Menelisik Tema Kesadaran Sejarah

Kita semua tentu ingat dengan slogan presiden pertama kita, Soekarno tentang kesadaran sejarah, yang berbunyi “Jas Merah” jangan pernah melupakan sejarah. Lewat slogan tersebut beliau telah mengajarkan kita tentang urgensi sejarah bagi sebuah bangsa, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan jasa-jasa para pahlawannya. Dan kalau kita mau belajar dari sejarah, maka berbagai persoalan bangsa yang terus mendera sejatinya tidak perlu terjadi, mulai dari ancaman perpecahan, permusuhan hingga merebaknya berbagai kasus korupsi yang sudah mendarah daging.

Tapi, apa jadinya kalau tema mulia seperti itu ditunggangi oleh sekelompok orang demi menjustifikasi pemikiran serta keyakinan mereka. Tulisan ini bermaksud mengurai tema kesadaran sejarah yang telah diplintir oleh kalangan Syiah dan Yahudi-Zionis. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan open mind untuk kita semua. Kritik dan saran membangun untuk tulisan ini sangat kami harapkan.

Ismailiyyah pada awal kebangkitannya telah melahirkan berbagai aliran rahasia dan sesat untuk menumbangkan Dinasti Abasiyah, khususnya gerakan Qaramithah, Assasin dan Duruziah. Sejarah mereka dalam Islam sangat tercela karena mereka berusaha untuk menghancur-luluhkan ajaran Islam dengan cara berpura-pura menjadi pembela rakyat kecil dan miskin.

Isu yang mereka tampilkan adalah mempertentangkan kelas-kelas dalam masyarakat dengan menggunakan dua istilah, yaitu kelas penguasa yang menindas dan kelas rakyat jelata yang tertindas. Lewat istilah ini mereka berusaha menyisipkan ajaran bahwa yang mampu menumbangkan kelas penguasa adalah imam-imam mereka, yang mampu membebaskan penindasan rakyat kecil yang lemah adalah imam-imam mereka. Dengan demikian, menurut ajaran Ismailiyah, siapa saja yang menjadi pengikut mereka akan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan.

Cara berfikir seperti ini merupakan salah satu ciri penganut faham Mani (Manichaeanisme) yang mendasarkan ajarannya pada ke-serbadua-an Zoroaster. Ajaran agama ini memberikan arti bathiniyah pada pergulatan antara siang-malam atau gelap dan terang. Wujud ajaran agama ini adalah dengan menganggap bahwa di dunia ini hanya ada dua kekuatan, yaitu kekuatan baik dan jahat.

Baca juga:   Gus Mus yang Waras

Cara berfikir yang sempit dan dikotomis seperti ini, kemudian oleh kaum Syiah modern diterjemahkan dengan lebih jauh lagi. Mereka mengatakan bahwa para Nabi yang diutus adalah pembela kaum tertindas (Mustadh’afin) dan powerless. Para Nabi dan Rasul itu datang untuk menumbangkan kekuatan kaum penindas. Dengan cara ini kaum Syiah modern ini berusaha untuk mencari pembenaran atas segala tingkah polah perbuatan mereka.

Hal demikian bisa dimaklumi jika kita mengetahui bahwa pada awal kemunculannya Syiah lebih merupakan tempat persembunyian kaum tertindas dan pembalas dendam yang berasal dari berbagai agama dan kepercayaan yang ada saat itu. Setelah Islam mencapai puncak kejayaannya, api Majusi telah padam, salib Nasrani telah pecah, sehingga kedengkian mereka banyak memiliki peran.

Syiah yang merupakan campur aduk dari berbagai agama dan kepercayaan bukan rahasia lagi, sebagaimana pernyataan Dr. Fazlur Rahman –yang oleh seorang muridnya, Prof. Syafi’I Ma’arif disebut sebagai “tokoh yang paling bertanggung jawab atas seluruh gerakan pembaruan pemahaman Islam kontemporer”- dalam bukunya yang berjudul ISLAM, menyatakan: “Di antara ide-ide yang ada, terdapat ide-ide Kristen, Manichaeaisme, dan Budhisme. Ini membawa kepada terbentuknya sekte-sekte rahasia, dan sebagaimana Syi’isme memenuhi tujuan orang-orang yang terpencil secara politis, maka demikian pula di bawah selubungnya, orang-orang yang terusir secara spiritual mulai memperkenalkan ide-ide lama ke dalam Islam”.

Dewasa ini, isu pertentangan kelas dengan dalih pembebasan melalui ketaatan agama dengan bentuk yang lebih halus dan samar kembali didengungkan oleh kaum Syiah Imamiyyah-Itsna asairah. Dalam permasalahan yang mendasar dengan dalih Hak Imamah, dengan postulat bahwa semua Nabi dan Rasul yang datang dan diutus oleh Tuhan selalu membawa ajaran yang membela rakyat tertindas.

Lewat isu ini kaum Syiah Imamiyyah mencoba merangkul kaum muda Islam yang haus akan perjuangan dan keagamaan dengan tema baru yang disebut sebagai Kesadaran Sejarah yang menjanjikan sebuah dunia baru yang ‘penuh keadilan, setelah dipenuhi kedhaliman’ atau ‘tuntutan keadilan’ dan ‘penumpasan kebatilan’.

Baca juga:   Yahudi Dan Syiah

Namun kesadaran sejarah yang dimaksud tetap mengacu dan merujuk pada pertentangan antara dua kekuatan Baik dan Buruk. Dr. Ali Syariati –sosiolog yang lebih dikenal sebagai ideolog Revolusi Iran- menguraikan masalah ini melalui kisah Habil dan Qabil (dua putra Nabi Adam), sebagai basis pemikirannya tentang kesadaran sejarah para kaum tertindas. Habil dilambangkan sebagai orang-orang yang tertindas, sedangkan Qabil adalah lambang kaum penindas.

Tema ini kemudian diangkat oleh Drs. Jalaluddin Rachmat. M.Sc –pakar ilmu telekomunikasi Indonesia-, untuk menguraikan kisah terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib ra, sebagai benang yang merentang sejak zaman itu sampai dengan masa sekarang. Oleh karena itu beliau merumuskan pemikirannya sebagai berikut: “Muhammad saw, sebagaimana nabi-nabi Allah yang lain, datang bukan hanya sekedar mengajarkan Shalat dan Doa. Ia adalah tokoh revolusioner yang memimpin kelompok tertindas melawan kedhaliman system yang berlaku. Ia tampil membimbing kaum mustadha’fin untuk mengubah nasibnya dan menentang kaum mustakbarin supaya menghentikan keserakahannya. Karena itu ia didukung rakyat kecil dan dibenci kebanyakan penguasa. Di antara yang paling berkuasa adalah Abu Sufyan”.

Sungguh kita tidak mengerti dengan rumusan atau pemikiran seperti apa yang dikehendaki Drs. Jalaluddin Rachmat. M.Sc, apakah hanya untuk mengisahkan kembali peristiwa keji Karbala beliau harus mengupayakan suatu analogi yang seperti itu? Sungguh Nubuwah Muhammad saw tidak semata-mata seperti yang diduga oleh Drs. Jalaluddin Rachmat. M.Sc. Ajaran yang dibawa, diperintahkan dan didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw dan segenap rasul adalah untuk menghambakan manusia kepada tuhannya.

Diciptanya langit, bumi, para malaikat, manusia, siang, malam, timbangan amal, shirath, surga dan neraka oleh Allah SWT adalah demi tegak dan terwujudnya tujuan ini, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Adz-Dzariat: 56, Al-Mukminun: 11, Hud: 50, 61 dan 84, An-Naml: 36 dan sabda Nabi SAW “Sampai Allah saja yang diibadahi, tidak ada sekutu baginya”. (HR. Ahmad)

Baca juga:   Marah Dalam Pandangan Islam

Istilah yang disebut sebagai kesadaran sejarah ini sebenarnya mempunyai dua sisi, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi istilah ini berusaha untuk membelokkan opini masyarakat banyak atas sejarah Islam dengan mengaburkan fakta sejarah yang sebenarnya terjadi. Di sisi lainnya, ia juga berusaha untuk menghapuskan kejahatan Yahudi yang telah menikam dan merobek-robek Islam pada awal sejarah perkembangannya.

Salah satu usaha Yahudi-Zionis dan Syiah untuk mengaburkan fakta-fakta sejarah adalah usaha mereka untuk menghapuskan nama Abdullah bin Saba dan Abdullah bin Makmun Al-Qaddah sebagai arsitek utama Syiah dari panggung sejarah Islam, yang mereka lakukan melalui tangan Murtadha Al-Askari, Dr. Kamil As-Syibli, Dr. Ali Al-Wardi, Dr. Thaha Husein, Muhammad Jawwad Al-Mughniyyah dan Dr. Abdullah Fayyadh, murid-murid para orientalis.

Alasan mereka menolak figur Abdullah bin Saba karena berita tentangnya dikutip dari buku sejarah tulisan Ath-Thabari melalui jalur Saif bin Umar At-Tamimi yang dikenal sebagai perawi lemah, suka berdusta dan tidak bisa dipercaya. Saif bin Umar At-Tamimi memang dinyatakan lemah dan haditsnya tidak dapat dipercaya oleh ulama, tetapi dalam masalah yang berhubungan dengan hukum syariah, bukan dalam bidang sejarah.

Dan berita tentang Abdullah bin Saba tidak hanya diriwayatkan melalui jalur Abdullah bin Saif At-Tamimi saja, Abu Amr Muhammad Ibnu Umar Al-Aziz Al-Kasyi telah meriwayatkan tujuh jalur tentang Abdullah bin Saba tanpa melalui jalur Saif bin Umar At-Tamimi yang dianggap lemah itu. Selain itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bukunya Lisan Al-Mizan jilid III hal 289-290 yang terbit tahun 1330 H meriwayatkan enam jalur yang juga tanpa melalui jalur Saif bin Umar At-Tamimi. Maka berdasarkan keterangan di atas, alasan untuk menghilangkan figur Abdullah bin Saba dari panggung sejarah tidak dapat dipertahankan.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *