Menjadi Ahmad Atau Badui – Dikisahkan bahwa pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun (khalifah ke-7 dinasti Abbasiyah) muncullah sebuah fitnah besar yang menimpa kaum muslimin pada umumnya dan ulama’ pada khususnya.
Pada masa tersebut, paham Mu’tazilah (yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk) menyebar hingga berhasil mempengaruhi puncak kekuasaan, yaitu sang khalifah. Sang khalifah pun dibuat percaya bahkan sampai memaksakan paham tersebut kepada umat muslim.
Suatu waktu, seorang wakil dari khalifah Al-Ma’mun mengumpulkan Imam-imam hadits di Baghdad. Dia mengancam mereka untuk menerima paham Muktazilah. Kebanyakan mereka akhirnya dengan terpaksa menerima paham Muktazilah. Hanya sedikit yang tetap menolak, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh Al-Jundi, dan Imam al Buwaithi dari Mesir.
Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh Al-Jundi, keduanya dibawa menggunakan seekor unta untuk dihadapkan kepada khalifah. Di tengah perjalanan, datanglah seorang arab badui.
Dia hanya seorang Arab Badui. Bukan siapa-siapa. Secara sosial sejarah sangat mengenal siapa Badui dan kapasitas intelektual dan tradisi mereka.
Sang Arab Badui ini menyaksikan Imam Ahmad bin Hanbal, guru dan pendiri Mazhab Imam Ahmad berjalan dengan diikat rantai.
Di saat Imam Ahmad terseok dalam langkah-langkah yang melelahkan itu, sang Badui menelusup dan menghentikan Imam Ahmad. Ia bertanya tentang keadaannya. Lelaki Badui itu punya kekhawatiran, jangan sampai Imam Ahmad luluh dan luntur menghadapi bencana ujian akibat Penguasa dzalim.
Maka segera lelaki Badui itu berkata dan menyemangatinya. Dengan bahasanya yang lugas dan jelas.
“Wahai engkau! Sesungguhnya engkau adalah duta bagi manusia, maka janganlah engkau menjadi sebab bencana bagi mereka. Engkau adalah pemimpin manusia di zaman ini. Jika engkau menerima seruan mereka (paham Mu’tazilah) niscaya seluruh manusia juga akan menerimanya (mengikuti engkau).
Jika demikian, maka engkau akan memikul seluruh dosa manusia pada hari kiamat. Dan jika engkau mencintai Allah, maka bersabarlah di atas apa yang engkau yakini. Sesungguhnya tidak ada yang menghalangi antara dirimu dan surga kecuali dengan terbunuhnya dirimu (kematian). Dan jika engkau tidak dibunuh, kelak engkau pun akan mati. Dan jika engkau hidup (setelah hari ini) maka engkau akan hidup mulia.”
Imam Ahmad mengisahkan di kemudian hari, “Maka saat itu hatiku pun menjadi kuat”.
Bahkan ketika fitnah pun usai. Imam Ahmad sering sekali mengingat-ingat apa yang diucapkan oeh Badui itu
“Perkataan orang tersebut lah di antara hal-hal yang menguatkan tekadku untuk tetap pada prinsipku menolak apa yang diserukan kepadaku untuk diikuti (yaitu menolak paham Mu’tazilah)”. (Albidayah wan Nihayah: 1/332)
Lelaki itu hanya seorang Badui biasa. Bukan siapa-siapa. Tapi dia memiliki argumentasi yang kuat, memenuhi pikiran dan jiwanya. Maka ia menasehati dengan sepenuh pengertiannya yang mendalam dan bahasanya yang lugas.
Begitulah seharusnya. Seorang muslim menjadi manusia yang memiliki argumentasi hidup yang kuat, penuh kepastian, kejelasan alasan yang sangat terang benderang, seperti matahari di puncak siang atau bulan di malam purnamanya. Atas apa yang dilihat, dilakukan, dipilih dan dialami.
Argumentasi hidup yang sangat kuat, adalah seperti pondasi bangunan yang sangat megah. Atau seperti akar yang menghunjam dalam ke perut bumi, yang menopang pepohonan dengan sangat gagah. Demikianlah seorang Muslim.
Orang yang gamang dengan kemuslimannya, sangat merugi. Ia tidak akan mengerti bagaimana seharusnya menjalani hidup. Sebagaimana orang-orang yang melecehkan Islam, menghina kitab suci, menghina Ulama, bermain-main dengan ajaranyya, mereka tidak pernah mengerti dengan siapa mereka berhadapan. Mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka melawan Allah subhanatu wa ta’ala Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. ”Maka apakah dengan Allah dan ayat-ayat-Nya engkau mengejek dan bermain-main.” (Qs. At-Taubah: 66)
Dahulu orang-orang menghina Al-Quran dengan mengacaukan pikiran orang awam, bahwa Al-Quran itu makhluk. Sang Penguasa kala itu dengan arogan mencoba mengguncang umat Islam dengan mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Harapannya, orang lantas bisa mengatakan bahwa Al-Quran bisa saja salah sebagaimana makhluk lainnya seperti manusia.
Sekarang orang menghinanya dengan menyerang bentuk fisiknya atau menghina kandungannta. Akal dan otak mereka tidak sampai untuk sekedar memahami sepotong kata pun yang ada di dalam Al-Quran. Maka dipandangnya ia sebatas lembaran-lembaran kertas dan bisa dihinakan seenaknya.
Menjadi Badui atau ulama besar seperti Imam Ahmad, menjadi rakyat atau presiden adalah karunia yang dibagi-bagikan Allah subhanatu wa ta’ala. Tentu ada jerih payah pada semuanya. Tapi hanya ketika kita menjadi muslim sejati, kita akan hidup di atas pijakan keyakinan dan argumentasi sikap yang kuat, kokoh dan menentramkan.
Dari sepotong kisah antara Imam Ahmad bin Hanbal dan seorang Badui, kita juga bisa mengambil beberapa faedah, antara lain.
- Senantiasa teguh dan bersabar dalam kebenaran, saat keadaan sesulit apapun, bahkan ketika diancam dengan siksaan dan pembunuhan, atau bahkan ketika diiming-imingi dengan kenikmatan dan kesuksesan duniawi yang berlimpah.
- Kesesatan bisa menyebar karena faktor kekuasaan, diformalkan sebagai sebuah hukum atau ideologi negara. Para pengusung paham Muktazilah dengan kata-kata indahnya dapat mempengaruhi khalifah, menampakkan kebatilan seolah-olah sebagai jalan kebenaran.
- Beratnya beban seorang pemimpin atau yang dijadikan panutan. Ia bisa membawa kebaikan bagi pengikutnya, bisa juga sebaliknya membawa bencana bagi mereka. Ia bisa menuai pahala yang banyak, namun bisa juga di akhirat akan memikul dosa semua orang yang mengikutinya.
- Tidak perlu malu untuk mengambil pelajaran dari orang yang lebih rendah status sosialnya atau yang terlihat ‘kampungan’. Imam Ahmad pun bisa mengambil pelajaran dari seorang badui, yang umumnya dikesankan sebagai orang yang kurang adab dan sopan santun. Bahkan, dari seorang badui pun bisa keluar kalimat penuh hikmah dan kebenaran. Kata-kata orang badui tersebut bisa menjadi pelecut semangat bagi Imam Ahmad untuk teguh di atas kebenaran. Beliau mampu bertahan dari berbagai siksaan selama bertahun-tahun demi mempertahankan aqidahnya. Beliau dipenjara dan dizhalimi kurang lebih selama 14 tahun, di tiga masa khalifah, yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.
Semoga kita juga bisa memetik pelajaran dan menambahkan kekuatan iman akan kebenaran Al-Quran, yang mulia yang layak dibela. [ ]
Baca juga Artikel terkait: