus selalu merasa cukup (qana’ah), bekerja di waktu siang, menjauhi kotoran, makananya halal nan baik, ia tak mau makan dari hasil kerja keras orang lain.

Semoga kita menjadi ibarat lebah dan bukan saringan …

Imam Birgivi, ulama Sufi pada masa akhir khilafah Usmaniyah, dalam bukunya al-Tariqah al-Muhammadiyyah yang telah diterjemahkan oleh Tosun Bayrak dalam bahasa Inggris, The Path of Muhammad, memberikan nasehat kepada dai dan penuntut ilmu.

Ketika membahas tentang akhlak dan karakter, bahwa amarah dan hawa nafsu adalah yang paling banyak merusak akhlak. Untuk mengobatinya, Imam Birgivi memberikan nasehat agar dai atau penuntut ilmu itu sadar dulu bahwa dia sakit, sehingga mudah disembuhkan.

“Penyembuhan setiap penyakit tergantung pada menyadari bahwa seseorang itu sedang sakit. Ketika kita mengenali bahaya kondisi kita, kita dapat mencari penyebabnya dan cara-cara untuk menangkalnya.

Mengetahui penyakit ini mengharuskan kita memeriksa diri sendiri, tindakan kita, dan hubungan kita dengan orang lain. Bisa juga dengan mendengarkan dan menerima kritik dari teman terdekat bahkan tuduhan musuh, karena, seringkali, teman-teman kita hanya memaafkan kesalahan kita, sementara musuh-musuh kita melihat kesalahan.

Kritik yang kita buat terhadap orang lain adalah cara yang baik untuk melihat kesalahan yang sama dalam diri kita sendiri. Setiap orang adalah cermin bagi orang lain, dan mereka yang menyadari hal ini dapat melihat kesalahan mereka sendiri dan mengambil pelajaran.

Setelah mengetahui penyakit Anda, belajarlah untuk mengidentifikasi masing-masing secara terpisah dan mencari penyebabnya, baik di luar maupun di dalam diri Anda sendiri. Kemudian cobalah untuk menghilangkan atau mengubah penyebab tersebut.”

Hanya orang yang merasa belum baik, ia akan belajar menjadi baik

Baca juga:   Trik Khatam Al-Quran di Bulan Ramadan

Teruslah menjadi baik tanpa merasa telah baik. Karena orang baik tidak akan pernah merasa dirinya baik. Orang baik akan terus berbenah dan taat, karena dia tahu surga tidak mudah dimasuki begitu saja.

Terus berbenah dari karakter buruk adalah kewajiban, dia akan mengamankan kita di dunia dan di akhirat kelak.

Mari perbanyak membaca doa berikut;

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ

“Allaahummahdinii li-ahsanil akhlaaq, laa yahdii li-ahsanihaa illaa anta, wash-rif ‘annii sayyi-ahaa, laa yash-rifu ‘annii sayyi-ahaa illaa anta.”

“Ya Allah, tunjukkanlah aku kepada akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Dan palingkanlah dariku kejelekan akhlak, tidak ada yang dapat memalingkannya dariku kecuali Engkau.”

Semoga kita dimudahkan Allah untuk terus membenahi akhlah dan karakter.

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *