Kepribadian Tidak Berkembang Karena Tekanan

Kepribadian dan kematangan akal berpikir secara kritis dan analitis tidak datang begitu saja. Diperlukan kemampuan akal untuk menimbang suatu maklumat dan ilmu serta mengintegrasikannya dengan perlahan dan dijahit sulam memaknai sebuah ilmu yang dicapai.

Buya Hamka pernah mengatakan dalam salah satu karya bukunya berjudul ‘Pribadi Hebat’ yaitu “Kepribadian seseorang tidak akan berkembang melalui tekanan”. (Gema Insani Press, 2014, hal. 6)

Jika perkataan Buya Hamka ini dibaca tanpa melihat makna yang tersirat, kita akan jadikan hujah untuk tidak menerima ujian dan tekanan dalam kehidupan. Sedangkan dalam Al-Quran surat Al-Mulk, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah merumuskan garis kehidupan manusia adalah ujian siapa yang paling baik amalnya.

Ujian dan tekanan yang datang dalam hidup bukan bermaksud melemahkan seperti jika kita memahami secara literal kata Buya Hamka ‘tidak berkembang’. Akan tetapi, ujian yang dimaksud oleh Buya Hamka adalah proses adaptasi diri terhadap ujian tersebut, baik sebagai tekanan atau loncatan untuk mengarungi hidup dengan lebih baik.

Dari sini kita fahami, jika ujian kita anggap sebagai tekanan, secara tidak langsung kita merendahkan potensi diri untuk mengeksplorasi lebih banyak mutiara ilmu yang akan didapat dalam kehidupan. Sebaliknya, jika ujian kita anggap sebagai batu loncatan, secara tidak langsung kita menilainya sebagai anugerah, ujian sebagai anugerah demi anugerah dan menjadikan diri berjiwa besar menghadapi ujian.

Ada keadaan yang membedakan antara orang yang punya keimanan kepada Allah dan orang yang tidak punya keimanan kepada-Nya. Orang beriman senantiasa merasa kurang dan memiliki batasan diri, maka dia selalu mengikat dirinya kepada kekuasaan Allah dalam menghadapi ujian.

Orang yang bersandar kepada Allah menyadari bahwa  Allah yang menilai kita bukan manusia, “kehidupan ini diatur oleh Allah bukan tunduk dengan aturan manusia” , maka harus memegang prinsip hidup yang tegar tetap berbuat kebaikan. Tidak kandas hanya karena omongan orang. Tidak melempem hanya karena kritikan orang iri hati. Tetap berbuat positif untuk memakmurkan bumi. 

Baca juga:   Jenazah Orang Beriman dan Pendosa

Menurut Hamka, ada beberapa hal yang dapat membuat kepribadian seseorang menjadi kuat, yaitu [1] Pandangan hidup, [2] Ikhlas, [3] Bersemangat dan [4] Berperasaan halus.

Pandangan Hidup

Menurut Hamka, “Linkungan, keturunan, pergaulan dan pengalaman membentuk pandangan hidup seseorang sehingga dia melalui jalannya sendiri dalam hidup yang tidak serupa dengan jalan hidup orang lain”.

Ikhlas

Menurut Hamka, “Kata Ikhlas yang terkenal berarti suci, bersih dari kotoran. Ibarat emas yang asli, tidak bercampur sedikitpun dengan tembaga atau loyang yang disepuh emas. Jika diartikan dalam bahasa kita, lebih tepat disebut jujur karena mengenai hati”.

Bersemangat

Menurut Hamka, “Semangat yang berapi-api adalah sebagian dari sikap berani yang timbul karena dorongan percaya atas kekuatan diri sendiri. Namun, jika semata-mata bersemangat saja pengetahuan tentang hal yang akan dihadapi tidak ada, tidak akan berhasil”.

Berperasaan Halus

Menurut Hamka, “Kehalusan perasaan adalah hasil pribadi yang kuat. Setengahnya karena diwarisi dan setengahnya karena luas pergaulan, banyak pengalaman , dan banyak melihat negeri orang lain sehingga dapat membandingkan masyarakat dan lingkungan orang lain. (Gema Insani Press, 2014, hal. 127-156)

Saya tambahkan juga keterangan tentang pentingnya melawan nafsu fujur dalam diri yang sering disampaikan Ust. Arifin Jayadiningrat.

Dalam jiwa setiap insan ada yang mengajak untuk kebenaran yaitu Jiwa takwa, jiwa yang suci dan ada unsur kotor dalam jiwa yang disebut Jiwa fujur. Inilah penyebab adanya maksiat karena mengikuti keinginan sendiri yang bertentangan dengan akal.

Nabi Ibrahim Alaihissalam dan keluarganya menjadi contoh kepasrahan dan sikap berserah diri total kepada Allah Subhanahu Wata’ala, ini digerakkan dengan rasa kecintaan kepada Allah yang melebihi cinta kepada ciptaanNya.

Baca juga:   Rahasia Panjang Umur [Buya Hamka] 

Nabi Ibrahim suri tauladan kita, mampu menaklukan nafsunya dengan mentaati perintah Allah Subhanahu Wata’ala. Mampu mencintai Allah Subhanahu Wata’ala diatas segalanya, sehingga pasrah , tunduk dan berserah diri total kepada Allah.

Sudahkah kita menjadikan Nabi Ibrahim dan keluarganya sebagai figur kita dalam perilaku sehari hari ?. Inilah rahasia dalam keseharian kita, tidak pernah lepas menyebut nama Nabi Muhammad sallallahu ’alaihi wasalam dan Nabi Ibrahim dalam salat kita pada posisi duduk tasyahud akhir yaitu agar kita mengikuti jejak beliau. Menundukkan nafsu kita kepada Allah. Bukan kita tunduk kepada nafsu ini.

Rasullah sallallahu ’alaihi wasalam bersabda ;

“Tidaklah sempurna keimanan seseorang , sampai ia jadikan hawa nafsunya tunduk dan taat kepada semua yang aku bawa ( ajaran Islam )”

Diagnosa diri kita, apakah sudah sempurna iman kita dengan cara menaklukkan nafsu kita, dan mengikuti apa yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis, atau sebaliknya mengikuti keinginan diri dengan mengabaikan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *