Film ini berkisah mengenai pengorbanan seorang wanita Muslim, Anissa (diperankan oleh Revalina S. Temat), seorang wanita berpendirian kuat, cantik, dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga Kyai di sebuah pesantren Salafiah putri al-Huda, di Jawa Timur, Indonesia, yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadits dan Sunnah. Buku modern dianggap menyimpang.
jalan Cerita
Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (diperankan oleh Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. Diam-diam Anissa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (diperankan oleh Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (diperankan oleh Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (diperankan oleh Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai.[1]
Kritikan untuk Film Perempuan Berkalung Surban
Film ini mengundang kontroversi karena dianggap melakukan kritikan secara kontra produktif atas tradisi yang terdapat dalam kebudayaan pesantren. salah seorang dari pengurus Majelis Ulama Indonesia memberikan tanggapan berupa menyarankan supaya film ini ditarik dari edaran agar dirubah sebagaimana keinginannya.[2]
1. Bias Gender dalam Film tersebut
dalam film tersebut dikisahkan bahwa Anisa yang perempuan ingin naik kuda sebagaimana kakak-kakaknya, Berapa kali Umi bilang, anak perempuan itutidak boleh pencilakan”, kataIbunya. Anissa membantah, “Iiih, Nissa tidak pencilakaan… Nissa cumin mau naik kuda”. “Itu namanya pencilakan”, tukas Ibunya.
Anissa tidak terima, lalu menunjuk kedua kakaknya yang tidakdilarang naik kuda, bahkan pedang-pedangan diatas kuda. Ibunya mengatakan, mereka tidak apa-apa berkuda karena mereka itu anak laki-laki, sedang dirinya anak perempuan. “Iiih, Umi gak adill!” Teriak Anissa memberontak. sejak dari awal memang film ini berusaha untuk mendiskredirkan antara laki-laki dan perempuan.
2. Islam menindas kaum wanita
dalam film tersebut disebutkan beberapa dialog yang memprotes hukum-hukum Islam seperti masalah poligami, padahal Allah swt dengan tegas menegaskan bahwa “kamu harus adil dan tidak ada yang dapat adil” dimana kalimat ini menjadi lampu merah bagi siapa saja yang ingin menikah dengan 4 istri.
3. membolehkan seorang suami untuk bertindak kasar kepada istrinya
pada kenyataannya hal ini sangat jauh berbeda dengan akhlaq nabi Muhammad saw, yang dalam suatu ketika pernah memilih untuk tidur di luar rumah daripada membangunkan istrinya karena pulang terlalu malam dan beliau tidak pernah marah jika makanan belum tersedia.
4. sutradaranya seorang liberal
Hanung Bramantio sebagai sutradarai dari film ini adalah orang liberal terbukti bahwa film ini diangkat dari noverl yang mendapat penghargaan dari Ford Foundation, sebuah lembaga yang banyak memberi dana kepada kelompok yang mengusung liberal dan gender.
selanjutnya ada beberapa komentar para tokoh terhadap film ini.
1. Cherul Umam mengatakan: “Film ini sangat nerusak, ditulis oleh seorng feminis”.
2. Misbach Yusa Biran mengatakan: “Ini film penjahat, seluruh filmnya menghina Islam, seluruhnya propaganda anti islam”.
3. Taufiq ismail mengatakan: “saya merasa dihina dan dilecehkan oleh filam perempuan berkalung surban, disutradarai oleh hanung Bramantio, yang menistkan lembaga pesantren dan tokoh kiyai, waratsatul anbiya’, berlindung di balik topeng kebebasan kreasi dengan sejumlah improvisasi yang bodoh dalam semangat super-liberal”.
sumber: Majalah Suara-Islam edisi 92 dan 93, wikipedia, dan http://rumahabi.info/