Jihad dengan Berbakti pada Orang Tua

حدثنا آدم: حدثنا شعبة : حدثنا حبيب بن أبي ثابت قال: “سمعت أبا العباس الشاعر – وكان لا يتهم في حديثه – قال: سمعت عبد الله بن عمرو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يقول: « جاء رجل إلى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يستأذنه في الجهاد فقال: “أحي والداك؟” قال: نعم. قال: “ففيهما فجاهد » وفي رواية: “.. « قال رجل للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أجاهد؛ قال: “ألك أبوان؟” قال: نعم. قال: “ففيهما فجاهد »

Telah menceritakan kepada kami Adam dari Syu’bahdari Hubaib binAbi Tsabit berkata: Aku telah mendengar Abu al-Abbas as-Syair –dan ia bukan orang yang muttahim haditsnya- berkata: Aku telah mendengar Abdullah bin Amr ra berkata:

“Telah datang seorang lelaki kepada Nabi saw untuk meminta izin berjihad, maka Nabi bertanya padanya: “Apakah orang tuamu masih hidup?” ia menjawab: “Ya” lalu Nabi menjawab: “Maka berjihadlah pada keduanya.” Dan pada riwayat yang lain: “Seorang lelaki berkata kepada Nabi saw: “Saya ingin berjihad.” Nabi bertanya: “Apakah kamu masih memiliki orang tua?” ia menjawab: Ya, Nabi menjawab: “Maka berjihadlah pada keduanya.”.

Takhrij Hadis

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab al-Adab Bab La Yujahid Illa bi Idzni Abawain 7/29 no 5972, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Birr wa as-Shillah wa al-Adab dalam Bab Birr al-Walidain wa Annahuma Ahaqqu bihi 4/1975 no 2549.

Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra dalam Bab ar-Rajulu Yakunu Lahu Abawani Muslimani 9/25 no 17605 dan oleh Imam an-Nasa’I dalam Bab ar-Rukhshah fi at-Takhalluf Liman Lahu Walidani no 3052.

Biografi Rawi A’la: Abdullah bin Amru

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amru bin al-Ash bin Wail, seorang Imam sekaligus Alim, mereka berdua (Abdullah dan Amru bin Ash) adalah sahabat Rasulullah saw.

Ada yang mengatakan ia telah masuk Islam sebelum ayahnya, dan ada juga yang mengatakan bahwa namanya adalah al-A’ash dan setelah masuk Islam diganti namanya oleh Rasulullah saw menjadi Abdullah.

Ia terkenal sebagai orang yang paling banyak mendapatkan ilmu dari Rasululah saw, paling banyak meriwayatkan hadits dan jalur sanadnya mencapai 70 hadits, dimana Imam Bukhari dan Muslim telah bersepakat dalam 7 haditsnya, Imam Bukhari meriwayatkan sendiri (infarada) dalam 8 hadits, dan Imam Muslim 20 hadits, dan terhitung jumlah haditsnya dalam al-Musnad sebanyak 626 hadits[1].

Abdullah adalah seorang Abid (Ahli Ibadah) sekaligus Da’I (penyeru ke jalan Allah swt), yaitu dengan cara meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw dan menyampaikannya. Ia juga sosok yang layak untuk dijadikan Uswah Hasanah (contoh yang baik) bagi kaum muslimin, di antara akhlaqnya yang mulia adalah: ia terbiasa melakukan puasa Dawud, mengkhatamkan al-Quran setiap seminggu atau setiap tiga hari sekali, Qiyam al-Lail dan lainnya yang bisa menjadi uswah hasanah bagi yang melihat atau mendengar tentangnya.

Jarak antara Abdullah dan ayahnya sekitar 12 tahun atau ada yang mengatakan 11 tahun, ia adalah orang yang paling banyak mengambil hadits dari Rasulullah saw, sebagaimana perkataan Abu Hurairah: “Tidak ada orang yang paling banyak haditsnya dari Rasulullah saw selain aku, kecuali Abdullah bin Amru,karena ia menulisnya dan aku tidak menulisnya.”

Jika demikian halnya lalu kenapa riwayat dari Abdullah bin Amru hanya sedikit? Hal itu disebabkan Abdullah tinggal di daerah Mesir dan orang yang mengambil hadits darinya sedikit, berbeda dengan Abu Hurairah, ia tinggal di pusat kota Madinah yang menjadi lawatan banyak orang.

Abdullah bin Amru bin al-Ash wafat tahun 63 Hijriyah ada juga yang mengatakan pada tahun 65, 67 dan 68 dalam umur 72 tahun.[2]

Baca juga:   Ingin Panjang Umur? Mari Berbakti Kepada Orang Tua

Pelajaran Dakwah

Pentingnya Musyaraah

Bermusyawarah untuk sampai pada satu mufakat adalah perkara  yang urgen, karena di dalamnya terdapat manfaat besar untuk masalah agama dan dunia.

Urgensi ini terlihat jelas pada hadits di atas di mana seorang lelaki datang menghadap Nabi saw untuk ikut berjuang melawan aggressor kuffar dan bermusyawarah dengannya, “Saya ingin berjihad.” Nabi bertanya: “Apakah kamu masih memiliki orang tua?” ia menjawab: Ya, Nabi menjawab: “Maka berjihadlah pada keduanya.”. Dari sini cukup jelas tentang urgensi musyawarah dalam memutuskan suatu perkara.

Dari hadits di atas kita juga dapat menarik satu pelajaran lain yaitu bagi seorang yang diajak untuk bermusyawarah hendaknya mengetahui keadaan orang yang meminta musyawarah, agar hasil musyarah tersebut lebih efektif dan efisien.

Imam Ibnu Abu Jamrah mengatakan: “Hadits di atas menjadi dalil bahwa seorang yang diajak untuk bermusyawarah hendaknya mengetahui keadaan orang yang meminta musyawarah, lalu memberikan jalan yang paling benar, karena Nabi saw bermusyawarah dengan sahabat tersebut apakah ia pergi berjihad atau tidak? Lalu Nabi sawbertanya tentang keadaannya: “Apakah orang tuamu masih hidup?” sehingga Nabi saw mengetahui solusi yang benar sesuai keadaannya.”

Hendaknya seorang da’i menggunakan metode ini dengan baik karena metode ini bisa mendatangkan manfaat, menjauhkan madharat terlebih lagi bisa menambah pahala. Dan pemuda yang datang kepada Nabi saw tersebut, setelah bermusyawarah mendapatkan amalan yang lebih baik dari Jihad yang ketika itu adalah Fardhu Kifayah dan seorang muslim hendaknya tidak memutuskan suatu perkara yang penting sendirian sebelum ia mengajak bermusyawarah dengan orang yang lebih berkompeten.

Semangat para Sahabat untuk Jihad

Para sahabat Nabi saw adalah orang-orang yang terkenal bersemangat dalam beramal, terutama amalan-amalan yang mengundang kecintaan dan keridhaan Allah swt.

Ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi saw untuk ikut berjuang, lalu Nabi saw bertanya kepadanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” ia menjawab: “Ya” lalu Nabi saw menunjukkan suatu amalan yang lebih utama dari jihad yang hukumnya saat itu Tathawwu, beliau bersabda: “Berjihadlah dengan kedua orang tuamu.” Maksudnya khususkanlah jiwamu untuk berjihad menggapai keridhaan kedua orang tuamu.

Hadits di atas menunjukkan semangatnya sahabat untuk melakukan amalan yang lebih utama, Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya menjelaskan bahwa sejatinya pemuda tersebut meminta perincian tentang amalan ketaatan yang paling utama untuk ia amalkan, karena ia mendengar amalan tersebut adalah Jihad, maka ia bergegas untuk berjihad, namun ia belum merasa puas sehingga ia meminta izin kepada Nabi, lau Nabi saw memberikan jalan yang lebih pas dengan kondisinya.[3]

Hendaknya setiap da’i dan da’iyah yang berjalan di atas manhaj Allah swt untuk selalu bersemangat menjalankan kebajikan selamanya sampai datang kepadanya al-Yaqin yaitu kematian.

Bagi seorang Mad’u

Bertanya tentang masalah agama adalah perkara yang penting, karena dengan bertanya akan membuka ilmu dan pengetahuan baru bagi manusia, dari hadits di atas nampak bahwa seorang pemuda mendatangi Nabi saw dan bertanya padanya: “Apakah saya boleh berjihad?” kemudian Nabi saw mengarahkannya agar berjhad lewat bakti terhadap kedua orang tua.

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari-nya mengatakan: “Jika ia tidak bertanya, ia tidak akan mendapatkan ilmu.” Maka hendaknya seorang Muslim untuk bertanya tentang masalah yang masih musykil baginya, sehingga ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan terangkatlah kebodohan dari dirinya.

Metode Dakwah dengan Tanya Jawab

Di antara Metode Dakwah yang terpenting yang mesti digunakan oleh para pelaku dakwah adalah Metode Tanya Jawab, sebagaimana dalam hadits di atas, Nabi saw bertanya kepada pemuda tersebut, “Apakah orang tuamu masih hidup?” dan ketika ia menjawab Ya, lalu Nabi saw bersabda: “Maka berjihadlah pada keduanya.”.

Baca juga:   Pandangan Ali Musthafa Ya'qub Tentang Ilmu Hadis

da’I menggunakan metode bertanya kepada mad’unya sebagai bentuk tes kefahaman dan setelah itu memberikan jawaban yang benar, cara ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw bersama sebagian mad’unya.

Anjuran Berbakti kepada Orangtua

Materi tentang anjuran untuk berbakti kepada kedua orang tua adalah materi yang penting dan termasuk bentuk qurbah kepada Allah swt yang sangat agung, karena agungya materi ini Nabi saw bertanya kepada pemuda yang meminta izin untuk berjihad kepadanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” ia menjawab: “Ya” lalu Nabi saw bersabda“Maka berjihadlah pada keduanya.”.

Ibnu Hajar mengatakan: “Maksudnya bahwa jika engkau masih mempunyai kedua orang tua, maka kerahkanlah seluruh kesuugguhanmu untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuamu, karena yang demikian itu sama derajatnya dengan berjihad.”[4]

Makna berjihad kepada kedua orang tua adalah mengerahkan segala daya upaya untuk berbakti kepada keduanya, karena urgensinya masalah ini, para ulama melarang untuk pergi keluar berjihad kecuali dengan izin kedua orang tua, dengan syarat keduanya adalah muslim, karena berbakti kepada keduanya adalah fardhu ‘ain sedangkan berjihad hukumnya fardhu kifayah, namun jika jihad itu telah menjadi fardhu ‘ain maka tidak perlu lagi izin kedua orang tua, seperti jika imam umat islam telah memerintahkan umat untuk berjihad, atau musuh islam telah masuk ke Negara Islam[5].

Berbakti kepada kedua orang tua termasuk kewajiban dan ketaatan yang agung karena dalil-dalil sebagai berikut:

A. Allah swt menghubungkan antara kewajiban berbakti kepada orang tua dengan beribadah kepada-Nya.

Begitu juga dengan syukur, syukur atas karunia orang tua berarti mensyukurni nikmat dari-Nya. Karena dengan orang tualah anak akan lahir dan mereka selalu berbuat baik kepada si anak semenjak akan itu kecil dan ketika ia sakit, hal ini menguatkan hak orang tua untuk diperlakukan dengan baik.

Haram hukumnya menyakiti orang tua meskipun kecil seperti mengucapkan kata ‘ah’, memanggil dengan suara yang keras atau tidak mampu membantu orang tua.

Ada banyak dalil dalam al-Quran yang menunjukkan hubungan antara hak orang tua dengan ibadah kepada Allah swt, di antaranya:

Dalil dari al-Quran:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa.”[6]

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa.”[7]

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”[8]

Dalil dari as-Sunnah:

Berbakti kepada orang tua adalah amalan yang paling utama setelah shalat yang merupakan tiang agama, dan Nabi saw memasukkannya sebagai dosa bagi orang yang meremehkan perkara ini. Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku bertanya kepada Nabi saw, amalan apakah yang paling utama, beliau menjawab: “shalat tepat pada waktunya.” Saya bertanya lagi: lalu apa?, beliau menjawab: “kemudian berbakti kepada orang tua.” Saya bertanya lagi: lalu apa?, beliau menjawab: “kemudian berjihad di jalan Allah.”.[9]

B. Berbakti kepada orang tua adalah amalan yang diridhai oleh Allah swt.

Dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi saw bersabda: “Keridhaan rabb ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan rabb ada pada kemurkaan orang tua.”[10]

C. Rasulullah saw mendoakan orang yang tidak berbakti pada orang tua ketika mereka sudah menginjak masa tua

Baca juga:   Telaah Kritik Hadis Orientalis: Pemikiran Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah saw: “Celaka! Celaka! Dan Celaka! Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw, siapakah mereka wahai Rasulullah saw? Nabi menjawab: “Orang yang mendapatkan masa tua orang tuanya, salah satu atau keduanya kemudian ia tidak masuk surga.”[11]

Imam al-Qurtubi menjelaskan maksud hadits ini bahwa makna doa nabi tersebut ada dua, yaitu Allah menelungkupkan hidungnya sehingga ia mati, hal ini bagi orang yang tidak berbakti pada orang tua dan yang kedua Allah menghinakannya, yaitu bagi orang yang meremehkan kewajiban untuk berbakti terutama ketika masa tua.[12]

Dan fadhilah yang lainnya banyak sekali seperti, sebagian dari kesempurnaan bentuk bakti pada orang tua adalah bersilaturahmi kepada orang-orang yang dicintai orang tua, Sebagaimana sabda Nabi saw: “Sebagian dari bentuk bakti kepada orang tua adalah bersilaturahmi kepada orang-orang yang dicintai oleh orang tua,[13]. Doanya orang tua itu mustajab, Sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda: “Tiga doa yang diistijabahi dan tidak diragukan: doa orang tua, doa orang yang bersafar dan doa orang yang terdhalimi.”[14]

Uslub Dakwah at-Targhib.

Targhib adalah salah satu uslub dakwah yang jika dipakai mampu menggugah hati para mad’u, uslub ini nampak pada sabda Nabi saw atas, ketika Nabi saw berkata kepada pemuda yang meminta izin untuk pergi berjihad: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” ia menjawab: “Ya” lalu Nabi saw bersabda“ Maka berjihadlah pada keduanya.”.

Hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaan berbakti kepada orang tua dan ia lebih utama daripada Jihad Tathawwu’ di jalan Allah, Ibnu Hajar berkata: “Pada hadits ini terdapat keterangan tentang keutamaan berbakti kepada orang tua, anjuran memuliakan hak orang tua dan pahala yang didapat ketika berbakti kepada keduanya.”[15], sehingga hadits ini sudah cukup untuk menjelaskan pentingya at-Targhib dalam berdakwah.

Referensi:
  1. Imam al-Qurtubi, Al-Jami li Ahkam al-Quran, Kairo, Dar al-Hadits, 2005.
  2. Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, tanpa tahun.
  3. Imam an-Nawawi, al-Minhaj Sarh Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1999, cet-VI.
  4. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Fiqih ad-Da’wah fi Shahih al-Imam al- Bukhari, 1421 H, cet-I.
  5. Imam Thahawi, Sarh Musykil Atsar, Beirut, Muasasah ar-Risalah, 1987.

[1] Lihat al-Musnad: 2/158.

[2] Lihat: Tahzib al-Asma’wa al-Lughat karangan an-Nawawi: 1/281, Siyar ‘Alam an-Nubala’ karangan az-Zahabi: 3/79-95 dan al-Ishabah fi Tamyiz as-Sahabah karangan Ibnu Hajar: 2/351.

[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu Al-Baari (Beirut, Dar Maktab Ilmiyyah, 1989) cet pertama: 6/140.

[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu Al-Baari (Beirut, Dar Maktab Ilmiyyah, 1989) cet pertama: 10/403.

[5] Imam Thahawi, Sarh Musykil Atsar(Beirut, Muasasah ar-Risalah, 1987)  5/563,  Ma’alim as-Sunan karangan al-Khatthabi: 3/378 dan al-Mufhim lima Askala min Talkhish Kitab Muslim karangan al-Qurtubi: 6/509.

[6] Qs. An-Nisa’: 36

[7] Qs. Al-An’am: 151

[8] Qs. Al-Isra’: 23

[9] HR. Bukhari dan lihat juga pada Imam al-Qurtubi , al-jami’ li Ahkam al-Quran (Kairo, Dar al-Hadits, 2005): 10/243

[10] HR Bukhari no: 527 dan Muslim no: 85

[11] HR Muslim Kitab al-Birr wa as-Shillah Bab Raghima Anfu man adraka Abawaihi  au Ahaduhuma inda al-Kibr wa lam Yadkhul al-Jannah 4/1978 no:2551.

[12] Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Fiqh Dakwah fi as-Shahih al-Imam al-Bukhari,  2/487.

[13] HR Muslim

[14] HR Bukhari no: 3436 dan Muslim no: 2550.

[15] Ibnu Hajar, Fath al-Baari (Beirut, Dar Maktab Ilmiyyah, 1989) cet pertama: 6/141

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *