Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): Sejarah Lahir dan Implementasinya di Indonesia

Sistem MBS merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri dan MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.

Apakah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) itu?

Menurut Veithzal Rivai, Manajemen Berbasis Sekolah dipandangan sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. Manajemen Berbasis Sekolah adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan daerah ke tingkat sekolah. Maka pada dasarnya, sistem MBS merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri dan MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.[1]

Esensi pendidikan berbasis masyarakat sejalan dengan keputusan politik desentralisasi pemerintahan. Praksis ini dilegitimasi dalam undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa

“Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat”.

Frasa “potensi masyarakat” bermakna kemampuan masyarakat mendanai program-program pendidikan yang dibangunnya, serta kemampuan orang tua murid menanggung beban pembiayaan ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah tertentu.

Pasal 55 UU Sisdiknas mempertegas esensi pendidikan berbasis masyarakat ini.

  1. Pertama, masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
  2. Kedua, penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan SNP.
  3. Ketiga, dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Keempat, lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Sejarah Lahirnya MBS

Manajemen Berbasis Sekolah lahir di Amerika Serikat ketika para guru berjuang untuk memperbaiki nasibnya dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association, NEA) pada tahun 1857 M.

Pada tahun 1887 guru-guru di New York membentuk sebuah asosiasi kepentingan bersama dan asosiasi yang sama didirikan di Chicago yang dipimpin oleh Margarette Harley.

Pada tahun 1903 guru-guru Philadelphia membentuk organisasi Asosiasi Guru-Guru Philadelphia (Philadelphia Teachres Association). Melalui asosiasi ini para guru bangkit untuk meningkatkan martabat hidupnya dan memperoleh gaji lebih baik.

Di Atlanta, guru-guru membentuk Persatuan Guru-Guru Sekolah Negeri Atlanta untuk mengadapi tekanan dari Dewan Kota yang akhirnya memberikan dana lebih untuk pendidikan. Gerakan ini juga dilakukan oleh guru-guru lainnya yang dipelopori tokoh sosialis, Henry Linville, Jhon Dewey, dan Suffrajist Charlotte Perkins Gilman dan membentuk sebuah asosiasi yang berbicara lebih dari sekedar masalah-masalah ekonomi.

Tujuannya memberi pilihan bagi guru dalam menentukan kebijakan sekolah (school policy) untuk memperoleh wakil di pentas pendidikan di New York, membantu masalah-masalah sekolah, membersihkan politik Amerika Serikat dari keputusan menyimpang, dan meningkatkan kebebasan diskusi publik dari masalah-masalah pendidikan.

Baca juga:   Iman, Taqwa dan Akhlak Mulia Sebagai Tujuan Pendidikan Nasional Menurut UUD 45

Adapun di Indonesia, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) baru secara sungguh-sungguh dimulai sejak tahun 1999/2000, yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana bantuan ini disetor langsung ke rekening sekolah, tidak melalui alur birokrasi pendidikan di atasnya. Memasuki tahun 2003, dana BOMM dirubah namanya menjadi Dana Rintisan untuk Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan program ini dinilai sesuai dengan implementasi otonomi daerah di Indonesia.[2]

Manfaat penerapan MBS: (Kathleen, ERIC Diggest)

  1. Memungkinkan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
  2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
  3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
  4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
  5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
  6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

Implementasi MBS di Indonesia

Ada dua hasil kajian penting tentang MBS di Indonesia, pertama adalah School Based Management (SBM): Indonesia Experiences oleh Prof. Fasli Jalal, Ph.D dari Universitas Andalas dan hasil penelitian dari Georges Vernez, Rita Karam, Jeffery H. Marshall dari RAND Education yang disponsori Bank Dunia.

Pertama, Laporan RAND Education tentang Implementasi MBS di Indonesia sudah saya ringkas dalam bentuk poin-poin di bawah ini.

Studi ini memberikan laporan status kuantitatif dan kualitatif tentang penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) di Indonesia, mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan keberhasilan praktik MBS, dan menilai pengaruh MBS terhadap prestasi siswa delapan tahun setelah dimulainya. Temuan penulis didasarkan pada survei tatap muka kepala sekolah, guru, anggota komite sekolah, dan orang tua; survei staf distrik; dan studi kasus.

MBS membutuhkan perubahan besar dalam cara berpikir orang tentang sekolah dan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas kepala sekolah, guru, dan masyarakat untuk memberikan kepemimpinan, mengembangkan alternatif programatik untuk memenuhi kebutuhan pendidikan lokal, dan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam tata kelola sekolah. . Implementasi MBS sejauh ini tidak terlalu berhasil.

Meskipun sebagian besar kepala sekolah melaporkan bahwa mereka memiliki otonomi untuk membuat keputusan sekolah, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak memanfaatkannya dengan membuat perubahan program dan pembelajaran yang signifikan. Kabupaten terus sangat mempengaruhi kebijakan dan praktik sekolah. Keterlibatan komite sekolah dan orang tua dalam urusan sekolah sangat minim. Keduanya mengungkapkan sikap tidak mencampuri urusan sekolah dan menghormati staf sekolah. Semua pemangku kepentingan tingkat sekolah mengatakan bahwa mereka tidak siap untuk memberikan kepemimpinan yang efektif.

Baca juga:   Hari Asyura: Lebaran Anak Yatim, Mengusap Kepala dan Meluaskan Belanja Keluarga

Peningkatan implementasi dan capaian MBS di Indonesia memerlukan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru, dan komite sekolah untuk melaksanakan MBS; meningkatkan kemampuan staf sekolah untuk membuat perubahan operasional dan instruksional; dan mengembangkan kapasitas kabupaten untuk mendukung sekolah dan MBS.

Temuan Kunci

  1. Otonomi Sekolah Sangat Penting untuk Keberhasilan Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
  2. Sebagian besar kepala sekolah percaya bahwa mereka memiliki otonomi atas keputusan operasional, anggaran, program, dan instruksional sekolah mereka.
  3. Banyak kepala sekolah tidak memanfaatkan otonomi ini dan secara rutin meminta persetujuan dari pengawas distrik atau staf distrik lainnya sebelum mengambil keputusan.
  4. Kabupaten terus memberikan pengaruh yang besar terhadap kebijakan dan operasional tingkat sekolah.
  5. Pengaruh pemahaman Kepala Sekolah tentang MBS Sangat Penting.
  6. Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah kurang memahami manajemen berbasis sekolah (MBS).
  7. Lebih dari separuh kepala sekolah melaporkan bahwa mereka tidak pernah menerima pelatihan MBS dalam satu tahun terakhir atau merasa tidak cukup dan tidak siap untuk memimpin.
  8. Pengaruh Orang Tua atas Masalah Sekolah Kurang dan Pendanaan Sekolah Tidak Merata
  9. Partisipasi masyarakat dan orang tua dalam urusan sekolah tetap harus diusahakan.
  10. Orang tua biasanya tunduk kepada staf sekolah dalam urusan sekolah.
  11. Ketersediaan sumber daya diskresioner sangat berbeda antar sekolah, dengan beberapa sekolah melaporkan menerima lebih sedikit dana per siswa daripada sekolah lain.

Rekomendasi

  1. Meningkatkan kapasitas komite sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS).
  2. Meningkatkan kapasitas komite sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS).
  3. Mempermudah anggota komite sekolah untuk mengikuti MBS.
  4. Tingkatkan pengetahuan anggota komite sekolah.
  5. Tingkatkan kewenangan anggota komite sekolah.
  6. Meningkatkan kapasitas kepala sekolah dan guru untuk melaksanakan MBS.
  7. Berikan pelatihan kepemimpinan.
  8. Membekali kepala sekolah dan guru dengan pengembangan profesional tentang praktik MBS yang efektif.
  9. Memperluas otonomi sekolah.

Meningkatkan kapasitas komite sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS).

  • Mengkaji kebutuhan dan memberikan pengembangan profesional dan menggunakan hasilnya untuk menetapkan prioritas pelatihan.
  • Perluas akses ke alat peraga.
  • Atasi perbedaan sumber daya antar sekolah.

Kembangkan kapasitas kabupaten untuk mendukung MBS.

  • Ubah peran distrik menjadi pendukung perubahan.
  • Perluas kapasitas kabupaten untuk memberikan bantuan teknis yang berkelanjutan.
  • Menyediakan pengembangan staf untuk kepala sekolah, guru, dan anggota komite sekolah.

Menetapkan Prioritas dan Pelaksanaan Rekomendasi secara bertahap

Mempertimbangkan sumber daya yang terbatas dan keefektifan yang tidak pasti, direkomendasikan kepda pembuat kebijakan melakukan hal-hal berikut:

  1. Secara hati-hati menetapkan prioritas rekomendasi mana yang akan diterapkan dan dalam urutan apa dan
  2. Menerapkan langkah-langkah yang dipilih secara eksperimental dan bertahap, yang melibatkan sejumlah kabupaten dan sekolah di waktu untuk belajar tentang tantangan implementasi dan masalah yang terlibat dan untuk memastikan efektivitas.
Baca juga:   Pokok Masalah Pendidikan Yang Dihadapi Umat Islam Hari Ini

Laporan dari Rand Education bisa diunduh di tautan ini.

Kedua, hasil penelitian dari Prof. Fasli Jalal, Ph.D dari Universitas Andalas

Prof. Fasli menyampaikan beberapa slide hasil survey yang dilaporkan oleh Dandan Chen. Slide laporan ini sangat berguna menggambarkan interaski orang tua dan guru serta staf sekolah di Indonesia.

Hasil survey lengkapnya bisa dilihat di tautan ini.

Survey di atas menghasilkan beberapa simpulan berikut:

  1. Tingkat partisipasi dan suara orang tua dalam pengelolaan sekolah di Indonesia cukup rendah.
  2. Meskipun peran komite sekolah masih terbatas pada hubungan masyarakat, fasilitas sekolah, dan wilayah administrasi sekolah lainnya. Kepala sekolah dan komite guru sangat diusahakan menjalankan kontrol sekolah secara profesional.
  3. Sistem akuntabilitas sangat lemah dalam sistem sekolah di Indonesia, yang tercermin dari aliran informasi yang tidak memadai kepada orang tua, serta kesadaran orang tua yang tampaknya rendah untuk meminta pertanggungjawaban sekolah.
  4. Pengaturan akuntabilitas sistem sekolah di Indonesia saat ini lebih menekankan pada pengawasan dan pemantauan dari atas ke bawah.
  5. Meskipun interaksi antara Dinas Pendidikan Kabupaten atau Kecamatan dengan sekolah begitu umumnya sering terjadi, kurangnya penghargaan dan sanksi untuk kinerja yang baik atau buruk juga membuat sistem lemah.
  6. Meskipun ruang lingkup manajemen berbasis sekolah di Indonesia saat ini terbatas, hal tersebut telah mulai membantu sekolah membuat keputusan yang tepat tentang alokasi sumber daya dan mempekerjakan guru tambahan (non-pegawai negeri sipil), dan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk pembelajaran, termasuk meningkatkan tingkat kehadiran guru. Semua aspek ini ditemukan memiliki efek positif yang signifikan terhadap hasil belajar siswa.
  7. Lebih penting lagi, guru non-PNS berkontribusi secara signifikan terhadap pembelajaran siswa. Studi tersebut berpendapat bahwa Guru non-PNS mungkin memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari guru pegawai negeri: mereka umumnya lebih muda, dan banyak yang baru lulus perguruan tinggi, dan dengan pengetahuan terkini. Mereka mungkin juga lebih termotivasi untuk mendapatkan pekerjaan.

Sekian catatan kami, semoga bermanfaat dan menambah ilmu tentang implementasi SBM di Indonesia. Catatan ini menggunakan referensi utama laporan dari Rand Education dan slide Prof. Fasli Jalal, kedua laporan ini bisa dirujuk pada tautan yang sudah kami tulis di atas.

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

[1] Veitzal Rivai dkk, Islamic Quality Education Management, (…), hal. 18

[2] Sudarwan Danim, Otonomi Manajemen Sekolah, (Penerbit Alfabeta: Bandung, 2010), hal. 39 – 41

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

3 Comments

  1. MBS itu mmang penting. Karena yg lebih tahu bnyak itu ya pihak skolah itu sendiri. Hnya sja btul, sprti yg diuraikan dlm tulisan di atas, bahwa keterlibatan pihak komite skolah juga perlu ditingkatkan. Bukan tdk ad atau kurang akses, tp pihak komite jg hrsnya punya persepsi yg memadai dlm perannya utk kemajuan pendidikan. Tdk sdikit pihak komite jg tdk tahu ap tugas mereka. Itu sih yg saya lihat dari bbrp skolah di daerah.
    Trmksh untuk share-nya. Sy baru tahu klau sjarah MBS dimulai di Amerika.

  2. Terima kasih kembali atas kunjungan di blog sederhana kami. Semoga penjelasan di atas bisa dibaca para pelaku dunia pendidikan dan pembuat kebijakan diknas tingkat kabupaten agar bisa saling bekerjasama mengelola pendidikan di daerahnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *