Sudah beberapa waktu tidak mengunjungi laman Google Scholar, ternyata sudah mencapai jumlah sitasi yang lumayan untuk orang yang sedang mengakui sebagai penulis dan peneliti independent seperti saya.
Jumlah sitasi akun Google Scholar yang sudah mencapai 962 sitasi. Sitasi adalah sebuah referensi atau kutipan yang memungkinkan kita untuk mengakui sumber-sumber yang telah dikutip. Sitasi berguna untuk memverifikasi data yang didapat agar tulisan kita dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki akuntabilitas. Bentuk sitasi dapat berupa badan teks dan catatan kaki.
Saya pun kaget dan bangga. Sebab, secara hitungan waktu, saya menulis artikel ilmiah baru dimulai 2017 ketika menjadi Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Artinya, 962 sitasi itu saya dapatkan kurun 2017-2024. Waktu tujuh tahun bukan waktu lama karena beberapa dosen yang sudah guru besar pun belum tentu tembus 1000 sitasi. Padahal dokumennya di Google Scholar sudah dimulai awal 2000-an. Artinya, puluhan tahun lebih, mereka belum menunjukkan capain seribu sitasi meski sudah profesor atau sudah lama menjadi dosen.
Artikel yang mendapatkan sitasi pun bukan semuanya hasil artikel yang saya kirimkan ke Jurnal. Sebagian besar adalah artikel dari tugas kuliah di Sekolah Pasca yang kemudian saya upload di Academia, ResearchGate dan OSF.io.
Sitasi dan Produktivitas
Akademisi, peneliti, mahasiswa, atau profesi dan status seorang yang memiliki kewajiban publikasi ilmiah tidak mungkin punya jumlah sitasi banyak ketika tidak punya tulisan. Untuk mendapatkan sitasi banyak tentu harus banyak tulisan yang tersedia secara cetak, online, open acces, dan laku disitasi.
Disitasi artinya dibutuhkan orang. Beberapa ilmuwan yang sudah meninggal dunia pun masih dikutip karyanya seperti Nurcholis Madjid mencapai 16.222 sitasi sejak 2002-2023, Azyumardi Azra mencapai 18.870 sejak 2002-2023, Abdurrahman Wahid mencapai 6536 sejak 2003-2023, Sapardi Djoko Darmono mencapai 3282 sejak 2001-2023, dan lainnya.
Jumlah sitasi tidak sekadar soal kuantitas, namun seberapa berpengaruh sebuah artikel terhadap produksi penelitian, pengabdian kepada masyarakat, gap research, dan produksi keilmuan melalui kegiatan ilmiah tersebut. Nama-nama yang saya sebutkan tersebut tidak mengherankan menjadi nama berpengaruh dalam kehidupan sosial dan akademik, maupun dalam dunia keilmuan.
H-Index Google Scholar
Menurut Wikipedia, “The h-index is an index that attempts to measure both the productivity and impact of the published work of a scientist or scholar”. yaitu indeks yang mencoba mengukur baik produktivitas atau dampak dari karya yang diterbitkan seorang ilmuan atau akademisi (http://en.wikipedia.org/wiki/H-index, Juni 2021). Menurut Terry Mart, “Seorang ilmuwan memiliki indeks-h jika ia memiliki paper sebanyak h dengan jumlah kutipan untuk setiap paper tersebut minimal sama dengan h”. (http://staff.fisika.ui.ac.id/tmart/h_indeks.html, Maret 2021). Secara gampangnya h-index misalnya pada sitasi jurnal Buletin Penelitian Kesehatan, h-index bernilai 7 artinya terdapat 7 artikel yang dikutip oleh minimalnya 7 artikel lain.
h-index dikenalkan oleh seorang fisikawan dari University of California, San Diego yang bernama Jorge Eduardo Hirsch pada tahun 1985. Maka dari itu kadang index ini dikenal dengan Hirsch index atau Hirsch number.
Dalam publikasi ilmiah dikenal H-Index atau Index-H baik di Google Scholar maupun di Scopus yang menjadi bukti jumlah publikasi dan total sitasi tiap artikel atau publikasi. Setiap artikel kita ketika dikutip banyak peneliti dan artikelnya juga diindeks Google Scholar atau Scopus, maka otomatis H-Index juga tinggi.
Selain menegaskan pengaruh artikel kita bagi penelitian lain karena dijadikan rujukan, H-Index dalam pengalaman saya juga menjadi salah satu di antara pertimbangan editor jurnal ketika kita submit di sebuah jurnal. Maka saya selalu mencantumkan url Google Scholar, Orcid dan ID Scopus di metadata pada sebuah OJS.
H Indeks adalah jumlah publikasi (n) yang masing masing publikasi tersebut dirujuk sebanyak minimal n kali. Maka dari definisi di atas, H indeks 2 berarti adalah ada 2 buah publikasi yang dirujuk minimal 2 kali. Pada screen shoot di atas saya memiliki 2 buah publikasi yang dirujuk 3 kali dan 7 kali (3 dan 7 > 2).
Artinya jika saya ingin meningkatkan H index Saya dari 2 menjadi 3 maka Saya harus memiliki sebanyak 3 buah publikasi yang sudah dirujuk minimal 3 kali. Agar hal ini bisa terealisasi maka publikasi saya pada tahun 2024 yang masih dirujuk 2 kali harus ditingkatkan menjadi 3 sehingga nantinya ada 3 buah publikasi yang masing masing dirujuk minimal 3 kali yaitu: 7 kali (2020), 3 kali (2022) dan 3 kali (2023).
Katakan jika Anda ingin memiliki H Index yang tinggi seperti yang diperingkatkan oleh Sinta di sini (misal H Index 23) maka anda harus punya 23 publikasi yang masing masing telah dirujuk minal sebanyak 23 kali.
Tentunya usaha yang perlu dilakukan agar publikasi kita dirujuk oleh penulis lain pada publikasi mereka adalah dengan berbagai cara. Pertama menulis publikasi yang sedang trend di bidang kita, Kedua berusaha menulis publikasi kita dengan baik dan benar dan mudah dimengerti oleh penulis lain sehingga menggugah mereka merujuk publikasi kita.
Manfaat Sitasi
Google Scholar memberikan akses mudah ke sumber informasi ilmiah seperti artikel jurnal, buku, tesis, dan laporan teknis dari seluruh dunia. Menyediakan cara mudah untuk mencari literatur ilmiah secara luas .
Semakin tinggi sitasi artikel-artikel pada sebuah jurnal, maka akan menaikkan rating, peringkat akreditasi maupun keterbacaan pada pencari sumber-sumber ilmiah melalui Google Scholar. Untuk mewujudkan itu, maka editor mencari penulis yang memang memiliki rekam jejak digital melalui jumlah sitasi dan H-Index minimal pada Google Scholar maupun Scopus. Maka jangan heran ketika kita submit pada sebuah jurnal, editor tanpa membaca artikel kita langsung menolak artikel kita, karena nama kita asing di Google Scholar, tidak punya rekam jejak intelektual pada Google Scholar, Orcid, maupun Scopus.
Maka memiliki H-Index tinggi menjadi keniscayaan ketika kita sudah memilih profesi akademisi maupun peneliti. Sebab, pada intinya dosen merupakan peneliti yang mengajar, meskipun tugas utamanya adalah mengajar sebelum meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Namun akan berbeda ketika dosen rajin meneliti dan publikasi dan sekadar mengajar saja. Jika sekadar mengajar saja, saya sering mengungkapkan satire “mending jadi guru saja” daripada menjadi akademisi nanggung. Begitu!
Saya berharap, teman-teman yang kebetulan membaca postingan ini, dan memiliki tema yang serupa untuk mensitasi artikel kami sehingga tidak lama lagi, sitasi saya mencapai 1000.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para peneliti, mahasiswa dan dosen yang berkenan mensitasi tulisan saya.
Di bidang penelitian saya tentang Pengkajian Islam, yang paling banyak adalah Prof. Abuddin Nata dengan 40037 Sitasi. Kedua, Zulkifli Lubi dengan 1538 Sitasi dan Jumal Ahmad dengan 962 Sitasi saat tulisan ini dibuat.
Di bidang Pendidikan Islam, yang paling banyak adalah 1) Syaiful Bahri Djamarah dari UIN Antasari Banjarmasin dengan 63784 sitasi, 2) Muhammad Iqbal luthfio dari universitas ahmad dahlan dengan 36674 sitasi, 3) Arifin dari IAI An Nur Lampung dengan 12384 sitasi, 4) Widodo Supriyono dari Universitas Islam Negeri Walisongo dengan 9289 sitasi, dan 5) Imam Machali dari Manajemen Pendidikan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia dengan 7725 sitasi.
Di bidang Character Development, yang paling banyak adalah 1) John J. Sosik dari Pennsylvania State University dengan 20593 sitasi, 2) Kristina L. Schmid Callina dari Tufts University dengan 3629 sitasi, 3) Melinda C. Bier dari Teresa M. Fischer Professor of Citizenship Education Co-Director, Center for Character dengan 3337 sitasi, 4) Andrea Vest Ettekal dari Assistant Professor, Texas A&M University dengan 2353 sitasi, dan 5) John D Yoon dari The University of Chicago dengan 2221 sitasi.