Konsep Islam tentang Wanita

Wanita merupakan salah satu kelompok dari makhluk Allah SWT yang paling banyak mendapat sorotan dan perhatian. Karena itu, banyak sekali buku yang telah ditulis oleh para ulama tentang wanita, bahkan di dalam Al-Quran ada satu surat yang dinamai dengan An-Nisa yang artinya wanita. Disamping itu, kita juga mengenal adanya gerakan wanita yang memperjuangkan hak-hak wanita, emansipasi wanita, atau disebut juga pada masa sekarang dengan kesetaraan gender.

Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi kita, apalagi para muballigh untuk memahami bagaimana konsep Islam tentang wanita agar kita tidak salah paham terhadap wanita serta tidak bingung dengan sepak terjang gerakan perjuangan emansipasi wanita. Dr. Yusuf Qarhawi dalam pengantar buku Qadhaya al-Mar’ah yang ditulis oleh Syekh Muhammad al-Ghazali menyatakan, “Ada dua macam tradisi yang menyelusup ke dalam Islam. Pertama, tradisi yang diwariskan sejak masa kemunduran peradaban Islam, saat ajaran-ajaran yang benar yang dibawa Nabi saw telah tersembunyi dan digantikan oleh tradisi yang dibuat oleh pikiran dan nafsu manusia. Kedua, tradisi yang datang bersamaan dengan pergumulan pemikiran dan penjajahan peradaban. Tradisi ini merupakan tradisi yang berbeda dengan tradisi yang saat ini sedang berkuasa. Yang pertama bermaksud memenjarakan, dan yang kedua ingin menelanjanginya. Keduanya sangat bertentangan dengan fitrah dan wahyu.”

Salah satu produk buruk dari westernisasi yang merasuki dunia adalah kapitalisasi tubuh perempuan. Kehadiran perempuan sendiri selalu menjadi tema menarik sehingga nyaris selalu dibahas dan ditampilkan dalam berbagai sektor kehidupan, baik ekonomi, budaya, sastra, atau agama sekalipun. Dalam sektor ekonomi misalnya, sejak dulu perempuan telah menjadi sasaran empuk kaum kapitalis atau pemilik modal yang hendak menjadikan tubuh mereka sebagai citra produknya. Citra tubuh itu menjadi trik jitu agar produksi mereka laris manis di pasaran sehingga laba yang dihasilkan bisa meningkat pesat.

Simak saja kasus pornografi dan pornoaksi yang terjadi beberapa tahun ini, seperti kasus kalender bugil Dewi Anggraini Kusuma tahun 1984, dan beberapa kasus setelahnya seperti kasus goyang ngebor Inul Daratista, foto telanjang Anjasmara, Sophia Latjuba dan fotomodel Isabel Yahya dalam pameran CP Bienalle 2005. Januari 2006 kita juga dihebohkan dihebohkan dengan munculnya aksi nudis 2 gadis Bali di internet. 2010 Indonesia juga heboh dengan kasus video porno antara Luna Maya dan Ariel Peterpan.

Seorang penulis kolom majalah Islam menulis bahwa hal ini sebagai pertanda bahwa kita sedang memasuki era posmodernisme yang ditandai dengan ketelanjangan tanpa batas suatu nilai di tengah-tengah kompleksitas modernitas utopis.

Lalu ia menyebutkan menurut Ritzer, merujuk pada produk kultural (seni, film, arsitektur dan sebagainya) posmodernisme berarti sesuatu yang terlihat berbeda dari produk modern. Kecenderungan posmodernisme ini mewakili dua arus utama  yang harus kita ketahui bersama. Pertama, posmodernisme                        dekonstruktif (deconstructive postmodernism), menekankan pada penentangan akan segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatas (hukum, aturan, agama) demi untuk memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total. Kedua, posmodernisme rekonstruktif (reconstructive postmodernism), menekankan pada penghargaan secara positif akan keanekaragaman, dialog,                        heterogenitas, dan pluralitas.

Adapun ciri-ciri dari wacana posmodernisme dekonstruktif yang melibatkan eksploitasi tubuh ini, menurut Yasraf  Amir Piliang adalah adanya relasi-relasi, yaitu:

  1. Relasi tubuh (body), yaitu bagaimana tubuh (secara fisik) digunakan di dalam berbagai relasi sosial, ekonomi, komunikasi, dan kebudayaan.
  2. Relasi tanda  tubuh (body sign), yaitu bagaimana tubuh dieksploitasi sebagai tanda-tanda di dalam berbagai media, seperti koran, majalah, tabloid, video, vcd, televisi, komputer;
  3. relasi hasrat (desire), yaitu bagaimana hasrat menjadi sebuah bentuk perjuangan, khususnya bagi pembebasan, pembiakan, dan penyalurannya.

Selanjutnya ada beberapa konsep yang perlu kita pahami di dalam Islam tentang wanita sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah, salah satunya adalah kesamaan di mata Allah antara laki-laki dengan wanita.

Pertama; Kesamaan dalam Taqwa

Perbedaan laki-laki dan wanita bukanlah suatu halangan bagi manusia untuk mencapai ketakwaan kepada Allah SWT, karena Allah akan memuliakan siapa saja yang bertakwa kepada-Nya, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita serta dari berbagai suku.

Allah SWT berfirman yang artinya,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Meskipun demikian, aplikasi ketakwaan antara laki-laki dengan wanita bisa saja berbeda, karena tugas dan fungsinya yang berbeda, misalnya saja dalam masalah keluarga, laki-laki yang berkewajiban memberi nafkah, sedangkan wanita yang menerima dan memanfaatkan nafkah itu dengan sebaik-baiknya. Pembagian tugas semacam ini merupakan sesuatu yang wajar, karena memang harus ada pembagian tugas.

Baca juga:   Zaman Kehancuran

Kedua;  Kesamaan dalam Amal

Iman dan amal saleh merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Iman harus dibuktikan dengan amal yang saleh dan amal saleh harus dilandasi pada iman. Oleh karena itu, siapa saja yang menunjukkan imannya dalam bentuk amal yang saleh, maka Allah SWT akan memberikan balasan berupa kehidupan yang baik.

Allah berfirman yang artinya,

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).

Oleh karena itu, tidak ada satu pun orang yang disia-siakan amalnya, dalam arti ada nilainya dihadapan Allah SWT. Ini berarti laki-laki yang beramal saleh akan mendapatkan pahala dan wanita yang beramal saleh akan mendapatkan pahala, karena dalam beramal saleh itu, laki-laki dengan wanita justru saling saling menolong. Silahkan menyimak firman-firman Allah swt berikut:

“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan (karena) sebagian kamu adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran: 195)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 124)

“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS. Al-Mukmin: 40).

Ketiga;  Kesamaan dalam Ibadah, Akhlak, dan Sosial

Kesamaan laki-laki dengan wanita juga bisa diwujudkan dalam ibadah, akhlak, dan sosial, meskipun berbeda secara teknis. Karena, Allah SWT telah menentukan kesamaan, maka wanita juga akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar seperti yang didapat oleh laki-laki, hal ini difirmankan oleh Allah yang artinya,

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35).

Keempat; Kesamaan dalam Dakwah dan Ketaatan

Dakwah merupakan tugas yang sangat mulia, karena hal ini merupakan kelanjutkan dari tugas para rasul. Itu sebabnya, tugas ini harus diemban oleh kaum muslimin, baik laki-laki maupun wanita sebagai salah satu wujud dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Manakala hal ini sudah dilaksanakan dengan baik, hal ini menjadi salah satu kunci untuk memperoleh rahmat Allah SWT.

Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasu-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71).

Kelima;  Kesamaan dalam Dosa dan Pahala

Dosa dan pahala merupakan sesuatu yang didapat oleh masing-masing orang berdasarkan amal yang dilakukannya. Karena itu, seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain atau orang lain yang beramal, tetapi kita yang mendapatkan pahalanya. Dalam masalah dosa dan pahala, laki-laki dan wanita akan mendapatkannya, karenanya tidak mungkin kita menganggap dosa kita ditanggung oleh seorang wanita atau mengatakan “gara-gara wanita saya menjadi berdosa“.

Allah swt berfirman:

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat perlindungan dan tidak (pula) penolong baginya selain Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 123-124).

Keenam;  Kesamaan dalam Ilmu

Memiliki ilmu yang banyak merupakan keharusan bagi setiap manusia, dengan ilmu yang banyak, manusia bisa banyak beramal saleh yang didasari ilmu, bukan semata-mata ikut-ikutan. Kewajiban menuntut ilmu bagi wanita sebagaimana laki-laki dikemukakan dalam satu hadits yang artinya, “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim (laki-laki maupun perempuan).” (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, manakala laki-laki memiliki hak yang besar untuk memperoleh ilmu, maka wanita juga harus memperoleh kesempatan yang sama.

Baca juga:   Perbandingan Mazhab Fiqih-MPAP MRPI

Hak-Hak Wanita

Disamping adanya berbagai kesamaan kedudukan antara pria dengan wanita, secara khusus terdapat hak-hak wanita yang tidak bisa diganggu gugat, termasuk oleh laki-laki.

Pertama; Memiliki Harta

Wanita berhak atas harta yang dimilikinya, baik pemberian orang lain maupun atas usahanya sendiri. Karena itu, manakala wanita telah memiliki suami, suami tetap berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya meskipun sang isteri memiliki harta yang banyak. Karena, wanita berhak atas harta yang dimilikinya, maka bila dia meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka harta warisan itu dibagi menurut ketentuannya, dan suami merupakan di antara yang berhak atas harta warisan itu. Demikian pula sebaliknya, bila suami meninggal dunia, maka isteri berhak atas harta warisan dari harta yang ditinggalkan oleh suaminya.

Kedua; Memilih Jodoh

Wanita juga berhak untuk memilih jodoh dalam arti menerima atau menolak lamaran, ini berarti orang tua tidak bisa sembarangan menerima lamaran dari seorang laki-laki meskipun dia menyenanginya. Orang tua harus meminta persetujuan dari anak perempuannya untuk menerima atau menolak lamaran.

Rasulullah saw bersabda,

“Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga diajak musyawarah dan bila seorang gadis tidak boleh dinikahi hingga ia mengizinkan (persetujuan) nya dan tanda persetujuan seorang gadis adalah diam (ketika ditanya).” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Bahkan dalam kaitan ini, wanita boleh saja menawarkan dirinya untuk dinikahi kepada seorang laki-laki yang saleh, dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, dikisahkan bahwa Tsabit al-Bannani berkata,

Pada suatu hari aku duduk di dekat Anas ra. Di sampingnya ada puterinya. Lalu Anas berkata, ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw untuk menawarkan dirinya kepada beliau. Wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau berminat kepadaku?’. Lalu puteri Anas menimpali, ‘Alangkah sedikitnya rasa malu perempuan itu, betul-betul buruk, betul-betul buruk’. Anas berkata, ‘Dia lebih baik daripadamu. Dia senang kepada Nabi saw, lalu dia menawarkan dirinya kepada beliau’.”

Ketiga;  Meminta Mahar

Dalam perkawinan, wanita dibolehkan menentukan atau memintakan mahar yang disukainya selama hal itu tidak memberatkan, dalam arti sesuai dengan kemampuan calon suaminya.

Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau rela dari diri dan hartamu dengan sepasang sandal?”. Perempuan itu menjawab, “Ya”, lalu Rasulullah saw membolehkannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Keempat; Menuntut Cerai

Manakala seorang wanita tidak menyukai istrinya dengan sebab suaminya telah bertindak yang menyalahi ketentuan Islam dalam kehidupan pribadi dan keluarga muslim, maka seorang istri boleh saja menuntut cerai dari suaminya bila hal itu dianggap dan diyakini sebagai jalan yang terbaik untuk menghindari masalah negatif yang lebih besar, namun bila istri minta cerai tanpa alasan yang bisa dibenarkan, maka hal itu termasuk perkara yang tidak dibolehkan di dalam Islam.

Rasulullah saw bersabda,

“Janganlah seorang isteri minta cerai dari suaminya tanpa alasan (sebab yang bisa dibenarkan), niscaya dia tidak akan mencium baunya surga yang baunya dapat dirasakan pada jarak tempuh empat puluh tahun.” (HR Ibnu Majah).

Kelima; Mencari Uang

Sebagaimana laki-laki, wanita juga dibolehkan atau punya hak untuk mencari uang yang tidak terlalu mengganggu kewajibannya sebagai isteri dan ibu, apalagi bila wanita itu memiliki ilmu yang kemanfaatannya sangat diperlukan masyarakat, seperti kedokteran, kebidanan, dan sebagainya. Dengan uang itu, wanita punya hak untuk membelanjakannya: zakat, infak, dan bershadaqah. Allah SWT,

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 32).

Keenam; Menghadiri Pertemuan Umum

Untuk mendapatkan manfaat yang besar, para wanita juga berhak untuk menghadiri pertemuan yang bersifat umum seperti menghadiri majelis taklim, mengikuti salat berjamaah di masjid meskipun wanita lebih baik salat di rumah dan sebagainya dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku, dalam satu hadis Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang isteri minta izin suaminya untuk pergi ke masjid, maka janganlah suami melarangnya.” (HR. Bukhari).

Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya laki-laki dan wanita di mata Allah SWT memiliki kedudukan yang sama, karena itu meskipun apa yang dilakukan laki-laki berbeda dengan apa yang dilakukan oleh wanita, tetapi wanita akan memiliki nilai yang sama seperti yang dilakukan laki-laki. Wanita yang menunaikan haji dan umrah akan mendapatkan nilai sebagaimana nilai laki-laki yang berperang di jalan Allah, karena bagi wanita tidak ada keharusan untuk ikut serta dalam kecamuk perang sebagaimana keharusan itu pada laki-laki.

Baca juga:   Tutorial Sarf.one: Aplikasi Tashrif Bahasa Arab Secara Online

Syubhat tentang bolehnya wanita berpolitik praktis

Salah seorng ulama terkenal di Indonesia yang sering disebut sebagai ahli tafsir, dalam salah satu bukunya ‘membumikan Al-Quran’ hlm. 426 dan 435 menyatakan bahwa di antara contoh hak-hak perempuan yang sama dengan hak laki-laki adalah hak berpolitik praktis. Dengan mengambil dalil dari hadits wanita adalah syaqo’iq ar-rijal (saudara¬saudara sekandung kaum lelaki) dan firman Allah swt “Urusan mereka (selalu) diputus¬kan dengan musyawarah” (QS 42: 38).

Hadits wanita adalah syaqo’iq ar-rijal (saudara¬saudara sekandung kaum lelaki) adalah hadits yang shohih diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya: 237 dan dishohihkan Syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud: 1/72.

Maksud hadits tersebut, bahwa wanita itu sama hukumnya dengan laki-laki baik dalam masalah perintah dan larangan, pahala dan dosa, serta yang lainnya. Namun, yang harus disadari, bahwa Allah dan Rosul-Nya telah membedakan antara keduanya dalam beberapa masalah karena Bagaimana pun juga wanita itu bukan laki-laki, sebagaimana dalam firman Allah :

..dan laki-laki tidaklah seperti perempuan…. (QS. Ali Im ron [3]: 36)

Syaikh Musthofa al-’Adawi –rahimahulloh- berkata:

“Hadits di atas berlaku secara umum bagi setiap masalah yang tidak terdapat nash yang membedakan antara laki-laki dengan wanita. Adapun kalau didapatkan sebuah nash yang membedakan antara laki-laki dan wanita maka wajib tunduk pada nash tersebut dan memberikan hukum tersendiri bagi wanita dan begitu pula hukum tersendiri bagi laki-laki. Suatu misal,  jangan ada seorang pun yang berkata bahwa persaksian seorang wanita sama dengan persaksian laki-laki berdasarkan hadits di atas, ini adalah pendapat yang sangat mungkar dan kedustaan. Jangan sampai ada yang mengatakan bahwa seorang wanita memiliki hak kepemimpinan sebagaimana seorang laki-laki, ini adalah pendapat yang dusta dan batil. Sungguh Allah telah berfirman:

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita…. (QS. an-Nisa` [4]: 34)

Juga, jangan ada seorang pun yang berpendapat bahwa warisan wanita sama dengan warisan laki-laki. Ini adalah sebuah kesalahan yang nyata.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ : 1/12)

Islam telah memuliakan wanita, menjaga hak-haknya, dan mengarahkannya kepada perkara-perkara yang mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Islam memerintah wanita agar berhijab dari laki-laki yang bukan mahrom dan menjauh dari ikhtilath (campur baur) dengan laki-laki. Wanita dilarang melakukan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama mahromnya dan dilarang berkholwat (berduaan) dengan laki-laki yang bukan mahrom sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah . Allah berfirman tentang wajibnya para wanita berhijab dari laki-laki yang bukan mahrom:

…. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…. (QS. al-Ahzab [33]: 53)

Dan Allah berfirman:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jiibabnya ke seluruh tubuh mereka” …. (QS. al-Ahzab [33]: 59)

Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum hijab berlaku umum bagi Ummahatul Mukminin dan para wanita mukminat.

Adapun tentang masalah ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan wanita, Allah berfirman ketika mengisahkan Nabi-Nya, Musa:

“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang menrinumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah rnaksudmu (dengan berbuat begitu)? ” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminunkan (ternak karni) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya…. (QS. al-Qoshosh [28]: 23-24)

Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- : berkata:

“Tidak syak lagi bahwa memberikan kesempatan bagi para wanita untuk bercampur baur dengan para lelaki adalah sumber semua bencana dan kejelekan. la adalah sebab terbesar dari turunnya adzab yang merata sebagaimana ia adalah sebab kerusakan perkara-perkara umum dan khusus. Bercampurbaurnya laki-laki dan wanita adalah sebab banyaknya perbuatan-perbuatan keji dan perzinaan.” (Thuruq Hukmiyyah him. 281)

Membolehkan wanita berpolitik praktis akan merenggut wanita dari sebab-sebab kemuliaan dan mencarnpakkannya ke dalam jurang-jurang kehinaan karena dia diberi kebebasan sebebas-bebasnya, bepergian ke mana pun yang dia mau tanpa disertai mahrom, bercampur baur dengan laki-laki mana pun yang dia mau dan berbuat sekehendaknya tanpa ada yang menjaga dan mengawasinva!

Demikian artikel ini saya tulis, kritik dan saran dari para pembaca blog ini sangat saya harapkan demi penyempurnaan tulisan selanjutnya. []

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *