Lailatulkadar Menurut Buya Hamka

AHMADBINHANBAL.COMHAMKA nama adalah akronim (kependekan) dari nama sebenarnya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Nama tafsirnya, Tafsir Al-Azhar diambil dari nama masjidAl-Azhar dimana Buya Hamka sering memberikan pelajaran tafsir seusai shalat subuh, yang mana nama Al-Azhar itu langsung diberikan oleh syekh Mahmud Syaltut, Syeikh (rektor) universitas Al-Azhar di Kairo, seraya berharap semoga masjid Al-Azhar tersebut menjadi Al-Azhar di Indonesia sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo.

Tafsir Al-Qur’an yang sudah ada banyak sekali. Hamka sendiri memasukkan lebih dari 100 referensi tafsir, termasuk dari tafsir Syiah.

Namun bagi orang awam seperti kita, membaca tafsir karya Buya Hamka ini sangat menyenangkan. Mudah dipahami dengan referensi yang lengkap. Hamka sendiri pernah mengatakan metodenya dalam mengajar di salah satu bukunya.

“Untuk menyampaikan ilmu yang berat, fahamilah latarbelakang para pendengar. Permudahkanlah kefahaman mereka. Jangan diberatkan lagi pemikiran mereka dengan sesuatu yang sukar”.

Apa yang ingin saya bagikan ke hadirat pembaca di hujung akhir Ramadan ini adalah surah yang masyhur dibacakan di dalam salat tarawih yaitu Surah Al-Qadar.

Di bawah ini saya salin terjemah Surah Al-Qadar dari Tafsir Buya Hamka

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani
1- Sesungguhnya telah Kami turunkan dia pada malam ‘kemuliaan’.
2- Dan sudahkah engkau tahu, apakah dia malam ‘kemuliaan’ itu?
3- Malam Kemuliaan itu lebih utama daripada 1000 bulan
4- Turun Malaikat dan Roh pada malam itu, dengan izin Tuhan mereka, membawa pokok-pokok dari tiap-tiap perintah
5- Sejahteralah ia sehingga terbit fajar

HAMKA dalam penjelasan tafsirnya mengenai surah Al Qadar lebih cenderung menyatakan bahwa Lailatulkadar adalah malam turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw pada 17 Ramadan. Maka menurutnya, Lailatulkadar yang diperingati setiap tahunnya ini adalah ritual itba’ kepada nabi Muhammad saw yaitu ketika pertama kali menerima wahyu turunnya al-Qur’an.

Baca juga:   Contoh dan Praktik Salaf Dalam Mencari Maisyah (Penghidupan) Yang Halal

“Dan sudahkah engkau tahu, apa malam kemuliaan itu” (al-Qadr: 2). Pada ayat berikutnya dijelaskan sebuah malam yang keutamaannya sama dengan 1000 bulan atau sekitar 80 tahun lebih umur umat manusia.

Di dalam surat Ad-Duhkhan ayat 3, malam itu disebut “Lailatin Mubakaratin”, yakni malam yang diberkati Tuhan.

Di akhir surah al-Qadr dijelaskan bahwa Lailatul Qadr adalah malam sejahtera, malam yang damai. “Sejahteralah dia hinggga terbit fajar” (Al-Qadr: 5).

Dan juga ayat 185 dalam Surah Al-Baqarah yang artinya “Bulan ramadan adalah bulan yang padanya diturunkan Al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi manusia, dan keterangan dari petunjuk itu adalah pemisah di antara hak dan batil”

Mantan ketua Umum MUI, Buya Hamka menulis dalam tafsir “Al-Azhar”, mulai malam itulah terobati hati manusia bernama Muhammad saw yang sudah sekian lama merasa diri terpencil dalam kaumnya karena perasaannya yang murni sejak kecilnya tidak menyetujui penyembahan berhala dan tidak pernah beliau memuja patung-patung dari batu dan kayu (Tafsir Al-Azhar juz 30, 2004, hal 225).

Menurut Hamka dalam bukunya, Renungan tasawuf, 2002, hal 73-76, menyebutkan; “Maka untuk mendapat anugerah suasana pendek Lailatul qadr, yang nilainya lebih 1000 bulan, adalah hati yang ikhlas dihadapkan semata-mata kepada Allah. Mulailah dahulu dengan kesadaran adanya diri sendiri, kemudian lihatlah dan renungilah alam sekeliling”.

Dalam buku Renungan Tasawuf, buku Hamka yang banyak berisikan didikan yang penuh optimisme dalam mengarungi kehidupan. Hamka juga menyuguhkan identitas menarik dari Lailatulqadar yang berbeda dengan pemikiran pada umumnya.

Menurut Hamka, Lailatulqadar lebih berorientasi kepada suasana hati dan bukan hanya sebuah kondisi yang terjadi pada sepuluh terakhir Ramadan.

Hamka menjelaskan secara argumentatif dengan menggunakan ayat Quran, bahwa orang bertaubat, atau mereka yang telah tersingkapkan mata batinnya dalam melihat kebenaran sebenarnya telah mencapai maqam lailatulqadar. Tajalli adalah proses yang terjadi pada orang yang telah mencapai lailatulqadar. Hamka mengaitkan sufisme dengan ibadah ramadan dan menginterpretasikannya secara populer.

Baca juga:   Apa Resolusimu Ramadhan Ini?

Menurut Hamka, suasana lailatul qadar bisa diraih diluar ramadan karena terdapat kesamaan manifestasi keberimanan. Dalam ayat keempat surat Al qadar disebutkan karakter khas lailatul qadar yaitu turunnya malaikat dan ruhul kudus (Jibril) pada malam lailatul qadar. Hamka secara sinergis mengaitkan ayat tersebut dengan Fushilat ayat 30 yang menjelaskan tentang turunnya malaikat bagi orang beriman yang teguh dengan keimanannya. Buya mengkorelasikan antara dua ayat tersebut hingga menjadi sebuah kesimpulan bahwa lailatul qadar sejatinya adalah peristiwa tersadarnya seseorang dari dunia kegelapan yang telah menghinggapinya selama ini. Lailatulqadar lebih berorientasi kepada diraihnya sebuah pencerahan dalam hidup.

Menurut Hamka, manusia bisa memperoleh suasana tentram dan damai, serta terkabulnya doa seperti yang ada pada malam Lailatul Qadar. Beliau mendalilkan ini dengan firman Allah berikut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (٣٠

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (Qs. Fusshilat [42]: 30)

Hamka memberikan kesimpulan bahwa suasana Lailatul Qadar pun ada di luar Ramadan. Suasana itu adalah anugerah Ilahi kepada hamba-Nya.

Hamka berpendapat bahwa Amirul Mukminin, Umar bin Khattab mendapat Lailatul Qadr di luar Ramadhan. Pada suatu malam yang kata Hamka menentukan arah hidup manusia yang awalnya benci dan ingin membunuh Rasul berubah memeluk Islam. Umar peroleh usai membaca surah Thaha. Selain Umar, orang shaleh seperti Fudhail bin Iyyadl dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek memperoleh anugerah yang nilainya lebih 1000 bulan.

Tentang kisah Fudhail bin Iyadh, Hamka menyebutkan pada malam Qadr itu malaikat hadir membisikkan kebaikan kepadanya, sehingga ia merasa tenang dan damai dalam “pelukan” Tuhan. Malam tersebut merupakan titik awal dari penetapan Allah bagi perjalanan hidupnya yang tadinya buruk menjadi baik.

Baca juga:   Multipleks Ontologi Ibnu Khaldun

Jangan berpisah dengan Ramadan.  Sepanjang tahun bersama dan setiap malam adalah Lailatul Qadar. Ramadan bukan sebuah bulan, akan tetapi pola hidup dan awal perubahan. Berikan kesempatan Ramadan untuk hidup bersama sepanjang tahun, “Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian kepadamu” (Qs. Al-Hijr: 99)

Kajian sistemik ini menarik karena telah memberikan antitesis terhadap konsep lailatul qadar yang hanya ada di sepuluh terakhir ramadan. Buya mengajari kita untuk tetap istiqomah dalam kebenaran, karena istiqomah itulah penyebab utamanya turunnya malaikat terhadap diri seorang mukmin. Kondisi turunnya malaikat sendiri merupakan tesis yang memiliki kesamaan dalam peristiwa lailatul qadar. Kondisi seperti ini dapat terjadi kapan saja, asal manusia sendiri mengamalkan konsistensi istiqomah tersebut.

Pendapat Buya ini sejalan dengan pendapat para mufassir klasik tentang tiadanya batasan waktu dalam memaknai lailatul qadar. Angka seribu dalam pandangan tafsir sendiri tidak mengacu pada angka nominal yang sebenarnya tentang seribu. Tapi, seribu sendiri dalam persepsi Quran adalah angka tak terhingga yang tak terbatas. Ini sesuai dengan al Baqarah ayat 96, ”Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun”. Angka seribu dalam ayat tersebut merujuk pada perilaku Yahudi yang ingin memiliki umur panjang tak terbatas agar dapat memuaskan semua nafsunya. Angka seribu sama dengan angka tujuh yang dalam bahasa Arab berarti tak terhingga.

Karenanya konklusi yang dapat ditarik dari pengajaran Buya Hamka tentang lailatul qadar adalah bahwa setiap saat adalah lailatul qadar dan setiap perilaku adalah iktikaf. Ajaran Hamka tentang lailatulqadar telah membesarkan peranan lailatulqadar agar tak terbatasi dimensi ruang waktu semata.

Baca juga pendapat dari Khalid Al-Jundi di link ini: Lailatul Qadar di Luar Ramadan

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *