Komparasi antara Kenikmatan Nikah Mut’ah dan Realita Pelacuran

Komparasi antara Nikah Mut’ah dan Pelacuran – Nikah Mut’ah alias nikah kontrak, belakangan ini ramai diperbincangkan di forum-forum islam sampai facebook yang kemudian menjadi polemik dan bahan perdebatan antara yang pro (sunni) dan kontra (syi’ah). Tidak hanya ulama dan cendekiawan yang ikut sibuk membahas dan menerangkan istilah mut’ah, berbagai kalangan dari penulis dan mahasiswa islam juga urun rembuk membahasnya. Berikut artikel yang membahas Nikah Mut’ah dan prakteknya di negara asalnya, Iran.

Salah seorang ulama Syiah yang dianggap sebagai wakil Imam Mahdi yaitu Khomeini, menulis dalam kitabnya ‘Kasyful Asrar’ sebuah judul “Penyimpangan Umar dari Al-Qur’an” Lalu ia mengatakan: “Sesuai dengan khabar yang mutawatir dari Ahlul Bait dan hadits yang shahih, Jabir bin Abdillah Al-Anshari menukil dalam Sahih Muslim dari pengikut sunni bahwa mereka mengatakan: ‘Kami dahulu –pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar– melakukan Mut’ah, sampai Umar melarangnya.”

Artinya, Nikah Mut’ah yang dibolehkah oleh Allah dan Rasul-Nya, dilarang oleh Umar. Dengan itu Umar telah menyeleweng dari Al-Qur’an. Begitulah kesimpulan yang ingin dibangun oleh Khomeini.

Untuk mengklarifikasi pernyataan di atas akan kita kaji hal ini dengan data-data yang lengkap. Hal ini sangat penting karena minimnya data akan berefek pada pikiran yang akhirnya berperan membuat kesimpulan yang keliru terhadap suatu hal.

Khomeini pada redaksi di atas mengemukakan riwayat dari sahabat Jabir yang mendengar Umar melarang nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Hadits-hadits tersebut berbunyi.

  1. Dari Abu Zubair, saya mendengar Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan, dulu kami melakukan nikah mut’ah dengan bayaran segenggam korma dan tepung, selama beberapa hari semasa hidup Rasulullah SAW, dan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, sampai kemudian Umar melarangnya, berkaitan dengan Amr bin Huraits. (Riwayat Muslim, hadits no. 3482).
  2. Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ mengatakan: datang kepada kami utusan Rasulullah SAW lalu mengatakan: Rasulullah SAW telah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah. (Shahih Muslim, hadits no. 3479).
  3. Atha’ mengatakan: Jabir datang ke kota Makkah untuk melakukan ibadah umrah, lalu kami berkunjung ke rumahnya lalu dia ditanya tentang beberapa hal di antaranya tentang mut’ah lalu dia menjawab: Ya, kami melakukan nikah mut’ah pada zaman Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar. (Shahih Muslim, hadits no. 3481).

Namun setelah hadits-hadits dari Jabir di atas, dalam Shahih Muslim kemudian di cantumkan hadits dari Ali bin Abi Thalib yang melarang nikah Mut’ah.

Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak saat perang Khaibar. (Shahih Muslim, riwayat no. 3497).

Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib, dia mendengar kabar bahwa Ibnu Abbas memperbolehkan nikah mut’ah, lalu Ali mengatakan: tunggu dulu wahai Ibnu Abbas, sungguh Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan daging keledai jinak saat perang Khaibar. (Shahih Muslim, hadits no. 3500).

Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) , dia mendengar Ali bin Abi Thalib mengatakan pada Ibnu Abbas terkait nikah mut’ah, bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan daging keledai jinak saat perang Khaibar. (Shahih Muslim, hadits no. 3501).

Dan dalam kitab Mut’ah terdapat riwayat dari Yahya bin Yahya dari Malik sebagai berikut: Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari Ali bin Abi Thalib bahwa “Rasulullah melarang nikah Mut’ah pada hari khaibar, dan melarang makan daging keledai jinak.”

Baca juga:   Anggota Mufti Mesir: Merayakan Kelahiran Nabi Isa as Dibernarkan dan Berpahala

Dengan demikian terbantahlah pernyataan Khomeini bahwa Umar telah menyeleweng dari al-Quran karena Umar lebih dulu mendengar pengharaman nikah Mut’ah dari Nabi saw dan Ali mengikuti pendapat Umar bin Khatab.

Dan kebohongan orang Syiah yang paling dahsyat adalah kebohongan dengan menggunakan nama Rasulullah saw. Melalui hadits-hadits palsu, mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang meninggalkan dunia ini tanpa melakukan kawin mut’ah, nanti di hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan tanpa hidung”.

Sedang hadits palsu yang lebih dahsyat lagi adalah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang melakukan kawin mut’ah satu kali akan diselamatkan sepertiga dari tubuhnya dari api neraka, yang bermut’ah dua kali akan diselamatkan dua sepertiga tubuhnya dari api neraka, sedang kalau bermutah tiga kali akan diselamatkan seluruh tubuhnya dari api neraka.”.[1]

Komparasi antara nikah Mut’ah dan pelacuran

Jika kita melihat kita-kitab Syiah yang menerangkan Mut’ah akan kita temukan kenikmatan-kenikmatan nikah Mut’ah ini, lalu apakah nikah model ini sama dengan pelacuran? Kami menyerahkan kepada pembaca untuk membandingkan apakah nikah Mut’ah itu sama persis dengan pelacuran, sedikit sama atau tidak sama sekali yang dalil-dalilnya telah kami rujuk dari kitab-kitab Syiah langsung. It’s up to you.

[1] Nikah Mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita, begitu juga pelacuran.

Abu Abdillahberkata : “Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 452).

Dan tidak mengherankan kalau di Iran telah lahir 250.000 bayi tanpa bapak gara-gara nikah Mut’ah ini (lihat buku “Mengapa Kita Menolak Syiah” di footnote no 90 hal. 70)

[2] Batas minimal “mahar” dalam nikah Mut’ah.

Abu Abdillahberkata : “Nikah Mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 455).

[3] Yang penting dalam nikah Mut’ah adalah waktu dan mahar.

Dalam nikah Mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam makanan berupa tepung, gandum atau korma. (Lihat: Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 457).

[4] Batas waktu nikah Mut’ah.

Dari Khalaf bin Hammad dia berkata: “Aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu Mut’ah? Apakah diperbolehkan Mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan badan?” Jawabnya: “Ya”. (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 460).

[5] Boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.

Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, “Seorang laki-laki nikah Mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa Mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa Mut’ahnya, lalu nikah Mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa Mut’ahnya sampai tiga kali dan nikah Mut’ah lagi dengan 3 laki-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama?” Jawab Abu Ja’far: “Ya, dibolehkan menikah Mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita Mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.” (Al-Kafi, jilid. 5, hal. 460).

[6] Tidak perlu bertanya dalam menyelidiki status si wanita.

Dari Abban bin Taghlab berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.” Jawabnya: “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 462).

[7] Tidak ada hubungan warisan dengan wanita yang dinikahi secara Mut’ah.

Ayatullah Udhma Ali Al-Sistani dalam bukunya menuliskan: Masalah 255: “Nikah Mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.” (Lihat: Minhaj Ash-Shalihin, Jilid. 3, Hal. 80).

[8] Tidak ada Nafkah bagi wanita yang dinikahi secara Mut’ah.

Ayatollah Ali Al-Sistani mengatakan: Masalah 256: “Laki-laki yang nikah Mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri Mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad Mut’ah atau akad lain yang mengikat.” (Minhaj Ash-Shalihin, Jilid. 3, hal. 80).

Praktek Kawin Muth’ah di negara Iran

Dalam Majalah Ulumul Quran no.4 vol VI tahun 1995 mengangkat masalah Syiah dengan cover yang berjudul “Syiah di Indonesia antara Mitos dan Realita”. Pada halaman 45-85 dimuat tulisan Sahla Haeri, salah seorang mahasiswa Pasca Doktoral di pusat studi-studi Islam Timur Tengah Universitas Harvard, tulisan tersebut membahas secara khusus masalah nikah mut’ah berdasarkan hasil penelitiannya di Iran tahun 1981-1982.

Baca juga:   Induk Dari Golongan Yang Sesat

Berikut petikannya:

“……. Orang Syiah tetap berpendirian bahwa apa yang dibolehkan, halal, oleh Rasul adalah dihalalkan hingga hari kebangkitan, kiamat, dan sesuatu yang telah dilarang, haram oleh Rasulullah maka tetap diharamkan hingga hari kiamat, kebangkitan. Adat perkawinan dalam sejarahnya menimbulkan kontroversi dan meskipun secara hukum dibolehkan serta disetujui agama, agaknya nilai-nilai dan popularitasnya mengalami pasang surut secara periodik. Misalnya, sementara rezim Pahlevi mengambil kebijaksanaan untuk meninggalkan perihal nikah Muth’ah, rezim Islam dewasa ini justru telah mendorong praktik tersebut dan mengagungkan ideologi Islam karena keagresifannya serta pandangannya yang jauh ke depan tentang masalah-masalah seksualitas….”

“Secara ideologi, doktrin Syiah membedakan perkawinan temporer, mutah dari perkawinan permanen, nikah, dalam hal tujuan muth’ah adalah untuk memperoleh kesenangan seksual, istimta’, sementara nikah untuk mendapat keturunan….”

“….Perkawinan muthah akad personal yang berdasarkan kepada persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak bersuami, biasanya tanpa intervensi dari keluarga wanita. Suatu akad perkawinan muth’ah tidak memerlukan saksi-saksi dan juga tidak perlu tercatat. Lamanya kontrak perkawinan muth’ah adalah tergantung dari keinginan pasangannya……” (hal. 47)

Sahla Haeri selanjutya menjelaskan macam-macam sigheh (mut’ah) dalam tulisannya tersebut:

[1] Sigheh Seksual

“…..karena akad perkawinan sigheh relatif tidak menimbulkan noda bagi pria, praktek tersebut tidak terbatas kepada suatu kelas tertentu. Akan tetapi, faktor umum bagi pria yang memasuki perkawinan ini adalah afiliasi religius mereka. Diketahui bahwa semakin dekat seorang pria mengidentifikasikan diri dengan tatanan keagamaan, semakin besar kecenderungannya untuk melakukan sigheh. Karena itu, tidak mengherankan bila perkawinan sigheh khususnya populer di kalangan Mullah. Mayoritas pria yang dapat saya wawancarai, yang kebetulan para mullah, adalah mendukung kepercayaan ini”. (hal. 40)

[2] Perkawinan Percobaan

“Dengan menampilkan tema non seksual Sigheh, beberapa pemimpin rezim Islam sendiri telah menciptakan variasi lain tentang Sigheh, walaupun kata itu diganti dengan istilah “perkawinan percobaan”. Alasan ulama dan prosedur bagi perkawinan ini tercantum dalam teks agama sekolah lanjutan di Iran, dan diajarkan kepada pelajar-pelajar dari kelas 10 ke atas.

Mereka berpanutan kepada almarhum Ayatullah Muthahhari, Dr. Bahunar (mantan Perdana Mentri Islam) dan Gulyadih Gafuri (seorang anggota Dewan Perwakilan) yang berpendapat karena dorongan-dorongan seksual secara biologis adalah determinan, dorongan-dorongan tersebut tidak terhindar dan harus terpenuhi. Mereka mengatakan bahwa dalam konteks masyarakat kontemporer, perkawinan permanen adalah mahal, memaksa kalangan muda banyak bertanggung jawab yang tidak kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi mereka.

Pada saat yang sama mereka berpendapat tidak harus –dan tidak bisa- diharapkan menjalani “masa aksetisme”, melainkan mereka diinstruksikan untuk memanfaatkan perkawinan temporer atau untuk mempergunakannya sebagai suatu bentuk perkawinan percobaan” (hal. 80)

[3] Sigheh Kelompok

“Sigheh improvisasi par exelence, sigheh kelompok secara jelas merupakan suatu gabungan antara sigheh seksual dan non seksual. Dalam suatu wawancara dengan seorang Mullah di Qum, ia secara grafik menguraikan secara variasi sigheh ini. Suati sigheh keompok bisa dilakukan antara seorang wanita dengan beberapa pria, agaknya secara serial, namun kadangkala  juga dalam periode terbatas selama beberapa jam.

Dalam salah satu perjalanan Mullah tersebut ke Teheran (pada Desember 1981) ia dihadapi oleh sekelompok pemuda yang sedang berkumpul. Para pemuda itu mulai mengusik sang Mullah, dengan mengklaim bahwa Islam membatasi kesenangan manusia tidak membolehkan hubungan heteroseksualplural, seperti antara empat pria dan seorang wanita” (hal. 81)

[4] Sigheh Pertobatan

“Sebagai langkah pertama untuk “membersihkan”, paksazi, dekadensi Barat,  Pemerintahan revolusi Islam menggusur daerah pelacuran (red light, Sabr inu) di Teheran dan menangkap, memenjarakan dan juga menghukum sejumlah penduduk wanitanya, akan teta[i banyak yang lain yang dibawa ke rumah sitaan di Teheran untuk merehabilitasi dan purifikasi.

Uang mengalir dari mereka yang merasa simpatik dengan revolusi dan ingin membantu program-program revolusi tersebut. Dua di antara informan saya menyumbang sejumlah besar uang kepada pusat rehabilitasi itu dengan harapan dapat membantu wanita yang “terjerumus” untuk mengubah hidup mereka dan memulai dengan lebih baik.

Dengan menganggap bahwa keperluan finansial adalah penyebab di belakang prostitusi, pusat rehabilitasi tersebut menyediakan kamar dan makanan bagi pelacur dan sebagai imbalannya mengharapkan mereka dapat membantu berbagai pekerjaan di pusat rehabilitasi tersebut. Mereka dilarang meninggalkan pusat rehabilitasu tersebut dan terus diawasi oleh para pengawal revolusi, dengan harapan dengan adanya gemblengan yang intensif, mereka dapat direhabilitasi.

Baca juga:   Mengenal Syiah Lebih Dekat

Akan tetapi keberhasilan bisa diraih dan pertobatan akan tercapai ketika seseorang menjadi istri sigheh dari salah seorang pengawal revolusi atau seorang serdadu yang kembali dari perang Iran-Irak. Dalam bahasa metafora dan tidak terlalu halus, hal ini dikenal sebagai Ab-Itubih Rikhtan, yang artinya adalah kemerdekaan (pencucian) melalui pertobatan. Sementara dilaporkan bahwa beberapa wanita memilih cara ini untuk memperoleh keselamatan (di akhirat ?( banyak yang lainnya dipaksa berulangkali untuk melakukan perkawinan sigheh, banyak di antara mereka yang tidak menyukai cara ini.

Biasanya perkawinan sigheh itu jangka pendek, dan setelah itu menyelesaikan masa ‘iddahnya, perkawinan sigheh jangka pendek dilakukan untuk wanita tersebut dengan pengawal revolusi lain atau serdadu yang baru kembali lainnya. Alasan utama di belakang perkawinan ini adalah bahwa janda yang tidak terikat merupakan sumber godaan dan immoralitas. Karena itu untuk mencegah perbuatan dosa, perkawinan cara ini dilakukan”. (hal. 81-82)

[5] Sigheh Hukuman

“Begitu faksionalisme antara rezim Islam yang baru terbentuk dengan pihak oposisi menjadi jelas, pembersihan oposisi bersa-besaran dimulai. Karena banyak di antara mereka yang ditahan dan dipejarakan adalah wanita belasan tahun, rezim Islam dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika mereka dijatuhi hukuman sementara mereka masih perawan, menurut kepercayaan agama, mereka akan masuk surga. Karena itu sebelum dijauhi hukuman (hal ini dipercaya secara luas), para perawanremaja ini dipaksa melakukan sigheh dengan salah seorang sipir penjara. Dengan “menodai” pada perawan remaja ini, bukan hanya untuk merendahkan mereka tetapi juga untuk mencegah mereka ke surga.

Sigheh hukuman hampir merupakan antitesis terhadap Sigheh Pertobatan. Sementara pada Sigheh yang sati tindakan seksual dipercayai untuk “membersihkan” dosa wanita (sigheh pertobatan), sedangkan pada sigheh yang lain (sigheh hukuman) dipercayai untuk “menodai” kemurnian dan kepolosan” (hal. 82).

Sumber:

Haeri, Shahla. Law of desire: Temporary marriage in Shi’i Iran. Syracuse University Press, 2014.

Haeri, Shahla. “Law ofdesire, temporary marriage in Iran.” London: LB. Tauris. HaeriLaw of Desire: Temporary Marriage in Iran1989 (1989).

Wakin, J. (1990). Law of Desire: Temporary Marriage in Shi‘i Iran, by Shahla Haeri. (Contemporary Issues in the Middle East series.) xiii 256 pages, bibliography, index, glossary. Syracuse University Press, Syracuse1989. $39.95/$14.95. Middle East Studies Association Bulletin,24(2), 195-196. doi:10.1017/S0026318400023257

Catatan atas Jawaban lengkap Dr. O. Hashem tehadap Seminar Nasional Sehari Tentang Syiah yang diadakan tanggal 21 September 1997 di Aula Masjid Istiqlal oleh M. Amin Djamaluddin.

Majalah Ulumul Quran no.4 Vol IV tahun 1995.


[1] . Dipetik dari tafsir manhajus Shadiqin karya Mullah Fathullah Al-Kasasyani, bahasa persia juz: 2, hal, 489 dan hal. 492.

[2] Ali Sistani adalah marja’ (rujukan) syiah terbesar hari ini setelah meninggalnya al-Khu’i tahun 1413 H. Dia adalah orang Persia Iran yang bermukim di Negeri Arab, Najaf Irak. Asli Persia, tidak bisa berbahasa Arab. Dia terkenal dengan seruannya kepada Amerika untuk menjajah Irak, dan terkenal dengan fatwanya bahwa orang syiah harus membuka jalan selebar-lebarnya untuk pasukan AS dalam menyerang dan memasuki Irak. Dia yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan dan pembantaian ahlussunnah di Irak yang dilakukan oleh milisi-milisi Syiah yang loyal kepada Iran.

Sosok al-Sistani sendiri merupakan anak hasil mut’ah, berdasarkan biografinya yang tersebar dalam dunia maya bahwa ia dilahirkan di kota Masyhad Iran, ibunya sangat sering melakukan mut’ah untuk mendekatkan diri kepada Allah berdasarkan akidah mereka yang menyimpang. Setelah melahirkan putranya, al-Sistani, ibunya kebingungan, dari siapakah benih hasil mut’ah itu ia nasabkan. Maka ia memutuskan untuk pergi ke Hauzah (semacam pesantren) di kota Qum yang disucikan untuk meminta fatwa. Maka mufti besar yang menjadi rujukan utama, Sayyid Husain al-Thabathaba’i memberikan fatwa untuk mengundi nama-nama pria yang telah melakukan mut’ah dengannya. Setelah diundi, keluarlah nama Sayyid Muhammad Baqir untuk menjadi ayah al-Sistani di hadapan manusia. Itu terjadi pada tahun 1930.

[3] Hauzah, istilah untuk semacam perguruan agama, di Indonesia atau kalangan sunni dikenal dengan ma’had atau pesantren.

 

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

  1. hadis yg mengatakan Imam Ali ibni Abi Thalib menyatakan nikah mut’ah diharamkan adalah direka oleh sahabat dulu2..mereka mgunakan nama Ali.

    Zaman setelah kewafatan rasul byk berlaku perubahan..pemalsuan hadis dan riwayat.. tgok sndiri mngapa ada hadis dari Umar yg membuat pengakuan dy mharamkan mut’ah disamping secara tdk langsung dia mengaku ketika zaman Rasul dan Abu Bakar mut’ah dihalalkan. dan ada pula hadis yg kononnya dari Ali menyokong umar..

    sebagai bukti pemalsuan yg dilakukan oleh sahabat yg x setia ialah:

    Kita akan jumpa dalam kitab muktabar sunni yg merakamkan hadis berkenaan Tasbih Fatimah Az-Zahra..
    Yaitu Subhanallah 33x Alhamdulillah 33x dan Allahuakbar 34x. . tapi yg diamalkan pada masa sekarang ialah Subhanallah 33x Alhamdulillah 33x dan Allahuakbar 33x. .

    ia diamalkan kerana menurut suni ada riwayat yg menyatakan untuk membaca masing2 sebanyak 33x.

    Sedangkan yang Allah ajarkan kpd Nabi supaya diajar kpd Fathimah ialah Subhanallah 33x Alhamdulillah 33x dan Allahuakbar 34x.. Mengapa ada pula riwayat menyuruh mbca masing2 33x. Mengapa perlu ada perbezaan antara fathimah dan org lain. Bukankah setiap ibadah dan suruhan yg nabi perintahkan adalah suruhan Allah. Dan suruhan Allah adalah sama untuk semua umat Islam.. tapi di sini mengapa berbeza..mengapa utk fathimah Allahuakbar 34 x..tetapi utk org lain 33 x..

    Bukanlah saya nak menuduh suni bahawa suni mengatakan tdk boleh mbca Allahuakbar 34x..mesti bolehkan. sebab itulah yg diajarkan oleh Allah kpd nabi. tapi, soalnya sekarang mengapa ada riwayat menyuruh utk mbca Allahuakbar 33x.. Dan jawapannya..tak lain tak bukan hanyalah kerana itu adalah riwayat palsu. . yang sengaja direka2 oleh sahabat yg tak setia..

    Seandainya kata2 saya benar maka ia adalah daripada Allah..jika salah ia drp saya sendiri..moga Allah memimpin saya..Ilahi Ameen….

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *