Perlakuan kejam terhadap anak-anak atau child abuse, berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Batasan anak menurut WHO adalah semua orang dengan usia kurang dari 18 tahun, yang diperjelas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Terry E. Lawson, psikiater anak menyebutkan empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse dan sexcual abuse.[1]
Emotional abuse
Terjadi ketika si ibu setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk dan tidak ingin diganggu pada waktu itu, si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung secara konsisten. Si ibu yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse
Terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk ‘diam’ atau ‘jangan menangis’. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, dan seterusnya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.
Physical abuse
Terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu, jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse
Biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. (selesai).
Suci Wulansari menyebutkan klasifikasi child abuse berdasarkan bentuk perlakuan yang diterima:
- Penganiayaan fisik yaitu cedera fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.
- Kelalaian yang selain tidak disengaja juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan ekonomi, yang meliputi pemeliharaan tidak memadai, pengawasan kurang, kelalaian dalam mendapatkan pengobatan yang memadai dan pendidikan. Termasuk disini adalah menyuruh anak mencari nafkah sehingga putus sekolah.
- Penganiayaan emosional yaitu berupa pelecehan, penghinaan, makian, hardikan yang merendahkan, dan bahkan sampai tidak mengakui sebagai anak.
- Penganiayaan seksual yaitu memaksa anak melakukan aktivitas seksual yang dapat berbentuk oral genital, genital, anal/sodomi, termasuk inses.
- Eksploitasi termasuk disini adalah perdagangan anak, yang merupakan bentuk eksploitasi dalam aspek ekonomi misalnya dijadikan pengemis, pembantu rumah tangga, pengamen, maupun pekerja tanpa upah. Ekoploitasi anak dalam aspek komersial adalah dengan menjadikan anak sebagai pelacur, pelaku pornografi, sampai pada mail ordered bride (dikawinkan dengan orang yang tidak dikenal di luar negeri).
Semua tindakan kekerasan kepada anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua, akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif. Dengan sangat mengerikan Lawson menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental (mental disorders) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.
Tindakan pencegahan terjadinya kekerasan pada anak sebaiknya dimulai sejak dini, dimulai dari dari kotak antara ibu dengan anak sejak dalam kandungan dan setelah lahir. American Academy of Pediatrics merekomendasikan orang tua untuk mencari cara lain selain memukul dalam mendisiplinkan anaknya, karena hal itu dapat mengakibatkan kecenderungan perilaku agresif pada anak, serta meningkatkan risiko terjadinya tindakan kriminal dan penggunaan zat terlarang pada anak saat dewasa.
Upaya Pencegahan Kejahatan Seksual
Prof. Dadang Hawari dalam bukunya Kekerasan Seksual pada Anak yang diterbitkan oleh UI-Press banyak menyebutkan contoh kekerasan seksual di Indonesia seperti kasus incest (hubungan seksual sedarah), guru dan murid bahkan ustadz vs santri, buku ini terbit tahun 2013, sudah heboh seperti ini, bagaimana sekarang, lebih heboh lagi bahkan LGBT hampir disetujui mayoritas fraksi di DPR.
Kejahatan atau kekerasan seksual pada anak akhir-akhir ini mencuat ke permukaan dan menghentak kesadaran kita semua. Seorang Dokter yang menangani kasus HIV menceritakan kasus kakak beradik yang melakukan inces dan homo tanpa diketahui orang tuanya, ketika tahu hal ini, sang ibu pingsan berkali kali, sang ayah marah besar dan bersumpah tidak akan mengubur anak itu kalau mati. Kasus lain yang lebih menggemparkan, masih banyak lagi.
Berikut ini beberapa pencegahan kejahatan seksual yang disarikan dari buku Prof. Dadang Hawari, masih bersifat umum namun relevan diterapkan.
Pencegahan di Rumah
- Kamar tidur orang tua dan anak harus terpisah. Anak laki laki terpisah dengan anak perempuan, dan pakaian tidur anak perempuan harus tertutup auratnya.
- Hindari keberadaan ayah atau orang laki-laki dewasa berduaan dengan anak perempuan di tempat yang sepi.
- Hindari ayah atau orang laki-laki dewasa memegang-megang, memeluk, mencium dan memangku anak perempuan.
- Hindari ayah atau orang laki-laki dewasa meraba-raba bagian payudara, paha, bokong sampai pada alat kelamin anak perempuan.
- Hindari tayangan atau gambar yang bersifat pornografi dan pornoaksi.
- dan lain-lain
Pencegaha di Sekolah
- Hindari suasana berduaan di tempat sepi guru dengan murid perempuannya.
- Hindari sikap guru yang berperilaku “genit” dan suka “menggoda” anak murid.
- Hindari sikap guru yang menjanjikan angka raport bagus dan naik kelas, asal anak didik mau melakukan hal yang tidak senonoh.
- Hindari murid menyimpan gambar-gambar pornografi dan pornoaksi di HP atau laptonya.
- Dan lain-lain
Pencegahan di Masyarakat
- Memberitahukan kepada anak untuk menghindari pemberian orang lain yang tidak dikenal berupa uang, permen, mainan atau makanan dan lain-lain.
- Orang tua hendaknya tahu kemana anaknya bermain atau bepergian. Izin orang tua dan pengawasan orang tua terhadap anak mutlak diperlukan.
- Berpakaian anak harus sopan, tertutup aurat, agar tidak mengundang hasrat seksual bagi orang lain yang melihatnya.
- Hindari anak dari tempat-tempat rawan.
- Dan lain-lain.
Pengawasan orang tua terhadap anak
Orang tua harus mempunyai waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Ungkapan menyebutkan “Warisan yang paling berharga dari orang tua kepada anak adalah waktu beberapa menit setiap harinya”.
- Perhatikan perubahan-perubahan sikap dan perilaku anak yang tidak biasa, misalnya menyendiri, pendiam dan murung.
- Buat sikap keterbukaan anak, berani bicara tentang apa-apa yang dialaminya.
- Perhatikan cara jalan anak, apakah anak merasa kesakitan di bagian alat vital atau dubur.
- Anak harus diberitahu bagian-bagian tubuh yang tidak boleh dipegang oleh orang lain.
- Anak dilarang melihat dan memegang aurat orang lain.
- Dan lain-lain.
Sikap Orang Tua Menghadapi kasus Kejahatan Seksual
- Periksakan anak ke dokter, minta dibuatkan visum.
- Lapor ke polisi, sebaiknya polisi wanita yang menanganinya.
- Lapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
- Lapor ke Komnas Perempuan
- Lapor ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kejahatan dan kekerasan seksual.
- Lapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
- Dan lain-lain.
Child abuse merupakan masalah penting dan hendaknya menjadi perhatian semua pihak karena anak adalah generasi penerus sehingga menyangkut masa depan bangsa. Dampak yang timbul pada korban child abuse berpengaruh terhadap kualitas tumbuh kembang anak, sehingga berpotensi menyebabkan lost generation dan menimbulkan kerugian materi dan non materi keluarga, masyarakat dan negara.
Sumber:
Anak Indonesia Teraniaya, MIF Baihaqi, PT. Remaja Rosdakarya
Kekerasan Seksual pada Anak, Prof. Dr. Dr. Dadang Hawari, UI-Press 2013
Jurnal: Child Abuse, Fenomena dan Kebijakan di Indonesia, Suci Wulandari
[1] Tery Lawson, The Consequences of “Not Good Enough” Parenting. NSW: Spencer, tanpa tahun, hal. 13-15