Perdebatan seputar Kurikulum 2013 bagai tiada akhir. Salah satu kritik yang terungkap, kurikulum 2013 di nilai “terlalu agamis”. Semua pelajaran, kata para pengkritik, dipaksa bermuara pada kompetensi inti: penghayatan agama. Kritik lain lebih menyorot soal aplikasi. Akhirnya, melalui Permen No 160/2014, tertanggal, 11 Desember 2014, Mendikbud Anies Baswedan menunda dan mengatur pelaksanaan kurikulum 2013.
Dari sisi semangat untuk penghayatan dan pengamalan ajaran agama, Kurikulum 2013 patut mendapat apresiasi. Dan itu sejalan dengan tujuan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 20 tahun 2003:
“Pendidik an nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem bang nya potensi peser ta didik agar men jadi manusia yang ber iman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Juga, UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menekankan pentingnya pembentukan manusia beriman dan bertaqwa:
“berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.”
Merujuk kepada tujuan Pendidikan Nasional, pemerintah sepatutnya mengatur secara lebih jelas, bagaimana kriteria manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Tentu saja, agama menjadi rujukan utama. Sebab, dalam pandangan Islam, Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) sudah mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan pesan Tuhan, bagaimana cara menjadi manusia yang baik (manusia beriman dan bertaqwa).
Manusia baik adalah manusia yang baik di mata Tuhan. Itu kriteria utama. Presiden Jokowi, Mendikbud Anies — yang keduanya Muslim — tentu sepakat dengan hal itu. Hanya saja, hegemoni sekularisme dalam berbagai bidang kehidupan, tak jarang memaksa pemerintah membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tuhan. Bahkan, terkesan, pemerintah tampak merasa lebih pintar dari Tuhan.
Seorang Muslim, lulusan SD yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mu lia, wajib bisa shalat dengan baik, bisa membaca al-Quran, berbakti pada orang tua, hormat pada guru, tidak curang saat ujian, dan sebagainya. Kriteria itu wajib dipenuhi oleh setiap Muslim (fardhu ‘ain). Lulusan SD bisa matematika itu baik. Tetapi, itu tidak wajib bagi setiap lulus an SD. Untuk menjadi manusia baik dan sukses, tidak mesti lulus matematika. Banyak manusia sukses meski tak lulus SD atau SMA.
Meletakkan ilmu matematika sama nilai dan derajatnya dengan ilmu aqidah dan akhlak merupakan tindakan yang tidak beradab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka, manusia apalagi pejabat pemerintah yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, sepatutnya meru muskan kurikulum pendidikan berdasarkan ketentuan konsep ilmu yang diajarkan Tuhan melalui para Nabi dan telah dirumuskan oleh para ulama.
Hantu Islam!
Ini fakta! Akibat kuatnya cengkeraman sekularisme dalam dunia pendi dikan di Indonesia yang nota bene merupakan warisan penjajah menjadikan Islam sebagai panduan pendidikan masih dipandang tabu. Hingga kini, Pendidikan Islam masih menjadi sub-sistem pendidikan nasional. Bahwa, masih ada pendidikan umum dan pendidikan Islam; ada sekolah umum dan sekolah Islam; ada kurikulum pendidikan umum dan ada kurikulum pendidikan Islam.
Mengacu pada Tujuan Pendidikan Nasional, sepatutnya dikotomi semacam itu tidak perlu ada. Pendidikan Nasional adalah Pendidikan Islam; manusia yang baik menurut Undang-undang Pendidikan Nasional adalah manusia yang baik pula menurut Islam. Sebelum ujian akhir skripsi, seorang muslim mahasiswa UI, IPB, ITB, UGM, dan sebagainya, wajib diuji kemampuan dan pelaksa naan shalat lima waktunya, kefasihan bacaan al- Qurannya, dan ha-hal fardhu ‘ain lainnya.
Tahun 2019, jangan ada lagi sarjana Muslim yang tidak shalat lima waktu, tidak bisa membaca al-Qur an, dan tidak tahu bagaimana cara ber wudhu dengan betul. Ini perintah agama, dan juga ketentuan UU Pendidikan Tinggi.
Itu idealnya. Faktanya, pemegang kebijakan dan pelaksana pendidikan di Indonesia kadangkala meletakkan “keindonesiaan” lebih tinggi dari “keislaman”. Upacara bendera diwajibkan, tetapi shalat lima waktu tidak diwajibkan. Jilbab tidak diwajibkan bagi muslimah, tetapi seragam tertentu diwajibkan, meskipun membuka aurat.
Sebagian kalangan bahkan mengecam keras ketentuan jilbab bagi pelajar muslimah, tetapi tidak memprotes pemaksaan baju lengan pendek bagi mereka.
Pelajaran Pancasila dan Kewarga negaraan masih didominasi paham sekular yang melihat Islam sebagai “hantu”. Doktrin halus dan tersembunyi itu me nekankan, bahwa “Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan orang Indonesia yang baik di satu waktu!” Dalam Kurikulum 2013, semangat menjadikan Islam sebagai “hantu” ini masih terlihat di sana-sini. Cara pandang Islam terhadap Pancasila dan kenegaraan dibuang jauh-jauh, digantikan dengan cara pandang sekular.
Sebut satu contoh, buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013). Disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.”
Anehnya, buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pan ca sila” yang menyebutkan, bahwa nilai-ni lai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/ Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemer deka an. Sama sekali buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila.
Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pan casila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hik mah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusan tara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Is lam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ha nya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengerti an Islam. Juga, dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pa sal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 224).
Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas IV (Buku Teks Pengayaan Kurikulum 2013), disebutkan bahwa, “Sila-sila Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman berperilaku bermasyarakat. Nilai-nilai luhur yang mencerminkan pengamalan silasila Pancasila sudah seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh setiap warga negara.” Diantara nilai luhur Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah, “Manu sia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” (hlm. 10).
Pernyataan itu patut dipertanyakan. Yang betul, bagi Muslim, untuk beriman (“iman” tidak sama dengan “percaya”), dan bertaqwa, cukup berpegang teguh kepada ajaran Islam. TIdak perlu ditambah dengan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Menjadikan Pancasila sebagai landasan amal juga menempatkan Pancasila sebagai pesaing agama, sehingga melebihi kadarnya. Seorang Muslim berbuat baik pada sesama karena yakin amal baik itu diperintah oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, bukan karena diperintah oleh Pancasila. Hingga kini pun, tak ada manusia Indonesia yang berani mengklaim men jadi contoh teladan dalam pengamalan Pancasila!
Bisa disimpulkan, buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan sema cam itu justru menjauhkan murid-murid Muslim dari agamanya, karena Pancasila hanya dipahami dalam perspektif sekular yang dijauhkan dari nilai keislaman. Materi ajar seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup dan pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi pandangan hidup Islam.
Materi PPKn sekular bisa mendorong siswa membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan. Minimal, siswa Muslim dipaksa bersikap mendua atau munafik; pura-pura menerima ajaran Pancasila yang sekular, sementara ia pun harus menerima pandangan hidup Islam. Dampaknya, bisa muncul dua kutub sikap: ekstrim sekular dan ekstrim keagamaan.
Paradoks
Dalam sebuah forum pendidikan di Medan (14/12/2014) lalu, seorang guru agama bercerita, ada siswanya bertanya, “Dalam pelajaran agama dikatakan bahwa manusia berasal dari Adam, sedangkan dalam pelajaran Sejarah dikatakan, bahwa manusia berasal dari kera.
Mana yang benar?” Sang guru menjawab, “Kebenaran agama tidak bisa disa makan dengan kebenaran ilmiah.” Jawaban sang guru tidak tepat. Sebab, itu membenarkan adanya dua ke benaran yang saling bertentangan, yaitu kebenaran agama dan kebenaran ilmiah.
Seolah-olah, kebenaran agama bertentangan dengan kebenaran ilmiah; dan kebenaran al-Quran bukanlah kebenaran ilmiah; al-Quran bukan sumber ilmu. Meskipun demikian, munculnya logika seperti itu, bisa dimaklumi, sebab dalam kurikulum 2013, materi asal-usul manusia dari monyet masih tetap dipertahankan.
Simaklah sebuah buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, berdasarkan Kurikulum 2013. Buku terbitan sebuah penerbit terkenal ini menyebutkan, bahwa Karakter yang di kembangkan dalam pembahasan ini adalah:
“Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempe lajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Uniknya, dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tidak disebut sama sekali rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme. Ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan manusia tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”.
Di halaman 77, 92, dan 93 ditampilkan lukisan nenek moyang bangsa Indonesia yang memperlihatkan sebuah keluarga homo erectus yang katanya berumur sekitar 900 tahun yang lalu, dimana mereka dilukiskan sebagai manusia purba yang mulutnya monyong dan bertelanjang bulat. Pada bagian rangkuman (hlm. 81) dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882) yang menyatakan, bahwa: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Dikatakan dalam buku ini, bahwa pendekatan agama dan pendekatan sains (ilmu pengetahuan) dalam upaya memahami realitas alam semesta adalah berbeda.
“Agama berada dalam tingkat eksis tensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan ti dak rasional. Perasaan keyakinan terha dap Tuhan Yang Maha Esa itu tetap da pat dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.” (hlm. 81).
Cara pandang terhadap agama dan sains semacam itu jelas-jelas bersifat sekular dan paradoks. Inilah dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular, bahwa “wahyu Allah” bukan sumber ilmu.
Cara pandang sekular semacam ini merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai sum ber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) — dalam hal ini wahyu Allah — sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara harmonis.
Dalam Kitab Aqaid Nasafiah kitab aqidah tertua yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga, yaitu: panca indera, akal, dan khabar shadiq. Cara pandang keilmuan sekular dan ateistik itu pun salah secara ontologis.
Sebab, hanya mendefinisikan “manusia” sebagai entitas jasadiah semata; menolak entitas “ruh” sebagai fakta dan objek ilmu yang seharusnya dipahami berda sar kan wahyu. Karena wahyu tidak di pandang sebagai sumber ilmu, maka “Ruh” dianggap tidak ada. Jika yang dite laah dari manusia hanya tulang belulang, maka simpulan akhirnya bukan “Sejarah Manu sia” tetapi “Sejarah Tulang Manusia”.
Teori manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang belulang makhluk purba yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia purba atau manusia goa (cave man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan hidupnya hanya untuk cari makan sebagaimana layaknya binatang. Tidak mengherankan, dalam cara pandang materialis semacam ini, siswa juga disajikan materi ajar tentang kebutuhan primer manusia yang berpuncak pada kebutuhan makan dan minum; bukan kebutuhan ibadah. Sebab, manusia dipandang sebagai kelas tertinggi dari binatang; bukan keturunan Nabi yang tujuan hidup utamanya adalah ibadah kepada Allah.
Walhasil, Kurikulum 2013 memang masih bermasalah, meskipun tampak ada kemajuan dalam semangat meletakkan agama ditempat terhormat. Bukan hanya soal teknik aplikasi, tetapi juga isi dan metodologinya. Nabi Muhammad saw berpesan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka berkatalah yang baik atau diam.”
Jika pemerintah tidak mampu membuat kurikulum yang baik sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa maka pemerintah sebaiknya diam. Artinya, serahkan saja urusan kurikulum kepada orang tua, ulama, guru, us tad, dan pendidik lainnya. Insya Allah mereka lebih paham. Pemerintah cukup menentukan standar kelulusan dan memberi bantuan serta bimbingan kepa da yang memerlukan. Kita yakin, pemerintah sekali-kali tidak merasa lebih pintar dari Tuhan. Wallahu A’lam bish-sha wab. (Bandung, 17 Desember 2014). ¦