Mengapa Muawiyah Mencalonkan Putranya sebagai Khalifah?
Muawiyah menjadi Amirul Mukminin selama hampir 20 tahun. Selama itu, Muawiyah dan Al-Husain saling menghormati dan menghargai. Hubungan mereka baru merenggang pada masa akhir kekhilafahan Muawiyah, ketika dia mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah sebagai penerus.
Menurut Hasan Al-Husaini dalam bukunya, Mausyu’ah Hasan wal Husain yang diterbitkan Pustaka Imam Syafi’i dalam judul ‘Hasan dan Husain, Untold Story‘ menyebutkan beberapa alasan mengapa Muawiyah mengangkat Yazid sebagai Khalifah.
Dua alasan pentingnya adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah menilai, Yazid pantas sebagai Khalifah
Ibnu Katsir menuturkan; ketika berdamai dengan al-Hasan, Muawiyah berjanji akan menyerahkan tampuk kekhilafahan kepada al-Hasan sepeninggalnya (meskipun al-Hasan tidak menginginkannya).
Namun al-Hasan wafat sebelum Muawiyah mengangkatnya, dan kedudukan Yazid semakin kuat di mata sang Khalifah, maka dia pun menilai putranya itu, Yazid pantas menjadi pengganti dirinya.
Sikap Muawiyah ini, selain dikarenakan kecintaannya yang sangat besar terhadap Yazid, juga dikarenakan putranya itu memiliki kemuliaan dan keunggulan apabila dilihat dari sudut pandang duniawi. Betapa tidak? Yazid adalah putra Khalifah yang menguasai strategi, mengerti struktur pemerintahan, dan bisa menjaga kelanggengan negara. Ketika itu, Muawiyah berkeyakinan tidak ada seorang pun anak Sahabat Rasulullah yang memiliki karakter seperti dia.
Muawiyah sendiri mungkin tidak menyangka sikap putranya itu akan berbeda antara sebelum dan sesudah menjadi penguasa. Sebelum berkuasa, Yazid menunjukkan sifat dan sikap yang mendorong Muawiyah untuk mencalonkannya sebagai khalifah, tetapi setelah berkuasa dia justru mulai memperlihatkan sikap semena-mena dan melakukan berbagai kesalahan nyata.
Menurut Az-Zahabi, Yazid adalah seorang yang kuat dan dikenal sebagai pemberani, memiliki pandangan yang brilian, tekad yang kuat, kecerdasan, dan mampu berkomunikasi dengan lugas.
Hal serupa dikatakan oleh Ibnu Katsir; menurutnya Yazid memiliki sifat-sifat terpuji seperti dermawan, santun, dan berani. Selain itu, dia mempunyai konsep yang bagus terkait penyelenggaraan pemerintahan.
Sebenarnya, para Sahabat dan anak-anak mereka lebih baik dan lebih pantas menjadi khalifah dibandingkan dengan Yazid, yang demikian tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja, Muawiyah mengira sifat-sifat putranya yang ditunjukkan selama ini sudah menjadikannya layak untuk menggantikan sang ayah. Selain itu, Muawiyah menilai bahwa Yazid memiliki kecakapan dalam memimpin yang tidak dimiliki orang lain. Sebab selama ini, Yazid selalu mendampingi ayahnya, sehigga dukungan dan loyalitas tinggi dari penduduk Syam pun didapatkan. Dengan kondisi demikian, Yazid dapat melihat dari dekat berbagai peristiwa politik yang terjadi pada masanya.
2. Muawiyah ingin menjaga persatuan umat
Ketika masih hidup, Muawiyah sempat mengutarakan kekhawatirannya terhadap perpecahan umat pada masa mendatang. Dia berkata kepada Abdullah bin Umar: “Sungguh, aku khawatir meninggalkan umat Muhammad seperti domba tanpa penggembala”. Karena itu, Muawiyah berusaha mencari pengganti dirinya. Dia khawatir terjadi perselisihan di antara umat Islam sepeninggal dirinya, yang menggiring mereka ke dalam perang saudara episode baru.
Akhirnya, Muawiyah menjatuhkan pilihannya pada putranya sendiri, Yazid, karena sosok inilah yang didukung oleh penduduk Syam; sementara mereka merupakan representasi bagi kestabilan daulah Islam. Bagaimanapun juga, apa yang dilakukan Muawiyah adalah ijtihad, meskipun menunjuk Yazid sebagai penggantinya dinilai sebagai keputusan yang keliru.
Agar suksesi kekhalifahan berjalan dengan damai, Muawiyah mengadakan pertemuan akbar di Damaskus.
Dalam pertemuan itu, dia mengundang utusan dari berbagai kawasan, antara lain Syam, Bashrah, Madina dan wilayah-wilayah lainnya. Para utusan ini merupakan tokoh klan Arab. Kepada mereka, Muawiyah menyatakan akan mengangkat putranya, Yazid sebagai pengganti dirinya. Para utusan yang datang menyambut keinginan itu dengan baik. Mereka bahkan memuji Muawiyah dan meyakinkan bahwa itulah cara yang paling tepat untuk menjaga persatuan umat dan mencegah terjadinya pertumpahan darah. Maka Yazid pun dibaiat sebagai penerus ayahnya.
Lain halnya dengan penduduk Madinah, mereka tidak menyetujui pembaiatan tersebut bahkan menentangnya dengan keras. Mereka mengutus Amr bin Hazm Al-Anshari untuk menemui Muawiyah dan menyempaikan ketidaksetujuan mereka atas pembaiatan tersebut. Muawiyah dengan besar hati mau mendengarkan kritikan Amr dan memberinya hadiah besar.
Muawiyah kemudian datang ke Madinah untuk melakukan pendekatan kepada penduduknya. Melalui khutbahnya di hadapan mereka, dia mengajak masyarakat Madinah agar membaiat Yazid. Dia berusaha meyakinkan mereka bahwa Yazid sosok yang paling layak untuk menjadi khalifah setelah dirinya. Muawiyah berkata: “Kami telah membaiat Yazid, maka baiatlah dia”.
Dengan pendekatan tersebut, akhirnya semua penduduk Madinah bersedia berbaiat kepada Yazid, kecuali empat orang; Abdullah bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan al-Husain bin Ali. Ada tiga hal yang menyebabkan keempat Sahabat itu tidak bersedia berbaiat kepada Yazid.
- Mereka menolak pewarisan kekhalifahan dari bapak kepada anak karena cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Khulafa Rasyidin
- Pada masa itu, masih ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah dan layak dibaiat untuk itu daripada Yazid, baik dari sisi senioritas keislamannya, kedalaman ilmunya, pengalamannya, kedudukan sosialnya, maupun statusnya sebagai Sahabat. Misalnya Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah bin Zubair, dan sahabat lainnya. Kedudukan Yazid tentu tidak seberapa dibandingkan dengan kedudukan para Sahabat tersebut.
- Pembaiatan terhadap Yazid dilakukan ketika Muawiyah masih hidup dan masih berstatus sebagai khalifah yang telah dibaiat oleh kaum muslimin. Hal ini jelas menyalahi hadis Nabi yang melarang adanya pembaiatan terhadap dua orang (untuk menjadi khalifah) dalam waktu yang sama.
Apa yang mesti Idealnya dilakukan Muawiyah?
Mu’awiyah berjitihad dengan memilih anaknya, Yazid sebagai pengganti dirinya. Akan tetapi, apakah ijtihadnya itu tepat? Idealnya, Muawiyah membentuk sebuah dewan yang terdiri dari tokoh masyarakat Islam yang berada di Syam, Irak, dan Hijaz, serta wilayah-wilayah yang tidak diragukan integritasnya untuk menyelengarakan musyawarah pemilihan khalifah pengganti dari kalangan Quraisy.
Rekam jejak dan kemampuan berpolitik calon khalifah harus mendapatkan legitimasi dari mayoritas tokoh masyarakat, seperti para tokoh Sahabat; karena mereka jelas-jelas layak menjadi pimpinan seandainya tanggung jawab itu diserahkan kepada mereka. Di antara para tokoh Sahabat yang masih hidup pada masa itu adalah al-Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas. Akan tetapi, sayangnya Muawiyah tidak melakukan cara ini sehingga suksesi kepemimpinan pun berubah dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan.
Muawiyah seharusnya tidak mencalonkan Yazid, karena cara seperti ini tidak menjamin umat akan aman dari konflik dan pertikaian di kemudian hari. Terbukti, banyak hal yang tidak diinginkan justru terjadi pasca kematian Muawiyah; perpecahan terjadi, dan darah pun kembali tertumpah. Semua ini dikarenakan kepribadian Yazid, di samping karena sistem musyawarah diganti sistem monarki.
Atas dasar apa pun, kita tidak bisa menuntut Muawiyah -atau siapa pun yang lebih baik darinya- untuk bersih dari dosa, apalagi kekeliruan dalam berijtihad. Ada banyak hal yang dapat menggelincirkan seseorang ke dalam kekeliruan, namun hukumannya – di sisi Allah – dapat dicegah dengan taubat, memohon ampunan, dan mengerjakan kebaikan, serta hal-hal lain yang dapat menggugurkan dosa. Bahkan dengan musibah, karena musibah yang menimpa seseorang dapat menggugurkan dosanya.
Tidak bisa dimungkiri, Muawiyah adalah salah seorang pemimpin terbaik yang sikap adilnya lebih dominan daripada sikap zalimnya. Namun sebagai manusia, dia tidak terlepas dari sejumlah kekeliruan yang semoga Allah SWT memaafkannya. Terlbih lagi, Muawiyah adalah Sahabat Rasulullah, dan kita tidak boleh menyimpan dengki terhadap seorang Sahabat pun. Sikap dan ucapan kita terhadap mereka harus seperti yang disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Surat Al-Hasyr ayat 10)
Sekali lagi, Muawiyah telah berijtihad demi menghindari perpecahan dan gejolak di tengah umat Islam. Dengan alasan demikian, tidak mungkin dituntut untuk menanggung semua dosa dan kekeliruan yang dilakukan para raja dan penguasa setelahnya.
Muawiyah memang telah mengubah sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Namun, ditangan cucunya, Muawiyah bin Yazid, khalifah ketiga dari dinasti Umawiyah, sistem kerajaan dalam suksesi kepemimpinan itu dikembalikan menjadi sistem musyawarag yang sempurna.
Disinilah perlunya sikap objektif dalam melihat permasalahan yang ada. Sangat keliru apabila hanya melihatnya dari sisi pewarisan kekuasaan semata tanpa melihat hal-hal positif lainnya yang terjadi setelah itu.
Apakah Perang Karbala Benar Terjadi atau Hanya Fiksi?
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah yang terus menjadi polemik adalah tragedi Karbala yang menewaskan cucu Nabi Muhammad SAW, Husain Radhiyallahu Anhu.
Sebagian orang membuat narasi bahwa peristiwa Karbala ini meragukan apakan benar terjadi atau hanya fiksi saja. Berdasarkan keterangan para ulama dan ahli sejarah menyebutkan bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi;
Peritiwa Karbala bukan sebuah kejadian yang berkaitan langsung dengan orang-orang Syiah saja, banyak hal-hal yang menjadi bukti kejadian tragedi Karbala dan menjadi titik temu antar mazhab Syiah dan Ahlus Sunnah dalam masalah Imam Husain;
- Semua sepakat bahwa Imam Husain berasal dari keluarga paling terhormat di antara para Sahabat. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib, anak kecil pertama yang masuk Islam dan menjadi menantu Nabi, ibunya adalah Fatimah, putri tercinta Nabi Muhammad SAW.
- Semua sepakat bahwa Imam Husain selain seorang Sahabat adalah ahlul bait Nabi.
- Semua sepakat bahwa Rasulullah SAW sangat mencintai cucunya, yakni Hasan dan Husain.
- Peristiwa Asyura adalah fakta dan bukan fiktif.
Sikap Para Ulama Terhadap Yazid bin Muawiyah
Banyak tanggapan yang sangat berbeda di kalangan Sunni tentang pribadi Yazid bin Muawiyah, Khalifah Umayyah kedua, putra Yazin bin Muawiyyah. Yazid, yang kepemimpinannya hanya 3 tahun saja, dikenal dengan banyak pertumpahan darah di masanya, yang tidak akan pernah dilupakan adalah peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW beserta keluarganya di Karbala.
Makalah ini hendak menyampaikan beberapa pandangan sikap dari para ulama terhadap pribadi Yazid bin Muawiyah yaitu pandangan dari Ibnu Taimiyyah yang dikenal moderat mengenai Yazid, Imam Al-Ghazali, Ibnul Arabi yang cenderung menyalahkan Imam Husain dalam tragedi Karbala dan sikap dari Ibnu Shalah.
Hari ini bulan Muharram yang didalamnya ada dari Asyura, hari dimana terjadi tragedi Karbala, sosial media kita banyak diisi dengan cacian dan makian kepada Yazid bin Muawiyah, seperti menilai Yazid sebagai keturunan Bani Umayyah yang sangat membenci Nabi dan Ahli Bait dan perusak agama Allah.
Semoga dengan penjelasan ulama terhadap pribadi Yazid bin Muawiyah dan sikap kita ahlu sunnah terhadap perselisihan para Sahabat, kita menjadi lebih arif, bijaksana dalam menilai apa yang terjadi pada umat Islam dahulu.
1. Sikap Ibnu Taimiyyah tentang Yazid bin Muawiyyah
Menaggapi peristiwa sejarah besar dalam Islam ini, sebagian ulama Sunni ada yang memberikan alasan dan pembenaran terhadap Yazin bin Muawiyah, ada juga yang menjelek-jelekkannya. Di antara kedua kubu tersebut, sikap netralitas terhadap Yazid yang paling dikenal adalah sikap dari Ibnu Taimiyyah, sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Fatawanya di jilid 4 hlm 486.
Menurutnya Yazid tidak mengeluarkan perintah untuk membunuh al-Husain,dan dia tidak senang dengan pembunuhan Al-Husain tersebut, bahkan dia menyatakan ketidaksenangannya pada tindakan ini, dan kepala Imam husain tidak dibawa kepadanya, melainkan dibawa ke ibn Ziyad.
Terlepas dari beberapa posisi Ibnu Taimiyyah di atas, Ibnu Taimiyyah setidaknya memiliki dua pernyataan yang sangat menarik yang patut dipertimbangkan karena mencerminkan pandangannya bahwa Karbala adalah tragedi dengan proporsi yang sangat besar dan bukan seperti yang ditekankan oleh beberapa sarjana Sunni hari ini, bahwa peristiwa Karbala hanyalah sebuah insiden sejarah yang tidak penting, meskipun tragis.
“Tidak ada keraguan bahwa al-Husayn bin ‘Ali dan sekelompok keluarganya dibunuh secara tidak adil. Pembunuhan al-Ḥusayn adalah salah satu bencana terbesar dalam sejarah. Pembunuhannya—seperti pembunuhan ‘Utsmn—adalah salah satu penyebab utama perselisihan dan pertumpahan darah yang menimpa umat Muslim. Sesungguhnya, pembunuhnya seburuk-buruk penciptaan di mata Allah” (Majmū’ al-Fatāwa 3: 411).
Di kitab yang sama, Ibnu Taymīyyah menyatakan:
“Mengenai mereka yang membunuh al-Ḥusayn atau membantu dalam tindakan itu atau senang dengannya, semoga kutukan (la’n) Allah, para malaikat, dan semua orang ada pada mereka. Tidak ada perbuatan atau perbuatan benar yang akan diterima dari orang-orang ini dari Allah sebagai kompensasi atas kejahatan keji mereka” (Majmū’ al-Fatāwa 4: 487)
2. Sikap Imam Al-Ghazali tentang Yazid bin Muawiyyah
Imam Al-Ghazali memasukkan peristiwa musibah Karbala yang menimpa cucu Nabi Muhammad saw dalam keutamaan Hari Asyura (10 Muharram) pada karyanya, Mukasyafatul Qulub al-Muqarribu ila Hadhrati ‘Allamil Ghuyub fi Ilmit Tashawwuf.
Imam Al-Ghazali menerangkan beberapa amalan pada hari Asyura di dalamnya. Ia menyebutkan beberapa hal yang dianggap sunnah oleh masyarakat, yaitu puasa hari Asyura, memperluas nafkah untuk keluarga, sedekah, bercelak, mandi, memasak bebijian, mengenakan minyak rambut, mengenakan parfum, dan peringatan peristiwa Karbala. Semua kesunnahan pada hari Asyura itu diseleksi terkait kualitas periwayatannya dan sikap yang wajar dalam menyikapinya. (Imam Al-Ghazali, Mukasyafatu Qulub, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2019 M/1440 H], halaman 311-312).
Musibah yang menimpa Husein ra pada 10 Muharram di Karbala merupakan syahadah (syahid) yang menunjukkan penambahan kemuliaan dan derajatnya di sisi Allah serta kepergiannya menyusul derajat tinggi ahlul bait. Adapun kita yang hari ini diingatkan pada peristiwa musibah 10 Muharram di Karbala itu tidak lain dianjurkan untuk istirja’ (mengucap “innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘un”) sebagaimana perintah agama dan berhusnuz zhan bahwa mereka yang menjadi korban di Karbala mendapatkan ampunan dan rahmat Allah sebagaimana firman-Nya pada Surat Al-Baqarah ayat 157. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 312).
Imam Al-Ghazali berpesan agar kita menjauhi cara-cara dan bid’ah kelompok Rafidhah dalam mengenang peristiwa 10 Muharram di Karbala, yaitu meratap, menangis, atau bahkan melukai diri karena itu bukan akhlak orang yang beriman. Seandainya cara-cara itu disyariatkan, niscaya hari kematian Rasulullah saw lebih layak diperingati demikian. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 312).
Imam Al-Ghazali berkata tentang Yazid bin Muawiyah
صح إسلام يزيد بن معاوية وما صح قتله الحسين ولا أمر به ولا رضيه ولا كان حاضراً حين قتل، ولا يصح ذلك منه ولا يجوز أن يُظن ذلك به، فإن إساءة الظن بالمسلم حرام وقد قال الله: اجتنبوا كثيراً من الظن إن بعض الظن إثم
Benar Islamnya Yazid bin Muawiyah dan tidak benar Yazid membunuh Husein, tidak pula memerintah pembunuhan tersebut dan meridhainya, Yazid tidak ada ketika Husein di bunuh, tidak boleh su’udhan, karena su’udzhan terhadap seorang muslim adalah haram. Allah SWT berfirman, ‘jauhilah olehmu prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah dosa.
فإن قيل هل يجوز لعن يزيد لأنه قاتل الحسين أو آمر به ؟ قلنا : هذا لم يثبت أصلاً فلا يجوز أن يقال إنه قتله أو أمر به ما لم يثبت ، فضلاً عن اللعنة ، لأنه لا تجوز نسبة مسلم إلى كبيرة من غير تحقيق
“Maka jika dikatakan, apakah boleh melaknat Yazid, karena Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya ?”. Kami jawab : “Ini tidak tsabit (positf) pada asal. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya, selama tidak ada berita yang tsabit, apalagi melaknatnya, karena tidak boleh menyandarkan seorang muslim dengan dosa besar dengan tanpa kepastian”.
3. Sikap Ibnul Arabi tentang Yazid bin Muawiyyah
Abu Bakar Ibnul Arabi, seorang ahli sejarah dari mazhab Sunni, dalam kitabnya ‘Al-Awashim minal Qawashim’ dia memberikan pandangan yang tersendiri tentang peristiwa Karbala dan memberikan pembelaan terhadap Yazid bin Muawiyah.
Dia membangun argumennya dengan dua alasan penting.
- Husein telah salah dalam melawan Yazid karena dia adalah seorang penguasa yang seharusnya dipatuhi. Imam Husein menurutnya tidak menerima nasihat dari orang-orang yang paling berpengetahuan pada masanya.
- Imam al-Husain mati terbunuh oleh syariat kakeknya sendiri dengan alasan bahwa al-Husain sendiri memberontak kepada pemerintahan yang sah dan memecah belah umat Islam.
4. Sikap Ibnu Shalah tentang Yazid bin Muawiyyah
Ibnu Shalah adalah salah satu ulama yang memberikan kritik terhadap pernyataan dari Ibnul Arabi yang kemudian dia quote-kan di buku Muqaddimahnya bahwa “Hussein dibunuh oleh pedang kakeknya, atau hukum kakeknya”. Ibnu Shalah memberikan kritik terhadap pernyataannya dengan menyebutkan:
وقد غلط القاضي أبو بكر بن العربي المالكي في هذا فقال في كتابه الذي سماه بالعواصم من القواصم ما معناه أن الحسين قتل بشرع جده، وهو غلط حملته عليه الغفلة عن اشتراط الإمام العادل، ومن أعدل من الحسين في زمانه في إمامته وعدالته في قتال أهل الآراء.
“Dalam hal ini, al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi yang bermazhab Maliki memiliki pandangan yang keliru dalam kitabnya yang berjudul al-Awashim min al-Qawashim. Ibnu al-Arabi mengatakan bahwa Imam al-Husain terbunuh berdasarkan syariat kakeknya. Jelas ini merupakan pandangan yang tidak benar karena kelalaianya mengenai syarat pemimpin yang adil (yang boleh membunuh pemberontak). Sementara itu, siapakah yang lebih adil di zamannya dari al-Husain di masanya dan di kepemimpinannya?”
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kesalahan Ibnu al-Arabi terletak kepada kelalaiannya tentang sifat adil yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika ingin membunuh para pemberontak.
Dalam kitab “Muqaddimah”nya khususnya dalam bab tentang suksesi, Ibnu Khaldun membahas alasan kenapa al-Husain memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah ditambah dengan latar belakang yang membuatnya tertuntut untuk melakukan suksesi:
وأما الحسين فإنه لما ظهر فسق يزيد عند الكافة من أهل عصره بعثت شيعة أهل الكوفة للحسين أن يأتيهم فيقوموا بأمره. فرأى الحسين أن الخروج على يزيد متعين من أجل فسقه لا سيما من له القدرة عليه…
“Adapun Hussein, ketika Yazid bin Muawiyah melakukan banyak tindak kefasikan sehingga sangat terkenal di semua lapisan masayarakat di masanya, Imam al-Husain dikirimi surat oleh orang-orang Syiah Kufah agar datang kepada mereka dan menjadi pemimpin untuk melakukan aksi revolusi. Bagi al-Husain, melakukan pemberontakan terhadap Yazid wajib dilakukan karena kefasikannya, terutama bagi orang yang mampu melakukan itu.”
Maksud dari keterangan Ibnu Khaldun adalah bahwa Al Husein keliru dalam melakukan suksesinya karena tidak memperhitungkan ketersediaan pasukan, dan mengabaikan ashabiyyah di luar suku-suku Arab lainnya.
Ini artinya legitimasi agama (melawan kefasikan penguasa) dan kecakapan politik individu saja tidak cukup untuk keberhasilan suatu revolusi. Harus ada sokongan yang kuat yang Ibnu Khaldun sebut sebagai ashabiyyah. Sayangnya, al-Husain tidak mempertimbangkan bahwa sebelum Islam dan beberapa dekade setelah wafatnya Nabi, ashabiyyah Arab hanya terkumpul secara kuat dalam Bani Umayyah.
لم يصح عندنا أنه أمر بقتله والمحفوظ أن الآمر بقتاله المفضي إلى قتله، إنما هو عُبيد الله بن زياد والي الكوفة آنذاك، وأما سب يزيد ولعنه فليس من شأن المؤمنين
“Tidak sahih di sisi kita Yazid telah memerintah membunuh Husain r.a.. Yang terpelihara beritanya adalah yang memerintah dan menyebabkan terbunuh Husain karramahullah adalah Ubaidullah bin Ziyad, penguasa Iraq ketika itu. Adapun mencela dan melaknat Yazid, maka tidak termasuk sifat seorang yang beriman”ز
Bagaimana Kematian Yazid bin Muawiyah
Yazid bin Muawiyah wafat pada tahun 64 hijriyah, memimpin tidak lebih dari 4 tahun, namun banyak kejadian penting terjadi di masanya, salah satunya pembunuhan Imam Husein dan perang Harrah.
Menurut Ibnu Katsir dalam kitab ‘al-Bidayah wa al-Nihayah’-nya bahwa Yazid bin Muawiyah wafata pada bulan Rabiul awal pada malam ke-14.
Yazid meriwayatkan satu hadis dari Rasulullah SAW yaitu “Siapa yang ingin Allah berikan kebaikan, hendaknya mencari ilmu”, dan hadis lain seputar wudhu.
Jasanya dibawah ke Damsyiq dan dishalatkan oleh anaknya, Muawiyah bin Yazid, pemimpin saat itu dan dikuburkan di pekuburan Bab al-Shaghir.
Pada masa pemerintahannya, dilakukan perluasa sungai yang diberinama Yazid.
Bahan Bacaan:
- Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,
- Mausu’ah al-Hasan wa al-Husain, Hasan al-Hasanain
- Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Pustaka al-Kautsar, 2001
- Hadis bahwa Kepala Imam Husein dibawa kepada Ubaidillah bin Ziyad
- Islamic Scholars on Yazid’s ِAssassination of al-Husayn, the Prophet’s Grandson)
Artikel di blog yang perlu dibaca
- Sejarah Imam Husain dan Kesyahidannya
- Dimana Kepala Imam Husain Dimakamkan?
- Resensi Serial Film Muawiyah, Hasan dan Husain
- Sentimen Kebangsaan Syiah Shafawi dan hubungannya dengan kisah pernikahan Imam Husain dan Syahzanan binti Yazdrajid
- Mengapa Kepemimpinan Syiah Diserahkan Kepada Keturunan Husain?