Seseorang tidak merendahkan Ulama, Ustadz, dan penuntut ilmu lainnya melainkan karena dirinya tidak pernah merasakan kesungguhan, kelelahan, dan kepayahan dalam mencari, mengumpulkan, dan mengajarkan ilmu itu.
Mungkin dia pun merasakan hal demikian, namun sayangnya keberkahan dari upaya kerja kerasnya itu hilang. Hingga yang tersisa pada dirinya adalah kesombongan dan keinginan kuat mengejar syahwat dunia.
Dalam bersikap dan bertindak manusia seringkali melakukan berlandaskan asas kognitif dengan memanggil ulang informasi yang sudah didapat.
Ingatan tentang ulama sudah kita miliki bertahun tahun bahkan puluhan tahun. Dalam ingatan kita selalu terbayang bahwa para ulama adalah:
Mereka yang memiliki pesantren, mengurus anak-anak yatim hingga anak-anak yang paling dibuang masyarakat.
Mereka yang memiliki ilmu agama mendalam dan luas, menempuh pendidikan di pusat-pusat studi Islam di seantero tanah Arab, Afrika dan keseluruhan Maghribi.
Mereka yang menghabiskan hari-hari dengan mengorbankan seluruh hidup bagi agama.
Mereka yang babat alas, mendirikan pesantren mulai dari nol hingga menjadi madrasah besar.
Mereka yang bergerak dalam diam, ketika para politisi berorasi di atas mimbar dan pengusaha mempertontonkan kesuksesan.
Mereka yang saat hidupnya dicari untuk dimintai nasehat, mereka yang saat wafatnya ditangisi para pelayat.
Maka membuat issue negatif terhadap ulama di Indonesia, tidak akan membuat masyarakat memanggil informasi negatif terhadap sosok tersebut. Sebab selama puluhan tahun, informasi yang tertanam di benak adalah keluhuran dan kemuliaan mereka.
Memang, ada ulama yang lebih mencintai dunia dan tidak berpihak pada masyarakat yang menderita, namun prosentasenya sangat sedikit.
Ribuan alim ulama di negeri ini, mendampingi masyarakat di saat-saat sulit. Memberikan nasehat agar rakyat selalu bersabar.
Maka, kampanye hitam terhadap ulama, issue-issue negatif yang menyudutkan ulama, berita-berita bohong dan berita yang memicu kemarahan terkait ulama tidak akan mengubah pandangan masyarakat terhadap profesi mulia ini.
Sungguh, ulama adalah asset bangsa yang luarbiasa, yang posisinya didapat bukan karena harta atau pangkat, tapi karena ilmu dan kemuliaan.
Al-Imam Ibnu Al-Mubarak rahimahullah berkata:
حَقٌّ عَلَى اْلعَاقِلِ أَنْ لَا يَسْتَخِفَّ بِثَلَاثِةٍ: اْلعُلَمَاءِ وَ السَّلَاطِيْنِ وَ اْلإِخْوَانِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنْيَاهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوْءَتُهُ
“Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang; Ulama, penguasa dan saudara (muslimnya). Siapa yang meremehkan ulama, hancurlah akhiratnya. Siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya. Dan siapa yang meremehkan saudaranya, hilanglah muru’ahnya”. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala 17/251).
Perhatikan ungkapan indah Imam Muhammad bin Al-Husain, sebagaimana dikutip Imam Al-Ajurri dalam kitabnya “Akhlaqul Ulama” hlm. 41. Beliau ingin menyadarkan kita bagaimana keberkahan waktu-waktu yang dihabiskan oleh para Ulama, Ustadz, dan penuntut ilmu, dalam belajar, mengumpulkan, serta mengajarkan ilmu itu.
Beliau berkata:
أخلاق العلماء للآجري (ص: 41)
«فَالْعُلَمَاءُ، فِي كُلِّ حَالٍ , لَهُمْ فَضْلٌ عَظِيمٌ فِي خُرُوجِهِمْ لِطَلَبِ الْعِلْمِ , وَفِي مُجَالَسَتِهِمْ لَهُمْ فِيهِ فَضْلٌ , وَفِي مُذَاكَرَةِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ لَهُمْ فِيهِ فَضْلٌ , وَفِيمَنْ تَعَلَّمُوا مِنْهُ الْعِلْمَ لَهُمْ فِيهِ فَضْلٌ , وَفِيمَنْ عَلَّمُوهُ الْعِلْمَ لَهُمْ فِيهِ فَضْلٌ , فَقَدْ جَمَعَ اللَّهُ لِلْعُلَمَاءِ الْخَيْرَ مِنْ جِهَاتٍ كَثِيرَةٍ , نَفَعَنَا اللَّهُ وَإِيَّاهُمْ بِالْعِلْمِ»
“Dalam seluruh keadaan mereka, para ulama memiliki keutamaan yang sangat besar. Dalam usaha mereka keluar menuntut ilmu, terdapat keutamaan. Ketika bersama dengan para Syaikhnya terdapat keutamaan. Ketika mereka saling mengingatkan (akan ilmu) satu sama lain, terdapat keutamaan. Dalam diri para ulama yang menjadi guru mereka, terdapat keutamaan. Dan dalam diri orang-orang yang mereka ajarkan ilmu, terdapat keutamaan. Sungguh, Allah telah mengumpulkan kebaikan kepada para ulama dalam banyak hal. Mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita dan mereka dengan ilmu”. (Al-Ajurri, Akhlaqul Ulama, hlm. 41, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
Di halaman yang lain Imam Al-Ajurri mengajarkan kita bagaimana sifat para ulama dalam menuntut ilmu:
أخلاق العلماء للآجري (ص: 40)
“أن يعلم أن الله عز وجل فرض عليه عبادته، والعبادة لا تكون بعلم، وعلم أن العلم فريضة عليه، وعلم أن المؤمن لا يحسن به الجهل، فطلب العلم ليمفي عن نفسه الجهل، واليعبد الله كما أمره، ليس كما تهوى نفسه. فكان هذا مراده في السعي في طلب العلم، معتقدا للإخلاص في سعيه، لايرى لنفسه الفضل في سعيه، بل يرى الله عز وجل الفضل عليه، إذا وفقه لطلب علم ما يعبده به من أداء فراضه، واتناب محارمه”
“Allah mewajibkan beribadah, dan ibadah tidak akan benar kecuali dengan ilmu, maka menuntut ilmu menjadi kewajiban. Seorang mukmin tidak boleh bodoh, maka ia menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohannya, agar menyembah Allah sesuai perintah bukan karena hawa nafsu. Inilah tujuannya menuntut ilmu, ikhlas dan tidak melihat diri memiliki keutamaan tetapi Allah lah zat pemilik keutamaan. Jika difaqihkan untuk menuntu ilmu, sebagai bentuk ibadah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan” (Al-Ajurri, Akhlaqul Ulama, hlm. 40, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
Ulama, ustadz dan penuntut ilmu mereka juga manusia yang bisa terjerumus pada kesalahan, dan sebaik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat. Hendaknya kesalahan mereka tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat terhadap ilmu mereka.
Mari simak perkataan Ibnu Rajab berikut: “Allah Ta’ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya”
Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”
Abdullah bin Al Mubaraak berkata,”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan”
Maka, mari hormati ulama sebagai pewaris nabi
Hormati ulama sebagai penyambung lisan nabi
Hormati ulama yang mengajarkan kita mengenal Allah
Hormati ulama yang mengajarkan kita membaca kitab Allah
Hormati ulama yang ikhlas tanpa pamrih membimbing umat… []