Mekanisme Menjaga Hafalan Al-Quran Dari Kelupaan

hafal al-quranLupa, mungkin sering dianggap hal biasa, bahkan lebih sering diabaikan, untuk selanjutnya dilupakan.  Mungkin kita ingat, betapa lupa pernah menjadi kebiasaan yang menyebabkan kita tak mampu menguasai pelajaran di sekolah, lupa hafalan atau lupa mencatat keluar masuk kas dagangan yang pengaruhnya sering bikin jengkel, kecewa atau bahkan penyesalan panjang.

Maka, lupa itu bukan masalah kecil. Itulah sebabnya mengapa Allah swt memberikan peringatan dalam Al-Quran agar tidak lengah sehingga berlanjut kerugian demi kerugian. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS Al-Ashr: 1-3.

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Selanjutnya, jika masalah lupa kita kaitkan dengan belajar atau menghafal. Maka lupa adalah lawan dari belajar. Menurut Al-Jurjani lupa adalah suasana tidak ingat yang bukan dalam keadaan mengantuk atau tidur.

Banyak sebab yang menghantarkan seseorang pada kondisi lupa yang secara garis besar bisa dikelompkkan dalam dua hal.

Pertama; Sewaktu-waktu lupa (fading) dan ini merupakan sebab yang paling jelas. Lupa datang secara bertahap karena pengaruh dari jaringan sel-sel yang semangatnya layu karena tidak diperbaharui. Sebagian orang menyebut keadaan seperti ini sebagai kembali pada keadaan yang alami; sesuatu yang tidak diperbarui akan menjadi layu secara bertahap sampai pada batas tidak bisa mengingat sama sekali.

Kedua; Ingatannya terhalang. Sebab yang menonjol di antaranya:

  1. Masuknya hafalan lain yang serupa, sehingga melepaskan berbagai hal yang sudah dihafal sebelumnya.
  2. Benturan yang dapat mengubah berbagai proses hafalan menjadi hilang.
  3. Perasaan tertentu yang terkistral dalam jiwa seperti rasa takut.

Banyak ulama menyatakan bahwa mengabaikan dan melupakan Al-Quran setelah menghafalnya merupakan suatu dosa besar. Hal itu berdasarkan kepada sebuah hadits dari Abu Daud dan At-Tirmidzi sebagai berikut:

عُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيَهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا

“Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku dan aku tak meihat adanya dosa-dosa lain yang lebih besar daripada dosa seorang yang telah menghafal Al-Quran kemudian dia melupakannya”.

Ada juga riwayat dari Abu Aliyah yang diriwyatkan secara Mauquf yang mengatakan bahwa kami menganggap dosa besar jika seseorang belajar Al-Quran kemudian tertidur sampai dia lupa.

Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah swt QS Thaha: 124-126

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126)

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman: ‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan”.

Baca juga:   QP | Quran Project Indonesia

Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan melupakan adalah mereka yang dalam kehidupan di dunia ini sama sekali tidak mengamalkan firman Allah swt, sedangkan orang-orang yang tidak hafal tapi ia tetap memahami makna dan melaksanakan segala ketentuannya tidak terancam oleh ayat ini, kendatipun ia terancam dari segi lain. Dikuatkan juga dalam Tafsir As-Sya’rawi bahwa makna an-nisyan disini adalah at-tarku atau enggan dan meningalkan dari membaca dan mentadabburi Al-Quran.

Karenanya, tidaklah semua yang lupa mendapatkan ancaman dari Allah swt, sebab kelupaan karena uzur, usia tua atau penyakit yang melumpuhkan fungsi ingatannya merupakan beberapa sebab yang dapat ditolerisasi, asalkan ia tetap mengamalkan segala perintah yang terkandung dalam Al-Quran.

Dan sekarang kita masuk pada pembahasan inti artikel ini tentang mekanisme guna menjaga hafalan Al-Quran dari lupa, karena sudah umum diketahui oleh para penghafal Al-Quran bahwa menghafal lebih mudah dari menjaga hafalan itu sendiri.

 

Pertama,Mengulang-ulang Dan Menderasnya Secara Teratur

Rasulullah saw selalu mengarahkan pandangan pada penghafal Al-Quran, seperti dalam sabda beliau dalam hadits Ibnu Umar: “Sesungguhnya permisalan ahlu quran adalan sebagaimana tukang pemelihara unta, yang selalu mengikat untanya, jika ia tetap menginginkan unta itu, ia akan memegangnya, akan tetapi jika ia membebaskan unta itu, nicaya ia akan pergi dari pengembalaannya”.(HR Bukhari Muslim dari Abu Musa Al-Asyari)

Dari hadits di atas, ada tiga hal penting yang perlu disimak.

  1. Pembawa Al-Quran diserupakan dengan tukang memelihara atau gembala unta.
  2. Al-Quran dengan unta.
  3. Hafalan dengan tali yang mengikat antara benda yang diikatkan dengan yang mengikatnya.

Ibnu Hajar berkata: Keledai disebut secara khusus karena ia merupakan binatang yang paling kencang larinya, dan mengejarnya setelah lari kencang tidak mudah. selanjutnya beliau mengatakan bahwa dalam hadits-hadits ini ada satu pesan agar kita memelihara (mengingat) Al-Quran dengan terus mempelajarinya dan mengulang-ulang membacanya.

Oleh karena itu, selayaknya waktu mempelajari dan mengulanginya dibagi dengan apik, baik malam maupun siang hari. Rasulullah saw bersabda: “Apabila Ahlu Quran bangun di malam maupun siang hari dengan membacanya niscaya ia akan mengingatnya. Tetapi jika tidak dibacanya niscaya ia aan melupakannya”.

Di dunia wanita, aspek lupa lebih banyak menyentuh pada Al-Quran sebab mereka selalu meninggalkan shalat saat mereka haidh dan dilarang menyentuh Al-Quran serta membacanya dalam masa-masa itu. Para ulama menegaskan bahwa wanita dalam keadaan junib dan haidh boleh membaca Al-Quran dan mengulanginya dalam hati.

Dalam kondisi seperti ini, penulis berpendapat bahwa penggunaan sarana-sarana audio visual tak dapat dielakkan. Seperti Mp3 player atau lab komputer di pesantren yang membuat penghafal Al-Quran bisa membacanya setiap siang maupun malam hari baik ketika shalat atau di luar shalat.

Baca juga:   The Fiqh of Facebook & The Tafsir of Twitter

Sarana seperti Mp3 yang sekarang sudah semakin murah dan bermacam-macam sempat saya wajibkan kepada para santri untuk memilikinya, dengan dukungan motivasi imani dan taufik dari Allah swt, akan semakin mempermudah jalan menghafal Al-Quran.

Kedua, Membiasakan Hafalan

Terkadang lupa mencapai puncak yang sulit untuk diulangi menghafalnya, karena itu harus ada pembiasaan mengulangi menghafal dan membiasakan hal-hal yang telah dilupakan tersebut. Ilmu pendidikan modern pun menemukan bahwa materi yang dilupakan setelah dihafal menuntut peluangan waktu relatif lebih singkat dibanding dengan waktu yang diperlukan untuk menghafal materi yang sama sekali belum pernah dipelajari sebelumnya.

Dan kalau dikaitkan langsung dengan Al-Quran, pernyataan di atas akan sangat terbukti kebenarannya, karena Al-Quran punya pengaruh psikologis dan firman balaghi yang sangat mendalam dalam hati sanubari, sedap strukturnya, mengandung I’jaz atau mukjizat bahwa ia merupakan Kalam Allah.

Ketiga; Mendengarkan Bacaan Orang Lain

Mendengar merupakan media penyemangat yang paling sugestif. Seseorang sekalipun cerdas dan pintar sangat tetapi tidak luput dari kelemahan. Dengan kata lain, suatu saat ia pasti tersentuh lupa. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw seperti dalam hadits Aisyah, mendengar seorang qari’ membaca pada malam hari dalam masjid, maka beliau bersabda: “Semoga Allah memberinya rahmat! Sungguh ia telah mengingatkanku tentang ayat ini yang aku terputus dalam menghafalnya dari suatu surat”. (HR  Bukhari )

Suatu hari Rasulullah saw bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah (Al-Quran) padaku. Ibnu Mas’ud bertanya bagaimana saya membacakan (Al-Quran) kepada anda padahal Al-Quran diturunkan kepadamu wahai Rasul!! Rasulullah saw menjawab: ‘Sungguh saya rindu untuk mendengarkan dari orang lain’. Ibnu Mas’ud (selanjutnya) mengatakan, ‘maka saya bacakan surat An-Nisa’ sampai pada “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)’. Sampai di sini, maka saya melihat air mata beliau meleleh”.

 

Keempat, Meneliti Dan Merenungi Maknanya

Hal ini merupakan tujuan dari diturunkannya Al-Quran sebagaimana firman Allah swt: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran”. (QS An-Nisa: 82)

Aisyah Ummul Mukminin ketika ditanya perihal apa yang sangat mengherankan dari kondisi beliau, maka ia sambil menangis menjawab: Setiap keadaannya sangat menakjubkan. Suatu malam ia mendatangiku sehingga kulitku bersentuhan dengan kulit beliau, kemudian beliau berkata: ‘Tingglkanlah aku seorang diri agar aku dapat menyembah Allah swt’. Kemudian Aisyah menyambung ceritanya dan berkata: Demi Allah saya mencintai dekat dengan engkau wahai kekasih Allah, tetapi saya pun mencintai engkau tetap beribadah kepada Allah’. Kemudian beliau berdiri menuju tempat wudhu untuk mengambil wudhu, tetapi tidak boros menggunakan air. Kemudian dia melaksanakan shalat, sehingga bercucurlah air mata beliau membasahi janggutnya, dan ketika bersujud basahah tanah tempat sujudnya, kemudian dia terletang (miring ke kanan) tetap dalam keadaan menangis sampai Bilal datang untuk melaksanakan adzan Subuh. Bilal bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang telah menyebabkan engkau menangis sedangkan Allah telah mengampuni dosa engkau baik terdahulu maupun yang akan datang”. Aduhai Bilal bagaiama aku tidak menangis sedangkan Allah swt telah menurunkan kepadaku malam ini sebuah ayat:

Baca juga:   Praktik Sabak, Sabki dan Manzil di Pesantren Tahfidh Bina Qolbu

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190)

Kemudian beliau bersabda: “Celakalah orang yang membacanya tetapi tidak memikirkannya”.

Seorang mukmin yang membaca ayat-ayat Allah swt, mempercayai janji dan ancamannya, berita, perintah dan larangannya, niscaya ia tidak akan dapat melupakan yang hak setelah kebenaran itu menyentuh simpul kecintaan kalbunya, ia akan tetap konsekuen yakni tetap membacanya, menghafalnya, memikirkannya, dan meresapinya baik dalam keadaan menyendiri ataupun sedang berada di tengah-tengah orang banyak.

 

Kelima, Menjauhi Maksiat Dan Dosa

Banyak atsar yang menyebutkan tentang anjuran-anjuran untuk meningglkan maksiat karena bisa membuat lupa, di antara atsar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Dari Muhammad Al-Baghawi dari Abu Khutsaimah dari Yazid bin Harun dari Al-Mas’udi dari Al-Qasim bin Abdurrahman berkata, berkata Abdullah: “Tidaklah seseorang itu melupakan ilmu yang telah dia ajarkan melainkan karena dosa yang telah dia kerjakan”.
  2. Sufyan bin Uyainah pernah ditanya; apakah seorang hamba akan dicabut ilmunya lantaran dosa-dosa yang telah dia kerjakan? Bukankah engkau sudah mendengar firman Allah swt {فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قاَسِيَةً يُحَرِفُونَ الكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُواْ حظّاً مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ}yaitu Kitabullah yang menjadi ilmu paling agung, yang dikhususkan bagi mereka dan menjadi hujjah mereka kelak.
  3. Ali bin Khusrum berkata, Aku berkata pada Waki’ bin Jarrah, aku ini orang kampung yang tidak punya hafalan, maka ajarkanlah aku resep menghafal, lantas Waki’ menjawab; “Wahai anakku, demi Allah tidak ada obat yang mujarab selain dengan meninggalkan maksiat”.

 

Kelima, Berbekam

Dari Abu Khithab Ziyad bin Yahya dari Ghazal bin Muhammad dari Muhammad bin Jahdah dari Nafi’ berkata, telah berkata kepadaku Abdullah bin Umar bahwa ia mendengar Rasulullah saw mengatakan bahwa berbekam itu menambah kekuatan hafalan penghafal dan kecerdasan orang yang berakal.

Semoga Allah swt menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang mengikuti yang terbaik dari hal-hal yang pernah didengar. Hanya kepada Allahlah kita bertawakal dan kepada-Nya pula kita kembali. Semoga sedikit ulasan kami ini bermanfaat dan kami tunggu komentarnya di form komentar yang sudah ada.

 

Sumber:

Akhbar li Huffadil Quran, Ibnu Asyakir, Dar Fawaid, Damsyiq, 1996 (Syamilah)

Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir As-Sya’rawi (Syamilah)

Kaifa Tahfadzul Quran, Abdurrab Nawabuddin, 1988 M

Orang Gila Jadi Wali, kumpulan artikel Ustadz Abu Umar Basyier

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *