Kisah Abu Hanifah Berdebat dengan Ateis (Dahriyyah)

Golongan ateis telah menyerang Islam sejak lama. Dahulu terkenal dengan istilah Dahriyyah.

Al-Dahriyyah dari kata al-dahr artinya masa atau waktu. Mereka meyakini bahwa yang mematikan makhluk tidak lain hanyalah karena masa atau waktu, karena itulah mereka disebut dengan al-Dahriyyah.

Dalam al-Munkidz min al-Dhalal, imam al-Ghazali mengidentifikasi kelompok ini. Mereka adalah sekelompok filosof zaman dahulu yang menolak kewujudan Allah Yang Maha Mencipta Alam dan Yang Maha Kuasa. Mereka meyakini bahwa alam ini senantiasa ada dengan sendirinya  tanpa ada yang menciptakan. Mereka ini adalah kelompok zindiq (Imam al-Ghazali, al-Munkidz Min al-Dhalal, hal. 35).

Sayangnya, karya ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWJ) terdahulu yang secara khusus membahas tentang ateis tidak ditemukan ataupun mungkin hilang sehingga tidak sampai ke tangan generasi hari ini.

Kebanyakan kisah mengenai penyimpangan golongan ateis dikutip secara terpisah dari berbagai kitab yang datang kemudian. Padahal, masalah ateis Muslim pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan.

Dalam hal ini, dialog yang terjadi antara Imam Abu Hanifah (w. 150 H/772 M) dengan golongan ateis atau al-Dahriyyun merupakan salah satu kisah masyhur yang direkam oleh banyak ulama Islam dengan redaksi cerita yang berbeda-beda.

Ketika Imam al-Razi dan Imam Ibn Kathir membahas ayat 21 Surah al-Baqarah, mereka menukilkan sebuah kisah dialog Abu Hanifah dengan golongan ateis secara ringkas, yang diriwayatkan dari Imam Malik. Kisah dialog Abu Hanifah seperti ini juga dinukilkan dalam kitab Jawi ulama Tanah Melayu.

Abu Hanifah menceritakan bahwa terdapat seorang ilmuwan besar yang berpemahaman ateis dan kafir dari bangsa Romawi yang sering mengadakan perdebatan dengan ulama Islam pada saat itu.

Banyak ulama telah dikalahkan olehnya kecuali seorang, yaitu Imam Hammad bin Abi Sulayman, guru dari Abu Hanifah. Walaupun masih kecil, gurunya meyakini Abu Hanifah dapat menggantikan tempatnya untuk berdialog dengan ateis tersebut.

Pada hari yang ditetapkan, manusia berkumpul di masjid, orang ateis itu naik ke atas mimbar dan ingin mengadakan perdebatan dengan ulama Islam.

Katanya: “Siapakah yang akan menjawab soal-soalku?”

Abu Hanifah lantas bangun dan menjawab: “Nyatakan pertanyaanmu. Orang yang mengetahuinya akan menjawab.”

Ateis itu bertanya: “Siapakah engkau ini wahai anak kecil? Engkau berbicara kepadaku sedangkan orang-orang yang mempunyai kemegahan dan orang-orang yang tua, berserban besar, berpakaian jubah labuh dan berlengan baju yang luas tidak berupaya menandingiku. Apalagi engkau seorang yang masih kecil, mentah dan hina?”

Baca juga:   Cara Menghapus “Files in hidden subdirectories” di Cpanel

Abu Hanifah menjawab: “Allah SWT tidak memberikan ketinggian dan kebesaran kepada orang yang berserban besar, berpakaian penuh kemegahan dan berlengan baju yang luas, tetapi Dia memberikannya kepada para ulama.” Kemudian beliau membaca ayat 11 Surah al-Mujadalah.

Ateis tersebut terus bertanya: “Apakah Allah itu wujud?”

Abu Hanifah menjawab: “Ya.”

Ateis bertanya: “Di mana?”

Abu Hanifah menjawab: “Allah tidak bertempat.”

Ateis bertanya: “Bagaimana yang wujud itu tidak bertempat?”

Abu Hanifah menjawab: “Dalilnya ada pada dirimu sendiri.”

Ateis bertanya: “Di mana?”

Abu Hanifah bertanya kembali: “Bukankah kamu ada nyawa?”

Ateis menjawab: “Ya, memang.”

Abu Hanifah bertanya: “Di manakah tempat nyawa atau roh kamu itu? Di kepalamu kah? Atau di perutmu kah? Atau di kakimu kah?”

Ateis tersebut tercengang dan tidak tahu menjawab pertanyaan tersebut.

Kemudian Abu Hanifah terus bertanya: “Bukankah air susu itu mempunyai minyaknya?”

Ateis menjawab: “Ya.”

Abu Hanifah bertanya: “Di manakah tempat minyak itu di dalam susu? Di sebelah atas susu atau di sebelah bawahnya?”

Sekali lagi ateis tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan Abu Hanifah.

Abu Hanifah berkata: “Sebagaimana roh itu tidak bertempat di tubuh badan dan minyak tidak bertempat di dalam susu, maka begitu jugalah Allah SWT tidak bertempat di alam ini.”

Ateis bertanya lagi: “Apa yang ada sebelum Allah dan apa pula setelah-Nya?”

Abu Hanifah menjawab: “Tiada sesuatu sebelum Allah dan tiada sesuatu setelah-Nya.”

Ateis berkata: “Bagaimana dapat digambarkan sesuatu yang wujud itu tidak ada sesuatu mendahuluinya dan tidak ada sesuatu setelahnya?”

Abu Hanifah menjawab: “Dalilnya ada pada anggota badanmu sendiri.”

Ateis bertanya: “Di mana?”

Abu Hanifah menjawab: “Tidak ada sesuatu pun mendahului ibu jari tanganmu, dan tiada sesuatu pun yang ada setelah jari kelingkingmu. Begitu jugalah dengan Allah SWT. Tiada sesuatu sebelum-Nya dan tiada sesuatu setelah-Nya.”

Ateis itu berkata lagi: “Tinggal satu soal lagi yang ingin aku kemukakan kepadamu.”

Abu Hanifah menjawab: “Kemukakanlah, insya Allah aku akan menjawabnya.”

Ateis itu segera bertanya: “Apakah yang dilakukan oleh Allah sekarang ini?”

Baca juga:   Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Miskawaih

Abu Hanifah menjawab: “Cara engkau ini tidak tepat. Sepatutnya orang yang menjawab mesti berada di atas mimbar dan orang yang bertanya berada di bawah. Aku akan menjawab pertanyaanmu jika aku berada di atas mimbar dan engkau turun ke bawah.”

Ateis itu pun turun dan Abu Hanifah pun naik ke atas mimbar tersebut. Setelah duduk, ateis itu mengemukakan kembali pertanyaan tadi dan lantas dijawab oleh Abu Hanifah:

“Inilah yang Allah SWT sedang lakukan sekarang. Dia menggugurkan yang batil seperti kamu dari atas ke bawah, dan Dia menaikkan yang benar sepertiku dari bawah ke atas.” Ateis itu tidak mampu menjawab dan kalah.

Sebuah kisah yang lain melaporkan bahwa Abu Hanifah telah diundang oleh golongan ateis untuk berdialog tentang Tuhan.

Pada hari dan waktu yang ditentukan, sosok Abu Hanifah tidak terlihat dan mereka hampir putus asa menantinya. Tiba-tiba Abu Hanifah muncul dan meminta maaf atas keterlambatannya serta menjelaskan sebab beliau terlambat.

Abu Hanifah berkata:

“Sejak pagi tadi aku berada di tepi sungai, menunggu kedatangan tukang perahu yang akan menyeberangiku. Namun setelah lama aku menunggu, dia tidak datang juga. Ketika itu aku melihat sejumlah papan terapung-apung di atas air. Lama-kelamaan papan-papan itu saling menyatu dan membentuk sebuah sampan. Aku pun segera menaiki dan mendayungnya menuju ke tempat kalian ini.”

Mendengar cerita Abu Hanifah tersebut, para ateis berkata: “Kamu mengada-ada, wahai Abu Hanifah. Bagaimana mungkin papan-papan itu membentuk sampan dengan sendirinya?”

Abu Hanifah menjawab: “Jika kalian tidak percaya papan-papan itu dapat membentuk sampan dengan sendirinya, lalu bagaimana mungkin aku percaya bahwa alam semesta yang begitu teratur dan indah ini tercipta dengan sendirinya, tanpa adanya Pencipta Yang Maha Agung?”

Mendengar jawaban itu, para ateis terdiam dan tidak mampu berkata-kata lagi. Hujah mereka telah patah oleh Abu Hanifah dalam sekejap mata. Akhirnya, golongan ateis ini bertobat di tangan Abu Hanifah.

Selain itu, Allah SWT juga merekam beberapa kisah umat terdahulu, di antaranya kisah Nabi Ibrahim AS dengan kaumnya yang kafir. Firman Allah SWT yang artinya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’

Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Surah al-Baqarah [2]: ayat 258).

Baca juga:   Dunia Dimulai dari Tulisan

Ayat ini membuktikan bahwa tidak ada manusia yang dapat menafikan keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan Maha Pencipta.

Catatan

(1) Penulis tidak berhasrat untuk memperpanjang pembahasan berkaitan topik ini.

Berikut antara buku yang membahas tentang sejarah ateis dalam Islam: ‘Abd al-Rahman Badawi. 1980. Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islam. Beirut: Muassasah al-‘Arabiyyah.

Dalam pendahuluan buku ini, penulis menyenaraikan empat prinsip ateis Muslim bagi membedakan dengan ateis Barat, yaitu:

  1. Kecenderungan penggunaan akal (rasionalisme) sebagai penguasa serta penentu pertama dan terakhir, di mana tidak ada yang berhak menolak serta membatalkan keputusannya terhadap segala sesuatu.
  2. Berpegang dengan ide yang menyatakan bahwa manusia berkembang secara progresif dan berjalan terus menerus, termasuklah perkembangan dalam medan ilmu.
  3. Kecenderungan manusia untuk mengarahkan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang murni (humanisme) dalam kaitan hubungannya dengan nilai-nilai ketuhanan dan kenabian.
  4. Tuntutan terhadap kebebasan (liberalisme) dengan segala harganya tanpa menghiraukan kesan yang mungkin timbul dari tuntutan ini.

(2) Golongan ateis dalam kisah ini hanya dikenal sebagai golongan dahri (dahriyyah) atau golongan zindik (zanadiqah). Bahkan dalam tulisan yang lain, kebanyakan kisah hanya menisbahkan kepada golongan ateis tanpa menamakan langsung individu ateis tersebut.

(3) Walaupun sebagian sarjana mempertikaikan kesahihan kisah ini, namun ia diriwayatkan oleh banyak ulama yang berwibawa dalam kitab-kitab mereka seperti al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad bin ‘Umar. 1981. Tafsir al-Fakhr al-Razi: Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr. Jld. 2. Hlm. 108; Ibn Kathir, Abi al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Kathir. 1999. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Tahqiq: al-Salamah, Sami bin Muhammad. Riyadh: Dar Thaibah. Jld. 1. Hlm. 197.

Artikel terkait

Buku Jumal

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *