Melahirkan Mujtahid Ekonomi Islam yang Kredibel

Home » Melahirkan Mujtahid Ekonomi Islam yang Kredibel

Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi dan bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, ekspor impor dengan media L/C, sms banking, dan sebagainya.

Masalah-masalah ekonomi dan bisnis semakin banyak dan berkembang yang semuanya membutuhkan jawaba syariah, seperti exchange rate, waqf saham, MLM, hukum jaminan fiducia dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb.

Sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah  yang sangat pesat, seperti asuransi, mortgage, leasing, obligasi, mutual fund, capital market, pasar uang, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter oleh bank sentral, Semunya membutuhkan ijtihad yang kreatif dan inovatif.

Produk-produk perbankan, asuransi dan lembaga keuangan syariah lainnya  harus dikembangkan secara inovatif, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar.  Semua ini menjadi tantangan bagi para pakar syariah.

Untuk memberikan jawaban secara tepat dan relevan dengan kemajuan zaman dan kebutuhan bisnis, diperlukan pakar-pakar ekonomi syariah (mujtahid) yang handal dan credible yang memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Hal ini di karenakan terjadinya  perubahan sosial dalam bidang muamalah  secara cepat, akibat dari akselerasi globalisasi.

Sehubungan dengan itu, maka pengajaran fiqh muamalah pun tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.

Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika  ekonomi di zamannya.

Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah popular, “Perubahan hukum (fiqh) karena perubahan zaman, tempat, situasi, kondisi dan kebiasaan”.

Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi  fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.

Untuk melakukan ijtihad dalam memberikan solusi dan jawaban bagi problematika ekonomi dan keuangan syariah dewasa ini, kita harus melahirkan mujtahid-mujtahid ekonomi Islam yang berkualitas dan memiliki ilmu yang integraif.

Kualifikasi Mujtahid Ekonomi Islam

Adapun kualifikasi yang harus dicapai untuk melahirkan para mujtahid ekonomi Islam tersebut antara lain :

Pertama

Menguasai secara mendalam disiplin  ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyri.

Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh. 

Di masa depan anggota Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah harusnya  memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, mendalami ilmu-ilmu syariah dan juga ekonomi keuangan modern.

Menurut KH. Ma’rif Amin pada Studium General di Pascasarjana UI Maret 2008, rekruitmen anggota tersebut mirip dengan perekrutan TNI di tahun 1945. Akibatnya, untuk memenuhi kualifikasi ulama ekonomi syariah yang diharapkan sangat sulit.

Kondisi ini harus dimaklumi untuk saat ini, karena kelangkaan intelektual yang komprehensif ilmunya. Ilmu-ilmu syariah yang harus dimiliki mujtahid ekonomi syariah seperti Dewan Syariah Nasional, meliputi ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyrik, falsafah tasyrik dan maqashid syariah.

Baca juga:   Mengenal Profil Dr. Abdulgani, MA

Untuk menguasai ilmu ushul fiqh saja, menurut Ibnu Taymiyah paling tidak harus dibaca dan ditelaah 100 buku/kitab tentang ilmu ushul fiqh, termasuk muqaranah mazahib fil ushul fiqh.

Selain itu, ahli ekonomi syariah harus menguasai ratusan qaidah-qaidah fiqh ekonomi terapan. Kitab Undang-Undang Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dari Khilafah Turki Usmani (1876 M) yang berisi 100 qaidah fiqh ekonomi sangatlah tidak memadai, karena terlalu bercorak Hanafi centris. Padahal terdapat ratusan qaidah lain dari mazhab yang lain. Karena itu perlu banyak membaca literature Arab tentang qaidah-qaidah fiqh ini.

Ilmu tarikh tasyrik dan falsafah tasyri’ juga mesti dimiliki para ulama ekonomi syariah. Kalau tidak, akan menimbulkan kekakuan dan kebingungan dalam menjawab persoalan-persoalan  ekonomi.

Sekedar contoh, seorang yang ingin menjadi mujtahid ekonomi syariah harus membaca ensiklopedi kaedah fiqh ekonomi keuangan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Munazzamah lil Mu’amalatil Maliyah, tulisan ’Athiyyah Abdullah ’Athiyyah Ramadhan.

Selain itu, harus dikuasai   3 jilid kitab Qaidah Fiqh Ekonomi yang sangat kompehensif, yaitu Jamharah al-Qawa’id al-fiqhiyyah fil Muamalat al-Maliyah. Tulisan Ali Ahmad An-Nadawi. Buku ini secara khusus membahas kaedah-kaedah fiqh ekonomi keuangan secara modern, mendalam dan luas.

Yang lebih penting dalam ushul fiqh adalah pengetahuan tentang maqashid syariah. Untuk menguasai konsep  ini dan aplikasinya  wajib dibaca dan dikuasai kitab Al-Muwafaqat fi Ushul asy Syari’ah karangan Al-Syatibi, kitab Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah tulisan Thahir bin Asyur. Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil Al-Ghazali, juga perlu dilihat Risalah ath-Thufi, sebagai perbandingan.

Sebenarnya masih banyak buku-buku lainnya tentang Maqashid Syariah yang mesti dikuasai mujtahid ekonomi Islam.

Pengetahuan tentang asbun nuzul dan  nasakh mansukh, merupakan bagian dari pengetahun ilmu ushul fiqh, karena itu mujtahid ekonomi syariah harus menguasainya.

Kedua

Mujtahid ekonomi syariah harus menguasai ayat-ayat dan tafsir tentang ekonomi dan keuangan (sebaiknya hafal ayat-ayat tersebut yang jumlahnya sekitar 370 ayat), demikian pula hadits-hadits tentang ekonomi dan ulumul hadits.

Sebetulnya mujtahdi itu tidak hanya menguasai ayat-ayat ekonomi  saja tetapi juga ayat-ayat syariah lainnya.

Sebaiknya juga, mujtahid ekonomi syariah  menguasai pemikiran ekonomi para ilmuwan Islam klasik, seperti Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Ibnu Sina, Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Abu Yusuf, Asy-Syaybani, Ibnu Maskawaih, Al-Mawardy, Asy-Syatibi, Ibnu Qudamah, Ibnu Rusydi sampai Ibnu ‘Abidin. dan lain-lain.

Pendeknya seorang mujtahid harus menguasai sejarah pemikiran ekonomi Islam sejak masa Nabi sampai komtemporer.

Ketiga

Memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer.

Akan semakin baik dan sempurna jika  pernah terlibat sebagai praktisi dan semakin baik lagi jika menguasai statistik dan ekonometrik. Tetapi ilmu ekonometrik ini tidak menjadi syarat bagi anggota Dewan Syariah atau Dewan Pengawas Syariah.

Ilmu tersebut diperlukan para peneliti di Perguruan Tinggi atau yang membidangi manajemen resiko misalnya.

Keempat

Ulama sekarang harus juga belajar ilmu ekonomi mikro dan makro, akuntansi dan teknik perbankan dan keuangan.

Tanpa ilmu ekonomi makro, pemahaman tentang riba misalnya pasti tidak tepat dan jauh dari sempurna. Untuk menghasilkan fiqur ahli seperti ini, dibutuhkan universitas (pendidikan tinggi)  mulai dari S1 sampai S3 yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu ekonomi syariah.

Keahlian khusus tersebut lebih akan bisa menghasilkan ulama yang lebih kredibel, jika sejak usia dini (misalnya ibtidaiyah) telah bergelut dengan disiplin ilmu-ilmu syariah di atas.

Baca juga:   Biografi dan Pemikiran Ekonomi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaibani

Melalui pendidikan di S1, S2 dan S3, pemahaman ilmu ekonomi modern dan perbankan bisa seimbang dengan ilmu-ilmu syariah. Apalagi ketika di level tsanawiyah sudah dijarkan materi ekonomi dan perbankan Islam.

Kelima

Pakar ekonomi syariah harus  khazanah pemikiran fiqh muamalah klasik dari berbagai mazhab dan ulama sepajang sejarah.

Yang terakhir

Pengusaan bahasa Arab dengan baik dan juga bahasa Inggris.

Keharusan menguasai bahasa Inggris karena saat ini banyak literature ekonomi Islam yang menggunakan bahasa Inggris dan forum-forum ekonomi Islam internasional selalu menggunakan bahasa Inggris tersebut.

Dengan demikian, seorang mujtahid ekonomi syariah setidaknya harus memenuhi kualifikasi  enam syarat tersebut di atas. Kalaupun sebagian anggota DPS dan DSN masih jauh dari kualifikasi tersebut, hal itu harus dimaklumi, karena saat ini ini kita  masih dalam proses menuju perbaikan dan peningkatan kualitas.

Untuk melahirkan mujtahid ekonomi syariah yang kredibel dan memenuhi syarat, maka pendidikan ekonomi syariah harus ada yang diarahkan untuk mencetak mujtahid ekonomi syariah yang kredibel yang diawali sejak usia dini, mulai dari  pendidikan Ibtidaiyah, Tsawiyah dan Aliyah.

Setelah jenjang pendidikan tersebut, seorang calon mujtahid harus masuk ke pendidikan ekonomi syariah di level S1, S2 dan S3.

Namun harus dicatat, melahirkan mujtahid ekonomi syariah berbeda dengan melahirkan praktisi ekonomi syariah atau sarjana ekonomi syariah biasa.

Untuk melahirkan praktisi ekonomi syariah atau sarjana ekonomi syariah dapat ditempuh melalui pendidikan di perguruan Tinggi yang membuka program Studi Ekonomi Islam, yang inputnya dapat berasal dari   tamatan SMU atau MAN.

Namun untuk melahirkan mujathid ekonomi syariah harus berasal dari latar pendidikan madrasah salafiyah atau pesantren salafiyah yang benar-benar mendalami ilmu-ilmu syariah secara focus, seperti ilmu ushulk fiqh, waq’aid fiqh, tarikh tasyri;, tadfsir dan hadits bersama ilmu mutstalahul hadits dan ulkumul quran.

Tentunya denga ilu nahu dan sharf dan bias diandalkan. Semua ulama terkemuka, seperti Imam Syafii, Imam Ghazali, Imam Nawawi, Syahwaliulah ad-Dahlawi dan ribuan ulama lainnya Mereka memulai pendidikan syariah dari usia yang sangat dini, sehingga di usia 12 – 15 tahun telah mendalami ilmu-ilmu syariah secara mantap.

Jika calon mujtahid telah mendalami ilmu syariah secara mantap dengan kemampuan bahasa yang mantap pula, maka mereka dikuliahkan di pendidikan ekonomi syariah yang seimbang kurikulumnya antara ilmu ekonomi dan ilmu syariah.

Mujtahid ekonomi syariah sedikit jumlahnya, karena sulit melahirkannya.

Jika setiap propinsi ada 2 atau 3 mujtahid, hal itu sudah sangat luar biasa dan itu sulit ditemukan.

Dari sebuah Perguruan Tinggi Islam IAIN dan UIN  misalnya, tidak setiap wisuda melahirkan orang-orang pintar yang bisa menjadi mujtahid. Bahkan bertahun-tahun Perguruan Tinggi tersebut tidak melahirkan mujtahid ekonomi syariah.

Kemampuannya harus jauh di atas rata-rata kebanyakan orang. Sedangkan untuk melahirkan mujahid (pejuang, pegiat) ekonomi syariah di dunia praktisi jauh lebih gampang. Banyak lembaga pendidikan yang bisa mewujudkannya.

Bahkan praktisi ekonomi syariah saat ini lulusan pendidikan ekonomi sekuler yang disyariahkan.

Upaya Syafi’iy Antonio mencari input mahasiswa dari pesantren merupakan sebuah usaha yang sangat strategis untuk melahirkan mujtahid ekonomi syariah.

Namun pesantrenya harus pilihan dan unggulan, diutamakan pesantren salafiyah yang standar kurikulumnya dan kitab-kitab rujukannnya sama dengan di Mesir.

Penulis masih ingat, ketika sekolah di madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, kurikulum dan standarnya sama dengan pendidikan di Timur Tengah, berbeda dengan pesantren-pesantren terkenal seperti Gontor.

Di madrasah salafiyah itu didalami berbagai disiplin ilmu seperti, Ilmu nahwu, sharf, balaghah, mantiq, ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyti’, ilmu fiqh, ulumul quran mustahalhul hadits, tafsir, hadits, faraidh,  ilmu tawhid, akhlak, Sejarah Tamaddun Islam, Semuanya harus dimantapkan sejak usia yang paling dini.

Baca juga:   Pemikiran Ekonomi Muhammad Abdul Mannan

Semua mata pelajaran menggunakan bahasa Arab. Ilmu Nahwu dengan nama buku Nahwul Wadhih, yang terdiri dari 3 jilid wajib ditamatkan di Madrasah Ibtidaiyah.. Sedangkan di Pesantren Gontor, buku ini digunakan di tingkat Aliyah, di Madrasah Aliyah,

Mujtahid ekonomi syariah hanya bisa dilahirkan jika inputnya berasal dari pendidikan madrasah atau pesantren salafiyah yang unggulan.

Setelah ilmu-ilmu syariah selesai dikuasai, maka seorang calon mujtahid masuk pendidikan ekonomi syariah atau jurusan muamalah di IAIN Salafiyah, mulai dari S1,S2 sampai S3. IAIN Salafiyah adalah jurusan syariah yang menggunakan literatur bahasa Arab, di mana ujian dan jawaban menggunakan bahasa Arab Fushah.

Penutup

Melahirkan mujtahid ekonomi syariah harus diwujudkan, walaupun upaya ini dirasakan sangat sulit, Melahirkan ulama sekaliber Wahbah az-Zuhayli, Mustafa Anas Zarqa’, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad An-Nadawi tidaklah mudah, Namun mendekati kapasitas mereka tersebut tidaklah sesulit melahirkan ulama seperti mereka.

Pemerintah dan MUI sebagai dua pilar kemajuan paradaban Islam, harus memikirkan untuk melahirkan ulama sekaliber Wahbah Az-Zuhayli, melalui program beasiswa. Jika memungkinkan, Bank Indonesia dan lembaga keuangan syariah membiyai 3 – 5 orang unggulan Indnesia untuk kuliah di luar negeri di bidang ekonomi syariah.

Jadi beasiswa bukan saja untuk menciptakan ilmuwan (ekonom) syariah, seperti IIUM Malaysia, UK Durham University, tetapi juga beasiswa untuk melahirkan ulama ekonomi syariah.

Kalau kita memadakan ulama, mujtahid seperti anggota DPS dan DSN saat ini, masih jauh dari harapan, karena masih banyak yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keilmuan syariah yang memadai.

Kalau pun ada ulama, tapi paradigma dan metodologinya masih klasik sentries, belum menangkap konsep-konsep brilian Asy-Syatibi, juga  belum menerapkan falsafah tasyrik, tarikh tasyrik secara komprtehsnif. Hal itu terlihat pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN, misalnya dalam akad-akad sukuk, akad ijarah, mudharabah, syirkah, dan lain-lain.  Selain itu, penguasaan ekonomi keuangan  sebagian DPS masih rendah.

Terakhir, kita berharap dan berdo’a, agar di masa depan semua kelemahan  itu dapat ditingkatkan. Apa yang dicapai saat ini oleh ulama ekonomi syariah Indonesia sudah merupakan capaian yang luar biasa. Walaupun kita  belum puas dengan kondisi sekarang.

Karena problem itulah maka tulisan ini diturunkan, agar ada yang memikirkan masa depan ulama mujtahid ekonomi syariah.

Sebab sampai saat ini belum pernah ada pemikiran yang memikirkan upaya melahirkan mujtahid ekonomi Islam, Semua pakar terfokus memikirkan bagaimana melahirkan praktisi ekonomi syariah yang profesional dan unggul dan bagaimana melahirkan sarjana ekonomi syariah yang handal.

Oleh : Agustianto Mingka
Anggota Pleno DSN-MUI

Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Anggota Dewan Syariah Nasional dan Dosen Ushul Fiqh Ekonomi dan Fiqh Muamalah (for Islamic Banking and Finance) pada Pascasarjana UI, IEF S2 Universitas Trisakti,  Program Magister Universitas Paramadina dan Univ. Az-Zahro

Sumber:

Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Agustianto dalam http://www.agustiantocentre.com/?p=768

Baca Juga:

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *