Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud no 4333 dalam kitab al-Fitan wal Malahim, Rasulullah SAW bersabda ketika menafsirkan ayat “alaikum anfusakum” (QS al-Maidah: 105):
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الشَّعْبَانِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيَّ فَقُلْتُ لَهُ: كَيْفَ تَصْنَعُ بِهَذِهِ الْآيَةِ؟ فَقَالَ: أَيَّةُ آيَةٍ؟ قُلْتُ: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ﴾
قَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ سَأَلْتُ عَنْهَا خَبِيرًا، سَأَلْتُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ:
بَلِ ائْتَمِرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا وَهَوًى مُتَّبَعًا وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعْ عَنْكَ أَمْرَ الْعَامَّةِ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى الْجَمْرِ
لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ [. وَفِي رِوَايَةٍ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ:] بَلْ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ [. قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ.
“Bahkan perintahkanlah oleh kamu sekalian untuk berbuat amar ma’ruf nahi mungkar, sehingga jika engkau telah melihat manusia mentaati sifat kikir, hawa nafsu telah liar diumbar, dunia diutamakan, dan setiap orang yang mempunyai pendapat (pemikiran) telah bangga dengan pendapatnya sendiri/
Maka hendaklah kalian menjaga diri kalian sendiri dan meninggalkan orang-orang awwam, karena sungguh setelah itu akan ada hari-hari (yang sulit dan berat)(sehingga karena sulit dan beratnya) orang yang sabar (di dalam memegang kesepakatan atas kebenaran) bak menggenggam bara api.
Orang yang beramal (pada zaman itu, mendapatkan pahala) seperti pahala lima puluh kalinya orang yang beramal diantara kamu sekalian.” Dalam riwayt lain ada tambahan, Para sahabat ketika itu bertanya kepada Rasulullah, “lima puluh kalinya kami atau mereka?” Rasulullah menegaskan, “Bahkan lima puluh kalinya kamu sekalian (yakni para sahabat).”
Abu Isa menyatakan: Hadis ini Hasan Gharib
Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam mengisyaratkan bahwa ada keadaan dimana amar ma’ruf nahi mungkar tidak lagi berarti. Keadaan dimana manusia tidak lagi mempan terhadap seruan peringatan, nasihat dan pelurusan, mereka telah menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan-nya yang baru.
Dunia begitu diutamakan dan meyedot seluruh perhatian mereka, hasilnya pun mereka nikmati di dunia tanpa ada yang mereka simpan dan sisakan untuk akhirat sehingga membuat mati sistem musyawarah yang sangat ditekankan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, padahal musyawarah adalah perkara yang sangat penting untuk memperkecil dan menghindari jalan-jalan syaithan yang selalu menghalangi, maka hendaknya seorang pemimpin tidak memutuskan suatu perkara sendiri saja sepanjang masih bisa mengajak musyawarah para bawahannya.
Jika musyawarah sudah tidak bisa dijadikan tradisi lagi dan orang-orang lebih suka dengan pendapat dan pemikirannya sendiri, maka Nabi Shallallahu Alaihiwasallam menganggap hal itu sebagai aafat mujtama’ (bencana suatu masyarakat), sehingga menjaga diri sendiri itu lebih baik dari pada berada pada masyarakat yang berkarasteristik seperti itu.
Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk perkara yang agung dan hendaknya maslahat yang didapat lebih baik dari pada madharatnya. Allah memuji orang-orang yang selalu berbuat kebaikan dan mencela orang-orang yang selalu berbuat rusak bukan pada tempatnya sehingga mafsadah dari Amar ma’ruf nahi mungkar lebih besar dari pada maslahatnya.
Dalam hal ini ada dua golongan manusia yang berlebih–lebihan:
Pertama
Segolongan orang yang meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar karena salah menafsirkan ayat di atas. Abu Bakar berkata dalam khutbahnya; sesungguhnya kalian membaca ayat ini: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…” (QS al-Maidah: 105), tetapi kalian tidak meletakkannya pada tempatnya, sunggh aku telah mendengar Nabi Shallallahu Alaihiwasallam bersabda: “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran dan tidak merubahnya atau ragu akan kemungkaran tersebut, niscaya Allah akan mengumumkan balasan bagi mereka.”(HR Ibnu Majah)
Ayat ini
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Sebagian orang menafsirkannya dengan meninggalkan amar ma’ruf kepada orang lain, namun menurut penjelasan Abu Bakar dan sahabat lainnya seperti Ibnu Umar, Abi Tsa’labah dan lainnya bahwa maksud ayat ini berkebalikan dengan pemahaman yang salah itu, maksudnya adalah tidak akan membahayakn keimananmu jika kamu mendapatkan hidayah dengan menegakkan perintah-perintah Allah Subhanahu Wata’ala.
Kedua
Orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar tanpa dasar ilmu, hilm dan kesabaran, seperti yang dilakukan oleh para Ahli Bid’ah dan Hawa Nafsu dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah dan Rafidhah sehingga kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada maslahatnya.
Selanjutnya pada hadits di atas Rasulullah SAW memberikan motivasi untuk tetap beramal dan bersabar jika mendapatkan manusia yang berakhlak seperti dalam hadits di atas.
Maksud Ibarat Menggenggam Bara
Pengibaratan dengan menggenggam bara api adalah ibarat yang sangat gamblang menggambarkan orang-orang yang berkomitmen kepada agamanya di akhir zaman. Kalau dibiarkan maka imannya akan hilang, namun jika pertahankan, nyawa menjadi taruhannya.
At-Thibi mengatakan: “Maknanya sebagaimana seseorang yang memegang bara tidak bisa sabar karena tangannya akan terbakar, begitu juga Ahlu Dien pada hari itu tidak mampu untuk berpegang teguh terhadap agamanya karena merebaknya maksiat dan tersebarnya kefasikan dan lemahnya iman.”
Al Qaari mengatakan: “Maknanya adalah tidak mungkin seseorang mampu memegang bara kecuali dengan kesabaran prima dan ia akan merasa sangat sakit (ketika memegangnya) begitu juga orang-orang pada masa itu tidak tergambar keteguhan mereka pada ad-Dien dan sinar cahaya iman mereka kecuali dengan kesabaran yang besar.”
Ibnul Jauzy yang wafat pada tahun 597 H mengatakan dalam kitabnya ‘Talbis Iblis’.
إذا رَأَتِ الملائكةُ مُؤمِنًا قد ماتَ علَى الإيمانِ تَعَجَّبَت مِن سَلامَتِه
“Jika para Malaikat melihat orang-orang beriman wafat dia atas keimanannya, mereka akan takjub atas selamatnya mereka dari kekufuran”
Syaikh Badruddin Al-Hasani, ahli hadis dari Syam yang wafat pada tahun 1267 H mengatakan redaksi yang sama dengan Ibnul Jauzy di atas.
إنّ الملائكةَ لتَتَعَجَّبُ مِمّن يموتُ علَى الإيمان في هذا الزَمان”.
“Sungguh, para Malaikat akan takjub dengan siapa yang wafat dalam keadaan beriman di zaman ini”.
Ibnul Jauzy telah memberina nasehat lebih dulu dengan apa yang dikatakan Syaikh Al-Hasani, lebih dari 700 tahun sebelumnya.
Itulah gambaran orang yang konsekuen dengan ajaran Islam saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu sulitnya dan begitu beratnya. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. Demikianlah resikonya. Namun nantikan balasannya di sisi Allah yang luar biasa andai mau bersabar.
Maksud mendapat pahala 50 Sahabat
Para ulama menjelaskan mengapa orang-orang yang hidup dan beramal pada zaman itu mendapatkan pahala hingga 50 kali pahala para Sahabat, karena sulitnya untuk beramal dan bersabar terhadap ujian di dalam mengamalkan dien ketika itu, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Kamu sekalian (wahai para Sahabat-ku) mendapatkan penolong-penolong untuk berbuat kebaikan, (sedang mereka) tidak mendapatkan penolong dalam meaksnakan kebaikan.”
Para Sahabat beramal ketika Rasulullah SAW ada di tengah-tengah mereka, ayat turun memberi penilaian, sanjungan dan teguran kepada mereka, suasana untuk berbuat kebaikan marak di setiap sudut, sedang generasi belakangan yang mendapatkan 50 kali pahala mereka beramal di saat Nabi hanya didapatkan dalam sirah dan sunnah. Al Quran sudah tidak turun lagi, itu pun penafsiran manusia terhadapnya bermaca-macam, dan suasana tidak mendukung untuk berbuat kebaikan, bahkan kemaksiatan merata menggerogoti ketahanan iman dan akhlaq mereka.
Mereka mendapat pahala yang begitu agung, disebabkan ketegarannya di atas kebenaran saat berbagai fitnah bermunculan dan rintangan begitu banyak.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan mereka sebagai kaum terasing (ghurabâ’). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
Beruntunglah orang-orang yang dianggap asing (ghurabâ’).” Rasûlullâh ditanya, “Wahai Rasûlullâh, siapakah orang-orang terasing itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Yaitu) orang-orang yang melakukan perbaikan tatkala orang-orang rusak.”[HR. Ahmad]
Dalam riwayat lain:
يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ
Yaitu yang memperbaiki apa yang telah dirusak orang-orang[HR. At-Tirmidzi]
Mengomentari pahala 50 sahabat ini dalam kitab Fathul Wadud dikatakan bahwa yang dimaksud seperti pahala 50 sahabat adalah untuk amal-amal yang berat untuk menunaikannya ketika itu dan tidak secara mutlaq karena dalam suatu hadits disebutkan “Sekiranya kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan sampai (pahalanya) seseorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” Karena para Sahabat mempunyai keutamaan dari yang lainnya secara mutlaq.
Penjelasan ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari-nya.
على أن حديث ( للعامل منهم أجر خمسين منكم ) لا يدل على أفضلية غير الصحابة على الصحابة ؛ لأن مجرد زيادة الأجر لا يستلزم ثبوت الأفضلية المطلقة ، وأيضا فالأجر إنما يقع تفاضله بالنسبة إلى ما يماثله في ذلك العمل ، فأما ما فاز به من شاهد النبي صلى الله عليه وسلم من زيادة فضيلة المشاهدة فلا يعدله فيها أحد
Keterangan dari Dr. Abdul Karim bin Abdullah Al-Khudhain
قال –صلى الله عليه وسلم-: «لو أنَّ أحدَكم أنفَقَ مثلَ أُحُدٍ ذَهبًا ما بلَغَ مُدَّ أحدِهم ولا نصيفَه» [البخاري:3673]، هذا الجبلُ العظيمُ لو أُنفِقَ مثلُه ذهبًا ما بلَغَ مُدَّ أحدِهم ولا نصيفَه، والذَّهبُ يوزن، والمد كيل، فقَرَنَ ما يُكالُ بما يُوزَنُ ليُناسِبَ حالَ الصحابةِ؛ لأنَّ أكثرَ إنفاقِهم في الأطعمةِ وهي ممَّا يُكالُ، فالمعادل هنا هو الجبل، والمُعادَلُ به الذَّهبُ وهو أعلَى ما يضربُ به المثلُ مِن متاعِ الدُّنيا. والمُدُّ مِلءُ كفَّي الرَّجلِ المُعتدِلِ وهو ربعُ الصاعِ. (ولا نصيفه) يعني النصفَ، فمثلُ أُحُدٍ من غير الصحابة لا يعدِلُ ثمُنَ صاعٍ بالنسبةِ لهم. هذا الحديثُ الصحيحُ لا يَتعارَضُ معَ قولِ النبيِّ -ﷺ-: «فإن من ورائكم أيام الصبر، الصبر فيه مثل قبض على الجمر، للعامل فيهم مثل أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله» قيل: يا رسول الله أجر خمسين منهم؟ قال: «أجر خمسين منكم»[أبو داود:4341]، فهذا الحديثُ يدلُّ علَى أنَّ الإنفاقَ والعملَ الصالحَ في آخرِ الزمانِ أفضلُ مِن العملِ الصالحِ بالنسبةِ للصحابَةِ، ولكن نقولُ: كونُ هذا الأجرِ خمسينَ ضَعفًا بالنسبةِ لأجرِ الصحابيِّ لا يعني أنَّ صاحبه أفضلُ من الصَّحابةِ، فشَرَفُ الصحبة لا يعدلُه شيءٌ.
Wallahu ‘Alam Bisshawab
[…] tugas untuk meneliti sanad atau rantai periwayat hadis. Saya ingat waktu itu meneliti hadis tentang Qaabidh álal Jamri yaitu hadis Nabi tentang keadaan akhir zaman yang memegang teguh agama laiknya memegang bara […]